IDDAH (العدة)



A.    IDDAH   (العدة)
Putusnya ikatan perkawinan, baik karena talak, khulu', fasakh ataupun karena kematian suami, tidak serta merta mantan isteri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus melewati suatu masa yang pada saat itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Dalam hukum Islam masa yang harus dilewati tersebut disebut iddah (العدة).
Secara etimologi, 'iddah merupakan masdar dari kata: عدّ – يعدّ  artinya menghitung, sehingga kata ”iddah" artinya hitungan, perhitungan. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena pada masa itu perempuan yang ber-iddah menghitung-hitung hari dan menunggu berlalunya waktu.  Dalam rumusan yang singkat iddah itu ialah        مدة تتربص فيها المراة masa tunggu yang dilalui seorang perempuan.  (mantan isteri). Apa yang ditunggu dan mengapa ia menunggu? dapat diketahui dari rumusan lain, di antaranya as-Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqhu as-Sunnah, II: 277, mengartikan 'iddah  dengan :
إِسْمٌ للِْمُدَّةِ الَّتىِ  تَنْتَظرُ فَيْهَا المَرْاَتُ وَتَمْتَنعُ عَنِ التَّزْوِيِْجِ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجهاَ اَوْ فِرَاقِهِ لَهَا
"Nama bagi suatu masa yang pada masa tersebut mantan isteri menunggu dan tidak boleh kawin setelah ditinggal mati suaminya atau setelah bercerai dari suaminya".
Menurut as-San'aniy dalam kitabnya Subul as-Salam, III: 96, 'iddah ialah:
إِسْمٌ لِمُدَّةِ تَتَرَبُّصُ بِهَا الْمَرْاَةُ  عَنِ التَّزْوِيْـجِ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا وَفِرَاقِهِ لهَا إِمَا  بِالْوِلاَدَةِ اَوِ الاَْقْرَاءِ اَوِالاَْشْهُرِ
"Nama bagi suatu masa yang seorang wanita menunggu dalam masa itu kesempatan  untuk kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai dengan suaminya, baik dengan melahirkan anak, atau dengan beberapa kali haid, atau beberapa bulan tertentu" .
Untuk apa ia menunggu? dapat diketahui dari rumusan  Muhammad Abu Zahrah:
اَجَلٌ ضُرِبَ لا ِنـْقِضَاءِ مَا بَقِىَ مِنْ أَثَارِ النِّكاَحِ   (الاحوال الشخصيّة,ص: 435)     
"Suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan" .
Ada juga yang merumuskan selain untuk mengetahui pengaruh dari perkawinan sebelumnya (hamil atau tidak),  iddah juga dilakukan dalam makna ibadah:
  (مدة تتربص فيها المراة لتعرف برائة رحمها أو للتعبد)
Hukum Melakukan Iddah
Hukum Islam mewajibkan mantan isteri yang bercerai dari suaminya atau ditinggal mati suaminya untuk menjalani iddah. Kewajiban menjalani iddah bagi seorang perempuan disebutkan dalam al-Qur'an dan al-hadis, antara lain dalam surat al-Baqarah 228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كن يؤمن بالله واليوم الآخر
Artinya : "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".

Hikmah 'Iddah
Ditetapkannya iddah bagi isteri karena ditinggal mati suami atau karena bercerai dari suaminya mengandung beberapa hilkmah, di antaranya:
1.      Secara umum iddah dimaksudkan untuk mengetahui kebersihan kandunga/rahim isteri dari benih yang ditinggalkan dari mantan suaminya, sehingga dapat dijaga kemurnian nasab.
2.      Dalam talak raj'I, iddah memberikan kesempatan kepada mantan suami dan mantan isteri untuk bisa ruju'.
3.      Iddah bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah dalam rangka berbela sungkawa.
4.      Lita'abudi, yaitu untuk beribadah melaksanakan perintah Allah.

