HUKUM TAKLIFI

Seruan Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik yang berkaitan dengan tuntutan (iqtidhâ') maupun pilihan (takhyîr) adalah seruan yang menjelaskan hukum-hukum perbuatan manusia, dan itulah yang disebut dengan khithâb at-taklîf. Sebelum menjelaskan tuntutan (iqtidhâ') dan pilihan (takhyîr), karena keduanya merupakan bentuk perintah (al-amr), maka makna asal perintah (al-amr) tersebut harus dijelaskan. Disamping itu, karena keduanya juga berkaitan dengan perbuatan manusia, sementara perbuatan juga akan selalu terkait dengan benda, maka ketentuan dasar mengenai perbuatan dan benda tersebut juga harus diterangkan.

Mengenai makna asal perintah (al-amr), kalangan ulama' ushul fiqih telah berbeda pendapat; ada yang mengatakan wajib, sunah dan mubah. Masing-masing kemudian mendukung pandangannya dengan dalil-dalil tertentu. Namun yang jelas, bahwa makna asal perintah (al-amr) harus dikembalikan kepada ketentuan bahasa, sebab syariat tidak pernah memberikan batasan dan deskripsi kepadanya, sehingga untuk memahami maknanya harus terikat dengan apa yang dikemukakan oleh bahasa. Perintah (al-amr), sebagaimana yang digunakan dalam bahasa Arab, makna dasarnya adalah tuntutan (at-thalab). Indikator (qarînah)-lah yang menjelaskan ragam perintah (al-amr) tersebut, baik tegas (jazm), tidak tegas (ghayr jazm) atau pilihan (takhyîr).

Sementara hukum asal perbuatan manusia (ashl hukm al-fi'l) adalah terikat dengan hukum syara'. Sebab, bagi kaum Muslim standar perbuatannya adalah perintah dan larangan Allah. Allah mewajibkan setiap Muslim untuk mengkaji setiap amal yang dilakukannya, dan mengetahui hukum syara' tentang perbuatan yang hendak dilakukannya. Sebab, Allah SWT. akan meminta pertanggungjawabannya. Allah berfirman:

} فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ~ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ {

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu (QS. al-Hijr [15]: 92-93).

} وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ {

Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al- Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. (QS. Yûnus [10]: 61).

Konotasi frasa: Kunnâ 'alaykum syuhûd[an] adalah Allah akan menghitung dan meminta pertanggungjawaban seluruh perbuatan mereka.

Rasulullah saw. juga telah menjelaskan kewajiban setiap perbuatan untuk terikat dengan hukum Allah. Sabda beliau:

« مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ »

Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang tidak ada (tuntunan) darinya, maka pasti tertolak (HR. Bukhâri dan Muslim).

Disamping itu, Rasulullah saw. sering ditanya tentang hukum perbuatan tertentu, beliau selalu menunggu datangnya wahyu, dan tidak pernah langsung menjelaskan apa yang belum dijelaskan oleh wahyu. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara', dan karenanya setiap Muslim wajib mengetahui hukum syara' mengenai setiap perbuatannya sebelum melakukannya, baik wajib, haram, sunah, makruh maupun mubah, seperti yang akan dijelaskan kemudian.[1]
Sementara hukum asal benda (ashl hukm al-asyyâ') berbeda dengan hukum perbuatan. Benda (al-asyyâ') adalah sesuatu yang digunakan oleh manusia untuk melakukan perbuatan, sedangkan perbuatan (al-af'âl) adalah apa yang dilakukan oleh manusia, seperti tasharruf (aktivitas timbal-balik) lisan maupun perbuatan, dalam rangka memenuhi kebutuhanya. Benda (al-asyyâ') harus mempunyai hukum, sebagaimana perbuatan. Hanya saja, nash-nash syara' yang menjelaskan hukum benda (al-asyyâ') berbeda dengan hukum perbuatan (al-af'âl). Siapa saja yang menganalisis nash-nash syara' yang berkaitan dengan benda (al-asyyâ'), akan melihat bahwa syara' hanya memberikan sifat halal dan haram kepada benda (al-asyyâ'), dan tidak memberikan hukum wajib, haram, sunah dan makruh.[2] Dari sini, bisa disimpulkan bahwa hukum asal benda adalah mubah (halal), selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
 Adapun dalam konteks khithâb yang berkaitan dengan tuntutan (iqtidhâ') dan pilihan (takhyîr), atau yang disebut dengan seruan taklîf, maka hukum syara' bisa diklafisikasikan menjadi lima:

