MALPRAKTIK MEDIS DALAM PANDANGAN FIQIH

Akhir-akhir ini istilah malpraktik cukup terkenal dan banyak dibicarakan masyarakat umum, khususnya malpraktik dalam bidang kedokteran dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Jika kita flashback beberapa tahun ke belakang, khususnya di Indonesia, anggapan banyak orang, dokter adalah profesional yang kurang bisa disentuh dengan hukum atas profesi yang dia lakukan. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat saat sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun administratif yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena kurang puas atas hasil perawatan atau pengobatan.

Yang masih perlu dikaji  dan didiskusikan kembali adalah apakah sudah benar dasar penuntutan yang disampaikan kepada dokter atau rumah sakit dengan dasar dokter atau rumah sakit bersangkutan telah melakukan tindakan malpraktik jika kita tinjau dari kaca mata Undang–Undang Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Undang – Undang Praktik Kedokteran, KODEKI serta standar profesi dokter dalam menjalankan profesinya. 

Transaksi terapeutik dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk perjanjian antara pasien dengan penyedia layanan dimana dasar dari perjanjian itu adalah usaha maksimal untuk penyembuhan pasien yang dilakukan dengan cermat dan hati-hati sehingga hubungan hukumnya disebut sebagai perikatan usaha/ikhtiar. Agar dapat berlaku dengan sah, trasaksi tersebut harus memenuhi empat syarat, pertama: ada kata sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri, kedua: kecakapan untuk membuat sesuatu, ketiga: mengenai suatu hal atau objek dan yang keempat: karena suatu causa yang sah. Transaksi atau perjanjian menurut hukum dengan transaksi yang berkaitan dengan terapeutik tidaklah sama. Pada hakikatnya transaksi terapeutik terkait dengan norma atau etika yang mengatur perilaku dokter dan oleh karena itu bersifat menjelaskan, merinci ataupun menegaskan berlakunya suatu kode etik yang bertujuan agar dapat memberikan perlindungan bagi dokter maupun pasien. Hubungan antara transaksi terapeutik dengan perlindungan hak pasien dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran di antaranya adalah hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan dilakukan, hak meminta penjelasan pendapat dokter, hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis, hak menolak tindakan medis dan hak untuk mendapatkan rekam medis. Kewajiban pasien dalam menerima pelayanan kedokteran antara lain memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasehat atau petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.

Kewajiban yang harus dilakukan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan Standar Profesi Medik (SPM) yang pada hakikatnya terdiri dari beberapa unsur di antaranya bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama, sesuai dengan ukuran medik, sesuai dengan kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dalam kategori keahlian medik yang sama, dalam keadaan yang sebanding dan dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit dari tindakan medik tersebut. 

Perbedaan yang mendasar antara hukum pidana umum dengan hukum pidana medik adalah sebagai berikut: (1) hukum pidana umum yang diperhatikan adalah akibat dari peristiwa hukumnya; (2) sedangkan hukum  pidana medik yang diperhatikan adalah sebabnya. Jika akibat suatu perawatan medis hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan atau pasien mengalami kerugian maka belum tentu dokter yang merawat telah melakukan kesalahan. Harus diteliti terlebih dahulu apakah dalam melakukan perawatan tersebut dokter telah menerapkan tindakannya sesuai dengan standar profesi yang dibenarkan oleh hukum dan nilai-nilai kode etik profesi sebagaimana yang tertuang dalam KODEKI. Karena menurut penulis, ilmu kedokteran/kesehatan merupakan paduan antara ilmu pengetahuan dan seni, 3 dikali 3 tidak harus 9, hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi hasil yang ingin dicapai seperti: kondisi tubuh pasien, cara penanganannya, komplikasi dan banyak faktor yang lain termasuk tidak atau tersedianya peralatan kedokteran yang memadai. Sehingga tidak ada 2 kasus yang diselesaikan dengan hasil yang sama.

Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktik adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Dalam Black’s Law Dictionary malpraktik didefinisikan sebagai:

professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. 

Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan, dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: 

medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing. 

Selain pengertian di atas definisi lain dari malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya di dalam situasi dan kondisi yang sama, selain itu malpraktik juga berarti setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan. Dalam tata hukum Indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Sehingga dari berbagai definisi malpraktik di atas dan dari kandungan hukum yang berlaku di Indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.

