1. Sekalipun pencatatan perkawinan dan akta perkawinan itu penting akan tetapi pada awalnya hukum Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan secara konkrit. Dari unsur-unsur dan syarat perkawinan menurut hokum Islam/fiqh seperti sudah disebutkan, tidak disebut adanya pencatatan perkawinan sebagai rukun atau syarat perkawinan.. Pada zaman Nabi dan sahabat tidak pernah perkawinan dicatat dan kepada para pihak diberikan akte nikah. Perkawinan dipandang sah asal sudah memenuhi unsure dan syarat-syaratnya.
2. Ada beberapa kemungkinan mengapa fiqh tidak memberi perhatian yang serius terhadap pencatatan perkawinan dan pada masa Nabi ataupun masa sesudahnya tidak dikenal adanya pencatatan perkawinan sekalipun al-Qur’an menganjurkan ntuk mencatat transaksi muamalah:
a Ada larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an sehingga budaya tulis kurang berkembang dibanding dengan budaya oral (hafalan).
b. Umat Islam pada masa itu sangat mengandalkan hafalan/ingatan. Untuk mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukan hal yang sulit untuk dilakukan.
c. Adanya tradisi i’lanun nikah antara lain melalui media walimah al-urs. Nabi memerintahkan untuk mengadakan walimah al-‘urs walaupun hanya menyembelih seekor kambing. I’lanun nikah dan walimah perkawinan merupakan penyaksian telah terjadinya perkawinan, di samping adanya saksi khusus pada waktu pelaksanaan ijab qabul.
d. Ada kesan bahwa perkawinan yang dilakukan pada awal-awal Islam, domisili caon suami dan calon isteri berada dalam wilayah yang sama, belum terjadi perkawinan antar wilayah negara yang berbeda, sehingga alat bukti selain saksi belum dibutuhkan.
Dengan alasan-alasan seperti di atas maka pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting pada waktu itu.
3. Sesuai dengan perkembangan zaman, telah terjadi pergeseran-pergeseran dan perubahan. Di antaranya pergeseran dari budaya lisan (oral) kepada budaya baca tulis yang merupakan ciri masyarakat modern. Hal demikian membawa implikasi bahwa peristiwa-peristiwa penting didokumentasikan dalam bentuk tertulis (akta) sekaligus dijadikannya akta sebagai bukti otentik. Dibandingkan dengan saksi hidup, bukti tertulis (akta) bisa lebih abadi. Kondisi demikian menuntut bahwa dalam perkawinan harus dilakukan pembaharuan antara lain perkawinan dicatat dalam dokumen resmi dan sebagai bukti telah terjadiperkawinan kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan diberikan kutipannya dalam bentuk Akta Nikah
4. Sejalan dengan pemikiran di atas, maka di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah diatur mengenai pencatatan perkawinan dan mekanisme tatacara perkawinan dan pencatatannya. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam penjelasan pasal demi pasal, tidak ada penjelasannya, tetapi dalam penjelasan umum angka 4 huruf dijelaskan sebagai berikut: “… dan di samping itu tiap-tiapperkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyataan dalam surat-surat keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Bagaimana prosedur perkawinan, proses pencatatannya dan pemuatannya dalam Akta Perkawinan diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 sampai Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975.
5. Berbeda pandangan para ahli hokum terhadap ketentuan yang mengatur pencatatan perkawinan. Satu pendapat mengatakan bahwa pencatatan perkawinan hanya merupakan syarat administrative, sehingga perkawinan yang tidak dicatat tetap sah asal memenuhi ketentuan agama dan kepercayannya. Pendapat kedua mengatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan sarat tambahan sahnya perkawinan, karena Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/1974 merupakan satu kesatuan dan tidak dipisah-pisahkan. Sahnya perkawinan tidak saja sah menurut ketentuan agama dan kepercayaannya tapi juga harus dicatat.
6. Tuntutan perkembangan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, HukumIslam di Indonesia mengatur juga tentang pencatatan dan akta perkawinan. Dalam KHI pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 dan 6. Dalam Pasal 5 KHI disebutkan:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan terwebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954
Selanjutnya dalam Pasal 6 dijelaskan:
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perkawinan yang dilakukan di pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hokum.
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa KHI sudah melangkah lebih jauh dibandingkan Undang-undang, karena pencatatan perkawinan bukan sekedar persoalan administrative, melainkan (a) dalam Pasal 5 KHI disebutkan “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam”. Ketertiban adalah menyangkut gayatut tasyri, tujuan hokum Islam, yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, (b) dalam Pasal 6 ayat (2) ada klausul “tidak mempunyai kekuatan hokum”. Apa makna tidak mempunyai kekuatan hokum? KHI tidak menjelaskan. Apa mungkin tidak mempunyai kekuatan hokum diterjemahkan dengan tidak sah?
7. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pencatatan perkawinan mempunyai tujuan:
a. Menciptakan ketertiban perkawinan dalam masyarakat
b. Preventif, agar tidak terjadi kekurangan dan penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hokum agama maupun menurut perundang-undangan. Melalui pemberitahuan dan pendaftaran perkawinan, Pegawai Pencatat Perkawinan dapat meneliti apakah syarat-syarat melkukan perkawinan sudah terpenuhi atau belum. Kehendak melangsungkan perkawinan selanjutnya ditempel dalam papan pengumuman sehungga masyarakatluas dapat megetahui dan ikut mengoreksi apabila terjadi kekuarangan atau penyimpangan.
c. Melindungi martabat dan kesucian perkawinan, terutama isteri dalamkehiduoan rumah tangga dan anak-anak. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Perkawinan apabila terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak mau bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hokum untuk, karena Akta Perkawinan meruakan bikti otentik.
8. Sekalipun pada awalnya hokum Islam tidak mengenal pencatatan perkawinan dan Akta Perkawinan, akan tetapi mengingat pentingnya pencatatan perkawinan pada masa sekarang ini sebagaimana dijelskan di atas maka ketentuan tentang pencatatan perkawinan dan akta nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 1/1974 maupun KHI tidak bertentangan dengan hokum Islam bahkan sejalan dengan hokum Islam. Pembenaran tersebut paling tidak didasarkan kepada:
a. Qiyas (bahkan qiyas aulawi) kepada isyarat untuk menuliskan transaksi muamalah sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat al Baqarah ayat 122:
………………………………..
Artinya: ………..
Apabila transaksi muamalah saja harus dicatat, maka mencatat akad perkawinan sebagai sebuah ikatan yang kuat, ikatan suci (misaqan galida) mestinya lebih utama dan lebih penting lagi.
b. Berdasarkan Istislah/maslahah mursalah. Bahwa pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta perkawinan sekalipun secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkannya, akan tetapi kandungan maslahatnya besar sekali dan sejalan dengan ketentuan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan dan mencegah segala kemudaratan, mafsadat. Hal ini sesuai juga dengan qaidah.
درأ المفاسدِ مقدّمٌ على جلب المصالح
-------
Loading...
0 Response to "PENCATATAN PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH"
Post a Comment