Tradisi khitan anak perempuan barangkali sudah setua sejarah manusia itu sendiri, sebab ia banyak ditemukan dalam sejarah agama–agama sebelum Islam, misalnya Yahudi dan sebagian Kristen. Seiring dengan itu, para pemeluk agama ini meneruskan ritual itu hingga sekarang. Kendati tak semua pemeluk agama melakukannya, karena khitan sendiri mengandung perdebatan di dalamnya, tetap saja agama menjadi satu dorongan kuat untuk melakukannya.
Khitan dalam Prespektif Budaya
Praktik khitan perempuan atau sudah ada sejak jaman sebelum masehi. Penelitian anthropologi menunjukkan bahwa praktik tersebut sudah ada pada mummi perempuan Mesir yang justru ditemukan pada golongan kaya dan berkuasa, bukan dari rakyat jelata pada abad ke-16 SM. Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk mencegah masuknya roh jahat melalui vagina. Khitan pada mummi itu memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan yang merusak alat kelamin). Selain ditemukan pada bangsa Mesir, khitan juga sudah menjadi tradisi bangsa-bangsa di lembah Nil; yakni Sudan, Mesir dan Eithopia.
Bagaimana dengan di Indonesia? Dari penelitian Population Council yang didukung oleh USAID untuk meneliti praktik khitan perempuan di Indonesia memperlihatkan, khitan di Indonesia tidak seperti di Sudan yang menghilangkan seluruh klitoris dan menjahit rapat-rapat vagina. Di daerah Banten, Gorontalo, Makassar, Padang Sidempuan, maupun daerah lainnya ternyata praktik khitan perempuan amat beragam. Meski tidak seperti praktik di Sudan, namun banyak keluhan yang diterima dari kaum perempuan, mereka kehilangan kepuasan seksual, padahal ajaran Islam menegaskan istri adalah pakaian bagi suami dan sebaliknya," katanya. Lebih jauh, khitan bagi perempuan di Indonesia sudah menjadi bagian pembicaraan dunia sehingga pemerintah tak bisa mengelak. Sebagai bagian dari masyarakat dunia di era globalisasi ini, Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari ketentuan WHO tentang masalah khitan bagi perempuan yang tidak memperbolehkannya. Walaupun sampai saat ini masyarakat tak sepenuhnya taat kepada aturan WHO. Pemerintah Indonesia sendiri mengambil kebijakan WHO (Badan Kesehatan Dunia) untuk tidak membolehkan adanya ketentuan khitan bagi perempuan karena dinilai bertentangan dengan HAM. "Namun, pemerintah juga tidak langsung bisa melarang kaum Muslim sebab dalam kenyataannya ketentuan khitan bagi perempuan tetap berjalan di masyarakat malah diyakini sebagai kewajiban minimal sunah Nabi Muhammad s.a.w..
Khitan Dalam Perspektif Agama
Bagaimana sebenarnya sudut pandang agama dan medis memandang khitan itu? Tak luput budaya yang ada dibelakanganya. Sebab, faktanya khitan di banyak tempat tak sama cara melakukannya, bisa jadi sangat mempertimbangkan medis namun bisa jadi sebaliknya berbahaya secara medis. Tak heran dengan melihat fakta-fakta yang berkembang dan sejumlah alasan lainnya Departemen Kesehatan kemudian secara resmi menyerukan pelarangan khitan perempuan pada tahun 2005. Dalam al-Quran satu-satunya dalil yang sering dirujuk dan menjadi sandaran khitan bagi laki-laki maupun perempuan adalah QS an-Nisâ’, 4: 125,
وَ مَنْ أَحْسَنُ ديناً مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَ هُوَ مُحْسِنٌ وَ اتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْراهيمَ حَنيفاً وَ اتَّخَذَ اللَّهُ إِبْراهيمَ خَليلاً
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
Juga QS an-Nahl, 16: 123,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
”Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Dimana sunat atau khitan dipandang sebagai millah Ibrahim. Padahal menurut Dr. Akhmad Luthfi Fathullah, bukan ayat–ayat itu yang menjadi sandaran khitan namun dari hadis-hadis Nabi Saw. Misalnya, dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dll. ditegaskan, "Lima perkara yang merupakan fitrah manusia yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu sekitar kemaluan), mencukur bulu ketiak, menggunting kuku, dan memendekkan kumis". "Dalam hadis lain dinyatakan khitan merupakan sunah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan. Namun, hadis ini termasuk hadis da'if atau lemah sebab ada periwayatnya yang diragukan, malah ada yang memasukkan sebagai perkataan Ibn Abbas bukan Nabi," jelasnya. Demikian pula dengan hadis
كَانَ بِالْمَدِينَةِ امْرَأَةٌ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَطِيَّةَ تَخْفِضُ الْجَوَارِى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« يَا أُمَّ عَطِيَّةَ اخْفِضِى وَلاَ تَنْهَكِى فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ »
"Dari Ummi Atiyah diceritakan bahwa di Madinah ada seorang perempuan tukang khitan lalu Rasulullah s.a.w. berkata kepada perempuan tersebut 'Jangan berlebihan, sesungguhnya hal itu lebih baik/disukai perempuan dan lebih disenangi lelaki'".
