Menurut As Suyuthi, isim menunjukkan tetapnya keadaan dan kelangsungannya. Sedangkan fi’il menunjukkan timbulnya sesuatu yang baru dan terjadinya suatu perbuatan. Masing-masing kata tersebut mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa dipertukarkan satu dengan yang lain untuk tetap menghadirkan makna yang sama. Hakikat makna yang dikandung ayat berbeda, dengan perkataan kata yang digunakan.
A. Beberapa contoh ayat yang menggunakan isim :
1. QS Al-Kahfi [18] : 18 :
“Engkau mengira mereka bangun, padahal mereka tidur dan kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri; anjing mereka merentangkan kedua kaki depannya diambang pintu. Kalau engkau melihat mereka, tentu engkau akan berbalik lari dari mereka dan penuh rasa takut”.
Ayat tersebut menggambarkan tentang keadaan anjing ashabul kahfi ketika tidur didalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki terentang selama mereka tidur. Keadaan demikian diungkapkan dengan menggunakan isim (kata benda), tidak dengan fi’il (kata kerja). Penggunaan isim tersebut lebih menggambarkan tetapnya keadaan anjing sepanjang waktu itu.
2. QS Al Hujurat [49] : 15 :
“Orang-orang yang mukmin ialah yang beriman kepada Allah dan RasulNya dan tak pernah ragu berjuaang di jalan Allah dengan harta dan nyawa. Mereka itulah orang-orang yang tulus hati”.
Iman adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada, selama keadaan menghendaki, seperti halnya ketaqwaan, kesabaran dan sikap syukur. Penggunaan isim mu’minun menggambarkan keadaan pelakunya yang terus berlangsung dan berkesinambungan. Ia tidak terjadi secara temporer. Mukmin adalah sebutan untuk orang yang keberadadannya senantiasa diliputi iman.
B. Beberapa contoh ayat yang menggunakan fi’il :
1. QS Al-Baqarah [2] : 274 :
“Mereka yang menyumbangkan harta, siang dan malam, dengan sembunyi atau terang-terangan, pahala mereka pada Tuhan. Mereka tak perlu khawatir dan tak perlu sedih”.
Kata yunfiqun (meng-infaq-kan) pada ayat diatas menunjukkan keberadaannya sebagai tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang temporal. Manakala seseorang melakukan pekerjaan ituia berolah pahala dan jika meninggalkan ia tidak memperolah pahala.
2. QS Asy-Syu’ara’ [26] : 78-82 :
“Yang menciptakan aku, dan Dialah Yang membimbingku; Yang memberi aku makan dan minum. Dan bila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku; Yang akan membuatku mati, dan kemudian menghidupkan aku (kembali). Dan kuharapkan mengampuni dosa-dosaku pada hari perhitungan”.
Isim khalaqa dalam ayat tersebut menunjukkan telah terjadi dan selesainya penciptaan pada waktu yang lampau, sedang fi’il yahdi dan lain-lainnya dalam rangkaian ayat tersebut menunjukkan terus berlangsungnya perbuatan itu waktu demi waktu berangsur-angsur hingga sekarang.
1. QS Al-Kahfi [18] : 18 :
“Engkau mengira mereka bangun, padahal mereka tidur dan kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri; anjing mereka merentangkan kedua kaki depannya diambang pintu. Kalau engkau melihat mereka, tentu engkau akan berbalik lari dari mereka dan penuh rasa takut”.
Ayat tersebut menggambarkan tentang keadaan anjing ashabul kahfi ketika tidur didalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki terentang selama mereka tidur. Keadaan demikian diungkapkan dengan menggunakan isim (kata benda), tidak dengan fi’il (kata kerja). Penggunaan isim tersebut lebih menggambarkan tetapnya keadaan anjing sepanjang waktu itu.
2. QS Al Hujurat [49] : 15 :
“Orang-orang yang mukmin ialah yang beriman kepada Allah dan RasulNya dan tak pernah ragu berjuaang di jalan Allah dengan harta dan nyawa. Mereka itulah orang-orang yang tulus hati”.
Iman adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada, selama keadaan menghendaki, seperti halnya ketaqwaan, kesabaran dan sikap syukur. Penggunaan isim mu’minun menggambarkan keadaan pelakunya yang terus berlangsung dan berkesinambungan. Ia tidak terjadi secara temporer. Mukmin adalah sebutan untuk orang yang keberadadannya senantiasa diliputi iman.
B. Beberapa contoh ayat yang menggunakan fi’il :
1. QS Al-Baqarah [2] : 274 :
“Mereka yang menyumbangkan harta, siang dan malam, dengan sembunyi atau terang-terangan, pahala mereka pada Tuhan. Mereka tak perlu khawatir dan tak perlu sedih”.
Kata yunfiqun (meng-infaq-kan) pada ayat diatas menunjukkan keberadaannya sebagai tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang temporal. Manakala seseorang melakukan pekerjaan ituia berolah pahala dan jika meninggalkan ia tidak memperolah pahala.
2. QS Asy-Syu’ara’ [26] : 78-82 :
“Yang menciptakan aku, dan Dialah Yang membimbingku; Yang memberi aku makan dan minum. Dan bila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku; Yang akan membuatku mati, dan kemudian menghidupkan aku (kembali). Dan kuharapkan mengampuni dosa-dosaku pada hari perhitungan”.
Isim khalaqa dalam ayat tersebut menunjukkan telah terjadi dan selesainya penciptaan pada waktu yang lampau, sedang fi’il yahdi dan lain-lainnya dalam rangkaian ayat tersebut menunjukkan terus berlangsungnya perbuatan itu waktu demi waktu berangsur-angsur hingga sekarang.
Reference :
1. Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, author : Manna Khlail al-Qattan. Publisher : Lintera Antar Nusa.
2. Al-Qur’an dan ulumul Qur’an, author : Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag. Publisher : Dana Bhakti Prima Yasa.
3. Al-Qur’an sumber hukum Islam yang pertama, author : Drs. Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabudin. Publisher : Pustaka.
4. Ulumul Qur’an Praktis, author : Drs. Hafidz Abdurrahman, MA. Publisher : Idea Pustaka.
Loading...
0 Response to "KAIDAH ISIM (KATA BENDA) DAN FI'IL (KATA KERJA) DALAM AL-QUR'AN"
Post a Comment