Pembahasan mengenai siapakah pembuat hukum merupakan pembahasan terpenting dan mendesak untuk dijelaskan. Karena dari sinilah pembahasan mengenai hukum dengan berbagai ragam dan klasifikasinya itu kemudian bisa dijelaskan. Al-Hâkim dalam konteks ini bukanlah pemegang kekuasaan yang akan menerapkan segala hal dengan kekuasaan yang ada ditangannya, melainkan sumber yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan (al-af'âl) dan benda (al-asyyâ'). Karena yang ada di muka bumi ini tidak lain selain dua hal di atas, yakni benda atau perbuatan.
Oleh karena manusia telah menjadi objek pembahasan di dunia ini, maka keluarnya hukum itu tidak akan terlepas dari dan dalam rangka mengatur manusia. Dengan demikian, harus ada hukum yang mengatur perbuatan manusia dan benda yang mempunyai kaitan dengan perbuatannya. Lalu, siapakah zat satu-satunya yang berhak mengeluarkan hukum tersebut; manusia ataukah Allah? Atau dengan kata lain, apakah syara' ataukah akal?
Jawaban atas pertanyaan di atas sebenarnya tidak terlepas dari perdebatan mengenai al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela). Alasannya, karena pembahasan mengenai keluarnya hukum esensinya merupakan pembahasan mengenai sikap manusia untuk menentukan perbuatan; apakah harus dilaksanakan, ditinggalkan atau dipilih, baik untuk dilaksanakan ataupun ditinggalkan. Pada waktu yang sama sikap manusia terhadap perbuatan tersebut ditentukan oleh pandangannya mengenai sesuatu, apakah al-hasan (terpuji), al-qabîh (tercela), ataukah tidak al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela)? Dengan kata lain, pembahasan mengenai zat yang berhak mengeluarkan hukum ini sebenarnya merupakan pembahasan tentang tahsîn (penentuan terpuji) dan taqbîh (penentuan tercela).[1] Dengan demikian, pembahasan mengenai hukum (keputusan) yang dibutuhkan sebenarnya adalah pembahasan mengenai al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela). Lalu apakah hukum al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela) tersebut tunduk pada akal atau syara'? Inilah yang perlu dibahas. Ini dengan anggapan, bahwa tidak ada hukum yang tunduk pada selain kedua hal di atas.
Sedangkan hukum perbuatan dan benda pada dasarnya bisa dilihat berdasarkan tiga perspektif yang berbeda. Pertama, hukum perbuatan dan benda dari realitas substansialnya. Kedua, keserasian dan tidaknya dengan tabiat dan kecenderungan fitrah manusia. Ketiga, keterpujian dan ketercelaannya, atau pahala dan dosa. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa hukum perbuatan dan benda dari realitas substansial serta keserasian dan tidaknya dengan kecenderungan fitrah manusia memang tunduk kepada akal manusia. Karena selain syara' tidak mengaturnya, akal memang mampu melakukannya. Misalnya, bodoh, kurang dan miskin adalah qabîh (buruk), sementara pandai, sempurna dan kaya adalah hasan (baik). Adapun yang berhubungan dengan benda, misalnya, gula dianggap hasan dan racun disebut qabîh. Karena itu, jika perbuatan dan benda tersebut dilihat dari realitas substansial serta keserasian dan tidaknya dengan fitrah manusia jelas bisa dihukumi dengan akal.
Akan tetapi pada aspek yang ketiga, yakni aspek keterpujian dan ketercelaan serta pahala dan dosa, hukum perbuatan dan benda tersebut tidak tunduk kepada akal manusia, selain tunduk dan patuh kepada syara'. Misalnya, keterpujian iman, taat dan dusta di medan perang, serta ketercelaan kufur, maksiat dan dusta terhadap rezim kufur di luar medan peperangan adalah contoh-contoh yang tidak bisa diputuskan oleh akal manusia.[2]
Di sinilah persoalannya, ketika penilaian terhadap al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela) perbuatan dan benda tersebut tidak diklasifikasikan; antara mana yang tunduk pada akal dan tidak. Akibatnya, penilaian tersebut menjadi kacau. Ini terlihat dengan jelas dalam perdebatan ulama' kalam dan ushul fiqih. Mazhab Mu'tazilah, sebagaimana yang dikutip oleh Abd al-Karîm Zaydân dan Muhammad Husayn Abdullâh, menyatakan bahwa perbuatan dan benda bisa dinilai al-hasan dan al-qabîh secara substanstif (zhâti). Menurut mereka, akal berperan mengenali al-hasan dan al-qabîh perbuatan dan benda melalui sifat masing-masing, atau konsekuensi manfaat dan mudaratnya. Maka, apa yang dipandang al-hasan oleh akal, menurut mereka, di mata Allah juga al-hasan, dan demikian sebaliknya. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan mazhab Ahlussunnah-Asy'ariyyah, yang menyatakan bahwa perbuatan dan benda tidak bisa dinilai al-hasan dan al-qabîh secara substanstif (zhâti). Menurutnya, penilaian al-hasan dan al-qabîh tersebut harus bersumber dari perintah pembuat syariat, bukan substansi perbuatannya. Sementara Ahlussunnah-Mâturidiyyah dan mayoritas Hanafiyyah menyatakan, bahwa perbuatan dan benda bisa dinilai al-hasan dan al-qabîh berdasarkan sifat-sifatnya serta maslahat dan mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkannya. [3]
Inilah kompleksitas pembahasan mengenai al-hasan dan al-qabîh. Tetapi, setelah persoalan tersebut berhasil diurai dan diklasifikasikan sebagaimana ketiga kategori di atas, maka persoalan al-hasan dan al-qabîh ini menjadi jelas. Kongklusinya, al-hasan dan al-qabîh ada yang bisa ditentukan oleh akal, ketika yang dinilai adalah realitas substansial perbuatan atau benda, serta keserasian dan tidaknya perbuatan dan benda tersebut dengan kecenderungan fitrah manusia. Namun, penilaian terhadap perbuatan dan benda yang berkaitan dengan konsekuensi pahala dan dosa, atau keterpujian dan ketercelaannya, sama sekali tidak bisa ditentukan oleh akal manusia. Maka, dalam hal ini hanya Allahlah satu-satunya zat yang bisa menentukan status ke-hasan-an dan ke-qabîh-an perbuatan dan benda tersebut.
