HUKUM WADH'I

Seruan pembuat syariat (khithâb as-syâri') yang menjelaskan berbagai perkara yang dituntut oleh hukum perbuatan manusia itulah yang disebut dengan Khithâb al-Wadh', dimana hukum yang lahir dari seruan ini disebut hukum Wadh'î, atau juga bisa disebut hukum bagi hukum perbuatan (hukm al-hukm lil-fi'l). Hukum tersebut meliputi:

1) Sebab
As-Sabab adalah setiap sifat dhahir yang mengikat (mundhabit), yang ditunjukkan oleh dalil sam'î bahwa ia merupakan pemberi informasi mengenai keberadaan hukum, bukan mengenai pensyariatannya. Contoh tergelincirnya matahari sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah:

} أقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ {
Dirikanlah shalat karena matahari telah tergelincir (QS. al-Isrâ' [17]: 78).

adalah hukum Sabab yang memberitahukan adanya hukum shalat Zhuhur. Artinya, jika waktu tersebut ada, berarti hukum wajibnya shalat Zhuhur tadi berlaku. Ayat ini tidak ada relevansinya dengan substansi persyariatan hukum wajibnya shalat. Karena substansi hukum wajibnya shalat tadi telah dijelaskan dengan nash lain, seperti surat an-Nûr [24]: 56 atau an-Nisâ' [4]: 103.
Dengan demikian, harus dibedakan antara Sabab dan 'Illat. Sabab adalah keterangan mengenai keberadaan hukum perbuatan yang telah ada, yang telah dinyatakan oleh nash lain, bahwa hukum tersebut berlaku sebagaimana keterangan tersebut. Sementara 'Illat adalah keterangan mengenai pensyariatan hukum perbuatan yang belum ada.      

2) Syarat
as-Syarth[u] adalah perkara yang ditunjukkan oleh dalil sam'î sebagai sifat pelengkap masyrûth (obyek yang disyaratkan) dalam hal yang dituntut oleh hukum terhadap obyek tersebut, atau apa yang dituntut oleh obyek itu sendiri. Sebagai contoh yang pertama, shalat --sebagai obyek yang dikenai syarat (masyrûth)-- menuntut untuk dikerjakan, dan agar ia bisa dikerjakan dengan sempurna, masyrûth (shalat) tersebut menuntut adanya perkara yang menjadi sifat komplementer (as-syarth[u]), yaitu thahârah dan wudhu. Dengan demikian, tuntutan dikerjakannya wudhu ini kembali kepada perintah shalat, dan tidak berdiri sendiri. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur'an:

} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ {
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki (QS. al-Mâidah [5]: 6).

Sedangkan yang kedua, syarat tersebut kembali kepada khithâb al-wadh'i, karena yang memerlukan sifat pelengkap dalam hal ini adalah obyek yang dikenai syarat (masyrûth) itu sendiri. Misalnya, nishâb zakat --sebagai masyrûth-- memerlukan sifat pelengkap, yaitu hawl (tahun). Dalam hal ini, hawl adalah syarat nishâb dan bukan syarat pembayaran zakat. Karena hukum hawl ini kembali kepada nishâb, sedangkan nishâb adalah syarat (hukum wadh'î), maka bisa dikatakan bahwa syarat tersebut kembali kepada khithâb al-wadh'i.
Secara umum, ketiadaan syarat akan meniscayakan ketiadaan masyrûth, seperti ketiadaan wudhu meniscayakan ketiadaan shalat. Namun, adanya syarat tidak meniscayakan masyrûth-nya, seperti adanya wudhu tidak meniscayakan adanya shalat. Di sinilah perbedaan antara syarat dengan sebab. Karena, Sebab, ada dan tidaknya akan meniscayakan ada dan tidaknya akibat, seperti adanya matahari yang tergelincir meniscayakan adanya hukum shalat Zhuhur, dan ketiadannya juga meniscayakan ketiadaan hukum tersebut. Berbeda dengan Syarth, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dalam hal ini, Syarth juga berbeda dengan Rukn, karena Syarth merupakan sifat pelengkap aksidental, atau dari luar, sedangkan rukun merupakan aspek substansial. Misalnya, ruku' dan sujud, adalah bagian dari substansi shalat yang tidak terpisah. Karena itu, disebut rukun.

3) Mâni'
Mâni' adalah setiap sifat yang mengikat (mundhabit) yang ditunjukkan oleh dalil sam'î bahwa keberadaannya akan meniscayakan adanya illat (alasan) yang menafikan illat sesuatu. Contoh, hubungan kerabat merupakan sebab diperolehnya warisan, sedangkan pembunuhan secara sengaja merupakan mâni' (penghalang) diperolehnya warisan. Dalam kasus ini, hubungan kerabat merupakan illat diperolehnya warisan, namun kemudian dinafikan oleh pembunuhan, yang merupan illat yang menafikan illat sebelumnya. Jadi, Mâni' bisa dikatakan sebagai antitesis dari sebuah hukum.
Dalam hal ini, dari aspek tuntutan dan pelaksanaannya, hukum Mâni' tersebut bisa diklasifikasikan menjadi:
1.      Mâni' yang tidak mungkin ada bersamaan dengan tuntutan. Artinya, ia telah menghalangi tuntutan dan pelaksanaannya sekaligus. Misalnya, hilangnya akal karena tidur atau gila, telah menghalangi tuntutan (kewajiban) shalat dan pelaksanaannya sekaligus. Sama seperti haid dan nifâs bagi wanita. Mâni' yang menghalangi tuntutan (kewajiban) puasa dan pelaksanaannya.
2.      Mâni' yang mungkin ada bersamaan dengan tuntutan. Artinya, hukum tersebut telah menghalangi tuntutan, tetapi tidak menghalangi pelaksanaannya. Misalnya, pra-baligh adalah Mâni' yang menghalangi tuntutan (kewajiban) shalat dan puasa, tetapi jika shalat dan puasa tersebut dikerjakan oleh anak usia pra-baligh tetap sah. Karena Mâni' tersebut tidak menghalangi pelaksanaannya, tetapi hanya menghalangi tuntutan (kewajiban)-nya.

