Sebagian kaum muslimin beranggapan, bahwa setiap orang yang memiliki perilaku baik atau secara umum, moralitasnya sangat tinggi dan terpuji, maka orang tersebut dikenal dengan sebutan shufi yaitu pengamal ajaran tashawwuf. Mereka beralasan dengan beragam argumen, semuanya itu bermuara kepada ‘sosok seseorang yang dianggap suci atau bersih’ yang dihubungkan dengan akar kata mirip dengan kata shufi. Benarkah demikian?
Beberapa Tanggapan
Diantara mereka ada yang menyandarkannya pada sekelompok komunitas miskin shahabat rasûlullâh saw. yang menghibahkan dirinya di jalan Allah, dimana mereka tinggal di serambi mesjid Nabawi. Mereka itulah yang disebut ahlus shuffah atau ashâbus shuffah. (Al-Asqalani dalam Hadyus Sâri Muqaddimah Fathil Bâri, hal. 221)
Hal ini diperkuat dengan pernyataan shahabat Abu Hurairah ra.: “Aku pernah melihat tujuh puluh orang diantara ahlus shuffah, tidak seorangpun dari mereka yang memakai kain yang menutupi bagian atas tubuh mereka, mereka hanya memakai kain atau sarung yang mereka ikatkan ke leher. Diantara kain yang dipakainya itu, ada yang menutupi hanya separuh betis dan ada yang menutupnya sampai kedua mata kaki, juga ada diantara mereka yang memegang kain dengan tangannya karena khawatir nampak terbuka auratnya.” (H.R. Al-Bukhari dalam Fathul Bâri I/694 no. 442)
Maka jelaslah, hadits ini memberikan gambaran tentang kondisi mereka yang serba kekurangan karena ketidakmampuan, sehingga mereka harus tinggal di mesjid. Abdurrahman bin Abu Bakar menyebutnya dengan ashâbus shuffal al-fuqarâ. (Fathul Bâri I/692)
Adapula yang menyandarkannya pada kata shaff (orang yang berada pada garis depan dalam menghadap Allah ‘Azza wa Jalla), juga ada pendapat menyebutkan disandarkan pada kata shafwah (akhlak yang bersih). Bahkan ada pendapat yang menyebutkan disandarkan pada nama seorang tokoh Makkah kuno yang ahli ibadah bernama Shuffah bin Bisyir bin ‘Add bin Thanjah.
Pandangan-pandangan tersebut dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitâbut Tashawwuf. Menurutnya: “Sesungguhnya kata shufi tidaklah popular pada tiga abad pertama sebagaimana pendapatnya imam kaum muslimin seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Abi Sulaiman ad-Darâni. Apabila kata shufi disandarkan pada kata tersebut maka istilahnya menjadi shufiyy. Juga apabila disandarkan pada kata shafwah itupun keliru, karena kalaupun disandarkan padanya maka istilahnya menjadi shafawiy. Demikian pula apabila disandarkan pada nama Shuffah bin Bisyir bin ‘Add bin Thanjah yang ahli ibadah di masa jahiliyah, itupun lemah pula, karena penisbatan ini tidak popular di kalangan ahli ibadah, baik shahabat, tâbi’in, tâbi’ut tâbiin dan sudah tentu mereka tidak akan ridha untuk disandarkan kepada kabilah jahiliyah yang tidak ada dalam Islam.” (Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ Fatâwâ XI/ 5-6)
Zâhid Bukan Shufi
Seorang yang menempuh jalan zuhud, maka disebut zâhid. Adapun makna zuhud menurut Imam Ibnul Manzhur dalam Lisânul ‘Arab adalah ‘Dhiddur raghbah wal hirsh ‘alad dunya,’ artinya kebalikan dari sangat ingin memiliki dunia. Menurut Imam Ibnu Qayyim dalam Madârijus Sâlikîn, asal makna zuhud adalah berpaling (al-inshirâf), menghinakan (al-ihtiqâr) dan menganggap kecil (tashghîr) kepada keadaannya dikarenakan merasa cukup dengan sesuatu yang dianggap lebih baik. Agar tidak terjadi penafsiran yang keliru, maka para ulama mencoba menjelaskan hakikat maknanya. Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan di akhirat; sementara Hasan Al-Bashri mengatakan: “Bukanlah zuhud itu mengharamkan sesuatu yang halal dan bukan pula menyia-nyiakan harta, melainkan apa yang menjadi hak Allah lebih diutamakan daripada apa yang menjadi hak manusia.” (Nâzhim Muhammad Sulthân dalam Qawâ’id wa Fawâ’id Minal Arbain An-Nawawiyyah, hal. 264-265)
