TASHAWWUF DI ANTARA MUHADDITSÛN DAN FUQAHÂ


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, apabila dilihat dari sisi pembagian dan rincian pembahasan macam-macam tashawwuf, nampaknya para ulama yang lebih mengedepankan syari’ah (kalangan muhadditsûn dan fuqahâ) tidak begitu mempersoalkan lebih dalam mengenai tashawwuf  sunni dan tashawwuf salafi yang dianggapnya selaras dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Justru ketegangan terjadi, ketika faham agama (masalah ushuluddin dan syari’ah) mendapatkan penafsiran dan pentakwilan yang lebih jauh oleh kalangan tashawwuf falsafi dan tashawwuf ‘amali yang dinilai berlebihan (ghuluw) oleh para ulama hadits dan ulama fiqih.

Menurut Wahiduddin Khan, kalangan tashawwuf memiliki metodologi yang khas dalam menyikapi ajaran agamanya. Mereka menganggap metodologi ini merupakan metodologi yang efektif dalam mencapai hidayah dan keselamatan, yaitu: Pertama, lebih menekankan aspek hitungan (kuantitas) di dalam menempuh ibadah-ibadah sunnah.  Kedua, lebih menekankan aspek variasi dalam melaksanakan ibadah sunnah tersebut (Lihat Wahiduddin Khan, Kritik Terhadap Ilmu Fiqih, Tashawwuf dan Ilmu Kalam, hal. 42)

Berikutnya, akan dipaparkan beberapa contoh yang menjadikan sumber ketegangan dalam memahami agama antara keduanya.
  • Dalam hal keyakinan (Aqîdah), meyakini adanya peleburan atau senyawa dengan Tuhan (hulul) dan penyatuan diri manusia dengan Tuhan (ittihad) yang melahirkan wihdatul wujûd, sehingga keluarlah pernyataan: “Dia adalah aku, dan aku adalah Dia.” Hussein al-Hallâj mengatakan: “Tidak ada sesuatu apapun dalam jubah ini kecuali Allah.” Menurut mereka juga, mendengarkan musik dan berdansa merupakan sarana komunikasi dengan Allah, bahkan homosex (liwath) merupakan alat pendekatan diri kepada Allah, sehingga mereka mengatakan: “Aku melihat Tuhanku dalam bentuk anak muda yang rupawan”. (Wahiduddin, hal.41)
Keyakinan lain adalah hidupnya ruh orang yang mati ke dunia, seperti halnya pengikut al-Hallâj yang melihat wujud dirinya yang nyata (padahal dia sudah dibunuh), demikian pula Syeikh ad-Dasuqi di Mesir yang setelah matinya dia berkunjung kepada sahabat-sahabatnya. Demikian pula yang terjadi pada kaum Rafidhah yang meyakini Sayyidina Ali masih hidup atau Muhammad bin Al-Hanafiyyah (salah satu imam syi’ah Rafidhah). Tidak terkecuali orang yang mengakui didatangi Nabi Khidir, padahal Khidir sudah tidak ada. (Lihat Ibnu Taimiyyah, Membedah Firqah-Firqah Sesat, hal. 127-129)

·         Dalam hal syari’ah atau ibadah, mereka membatasi ibadah hanya pada kecintaan semata (mahabbah), lebih banyak mengembalikan semua urusan agama kepada perasaan dan petunjuk para syeikh (mursyid, murabbi) mereka dalam wujud tarekat, dzikir dan wirid, tidak adanya taklif (pembebanan syara’) kepada para wali, dikarenakan tingkatan maqamnya, yang apabila menyibukkan diri dengan kewajiban-kewajiban itu akan membuat tidak terpeliharanya batin. (Lihat Shalih Fauzan dalam Haqiqatus Shufiyyah (terj.), hal 29-32, Lihat pula Al-Mausu’at al Muyassarah fil Adyân wal Madzâhib al Mu’âshirah tentang kelancangan-kelancangan Shufisme).

·         Dalam hal mu’amalah, salah satunya dalam menyikapi pernikahan, mereka menilai bahwa nikah merupakan perbuatan sia-sia dan tak berguna, mereka melihat kelezatan syahwat harus dijauhi. As-Siraj at-Thusy menceritakan, ada seorang shûfi yang menikahi seorang wanita dan tinggal bersamanya 30 tahun tetap dalam keadaan perawan, demikian pula tentang seorang shûfi yang menikahi seorang putri syeikhnya, selama 18 tahun tinggal bersama, namun selama itu pula tidak pernah mendekatinya karena merasa malu terhadap ayahnya dan akhirnya meninggal, sedangkan wanita itu masih perawan. (Ahmad bin Abdul Aziz al-Hushain, Abdullah Mushthafa Numsuk dalam Tashawwuf Ajaran Budha, hal. 196-197).

Bahkan Fariduddin al-Attar dalam Tazkirah al-Auliya’ menyebutkan ada seorang shufi memiliki istri 400 orang, namun tidak seorangpun disentuhnya.Kalaulah diperhatikan, sungguh kelewatan faham mereka.Bukankah Rasulullah Sallallâhu ‘alaihi wasallam, adalah orang yang paling bertakwa diantara manusia, beliau shalat dan beliaupun istirahat, beliau shaum dan beliaupun berbuka, bahkan rasullullah Sallallâhu ‘alaihi wasallam pun menikahi para wanita. (sebagaimana hadits Bukhari dan Muslim dari Anas ra.)

