Tafriq dengan Keputusan Hakim
Hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak isteri dan memelihara isteri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya isteri dan menimbulkan kemadlaratan terhadapnya. Suami dilarang menyengsarakan kehidupan isteri dan menyia-nyiakan haknya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 231: fa amsikuu hunna bi ma’ruufin ….
Hukum Islam tidak menghendaki adanya kemadlaratan dan melarang saling menimbulkan kemadlaratan. Rasulullah saw bersabda: “laa dlarara wala dlirara”. Selanjutnya menurut qaidah hukum, bahwa setiap kemadlaratan harus dihilangkan: “adl-dlararu yuzaalu”.
Berdasarkan firman Allah, hadis dan qaidah hukum tersebut para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami isteri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemadlaratan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita madlarat dapat mengambil prakarsa untuk memutuskan perkawinan dengan mengadukannya kepada Hakim, kemudian hakim mentafriqkan atau menceraikan perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut.
Dimaksudkan dengan tafriq ialah keputusan Hakim yang berisi menetapkan perceraian antara suami isteri karena sesuatu sebab yang terjadi akibat krisis hubungan suami isteri, sedangkan keadaan keduanya tidak mampu menyelesaikan secara intern, dan krisis itu sedemikian rupa sehingga bila keadaan itu dibiarkan terus menerus menimbulkan madlarat yang mengganggu ketertiban rumah tangga suami isteri itu.
Beberapa bentuk perceraian (tafriq) yang ditetapkan dengan keputusan hakim ialah:
a. Tafriq karena tidak adanya nafkah bagi isteri
Imam Malik, imam asy-Syafi’i, dan imam Ahmad berpendapat dibolehkannya Hakim menetapkan tafriq dengan keputusannya dikarenakan suami tidak memberi nafkah kepada isterinya, sedangkan suami tidak mempunyai harta yang dhahir (seperti beras, ternak, dll.) dan suami tidak mau menceraikan isterinya
b. Tafriq karena adanya cacad atau penyakit berbahaya.
Jika terjadi cacad atau penyakit pada salah satu pihak baik suami atau isteri sedemikian rupa sehingga mengganggu kelestarian hubungan suami isteri sebagaimana mestinya, atau menimbulkan penderitaan batin pihak yang satunya, atau membahayakan hidupnya, atau mengancam jiwanya, maka yang bersangkutan berhak mengadukan halnya kepada hakim, kemudian Hakim mentafriqkan perkawinan mereka.
Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf membolehkan Hakim mentafriqkan perkawinan atas permintaan isteri karena suami menderita cacat kelamin. Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Muhammad membolehkan tafriq karena adanya cacat kelamin atau penyakit berbahaya.
c. Tafriq karena penderitaan yang menimpa isteri.
Isteri yang menderita fisik atau batin karena tingkah laku suaminya semisal suami menyakiti badan isteri dan menyengsarakannya, suami pergi menghilang tidak diketahui keadaannya, suami ditawan, suami dipenjara, dan lain sebagainya, sehingga isteri menderita lahir maupun batin, maka isteri bisa mengajukan persoalannya kepada Hakim, kemudian Hakim mentafriqkan perkawinannya
d. Tafriq karena syiqaq
Loading...
0 Response to "PERCERAIAN DENGAN KEPUTUSAN HAKIM"
Post a Comment