Hal ini sejalan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan carilah olehmu apa yang Allah berikan dari kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagian yang Allah berikan dari kenikmatan dunia…….” (Q.S. Al-Qasshâsh/ 28: 77). Juga hadits rasûlullâh saw. sebagai jawaban atas pertanyaan seorang shahabat tentang amalan yang dapat mendatangkan kecintaan Allah dan dicintai manusia. Beliau menjawab: “Zuhudlah kamu kepada dunia, pasti Allah mencintaimu. Zuhudlah kamu pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia mencintaimu.” (H.R. Ibnu Majjah, Kitâbul Zuhd no. 4103)
Imam Ibnu Katsir memberikan penafsiran, bahwa yang dimaksud, ‘janganlah kamu melupakan bagian Allah dari kenikmatan dunia (wala tansa nashîbaka minad dunya)’ adalah sesuatu yang sudah semestinya dimiliki setiap mukmin berupa makanan, minuman, pakaian, istri dan tempat tinggal yang telah diperbolehkan Allah ‘Azza wa Jalla. Dikarenakan kamu memiliki hak dari Allah, dirimu memiliki hak yang harus diberikan, keluargamu memiliki hak dan tetanggamu memiliki hak. Maka berikanlah hak itu pada setiap pemiliknya. (Muhammad Nasib ar-Rifa’i dalam Taisîrul ‘Âliyil Qadîr li Ikhtishâri Tafsîr Ibni Katsîr III/ 403)
Begitulah Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan bahwasanya yang harus dicari, diusahakan dengan sungguh-sungguh dan didapatkan oleh setiap mukmin adalah negeri akhirat. Sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (Lihat Q.S. Al-An’âm/ 6: 32). Namun demikian, tidak berarti seorang mukmin harus meninggalkan dan menghindari kenikmatan dunia, karena kehidupan dan perhiasan duniapun diperuntukkan bagi mereka. (Lihat Q.S. Al-A’râf/ 7: 2)
Oleh karenanya, Imam Ahmad memaknai zuhud ini dengan: “Kamu menggenggam dunia ini tetapi hatimu tidak tertambat kepadanya.” Lalu Imam Ahmad membagi zuhud kepada tiga macam; pertama, Zuhdul ‘Awwâm (meninggalkan perkara haram); kedua, Zuhdul Khawwâsh (meninggalkan hal-hal yang mubah, berhati-hati dalam perkara yang halal); ketiga, Zuhdul ‘Ârifîn (meninggalkan perkara yang menyibukkan dan membuat lalai kepada Allah). (Nadzhîm Muhammad Sulthân, hal 266)
Dengan demikian, orang-orang yang senantiasa berusaha menempuh kebersihan hati, itulah yang menempuh hidup zuhud, sedangkan orang yang disebut zâhid, bukanlah shufi. Karena istilah shufi itu sendiri tidak dikenal di masa Rasûlullâh saw., para shahabat, dan juga para tâbi’in, sekalipun ada yang berpendapat, mereka adalah komunitas zuhud yang suka memakai kain wol (shûff). Bahkan para ulama ada yang berpendapat bahwa kata shufi diambil dari kata ‘shufiya’ (artinya hikmah, kebijaksanaan atau ilmu, komunitasnya disebut kaum sophis, dimana istilah ini muncul ketika buku-buku Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab). Menyikapi pergeseran istilah ini, Abul Hasan an-Nadawy dalam kitabnya Rabbâniyyah Lâ Rahbâniyyah berkata: “Alangkah baiknya, jika mereka tidak menggunakan kata shufiyah (dalam memberikan penilaian yang baik-baik), melainkan tazkiyyah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam Q.S. Al-Baqarah/ 2: 129: “Wayu’allimuhumul kitâba wal hikmata wa yuzakkîhim,” artinya: “Dan ia (Nabi) mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah serta mensucikan diri mereka (tazkiyah).” (Muhammad Jamil Zaenu dalam Ash-Shûfiyah Fî Mizânil Kitâbi Was Sunnah, hal. 5).
Alangkah bahagia orang yang mensucikan dirinya dan sungguh binasa orang yang mengotorinya.
Loading...
0 Response to "AHLUS SHUFFAH BUKAN SHÛFIYAH"
Post a Comment