1) Wajib atau Fardhu
Wajib dan fardhu adalah dua istilah dengan konotasi yang sama. Keduanya adalah bentuk sinonim (mutarâdif). Sementara apa yang dikatakan oleh sebagian mujtahid, di antaranya para pengikut mazhab Hanafi, bahwa fardhu adalah apa yang ditetapkan dengan dalil qath'î sedangkan wajib adalah apa yang ditetapkan dengan dalil zhannî,[3] sebenarnya secara syar'i dan kebahasaan, tidak ada bukti yang bisa menunjukkan perbedaan antarkeduanya.
Kenyataan yang sebenarnya adalah, bahwa wajib atau fardhu adalah apa yang dituntut oleh Allah secara tegas, baik yang ditetapkan berdasarkan dalil qath'î maupun dhannî. Sedangkan menurut Jumhur, wajib atau fardhu adalah apa yang dituntut oleh Allah untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, juga apa yang pelakunya akan diganjar dan dipuji, dan demikian sebalinya.[4] Contohnya, seperti kewajiban jihad. Dalil kasus tersebut adalah:

} قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ {

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. at-Taubah [9]: 29).

Ayat ini memerintahkan jihad dengan lafadz: Qâtilû (perangilah). Perintah tersebut hukumnya wajib, karena ada indikator yang memastikan kewajibannya, yaitu: Illâ tanfirû yu'adzdzibkum 'adzâb[an] alîm[an] (jika tidak berangkat, maka kalian akan diazab dengan adzab yang sangat pedih) (QS. 9: 39).

Wajib dan fardhu ini bisa diklasifikasikan berdasarkan beberapa aspek yang berbeda; ada yang berkaitan dengan pelaksanaannya, ukuran dan ketentuannya, ketertentuan dan ketidaktertentuannya, serta berkaitan dengan apa yang dibebankannya, sebagai berikut:

1.      Dari aspek pelaksanaannya, hukum wajib dan fardhu tersebut bisa dibedakan menjadi:
1) Muthlaq (tidak terikat), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa harus terikat dengan waktu tertentu, seperti mengganti puasa Ramadhan bagi orang yang tidak berpuasa karena udzur yang  dibenarkan oleh syariat, baik karena sakit maupun bepergian. Orang tersebut bisa mengganti kapan saja, sesukanya, tanpa harus terikat dengan tahun tertentu. Contoh lain, seperti kafarat dan nadzar secara mutlak, misalnya, bisa dibayar langsung atau ditangguhkan pada waktu yang dikehendakinya.
2) Muqayyad (terikat), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, sementara waktunya ditentukan. Misalnya, shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan ibadah haji. Pelaksanaan ibadah tersebut masing-masing terikat dengan waktu, sehingga seorang mukallaf yang terkena kewajiban tersebut akan berdosa jika mengerjakannya di luar waktunya.
(1) Muwassa' (longgar), yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya longgar. Contohnya, shalat Isya', bisa dikerjakan di awal maupun di pertengahan malam.
(2) Mudhayyaq (sempit), yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya sempir, tidak bisa dipilih antara awal atau pertengahan. Misalnya, puasa Ramadhan, waktunya tetap mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Waktunya tidak bisa digeser.
2.      Dari aspek keterukurannya, wajib dan fardhu tersebut bisa diklasifikasikan menjadi:
1)      Muhaddad al-Miqdâr (dengan ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai dengan kadar tertentu, seperti membayat zakat, diyat dan jumlah rakaat shalat fardhu. Maka, seorang mukallaf tidak akan terbebas dari kewajiban tersebut kecuali dengan menunaikannya berdasarkan bentuk dan ukuran yang telah ditetapkan oleh pembuat syariat.
2)      Ghayr Muhaddat al-Miqdâr (dengan tanpa ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa disertai kadar tertentu, seperti membelanjakan harta di jalan Allah, nafkah wajib kepada isteri dan anak. Dalam hal ini, syariat telah menyerahkan ukurannya kepada kemampuan seorang mukallaf, dan sesuai dengan ukuran kelayakan di tengah masyarakat.
3.      Dari aspek substansi (ayniyyah)-nya, wajib dan fardhu tersebut bisa diklasifikasikan menjadi:
1)      Mu'ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar ayn (substansi)-nya dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa disertai pilihan yang bisa dipilih oleh seorang mukallaf, seperti shalat; shalat tidak akan gugur dari seorang mukallaf, kecuali zatnya dilaksanakan. Maka, membaca al-Qur'an atau berpuasa tidak akan bisa menggugurkan kewajiban tersebut.
2)      Ghayr Mu'ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai pilihan bagi seorang mukallaf untuk menentukan mana substansi kewajiban yang dikerjakannya. Misalnya, kafarat untuk sumpah, bagi orang yang wajib membayar kafarat, bisa memilih antara memberi makan 10 orang miskin, atau pakaian mereka, atau memerdekakan budak. Ini bagi yang mampu, sedangkan bagi yang tidak mampu, bisa melakukan puasa 3 hari.
4.      Dari aspek subyek yang terkena tanggung jawab, wajib dan fardhu tersebut bisa diklasifikasikan menjadi:
1)      'Ayn (perkepala), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh setiap mukallaf dengan tuntutan yang tegas, karena itu apa yang dilakukan oleh seseorang tidak bisa menggugurkan kewajiban orang lain. Contohnya seperti shalat, puasa Ramadhan, menunaikan janji, zakat dan sebagainya.
2)      Kifâyah (kolektif), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh sejumlah orang mukallaf dengan tuntutan yang tegas; jika telah dikerjakan oleh sebagian, maka kewajiban tersebut gugur dari pundak yang lain, dan mereka sudah tidak berdosa. Kecuali jika kewajiban tersebut belum berhasil direalisasikan, maka dosanya akan menimpa semua orang mukallaf. Contohnya jihad, mengemban dakwah Islam untuk mendirikan Khilafah Islam, mendirikan industri berat dan sains yang dibutuhkan oleh ummat, serta menyiapkan kekuatan yang dibutuhkan untuk menakut-nakuti musuh.  
5. Dari aspek substantifnya, wajib dan fardhu tersebut juga bisa diklasifikasikan menjadi:
1)      Wajib Lidzâtihi (substansial), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, karena substansinya. Misalnya shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain.  
2)      Wajib Lighayrihi (aksidental), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor eksternal, ketika ia menjadi sarana yang bisa menyempurnakan kewajiban substantif. Misalnya firman Allah:

} فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ {
Maka basuhlah wajah kamu dan kedua tangan kamu hingga ke siku-siku (QS. al-Mâidah [5]: 6).

Lafadz: Ilâ al-marâfiq (hingga ke siku-siku) mempunyai kontasi terbalik (mafhûm mukhâlafah), bahwa kurang dari siku-siku hukumnya tidak sah, berarti minimal sampai siku-siku. Tetapi karena itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan membasuh lebih dari batas siku-siku, sehingga sikunya terkena basuhan, maka hukum membasuh "lebih dari batas siku-siku" tersebut menjadi wajib. Dalam konteks ini, berlakulah hukum kullî berikut ini:

« مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ »
Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tadi menjadi wajib.[5]  

2) Sunnah atau Mandûb
Mandûb secara etimologis berasal dari lafadz an-nadb yang berarti ad-du'â' ilâ amr muhimm (ajakan pada urusan yang penting). Menurut istilah syara', mandûb adalah apa yang dituntut oleh pembuat syariat untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak tegas. Ada yang mengatakan, apa yang pelakunya akan diganjar jika melakukan, dan tidak akan disiksa jika meninggalkannya. Dalam kasus ini bisa dicontohkan dengan hadits Nabi saw.:

« لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ »
Jika seandainya saya tidak akan memberatkan ummatku, niscaya akan saya perintahkan mereka untuk bersiwak (gosok gigi) (HR. Bukhâri dari Abû Hurayrah)

Pernyataan Nabi saw. yang menyatakan: Lawlâ an asyuqqa 'alâ (jika seandainya saya tidak akan memberatkan) merupakan indikator (qarînah) yang menunjukkan bahwa hukum syiwâk (gosok gigi) ketika akan melakukan shalat adalah sunnah (mandûb). Sebab, jika wajib, Rasulullah tidak akan mengatakan: Lawlâ an asyuqqa 'alâ (jika seandainya saya tidak akan memberatkan), karena berat atau tidak harus dilaksanakan. Bandingkan dengan firman Allah ketika mewajibkan perang:

} انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ {
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. (QS. at-Taubah [9]: 41)