Dalam hal ini, para ulama fikih sepakat dalam hal seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan dalam bidang medis, kemudian ia melakukan tindakan medis terhadap seseorang pasien, dan ternyata mengakibatkan sakit atau tidak sembuhnya penyakit pasien, dan bahkan membawa dampak negatif lain. Maka ia harus bertanggung jawab penuh terhadap tindakannya sesuai dengan kadar bahaya yang diakibatkannya. Sebab tindakannya itu dianggap sebagai kezaliman dan pelanggaran penuh. Oleh karenanya dia harus membayar ganti-rugi atas perbuatannya itu.
 Para ulama fikih mendasarkan pendapatnya pada hadis riwayat Abu Dawud, An-Nasai dan Ibnu Majah dari Amr bin Syu'aib, yang berasal dari ayah dan kakeknya.

Dinyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

"Barangsiapa berpura-pura sebagai dokter, sedangkan dia sebelum itu belum pernah mempelajari ilmu kedokteran, maka ia harus mengganti kerugian (yang diakibatkan oleh ulahnya)".

Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz menyatakan bahwa salah seorang  di antara utusan yang datang kepada ayahku menceriterakan bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
 أَيُّمَا طَبِيبٍ تَطَبَّبَ عَلَى قَوْمٍ لاَ يُعْرَفُ لَهُ تَطَبُّبٌ قَبْلَ ذَلِكَ فَأَعْنَتَ فَهُوَ ضَامِنٌ

"Dokter mana pun yang merawat pasien, sedangkan ia tidak mengetahui (sebelumnya) cara perawatan medisnya, sehingga si pasien menderita lebih parah, maka ia harus bertanggung jawab sepenuhnya." (Hadis Riwayat Abu Dawud).

Bila ia seorang yang memiliki ilmu dan keterampilan dalam bidangnya, tetapi melakukan kekeliruan dalam praktiknya, maka – menurut pendapat para ulama fikih – dia harus membayar diyat (denda) yang dibebankan kepada dirinya (apabila dia lakukan sendiri), atau dibebankan kepada tim medisnya, bila dilakukan secara kolektif.

Keharusan bertanggung jawab ini dibebankan kepada para dokter atau orang yang berprofesi dalam bidangnya dalam rangka untuk melindungi hak para pasien, di samping untuk mengingatkan kepada para dokter atau orang yang berprofesi dalam bidangnya agar berhati-hati dan bersikap profesional dalam melaksanakan pekerjaan/profesinya.

Sementara itu, berkaitan dengan malpraktik ini, menurut para pakar ilmu kedokteran (untuk mempertimbangkan kembali pendapat para ulama fikih, dapat dibedakan antara risiko pasien dengan kelalaian dokter (negligence) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pada dokter. 

Risiko yang ditanggung pasien ada tiga macam, yaitu :
1. Kecelakaan
2. Risiko tindakan medik (risk of treatment)
3. Kesalahan penilaian (error of judgement)

Menurut para pakar ilmu kedokteran, masalah hukum sekitar 80% berkisar pada penilaian atau penafsiran. Risiko dalam tindakan medik selalu ada dan jika dokter atau penyedia layanan kesehatan telah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi medik, dalam arti bekerja dengan teliti, hati-hati, penuh keseriusan dan juga ada informed consent (persetujuan) dari pasien maka risiko tersebut menjadi tanggungjawab pasien.

Dalam undang-undang hukum perdata disebutkan dalam hal tuntutan melanggar hukum harus terpenuhi syarat sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)
2. Perbuatan itu melanggar hukum
3. Ada kerugian yang ditanggung pasien
4. Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan
5. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian

Dalam beberapa kasus yang diajukan ke pengadilan masih terdapat kesulitan dalam menentukan telah terjadi malparaktik atau tidak, karena dalam tatanan hukum Indonesia belum diatur mengenai standar profesi dokter sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya: pencurian atau pembunuhan. 

Oleh karena itu, sebagai insan yang berkecimpung di bidang asuransi kita berharap pemerintah lebih serius untuk mengatur permasalahan tersebut dengan menerbitkan produk hukum yang mengatur tentang standar profesi, sehingga dapat memperjelas hak dan kewajiban pasien dan dokter/pekerja dalam bidang medis.
Loading...

0 Response to "MALPRAKTIK MEDIS DALAM PANDANGAN FIQIH"

Post a Comment