Menurut etimologi kata khulu' berasal dari kata خلع-يخلع-خلعا artinya melepas, mencopot, menanggalkan, seperti kata: خَلَعَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ, laki-laki itu melepas pakaiannya; خَلَعَ الرَّجُلُ اِمْرَاَتَهُ , laki-laki (suami) melepas isterinya. Khulu’ disebut juga al-fida’ (الفداء) yaitu tebusan, karena isteri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya. Dengan adanya tebusan itu isteri melepaskan diri dari ikatan suaminya. Atas dasar ini dipergunakan kata khulu’ untuk mengungkapkan arti melepaskan tali hubungan suami isteri secara majazi.
Secara istilah, ada beberapa pengertian khulu' yang dikemukakan para ulama’.
As-San’any dalam kitabnya Subul as-Salam merumuskan khulu' dengan:
فِرَاقُ الزِّوْجَةُ عَلَى مَالٍ
“Diceraikannya isteri atas pembayaran sesuatu harta”
Ulama Hanabilah seperti disebutkan oleh al-Jaziry mendefinisikan khulu’ dengan:
فِرَاقُ الزَّوْجُ اِمْرَأَتَهُ بِعِوَضٍ يَأْخُذُهُ الزّوْجُ مِنْ اِمْرَأَتِهِ اَوْغَيْرِهَا بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Suami menceraikan isterinya dengan suatu iwad (pengganti) yang diterima suami dari isteri atau orang lain dengan ucapan tertentu”
Dari rumusan khulu' di atas dapat disimpulkan bahwa khulu' itu perceraian dengan cara isteri memberikan sesuatu kepada suaminya sebagai ganti atau imbalan atas kesediaan suami menceraikannya.
B. Dasar Hukum Khulu’
Kehidupan suami isteri hanya dapat tegak berdiri atas dasar ketentraman, ketenangan, suami isteri saling cinta mencintai, sayang menyayangi, bergaul dengan sebaik-baiknya dan masing-masing pihak menunaikan hak dan kewajibannya dengan ikhlas, jujur, dan pengabdian. Apabila muncul gejala keretakan hubungan suami isteri, syari’at Islam menasehati agar suami dan isteri selalu berusaha mengobati hal-hal yang menjadi sebab kekurang senangan satu terhadap yang lain. Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 19 menasehatkan:
... وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى ان تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
“Dan bergaullah dengan mereka (isteri) secara baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”
Namun demikian, apabila ketidak harmonisan telah bertumpuk-tumpuk, pertentangan telah memuncak, sehingga sulit diobati, kesabaran hati telah tertutup, hak-hak telah terabaikan, dasar-dasar rumah tangga: ketenangan dan ketentraman hidup, kasih sayang, belas kasih telah hilang lenyap, sehingga kehidupan suami isteri menjadi sedemikian porak poranda dan sudah tidak dapat diperbaiki lagi, syari’at Islam memberikan jalan keluar agar kehidupan rumah tangga tidak semakin hancur lebur. Apabila kebencian itu timbul dari suami, maka untuk mengakhiri ikatan perkawinan itu dilakukan dengan talak yang dimiliki oleh suami. Apabila kebencian itu datang dari pihak isteri, sementara suami masih mencintainya, syari’at Islam membolehkan isteri untuk melepaskan ikatan suami isteri dengan jalan khulu’ yaitu dengan cara isteri mengembalikan apa yang telah diterima dari suami, selama khulu’ itu digunakan untuk kemaslahatan dirinya dan menghindarkan kesewenang-wenangan suami. Kebolehan khulu’ ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: ayat 229:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim".
Ayat di atas merupakan dasar hukum kebolehan khulu’ dan penerimaan 'iwad (imbalan) oleh suami. Pengambilan tebusan oleh suami terhadap isterinya, seperti suami dalam perkawinan telah memberikan perhiasan berharga atau telah membelikan rumah dengan diatasnamakan isteri, dan sebagainya. Dipandang adil apabila isteri mengembalikan sebagian atau seluruh barang-barang tersebut ketika isteri minta diceraikan sementara suami masih mencintainya. Syari’at Islam menitik beratkan kepada asas keadilan dan kemaslahatan, jangan sampai ada kemadaratan dan penipuan. Suami jangan dirugikan oleh isteri yang mencari-cari keuntungan dalam perkawinan, yaitu minta dibelikan barang-barang mahal kemudian ia minta cerai, sehingga suami menderita materiil dan moril, menderita lahir dan batin.
Adapun dasar hukum khulu’ dari hadis, antara lain hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas mengenai isteri Sabit bin Qais bin Syams yang bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah saw. mengadukan perihal hubungan dirinya dengan suaminya. Peristiwa ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً (رواه البخارى)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa isteri Tsabit bin Qais datang menghadap Rasulullah saw, ia berkata, ya Rasulallah, saya tidak tidak mencela akhlak dan agama (Sabit bin Qais), tetapi saya membenci kekufuran (terhadap suami) dalam Islam. Jawab Rasulullah saw. : maukah kamu mengembalikan kebunnya?, jawabnya: mau, maka Rasulullah saw. bersabda: “terimalah kebun itu dan talaqlah ia satu kali”. (H.R. al-Bukhari)
Hadis di atas menjadi dasar dibolehkannya khulu’ antara isteri dan sahnya 'iwad yang diambil suami dari isteri. Tetapi para ulama berbeda pendapat apakah untuk sahnya khulu' disyaratkan isteri harus nusyuz atau tidak.