Frasa: Infirû khifâfa wa tsiqâla (berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat) adalah indikator, bahwa perintah tersebut hukumnya wajib.
Mandûb kadangkala disebut Nâfilah, seperti shalat tahajud sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur'an surat al-Isrâ' [17]: 79. Kadangkala disebut Sunnah, seperti sunnah shalat Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya'. Sunnah ini kadang-kadang bersifat Muakkad (yang dikuatkan), seperti sunnah shalat Subuh dan Id, baik Idul Fitri maupun Adhha. Ada yang tidak Muakkad, seperti sunnah shalat Ashar. Kadangkala disebut Mustahabb (yang disukai) dan kadangkala Tathawwu'. Disebut Mandûb karena pembuat syariat telah menyeru orang-orang mukallaf untuk mengerjakannya, dan disebut Nâfilah karena aktivitas tersebut merupakan tambahan dari fardhu atau kewajiban yang dibebankan kepada ummat. Sementara dikatakan Mustahabb karena pembuat syariat menyukai dan mengutamakannya. Adapun dikatakan Tathawwu' adalah karena pelakunya melakukannya sebagai tabarru' (aktivitas suka rela), tanpa paksaan. Namun, keempat-empatnya sama.[6]
Hukum ini memang jika dikerjakan, pelakunya akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapat apa-apa, namun adakalanya tidak baik jika ditinggalkan oleh ummat, seperti sunnah menikah. Karena jika ditinggalkan, ummat akan mengalami degenerasi, alias tidak mempunyai penerus.

3) Haram
Secara etimologis, Haram diambil dari al-hurmah, yang berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar.[7] Haram dan Mahzhûr adalah dua istilah untuk konotasi yang sama. Keduanya merupakan sinonim (mutarâdif). Menurut syara' adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana pelakunya akan dikecam, dikenai sanksi ketika di dunia dan adzab ketika di akhirat. Menurut mazhab Hanafi, istilah haram hanya digunakan untuk larangan yang tegas disertai dalil qath'î, namun jika tidak disertai dalil qath'î, mereka sebut dengan Makrûh tahrîm.[8] Meskipun sebenarnya, dua-duanya maksudnya sama. Contohnya seperti firman Allah:

} وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً {
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. al-Isrâ' [17]: 32).

Juga firman-Nya:

} الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ {
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat (QS. an-Nûr [24]: 2).

Larangan Allah: Walâ taqrabû az-zinâ (janganlah kamu mendekati zina) adalah tuntutan untuk meninggalkan zina dengan tuntutan yang tegas, atau haram. Sebab, ada indikator yang berupa celaan (dzamm), yaitu lafadz: fâkhisyah (keji) dan sâ'a sabîla (jalan yang buruk) (QS. al-Isrâ' [17]: 32), kemudian disertai dengan sanksi di dunia bagi pelakunya: Fajlidû kulla wâhid[in] minhumâ miata jaldah (cambuklah masing-masing di antara mereka seratus kali) (QS. an-Nûr [24]: 2).
Haram, Hazhar atau Makrûh Tahrîm ini bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu haram substantial (lidzâtihi) dan haram aksidental (lighayrihi):
1.      Haram Lidzâtihi (substansial) adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, karena substansinya. Misalnya zina, riba, membunuh dan suap.   
2.      Haram Lighayrihi (aksidental) adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor eksternal. Misalnya menghina tuhan-tuhan para penganut agama lain, hukum asalnya dibolehkan, bahkan bisa jadi wajib. Namun, Allah melarangnya karena bisa menyebabkan mereka menghina Allah. Allah berfirman:

} وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ {
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS. al-An'âm [6]: 108).

Dari nash inilah, hukum syara' kullî berikut ini digali:

« اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ »
Sarana yang menyebabkan keharaman, hukumnya diharamkan.[9]

Contoh lain adalah berperang melawan orang kafir adalah wajib, tetapi jika peperangan tersebut di bawah seorang pemimpin yang fasik, dan peperangan tersebut merupakan skenarion atau konspirasi untuk menghancurkan Islam, ummat dan harta benda mereka, maka hukumnya menjadi haram.[10]

4) Makruh
Secara etimologis, Makrûh berarti sesuatu yang dibenci. Menurut syara', Makrûh adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak tegas, dimana pelakunya tidak akan disiksa, sementara meninggalkannya lebih baik, terpuji dan akan diganjar oleh Allah SWT. Contoh sabda Rasulullah:

« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ r وَسَلَّمَ عَنِ التَّبَتُّلِ »
Rasulullah saw. telah melarang tindakan membujang (HR. ad-Dârimi dari Aisyah).