4) Sah, Batal dan Fasâd
Sah adalah kesesuaian dengan perintah pembuat syariat. Sah juga mempunyai konotasi diperolehnya hasil perbuatan di dunia, atau di akhirat. Misalnya, dengan dipenuhinya seluruh syarat dan rukun shalat, akan menyebabkan shalat tersebut sah, dalam artian pelakunya telah terbebas dari dosa dan gugur dari kewajiban mengganti (qadhâ'). Ini dari segi diperolehnya hasil di dunia, sedangkan di akhirat, dengan keabsahannya, diharapkan akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.
Batal adalah ketidaksesuaian dengan perintah pembuat syariat. Batal juga mempunyai konotasi tidak diperolehnya hasil perbuatan di dunia, dan dijatuhkannya siksa di akhirat. Misalnya, ketika shalat dikerjakan dengan meninggalkan salah satu rukunnya, akan menyebabkan shalat tersebut batal, dalam artian pelakunya belum terbebas dari dosa dan belum gugur dari kewajiban mengganti (qadhâ'). Sedangkan di akhirat, dengan ketidakabsahannya, ia akan mendapatkan siksa Allah SWT.
Fasâd berbeda dengan Batal, karena Batal sejak asal memang tidak sesuai dengan perintah pembuat syariat, sedangkan Fasâd asalnya sesuai dengan perintah pembuat syariat, namun ada sebab yang mengakibatkannya menyimpang dari perintah pembuat syariat. Jika sebab tersebut hilang, maka hukum Fasâd-nya juga hilang. Contoh, transaksi jual-beli antara orang kota (al-hadhir) dengan orang kampung (al-bâdî) bisa disebut Fâsid, jika orang kampung tersebut tidak mengetahui harga pasar. Namun, jika ketidaktahuan tersebut tidak ada lagi, maka transaksi tersebut menjadi sah. Ini berbeda dengan transaksi jual-beli yang dilakukan terhadap ikan hasil tangkapan nelayan di puket, karena transaksi tersebut dilakukan terhadap hasil yang  belum jelas (gharar), dimana hukum transaksi tersebut dilakukan terhadap perkara gharar, maka transaksi tersebut disebut Bâthil. Sebab, hukum asal transaksi tersebut berlaku untuk perkara gharar, yang memang asalnya sudah haram. Lain halnya dengan transaksi jual-beli orang kota dengan orang desa, hukum asalnya sah, jika tidak ada sebab ketidaktahuan harga.
Contoh lain hukum perseroan. Hukum asal perseroan (syarikah) adalah sah, jika dalam transaksinya anggota perseroan tersebut menyertakan modal, dan atau badan. Namun, jika yang disertakan hanya modal, sementara badannya tidak ada, selain badan usaha (syakhshiyyah ma'nawiyyah), sebagaimana perseroan terbatas (PT), maka hukum transaksi tersebut bisa disebut Fâsid, dan tidak disebut Bâtil. Sebab, hukum asal perseroan tersebut memang boleh, namun karena ada sebab "ketiadaan badan" hukumnya menjadi tidak sah, Fâsid.

5) 'Azîmah dan Rukhshah
'Azîmah adalah hukum yang disyariatkan secara umum, yang wajib dikerjakan oleh manusia. Sedangkan Rukhshah adalah hukum yang disyariatkan sebagai dispensasi bagi 'azîmah karena uzur tertentu, sementara hukum 'azîmah-nya tetap tidak berubah, namun tidak wajib dikerjakan oleh manusia. Agar Rukhshah tersebut disebut Rukhshah syar'i, harus dinyatakan oleh dalil syara', bahwa ia merupakan hukum yang disyariatkan oleh Allah karena uzur tertentu.
Contoh, puasa adalah hukum 'Azîmah sedangkan pembatalan puasa bagi orang sakit atau bepergian merupakan hukum Rukhshah, dimana masing-masing dinyatakan oleh dalil syar'i. Firman Allah:

} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ~ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ {
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. al-Baqarah [2]: 183-184).

Frasa: Kutiba 'alaykum as-shiyâm (diwajibkan atas kamu berpuasa) adalah hukum 'Azîmah, sementara frasa: faman kâna minkum marîdh[an] aw 'alâ safar[in] (Maka, barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka]) merupakan uzur yang dinyatakan oleh pembuat syariat sebagai Rukhshah (dispensasi) untuk tidak melaksanakan hukum 'Azîmah pada waktu itu, sekalipun tetap wajib dikerjakan pada waktu lain sebagai gantinya.


Loading...

0 Response to "HUKUM WADH'I"

Post a Comment