Ulama Dlahiriyah berpendapat, untuk sahnya khulu’ isteri harus nusyuz, sebagaimana isteri Tsabit bin Qais dalam hadis di atas yang meminta cerai, berarti ia nusyuz, juga berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang menyebutkan:
إِلَّا أَنْ يَخَافَا ألا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ (kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah) dan berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa' ayat 19: إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata).
Asy-Syafi’i, Abu Hanifah dan kebanyakan fuqaha berpendapat, bahwa khulu’ itu sah dilakukan meskipun isteri tidak dalam keadaan nusyuz dan khulu’ sah dengan saling kerelaan dalam keadaan lurus dan 'iwad itu halal bagi suami, berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa' ayat 4:
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya".
C. Ucapan Khulu’
Mengenai ucapan atau lafadl khulu’ para ulama terbagi kepada dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa untuk sahnya khulu’ haruslah diucapkan dengan menggunakan kata khulu’ atau kata yang diambil dari kata khulu’ atau kata lain yang mempunyai arti seperti khulu’, umpamanya mubara’ah (membebaskan) atau fidyah (tebusan). Apabila tidak dengan kata khulu’ atau atau kata yang tidak bermakna khulu’ maka tidak termasuk khulu’, seperti suami berkata: “engkau tertalaq (anti taliqun)” sebagai imbalan barang/uang seharga …., lalu isteri mau menerimanya. Maka perbuatan ini adalah talak dengan imbalan harta. Talaknya jatuh tepai uangnya bukan khulu’.
Ibnul Qayim membantah pendapat di atas, ia mengatakan: barang siapa mau memikirkan hakekat dan tujuan aqad atau perjanjian, bukan hanya melihat kata-kata yang diucapkan saja, tentu akan menganggap khulu’ sebagai fasakh, walaupun diucapkan dengan kata apapun juga, dengan kata talaq sekalipun. Alasannya, bahwa dalam kasus isteri Tsabit bin Qais, Nabi menyuruh Tsabit bin Qais mentalak isterinya secara khulu’ dengan sekali talak dan Nabi menyuruh isteri Tsabit beriddah dengan satu kali haid. Hal ini secara jelas menunjukkan fasakh, sekalipun terjadinya perceraian dengan ucapan talak. Allah juga menghubungkannya dengan fidyah, karena memang ada tebusannya. Sudah maklum bahwa fidyah tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kata khusus dan Allah tidak menetapkan lafadh yang khusus untuk itu.
D. 'Iwad Khulu’
Dalam hadis Tsabit bin Qais, Nabi memerintahkan agar isterinya Tsabit mengembalikan mahar yang berupa kebun kepada suaminya ketika ia minta diceraikan dari suaminya dan kepada Tsabit, Nabi meminta agar menerima pengembalian mahar tersebut. Permasalahannya apakah 'iwad itu dibatasi sebesar mahar atau sesuatu barang yang pernah diberikan suami kepada isterinya dan tidak boleh lebih dari itu ataukah suami boleh meminta lebih dari yang pernah diberikannya.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa suami tidak boleh menerima iwad melebihi dari mahar yang diberikannya. Alasannya karena dalam hadis riwayat ad-Daruqutni dari Abu Zubair disebutkan bahwa Abu Zubair memberikan maskawin kepada isterinya sebidang kebun, kemudian isterinya minta cerai, Nabi memerintahkan kepada isteri Abu Zubair agar mengembalikan kebun (mahar) tersebut, dan isterinya mau bahkan dengan tambahan (نَعَمْ وَزِيَادَةً ), Nabi mengatakan: tambahannya tidak boleh (اَمَّا الزِّيَادَةُ فَلاَ ). Jumhur fuqaha berpendapat bahwa uang khulu’ itu boleh lebih dari mahar atau melebihi dari apa yang pernah diberikan suami kepada isterinya. Mereka berpegangan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229: فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِه .Ayat ini umum meliputi tebusan sedikit atau banyak.
Menurut fuqaha Syafi’iyah, iwad dari isteri itu boleh lebih besar dari mahar yang diterimanya, boleh berupa barang atau manfaat (termasuk jasa), boleh tunai dan boleh dihutang. Segala yang dapat dijadikan mahar dapat pula dijadikan iwad. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229: “fala junaha ‘alaihima fimaftadat bih”
Perbedaan pendapat di atas adalah berkaitan dengan perbedaan mengenai boleh tidaknya mentakhsis al-Qur’an dengan Hadis Ahad. Bagi yang tidak memperbolehkan ayat al-Qur’an ditakhsis dengan hadis ahad, mengatakan “boleh menerima iwad melebihi mahar”. Bagi yang yang memperbolehkan hadis ahad mentakhsis keumuman ayat, mengatakan “iwad tidak boleh melebihi mahar”. Ibnu Rusyd mengatakan: “orang yang menyamakan tebusan dengan iwad dalam muamalah pada umumnya, berpendapat bahwa besarnya iwad itu menurut kerelaan. Orang yang hanya memegangi teks hadis, berpendapat iwad tidak boleh melebihi mahar, sebab dianggap mengambil yang bukan haknya.