Namun, larangan tersebut tidak tegas, karena ketika mengetahui sebagian sahabat yang mampu menikah (al-mûsir) tetapi tidak melakukannya, beliau diam. Maka, diamnya Nabi terhadap para sahabat yang "melanggar" larangannya ini membuktikan, bahwa larangan tersebut tidak tegas, atau haram, melainkan makrûh.[11]
Mengenai istilah Makrûh Tahrîm atau Tanzîh istilah yang mula-mula dikembangkan di kalangan mazhab Hanafi, merujuk pada pernyataan Abû Hanîfah. Yang pertama, sebagaimana yang diterangkan di atas, identik dengan haram, sedangkan yang kedua adalah makruh, sebagaimana umumnya. Namun, menurut mazhab Hanafi, yang pertama berlaku dalam kasus larangan yang jika dikerjakan, pelakunya akan dikenai sanksi di dunia atau adzab di akhirat, sedangkan yang kedua tidak.[12] 

5) Mubah
Mubah, secara etimologis, berarti menampilkan sesuatu, melepaskan, dan izin.[13] Sedangkan secara syar'i, mubah adalah khithâb pembuat syariat yang ditunjukkan oleh dalil sam'î yang di dalamnya berisi pilihan antara melaksanakan dan meninggalkan tanpa disertai badal (kompensasi).[14] Contohnya seperti firman Allah:

} كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ {
Makan dan minumlah dari rizki Allah (QS. al-Baqarah [2]: 60).

Perintah makan dan minum dalam ayat tersebut bisa dipilih, antara dikerjakan dan ditinggalkan, tanpa ada kompensasi pahala, dosa, atau sanksi bagi yang meninggalkannya.




[1] Athâ' bin Khalîl, Taysîr, hal. 13-15.
[2] Lihat, QS. Yûnus: 59; an-Naml: 116; an-Nahl: 115; al-An'âm: 146; al-A'râf: 157; at-Tahrîm: 1; al-A'râf: 32; al-Mâidah: 3; Luqmân: 20; al-Hajj: 37; al-Baqarah: 168.
[3] As-Sarakhsî, Ushul al-Sarakhsî, Dâr al-Ma'rifah, Beirut, t.t., juz I, hal. 110-111; an-Nashafi, Kasyf al-Asrâr Syarh al-Manâr, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, juz II, 300-303; Ibn 'Abidîn, Hâsyiyah Ibn 'Abidîn, Maktabah Dâr al-Bâz, Makkah al-Mukarramah, cet. I, 1994, juz I, hal. 207.   
[4] Tâjuddîn As-Subki, Jam' 'al-Jawâmi',  juz I, hal. 79-80.
[5] Al-Ghazâli, al-Mustashfâ, hal. 57; Al-Amidi, al-Ihkâm, juz I, hal. 110-111. Mengenai kaidah di atas, secara lebih jelas insya Allah akan dikemukakan dalam pembahasan hukum kullî.
[6]  Ibn 'Abidîn, Hâsyiyah Ibn 'Abidîn, juz I, hal. 246.
[7] Ibn Badrân, al-Madkhal ilâ Mazhhâb al-Imâm Ahmad bin Hanbal, ed. Abdullâh at-Turki, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, hal. 164.
[8] Ibn al-Humâm,  at-Tahrîr, Musthafâ al-Bâb al-Halabi, Kaero, t.t., hal. 217.
[9] Al-Qurâfi, al-Furûq, juz II, hal. 33. Lihat, Haykal, al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar'iyyah, Dâr al-Bayâriq, Beirut, cet. II, 1996, juz I, hal. 267-268; An-Nabhâni, Muqaddimah ad-Dustûr wa Asbâb al-Mûjibah Lahu, Mansyûrât Hizbut Tahrîr, 1963, hal. 86-87.
[10]  Haykal,  al-Jihâd, juz I, hal. 267-268.
[11] Muhammad Ismâ'îl, al-Fikr al-Islâmi, Maktabah al-Wa'y, Beirut, 1958, hal. 29.
[12] Muhammad al-Muhalawi, Tashîl al-Wushûl Ilâ Ilm al-Ushûl, Musthafâ al-Bâbi al-Halabî, Kaero, hal. 250.
[13] Hâfidh,  Taysîr, hal. 168.
[14] Al-Amidi, al-Ihkâm, juz I, hal. 123.
Loading...

0 Response to "HUKUM TAKLIFI"

Post a Comment