Mengenai kasus yang terakhir ini, bisa diajukan dua argumentasi. Pertama, secara rasional, realitas yang terakhir ini tidak bisa dijangkau oleh indera manusia. Karena tidak bisa dijangkau oleh indera manusia, maka status ke-hasan-an dan ke-qabîh-an realitas tersebut tidak bisa ditentukan oleh akal manusia. Jika penilaian tersebut tetap diserahkan kepada manusia, manusia pasti akan menentukannya berdasarkan kecenderungannya; jika perbuatan dan benda tersebut sesuai dengan kecenderungannya, pasti akan dinilai al-hasan, dan dinilai al-qabîh jika sebaliknya. Akibatnya penilaian manusia terhadap perbuatan dan benda tersebut tunduk kepada hawa nafsu atau tendensi pribadi, bukan tunduk kepada apa yang seharusnya digunakan untuk menilai. Jika ini terjadi, penilaian terhadap perbuatan dan benda dinyatakan al-hasan dan al-qabîh tersebut akan beragam seiring dengan keberagaman manusia dan zamannya. Hal ini terjadi karena tidak ada seorang pun yang mampu membuat hukum yang tetap sepanjang zaman. Karena itu, penilaian, keputusan dan hukum tersebut harus berasal dari Allah SWT. Bukan dari yang lain. [4]
Kedua, secara syar'i, syara' telah menetapkan bahwa penentuan al-hasan dan al-qabîh harus tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya, sebaliknya syara' telah melarang pengambilan hukum (keputusan) yang didasarkan kepada hawa nafsu. Firman Allah SWT:
} إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ {
Sekali-kali keputusan hukum itu hanya di tangan Allah; Dialah zat yang Maha Memutuskan kebenaran, sedangkan Dialah sebaik-baik Pemberi keputusan. (QS. al-An'âm [6]: 57).
} وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ {
Hendaklah kamu hukumi (perkara) di antara mereka berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, dan janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. al-Mâidah [5]: 49).
Lebih tegas lagi Allah SWT. berfirman:
} كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا
وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ {
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Berdasarkan uraian dan argumentasi di atas, maka bisa disimpulkan, bahwa yang dikatakan al-hasan adalah apa saja yang dinyatakan hasan (baik dan terpuji) oleh syara', sedangkan al-qabîh adalah apa saja yang dinyatakan qabîh (buruk dan tercela) oleh syara'. [5]
[1] Pembahasan mengenai tahsîn dan taqbîh ini telah menjadi salah satu pembahasan utama ulama' ushul fiqih ketika mereka membahas substansi hukum dan penentunya. Lihat, As-Subki, al-Ibhâj, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1404, juz I, hal. 61.
[2] An-Nabhâni, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. I, 1953, juz III, hal. 7-8. Lihat juga, al-Fakhr ar-Râzi, al-Mahshûl fi Ilm Ushûl al-Fiqh, ed. Thâha Jâbir al-Alwâni, Jâmi'ah al-Imâm Muhammad bin Sa'ûd al-Islâmiyyah, Riyadh, cet. I, 1400, juz I, hal. 159; Athâ' bin Khalîl, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. III, 2000, hal. 10; Muhammad Husayn Abdullâh, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. II, 1995, hal. 255.
[3] Zaydân, al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Tawzî' wa al-Nashyr al-Islâmi, Kaero, cet. I, 1993, hal. 70-72; Muhammad Husayn Abdullâh, ibid, hal. 254. Lihat juga, al-Baqillâni, al-Anshâf, ed. Muhammad Zâhid bin al-Hasan al-Kawtsari, Maktabah al-Khâniji, Kaero, cet. III, 1993, hal. 49-50; al-Ghazâli, al-Mustashfa, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1413, juz I, hal. 45.
[4] An-Nabhâni, al-Syakhshiyyah, juz III, hal. 10-11; Athâ' bin Khalîl, Taysîr, hal. 11; Muhammad Husayn Abdullâh, al-Wadhih, hal. 256.
[5] An-Nabhâni, ibid, hal. 10-11. Lihat juga, al-Baqillâni, al-Anshâf, hal. 50.
Loading...
0 Response to "PEMBUAT HUKUM (al-Hâkim)"
Post a Comment