Hadis ini juga dimasukkan oleh Abu Dawud sebagai hadis dha'if dan mursal karena ada perawi yang tidak dikenal hingga tidak kuat dijadikan dasar hukum," katanya. Kata kemuliaan untuk perempuan sebagaimana dalam hadis pertama di atas menurut ulama tidaklah wajib bahkan tidak sampai tingkat sunah (yang dianjurkan). Sementara itu Sayyid Sabiq, penulis Fiqh al-Sunnah, seolah menguatkan hadis-hadis di atas berpendapat bahwa semua hadis yang berkaitan dengan perintah khitan anak perempuan adalah dhaif (lemah dan ntak satupun yang sahih.
Di Indonesia, alasan kuat akan praktik khitan perempuan adalah pendapat dari ulama madzhab Syafi’i yang mewajibkannya, meskipun yang dimaksud adalah khitan laki-laki dan bisa dikaitkan dengan khitan perempuan. Alasannya, khitan perempuan merupakan kewajiban, ibadah dan syiar agama. Sementara menurut Imam Hanafi dan Imam Maliki menyatakan khitan bagi perempuan adalah sebatas kehormatan, namun bagi Imam Syafii dan Imam Hanbali mewajibkannya. "Masalah waktu khitan tidak ada perbedaan antara khitan bagi laki-laki dan perempuan yaitu tujuh hari setelah dilahirkan atau hari 14 sampai hari ke-40," katanya. Akhmad Luthfi juga melakukan kajian terhadap empat imam mazhab, lalu menyimpulkan hukum khitan bagi perempuan adalah mubah hingga bisa menjadi sunah bahkan wajib, namun bisa juga menjadi makruh dan haram. "Dengan kedudukan hukum sebagai mubah atau kehormatan, maka tergantung situasi di dalam pelaksanaannya. Apabila ada sesuatu yang memaksa untuk dikhitan, bisa menjadi sunah atau wajib. Akan tetapi, khitan perempuan bisa makruh, malah haram apabila cara dan alatnya tidak benar," ujarnya.
Khitan Dalam Perspektif Kesehatan
Apa sebenarnya yang dilakukan pada anak perempuan ketika dikhitan? Banyak tipe khitan dan sangat bermacam menurut budayanya. Di Indonesia barangkali paling ringan, sebab di tempat lain menyunatnya bisa berlebihan dan menimbulkan luka berbahaya. praktik sunat perempuan yang diserupakan dengan sunat pada laki-laki. Karena klitoris merupakan "kembaran" penis, maka kulit di sekitar klitoris juga harus dibuang, seperti membuang preputium. Bahkan ada yang sampai memotong klitorisnya itu sendiri. "memotong kulit di sekitar klitoris" (yang sejenis dengan preputium pada penis) merupakan tipe paling ringan.
Khitan perempuan dibagi dalam dua kelompok, yakni clitoridectomy dengan menghilangkan sebagian atau lebih dari alat kelamin luar yang termasuk di dalamnya menghilangkan sebagian atau seluruh klitoris dan sebagian bibir kecil vagina (labia minora). Yang kedua adalah infibulation dengan menghilangkan seluruh klitoris serta sebagian atau seluruh labia minora lalu labia minora dijahit dan hampir menutupi seluruh vagina. Bagian terbuka disisakan sedikit sebesar batang korek api atau jari kelingking untuk pembuangan darah menstruasi dan saat perempuan menikah dipotong atau dibuka lagi. Tindakan ini tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan di Jawa Barat pernah mengulas tentang hal ini karena menemukan bekas-bekasnya pada pasiennya. Kenyataannya memang ada kelompok yang meyakini bahwa anak perempuan pun diwajibkan menjalani khitan. Dan praktik tersebut dilakukan juga, bahkan di pusat-pusat pelayanan kesehatan.
Praktik Khitan di Indonesia Menurut dr. Tonang Dwi Ardyanto, dilakukan adalah membuat perlukaan kecil pada daerah klitoris. Bahkan, banyak yang hanya mempraktikkan “sunat psikologis” dimana khitan wanita dilakukan hanya sekadar penorehan sedikit (dengan) ujung jarum, sehingga keluar setetes darah, dan orang tua pasien sudah puas. Bahkan kadang, seperti yang juga saya lakukan selama bekerja di klinik Ibu-Anak dulu, hanya di”sandiwara”kan dengan meneteskan cairan antiseptik sewarna darah, yang sekaligus diteruskan dengan pembersihan daerah sekitar klitoris. Menurut pengalamannya, praktik khitan perempuan bukan hanya monopoli orang yang berpendidikan rendah tapi juga dilakukan oleh keluarga muda, sarjana, bekerja dan hidup di perkotaan. Mereka justeru bersemangat melakukan terhadap anaknya, bahkan meski mereka sendiri di masa kecilnya tidak mengalaminya.