Baik yang berpendapat iwad itu tidak boleh melebihi besarnya mahar atau boleh lebih besar dari mahar, kesemuanya sepakat bahwa tidak boleh menyakiti isteri agar ia mau menebus dirinya. Perbuatan demikian diharamkan agar tidak terjadi perceraian dari suami dengan perampasan harta. Dalam surat an-Nisa’ ayat 20 disebutkan:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Artinya: " Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?".
E. Akibat Cerai dengan Khulu
Jumhur ulama, termasuk imam madzhab empat berpendapat bahwa apabila terjadi khulu’, maka isteri menguasai dirinya, ia berhak menentukan nasibnya sendiri, dalam arti suami tidak boleh meruju’nya karena ia telah mengeluarkan uang (sesuatu) untuk melepaskan diri dari suaminya. Sekalipun suami bersedia mengembalikan tebusan isterinya, suami tetap tidak berhak meruju’ isterinya selama iddah. Dalam pada itu Sa’id bin Musayyab dan az-Zuhri (guru imam Malik) berpendapat bahwa suami berhak meruju’ isteri dengan mengembalikan tebusannya selama masa iddah dan ruju’nya harus dipersaksikan. Pendapat jumhur lebih rajih, karena kalau suami berhak meruju isteri, maka tebusan isteri tidak ada artinya sama sekali.
F. Khulu’ itu Talak atau Fasakh
Para fuqaha berbeda pendapat apakah khulu’ itu termasuk talak ataukah fasakh? Jumhur ulama berpendapat baha khulu’ itu termasuk talak ba’in sebagaimana disebutkan dalam hadis: iqbalil hadiiqata wa tatliqhaa tathliiqatan. Dalam hadis ini Nabi menyuruh agar mencerai isteri dengan talak satu.
Sebagian fuqaha, seperti Ahmad bin Hanbal, Dawud ad-Dahiri, dan dari kalangan sahabat, seperti: Usman bin Affan, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, berpendapat bahwa khulu’ itu fasakah bukan talak.
Menurut Ibnul Qayyim, khulu’ itu fasakh, bukan talak. Ada tiga alasan yang menunjukkan bahwa khulu’ itu bukan talak:
Pertama, dalam talak, suami berhak meruju’ isterinya, sementara dalam khulu’ suami tidak boleh meruju’ isterinya
Kedua, kalau suami menjatuhkan talak yang ketiga kalinya ia tidak boleh kembali kepada isterinya, kecuali setelah isteri nikah dengan laki-laki lain. Menurut nas bahwa khulu’ boleh dilakukan setelah talak yang kedua kali dan sesudah itu masih bisa menjatuhklan talak yang ketiga. Dengan demikian khulu’ bukan talak.
Ketiga, iddah talak ialah tiga kali quru’, sementara iddah khulu’ adalah satu kali haid.
Perbedaan pendapat di atas berpengaruh terhadap jumlah talak yang dimiliki suami. Bagi yang berpendapat bahwa khulu’ termasuk talak, ia akan mengurangi jumlah talak, sedangkan bagi yang tidak memasukkan sebagai talak, kalau suami mengkhulu’ isteri, maka tidak mengurangi jumlah talak yang dimilikinya.
G. Iddah Isteri yang Dikhulu’
Dalam hadis riwayat an-Nasa'i dari Muawidz bin 'Afra' mengenai khulu'nya isteri Tsabit bin Qais disebutkan, Nabi berkata kepada Tsabit bin Qais:
خُذْ الَّذِي لَهَا عَلَيْكَ وَخَلِّ سَبِيلَهَا قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَتَرَبَّصَ
حَيْضَةً وَاحِدَةً فَتَلْحَقَ بِأَهْلِهَا (رواه النسائى)
Artinya: “Ambillah miliknya untukmu dan mudahkanlah urusannya. Tsabit menjawab: ya. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan isteri Tsabit beriddah satu kali haid dan dikembalikan kepada keluarganya".
Menurut hadis di atas bahwa iddahnya isteri yang dikhulu’ itu hanya satu kali haid. Demikianlah pendapat Usman bin Affan, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih (guru imam al-Bukhari), Ibnu Taimiyah. Dalam pada itu menurut jumhur ulama berpendapat bahwa iddahnya isteri yang dikhulu’ ialah tiga kali quru’ kalau mereka masih haid.
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam talaq biasa iddah itu tiga kali quru’ adalah untuk memperpanjang masa ruju’, agar suami bisa berpikir panjang untuk dapat meruju’ isterinya dalam masa iddah. Sedangkan dalam khulu’ ruju itu tidak ada, maka iddahnya hanya satu kali haid, dimaksudkan hanya untuk membersihkan kandungan saja.
Loading...
0 Response to "KHULU' (الخلع)"
Post a Comment