Pendahuluan
Rasulullah memberikan warisan kepada kita umatnya dua perkara, yaitu Al-qur’an dan Sunnah. Al-qur’an yang notabene adalah kalam Allah telah dijamin kemurnian dan keabsahannya, karena Al-qur’an diturunkan secara mutawatir. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua hadis bisa diterima, karena belum tentu setiap hadis itu berasal dari Rasulullah. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadis atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul Hadits. Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadis, ada satu ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian,yaitu ilmu al-jarh wa ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadis tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan status dan derajat hadis yang diteliti oleh perawi tersebut.
Dari sinilah kita sebagai umat islam yang peduli dengan khazanah keilmuan yang telah diwariskan dari para ulama-ulama terdahulu perlu mempelajari atau paling tidak mengetahui tentang ilmu hadis beserta cabang-cabangnya.
Oleh karena itu di sini penulis akan sedikit membahas tentang salah satu cabang ilmu hadis yang perlu kita ketahui bersama, yaitu ilmu al-jarh wa ta’dil. Namun layaknya sebuah tulisan -apalagi dengan berbagai keterbatasan referensi yang penulis dapat- pasti terdapat banyak sekali kekurangan. Dari sebuah hasil penghimpunan ini, penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amien..
Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Menurut bahasa, kata jarh merupakan masdar dari kata jaraha-yajrahu-jarhan (جرح – يجرح - جرحا) , yang berati “melukai”. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan non fisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Apabila kata jaraha (جرح) dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi”.
Menurut istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarh dan tajrih; dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaan kedua kata itu. Mereka yang membedakan beralasan bahwa kata al-jarh berkonotossi tidak mencari-cari ketercelaan seseorang; namun ketercelaan memang telah tampak pada diri seseorang itu. Sedangkan at-tarjih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.
Adapun kata at-ta’dil, asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala-yu’addilu-ta’dilan (عدّل – يعدّل - تعديلا) , artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimilki oleh seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata at-ta’dil mempunyai arti mengungka[ sifat-sifat bersih yang ada pada periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.
Kritik yang berisi celaan dan pujian terhadap periwayat hadis tersebut dikenal dalam ilmu hadis dengan istilah al-jarh wa ta’dil. Pengetahuan yang membahas berbagai hal yang berhubungan dengan al-jarh wa ta’dil disebut sebagai ‘ilmu al-jarh wa ta’dil. Pengetahuan itu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam penelitian hadis.
Kegunaan dan Latar Belakang Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat nabi sampai generasi mukharijul-hadis (periwayat dan sekaligus penghimpun hadis) telah tidak dapat dijumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan hadis, diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik rijal (para periwayat) hadis.
Kritik terhadap para periwayat hadis yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kritik hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal hal yang tercela dikemukakan bukanlah untuk menjelek-jelekkan mereka, melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis yang mereka sampaikan. Ulama ahli kritik hadis tetap menyadari bahwa mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebgai salah satu sumber ajaran islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat dalam kaitannya dengan periwayatan hadis sangat perlu dikemukakan . kejelekan atau kekurangan yang dikemukakan hanyalah terbatas yang ada hubungannya dengan kepentingan penelitian periwayatan hadis.
Sejarah Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Sejarah pertumbuhan ilmu al-jarh wa ta’dil selalu seiring dan sejalan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadis, karena bagaimanapun juga untuk memilah dan memilih hadis-hadis shahih melewati penelitian terhadap rawi-rawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedalan antara hadis yang maqbul dan yang mardud.
Embrio praktek men-jarh dan men-ta’dil sudah tamapk pada masa Rasulullah yang beliau contohkan sendiri secara langsung dengan mencela bi’sa akh al-‘asyirah dan pernah pula beliau memuji sahabat Khalid bin Walid dengan sebutan نعم عبدالله خالدبنالوالدسيف من سيوف الله :
“Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid. Dia adalah pedang dari sekian banyak pedang Allah”.
Selain dari riwayat-riwayat yang kiita peroleh dari Rasulullah tentang al-jarh dan at-ta’dil ini, banyak pula kita menemukan pandangan dan pendapat para sahabat. Kita dapat menemukan banyak kasus di mana sahabat yang satu memberukan penilaian terhadap sahabat yang lainnya dalam kaitannya sebagai perawi hadis. Keadaan demikian berlanjut dan dilanjutkan oleh tabi’in, atba’ at-tabi’in serta para pakar ilmu hadis berikutnya. Dalam hal ini mereka menerangkan keadaan para perawi semata-mata dilandasi semangat religius dan mengharap ridha Allah. Maka, apa yang mereka karakan rentang kebaikan maupun kejelekan seorang rawi akan mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa tenggang rasa, meski yang dinilai negatif adalah keluarganya.