Semangat menjalankan agama nampaknya berpengaruh dalam hal ini. Secara medis yang menjadi keprihatinan ialah kalau sunat itu dilakukan dengan jarum, gunting atau alat-alat yang tidak steril dan menimbulkan gangguan kesehatan. Dr. Tonang menambahkan bahwa perilaku sehat harus ditanamkan, bukan saja soal boleh atau tidak bolehnya khitan pada perempuan dilakukan. Jika tenaga medis atau ahlinya tidak mau melakukan khitan bisa jadi masyarakat akan lari ke tempat praktik-praktik non-medis yang tidak bersertifikat dan justeru berakibat fatal pada kesehatan.
Jika WHO secara resmi tidak membolehkan praktik khitan pada perempuan, European Journal of Obstetrics and Gynecology bulan Oktober 2004 lalu menganalisa bahwa usaha terbaik untuk mengatasi praktik sunat perempuan harus berupa pendekatan yang non-direktif, sesuai dengan kultur lokal dan dari banyak sisi (multi-factes). Wujudnya berfokus pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam mensikapi praktik khitan dengan muaranya adalah munculnya keputusan mandiri, bukan atas program dari luar. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa pendekatan legal-formal secara direktif justeru menimbulkan resistensi.
Bisa dibayangkan kalau tenaga medis benar-benar dilarang “melayani” khitan perempuan, bukankah justeru membuka lebih lebar peluang praktik secara “tradisional”. Kenya adalah sebuah contoh bagaimana melalui medikalisasi secara perlahan bisa dicapai pemahaman masyarakat yang lebih proporsional soal khitan perempuan Sebagian masyarakat memang tetap menganggapnya sebagai kewajiban, tetapi kepedulian terhadap risiko kesehatan membuat mereka lebih berhati-hati. Wujudnya dengan memilih tipe khitan yang berisiko minimal (tipe paling ringan atau sekedar sunat-psikologis), bahkan masih ditambah meminta injeksi anti-tetanus sebagai tindakan pencegahan.
Penggunaan jarum, pisau atau gunting oleh tenaga medis disamping prosedur tindakan yang memenuhi prinsip aseptik dan anti-septik, tidak bisa dibantah akan meminimalkan risiko kesehatan. Bukankah ini juga yang dikehendaki bersama? Yang harus diatur, menurut penulis, justeru tidak boleh ada praktik sunat perempuan bukan oleh tenaga yang tersertifikasi. Selanjutnya kepada tenaga medis diterbitkan aturan standar praktik sunat perempuan, dengan mengacu pada risiko minimal. Bukankah alasan ini pula yang mendasari sikap Kementerian Kesehatan mengenai pengaturan tindakan aborsi? Lebih jauh lagi, para tenaga medis bisa memberikan banyak penjelasan soal kesehatan reproduksi, terutama bagi perempuan.
Para orang tua lebih bisa menerima penjelasan ini, karena tenaga medis tidak harus menunjukkan “resistensi” terhadap keinginan mereka memenuhi kewajiban khitan bagi anaknya. Kondisi positif seperti ini justru tidak bisa diperoleh kalau pelayanan sunat perempuan oleh tenaga medis di larang pemerintah. Bahkan tidak jarang usaha penyuluhan dianggap sebagai usaha merusak kebudayaan lokal. Kita sebenarnya memiliki banyak pengalaman soal pendekatan yang culture-spesific misalnya mensikapi kebiasan footbinding (gedhong, bedhong) terhadap kaki bayi-bayi yang dulunya juga dilandasi soal “kemuliaan perempuan”. Secara perlahan orang tua lebih proposional memandang kebiasaan tersebut dengan pemahaman yang tepat. Sementara itu, pendekatan (multi-factes) harus melibatkan pihak-pihak seperti organisasi keagamaan, mengingat bagaimanapun itu alasan yang mendominasi praktik khitan perempuan di Indonesia, agar diperoleh titik temu tentang khitan perempuan. Kurikulum kesehatan reproduksi yang marak diusulkan juga wahana yang baik untuk mendidik pemahaman masyarakat. Muara dari langkah tersebut, pada akhirnya masyarakat akan mampu membuat keputusan sendiri soal sunat perempuan.
Dalam proses menuju ke sana, tindakan seperti melarang tenaga medis melayani sunat perempuan, hanya akan menjadikan batu sandungan. Alih-alih mampu menghentikan, bukan tidak mungkin justru menjadi bumerang . Karenanya, instansi pemerintah dalam hal in, Depkes dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan harus lebih bijak menangani ini, bahkan Marwan Usman, mewakili Kantor Kementerian Agama Banda Aceh, mengatakan dengan pernyataan: ”kalau menyerukan larangan khitan perempuan, berarti ia melanggar agama”. Sikap-sikap masyarakat lebih mutlak untuk dipelajari dalam rangka menanamkan perilaku dan hidup sehat lebih dari sekadar mensosialisasikan isu pelanggaran HAM atas praktik khitan perempuan.
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Sururin, M.Ag dalam http://www.fatayat.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=129)
Loading...
0 Response to "SEPUTAR TENTANG KHITAN PEREMPUAN"
Post a Comment