Dilema mengenai relasi antara kaum cendekiawan dan politik secara garis besar melahirkan dua perspektif yang berseberangan. Persepektif pertama menempatkan cendekiawan yang terjun ke dalam politik sebagai "mahluk terkutuk." Sedangkan persepektif kedua menempatkan ke dalam kategori "mahluk harapan."
Persepektif Pertama
Persefektif pertama ini, menempatkan politik sebagai sesuatu yang kotor, sehingga harus dijauhi. Manusia yang dekat dengan politik pantas dijuluki sebagai "mahluk terkutuk." Para cendekiawan yang berpandangan seperti ini mereka banyak menghabiskan waktu dilapangan sosial dan keilmuan sebagai guru besar, ilmuan, pakar bidang ilmu tertentu, penelitian, reset, dll. Sehingga sedikit sekali waktu yang mereka sediakan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah atau bahkan tidak ada waktu sama sekali, apalagi terjun langsung ke dalam dunia politik. Sebenarnya kalau mau jujur untuk kegiatan mereka membutuhkan peranan politik mulai dari riset bidang ilmu tertentu yang membuthkan dana besar sampai pemberian gaji tidak lepas dari lobi-lobi politik kepada penguasa.
Mereka cendrung berpangku tangan dan menonton terhadap kebujakan-bijakan publik yang sangat merugikan rakyat, bahkan merugikan mereka juga karena dia juga bagian dari rakyat. Seharusnya dengan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki para cendikiawan serta pola pikir mereka yang panjang bisa membantu pemerintah dalam menjalankan roda kepemimpinan dalam rangka mensejahterakan rakyat.
Pada negatif terhadap politik dari sebagian cendekiawan ternyata mendapat legitimasi dari pandangan Julian Benda (1867-1956) seorang filosof Perancis yang menulis La Trahison Des cears (penghianatan kaum intelektual), menganggap bahwa cendikiawan yang terlibat dalam politik adalah cendikiawan yang telah melakukan penghianatan. Menurutnya, seorang cendikiawan tidak boleh mengabdikan diri pada kepentingan politik yang di dalamnya terdapat perhitungan tersembunyi untuk kepentingan diri sendiri kaum cendikiawan harus mempertahankan nilai-nilai universal dan abadi yang berlandaskan kebenaran dan rasio yang dimilki dalam setiap konteks waktu dan tempat.
Kita kembali pada pembahasan awal, bahwa cendikiawan yang terjun ke dalam politik adalah mahluk terkutuk. Benarkah politik itu kotor, sehingga pelakunya pantas mendapatkan gelar tersebut? Secara mudah dapat kita pahami bahwa politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Yang namanya alat tergantung siapa yang menggunakannya. Sebagai contoh pisau, pisau akan memberikan manfaat apabila dipakai oleh seorang ibu dapur untuk memotong sayur. Tetapi jika pisau tersebut dipakai oleh seorang perampok maka malapetaka yang didapat begitu juga politik jika orang-orang yang berperan dan mengendalikan politik adalah para cendekiawan yang kompeten di bidangnya tentunya, banyak manfaat yang akan didapatkan.
Persepektif yang demikain ternyata tidak semata-mata timbul dalam pola pikirv kaum cendekiawan, tetapi ada unsur-unsur dari luar yang sengaja menghembuskan pandanga-pandangan seperti ini untuk memuluskan tujuan mereka. Dengan tidak adanya kaum cendikiawan yang masuk politik, maka pesaing-pesaing mereka akan berkurang. Dengan demikian tujuan mereka untuk menjadikan politik sebagai kuda tunggangan untuk memuluskan tujuan-tujuan jangka pendek dan bersifat indifidual akan lebih mudah dan cepat tercapai.
Kemudian yang juga menjadi justifikasi persepektif pertama ini adalah sikap netralitas. Dengan sikap ini para cendikiawan terbebas dari hujatan-hujatan publik karena tidak ikut dalam golongan manapun dimana setiap tindakan politik pasti mengandung resiko. Tetapi jika sikap netralitas tidak memberikan kontribusi positif dan siknifikan bagi kebaikan rakyat, untuk apa sikap ini dipertahankan. Yang lebih parah lagi sikap netralitas ini sering kali dijadikan sebagai lubang persembunyian dan cuci tangan para cendikiawan terhadap kebijakan-kebijakan publik yang sangat merugikan rakyat.
Persepektif Kedua
Persepektif kedua ini menempatkan para cendikiawan yang terlibat dalam dunia politik sebagai mahluk harapan. Memang pantas julukan ini kita berikan kepada mereka. Betapa tidak, para cendikiawan yang sudah bertahun-tahun bergelut dengan ilmu bahkan menjadi pakar dari salah satu bidang ilmu tertentu kemudian mereka dengan kapasitas ilmu yang mereka miliki diterapkan dalam dataran-dataran kepemimpinan dalam rangka mensejahterakan rakyat ini akan sangat berbeda dengan pola kepemimpinan yang buka dari kalangan cendekiawan, yang mempunyai pola pikir pendek dan hanya kepentingan jangka pendek yang menjadi prioritasnya.
Sejalan dengan persepektif kedua ini adalah Gramsci, dia memandang bahwa cendikiawan yang mengambil jalan politik dengan tujuan-tujuan yang baik, bisa masuk dalam kategori intelektual organik. Nilai yang dilekatkan pada intelektual organik ini adalah nilai positif. Mereka dianggap sebagai kelompok individu yang tidak hanya bergelut dengan renungan dan kontemplasi untuk melahirkan kerangka konseptual juga mengaplikasikan konsep-konsep tersebut dalam dataran konkrit.
Sudah saat para cendikiawan mengambil peranan politik dan mengembalikan stikma-stikma buruk terhadap politik, karena berada di tangan-tangan politikus yang kotor, kepada perpolitikan yang bersih dan bernilai positif. Kemudian ikut pro aktif dalam tindakan-tindakan konkrit, dimulai dengan masuknya ke dalam partai politik dan mengisi kursi-kursi DPR serta menduduki jabatan-jabat penting dalam pemerintahan dengan harapan produk-produk hukum yang dihasilkan itu berdasarkan ilmu dan bertujuan untuk kepentingan rakyat bukan berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok dan individu. Sehingga pada gilirannya nanti terwujudlah sebuah tatanan pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang yang kompeten yang bertanggungjawab sehingga terwujudlah cita-cita yang diinginkan yaitu Baldatun toyyibatun wal Rabbun Gafur.
Sebagai penutup tulisan ini, kami menyeru kepada para cendikiawan kapan anda mengambil peranan politik?.
Khoirul Anam
Loading...
0 Response to "PERANAN CENDEKIAWAN DALAM POLITIK"
Post a Comment