Syu’bah bin al-Hajjaj (82-160 H) pernah ditanya tentang hadis yang diriwayatkan Hakim bin Jubair. Syu’bah yang dikenal sangat keras terhadap para pendusta hadis berujar: أخا ف النلر. Karena ketagasan dan keteguhannya inilah yang menjadikan Imam Syafi’i berkomentar: لولا شعبة ما عرف الحديث بالعراق.
“Seandainya tidak ada Syu’bah, niscaya hadis tidak dikenal di Irak”.
Suatu kali pernah seorang laki-laki bertanya kepada ‘Ali al-Madini tentang kualitas ayahnya. ‘Ali hanya menjawab: “tanyalah kepada orang lain”. Orang yang bertanyaa tersebut rupanya masih menginginkan jawaban ‘Ali al-Madini sendiri, sehingga ia tetap mengulang-ulang pertanyannya. Setelah menundukkan kepala sejenak lalu mengangkatnya kembali, ‘Ali berujar: هذا الدين أنّه ضعيف
“ini masalah agama, dia (ayah ‘Ali al-Madini) itu dla’if”.
Menyadari betapa urgen-nya sebuah penilaian hadis terhadap rawi hadis, para ulama hadis di samping teguh, keras dan tegas dalam memberikan penilaian, juga dikenal teliti dalam mmpelajari kehidupan para rawi. Sebegitu telitinya, imam Asy-Sya’bi pernah mengatakan:
“Demi Allah sekiranya aku melakukan kebenaran sembilan puluh kali dan kesalahan sekali saja, tentulah mereka menilaiku berdasarkan yang satu kali itu”.
Demikianlah para ulama telah memberkan atensi (perhatian) yang cukup besar terhadap keberadaan ilmu al-jarh wa ta’dil. Di samping mengkiprahkan diri, para ulama juga memotivasi para muridnya untuk turut andil mencari tahu keadaan rawi tertentu dan menjelaskan kepada yang lainnya.
Begitu besar rasa tanggung jawab para ulama hadis dalam menilai kualitas rawi, mereka mengibaratkan amanah tersebut lebih berat dibanding menyimpan emas, perak dan barang-barang berharga lainnya. Kiprah menilai keadaan para perawi ditegaskan berulang kali oleh para ulama hadis dalam rangka menjaga sunnah dari tangan-tangan perusak dan pemalsu hadis, yang pada gilirannya menjadi wasilah mengetahui kualitas dan nilai hadis. Dengan demikan pada dasarnya ilmu al-jarh wa ta’dil tumbuh dan berkembang bersamaan dengan periwayatan hadis, yakni semenjak masa Rasulullah dan para sahbatnya. Ulama-ulama sedudahnyalah yang kemudian melanjutkan uswah dan tradisi semcam itu.
Sasaran Pokok Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Sasaran pokok dalam mempelajari al-jarh wa ta’dil adalah:
1. Untuk menghukumi/mengetahui status perawi hadis
2. Untuk mengetahui kedudukan hadis/martabat hadis, karena tidak mungkin memngetahui status suatu hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa ta’dil
3. Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana kaadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara yang berkaitan dengannya.
Kesimpulan
Hadis sebagai salah satu pedoman islam kini tidak hanya sebagai suatu alat legitimasi belaka. Tapi hadis kini telah menjadi suatu ilmu tersendiri (‘Ulumul Hadits) yang patut untuk dipelajari dan dikaji umat Islam pada khususnya dan manusia yang cinta ilmu pada umumnya. Sebagai salah satu khazanah keilmuan Islam hadis memiliki beberapa cabang ilmu, salah satunya adalah ilmu al-jarh wa ta’dil. Yaitu cabang dari ‘ulumul hadits yang membahas tentang celaan dan pujian kepada para periwayat hadis. Telah meninggalnya mereka para periwayat membuat kita tidak mudah untuk menelitinya. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui tsiqoh tidaknya mereka.
Daftar Pustaka
Thahan, Mahmud, Usul al-takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyad: Maktabah al-ma’arif li an-nasyr wa at-tauzi’, t.th.
Isma’il, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007.
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003.
Niky Alma (Thalabah PUTM)
Loading...
0 Response to "ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL"
Post a Comment