Dalam kesempatan lain, sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah ra, Rasulullah Sallallâhu ‘alaihi wasallam menegaskan : “Sesungguhnya rahbaniyyah (perilaku kerahiban) tidak diwajibkan atas kita” (HR. Al Bukhari 3/354 dan Muslim 2/120).

·         Dalam menjadikan Al Qur’an dan Hadits nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallamsebagai sumber, mereka memahami bahwa Al-Qur’an mengandung makna lahir dan makna bathin, dan yang hakiki adalah makna bathin”. Apabila kaum kebathinan ini ditanya : Apakah kamu tidak shalat? Ia menjawab:kalian lakukan apa yang ada pada kalian dan kami melakukan apa yang ada pada kami”. Mereka berkeyakinan pembebanan masalah ibadah itu khusus bagi orang awam dan tidak berlaku untuk kaum khawash (elite agama). (Wahiduddin, hal. 41).

Adapun mengenai hadits nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam, mereka meruntuhkan sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits munkar, dhaif  dan maudhu’ lewat cara kasyaf. Abu Yazid al-Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang sudah mati, sedangkan kami mengambil ilmu dari Allah Yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang-orang seperti kami berkata: “Hatiku telah  menceritakan kepadaku dari  Rabbku”. Sedangkan kalian mengatakan “Fulan telah menceritakan kepadaku.” Si fulan dari si fulan (semuanya sudah mati). Al-Junaid berkata: “Saya anjurkan kepada para pemula agar tidak menyibukkan hatinya dengan tiga perkara, jika mereka langgar maka keadaan mereka akan berubah total, ketiga perkara itu adalah: mencari nafkah, menuntut ilmu hadits dan menikah. Saya anjurkan kepada kaum shûfi supaya tidak membaca dan tidak menulis karena dengan begitu ialebih bisa memusatkan hatinya.

Ibnu ‘Arabi berkata: ulama syari’at mengambil ilmu dari generasi terdahulu sampai hari kiamat, semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihunjamkan ke dalam dada mereka.

As-Syibli berkata dalam sya’irnya:
Jika mereka memintaku menunjukkan ilmu waraq (ilmu syar’i)
Maka akan kutunjukkan ilmu khiraq (ilmu ladunni)

As-Syar’ani berkata: ‘Meskipun hadits ini dipermasalahkan keshahihannya oleh ahli hadits, namun jelas keshahihannya bagi ahli kasyaf.’ (Pendapat-pendapat ini dapat dibaca dalam kitab Al-Jamâ’at al-Islâmiyyah fî Dhauil Kitâb was Sunnah bi Fahmi Salafil Ummah karya Salim bin Ied al-Hilâly).

Dengan demikian, tashawwuf dengan segala ajarannya  mendapatkan sorotan tajam para ulama ahli hadits dan fuqaha. Disamping banyak menodai aqidah dan syari’ah, juga ditinjau dari sisi lain dapat melenyapkan peradaban yang dibangun akal sehat.

Sejak awal, respons telah diperlihatkan para ulama, sehingga ketegangan  pun nampak jelas terlihat dan terukir dalam sejarah. Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M.) bangkit memerangi seluruh aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, berikutnya diikuti oleh murid-muridnya seperti Ibnu Qayyim (1292-1350 M.), Ibnu Katsir (w. 774 H.), ad-Dzahabi dan Ibnu Abdil Hadi. Abad ke-12 H., dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab. Diantara kitab-kitab yang populer menghadapi kaum tashawwuf atau meluruskannya, diantaranya adalah: Al-Istiqômah, As-Shûfiyyah wal Fuqarâ, Al-Furqân baina Auliyâir Rahman wa Auliyâis Syaithân, Al-Furqân bainal Haq wal Bâthil, Iqtidhâ as-Shirâthil Mustaqîm,At-Tawassul, Auliyâullâh ‘Uqalâ Laisû Majânin, semuanya merupakan karya Ibnu Taimiyyah. Bahkan secara khusus DR. Musthafa Muhammad Hilmi menuliskan dalam bukunya IbnuTaimiyyah wat Tashawwuf. Kemudian kitab Madârijus Sâlikin, Raudhatul Muhibbin oleh Ibnu Qayyim dan Talbis Iblis olehIbnul Jauzi dan lain-lain. Adapun buku-buku barunya, diantaranya: At-Tashawwuf wal Mutashawwifah fî Muwâjahatil Islâm karya Abdul Karim al-Khatib, At-Tashawwuf fî Mizânil Bahtsi wat Tahqîq war Râd ‘ala Ibni ‘Arabi As-Shûfi fî Dhauil Kitâb was Sunnah dan Fadhâihus Shûfiyyah karya DR. Abdurrahman Abdul Khâliq (Ulama Kuwait), At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashâdir dan Dirâsât fit Tashawwuf karya Prof. DR. Ihsan Ilahi Zahir (Ulama Pakistan).

Loading...

0 Response to "TASHAWWUF DI ANTARA MUHADDITSÛN DAN FUQAHÂ"

Post a Comment