Macam-macam Iddah
Penentuan masa dan macam iddah dalam hukum Islam ditetapkan dengan memperhatikan keadaan isteri pada saat terjadi putusnya perkawinan, seperti putusnya perkawinan karena kematian atau karena perceraian, apakah pada waktu putusnya perkawinan, suami isteri sudah pernah bergaul atau belum;  apakah isteri masih haid atau sudah tidak haid. Atas dasar ini macam dan cara  iddah dibedakan kepada: 
1. Isteri yang ditinggal mati dan  tidak dalam keadaan hamil,  iddahnya ialah empat bulan sepuluh hari. Ketentuan ini berlaku bagi isteri apakah sudah pernah dukhul  atau belum, masih haid atau tidak. Dasar hukumnya, al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 234: 
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
2. Isteri yang bercerai dengan suaminya dan ia dalam keadaan hamil, iddahnya ialah melahirkan anak. Dasar hukumnya,  al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4: 
... وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
3. Isteri yang bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia masih menstruasi, iddahnya ialah tiga kali quru', sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 228:
 والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Ulama Hanafiyah mengartikan quru' dengan haid, sedangkan ulama Syafi'iyah, Malikiyah, Zahiriyah, mengartikan quru' degan suci.
4. Isteri yang bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia belum pernah haid atau sudah tidak haid lagi, iddahnya ialah tiga bulan. Dasar hukumnya,  al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4: 
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
5. Isteri yang bercerai dengan suaminya dan antara keduanya belum pernah berkumpul (dukhul), tidak ada iddah bagi isteri tersebut. Dasar hukumnya,  al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 49:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا(49)
6. Isteri yang ditinggal mati suaminya dan dalam keadaan hamil. Kondisi demikian memunculkan problem. Dilihat dari kedaan bahwa isteri sedang hamil maka iddahnya ialah melahirkan kandungan, sebagaimana diatur dalam surat at-Talaq ayat 4,  akan tetapi ia juga dalam keadaan ditinggal mati suaminya dan menurut ketentuan    ayat 234 surat al-Baqarah iddahnya ialah empat bulan sepuluh hari. Dari dua ketentuan iddah ini yang mana yang berlaku? Apakah dipilih salah satunya atau keduanya harus digabungkan, setelah melahirkan lalu ditambah 4 bulan 10 hari.  Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama, kepada perempuan tersebut diberlakukan  iddah melahirkan anak, sesuai dengan ketentuan al-Qur'an yang secara khusus mengaturnya. Di samping itu juga diperkuat oleh hadis Nabi.
      Dalam pada itu Ibnu Abbas berpendapat bahwa iddah wanita tersebut ialah masa yang terpanjang antara melahirkan dengan empat bulan sepuluh hari. Apabila setelah melahirkan waktunya belum mencapai empat bulan sepuluh hari maka yang diberlakukan ialah empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi apabila setelah empat bulan sepuluh hari dia belum melahirkan, maka yang diberlakukan ialah iddah melahirkan.

Hak Isteri dalam Masa Iddah
  Pada masa menjalani idah, isteri masih mendapatkan hak nafkah dari mantan suaminya, karena pada masa itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Bentuk hak yang diterima tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya.
1. Isteri yang dicerai dengan  talak raj'i, ia berhak nafkah penuh seperti sebelum dicerai meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal. Isteri yang beriddah menjalani iddahnya di rumah mantan suaminya, seperti disebutkan dalam surat at-Talak ayat 1:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ...
2. Isteri yang dicerai dengan talak ba'in, baik bain sugra maupun ba'in kubra dan ia sedang hamil, ulama sepakat ia berhak nafkah dan tempat tinggal. Hal ini sebagaimana diatur dalam surat at-Talak ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Akan tetapi apabila tidak sedang hamil, ulama berbeda pendapat. Umar, Ibu Umar, Ibnu Mas'ud Ibnu Abbas, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i berpendapat mantan isteri hanya berhak atas tempat tinggal (sukna), tetapi tidak berhak   nafkah (makan dan pakaian).
Menurut Ali, Jabir, Atha', Dawud ad-Dhahiri, mantan isteri tidak berhak nafkah maupun tempat tinggal. Alasannya karena perkawinan sudah terputusa sama sekali
Menurut Abu Hanifah, as-Sauri, al_Hasan, Ibnu Syubrumah, bahwa mantan isteri berhak atas nafkah dan tempat tinggal.
3. Isteri yang ditinggal mati suaminya dan dalam keadan hamil, ulama sepakat bahwa  ia berhak nafkah dan tempat tinggal. Tetapi apabila tidak dalam keadaan hamil, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'i berpendapat bahwa isteri  dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal atas dasar keumuman surat al-Baqarah ayat 240 yang menyuruh isteri beriddah di rumah suami:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Imam Ahmad berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat dan tidak sedang hamil, tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah telah menentukan isteri berhak mendapat peninggalan dalam bentuk  warisan.
Loading...

0 Response to "IDDAH (العدة)"

Post a Comment