HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada prinsipnya menurut hokum Islam harta kekayaan suami terpisah dari harta kekayaan isteri. Masing-masing suami dan isteri dapat memilki kekayaan baik yang diperoleh  sebelum perkawinan atau sesudah perkawinan. Apa yang dihasilkan suami setelah menikah tetap dikuasai oleh suami dan bukan milik isteri, Hanya saja berkewajiban member nafkah kepada isterinya. Isteri apabila bekerja atas ijin suami dan menghasilkan sesuatu maka penghasilan isteri merupakan haknya, steri tidak berkewajiban memberi keada suami. Hanya saja isteri berkewajiban menjaga dirinya dan harta suaminya apabila suami tidaka ada di tempat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat 34 surat an-Nisa’:
... فاالصلحت قنتت حفظت للغيب بماحفظ الله ...
Akan tetapi dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 harta dalam keluarga itu dibedakan kepada harta bawaan dan harta bersama. Hal ini sebagaimana diatur dalam Bab VII dalam judul Harta Benda dalam Perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal, selengkapnya sebagai berikut:
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Jadi harta bersama ialah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.
Apakah hokum Islam bisa meneriam dan membernarkan adanya harta bersama dalam perkawinan? Dapat dijelaskan sebagai berikut:
Harta bersama merupakan urf dalam sebuah masyarakat yang adat istiadatnya tidak memisahkan antara hak milik  suami dan  isteri yang diperoleh dan selama mereka terikat dalam perkawinan.  Dalam urusan rumah tangga tidak dipisahkan  harta penghasilan suami dan penghasilan isteri. Harta pencaharian suami bercampur baur dengan harta penghasilan isteri. Dalam rumah tangga seperti ini rasa kebersamaan lebih menonjol dan menganggap akad nikah mengandung persetujuan kongsi (syirkah) dalam membina rumah tangga, bahkan lebih kuat dari sekedar syirkah yang dikenal dalam muamalah, karena dalam perkawinan suami isteri telah bersyarikat lahir dan batin. Dengan demikian seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan jerih payah siapa yang lebih banyak menghasilkan dalam usaha memperoleh harta itu. Oleh karena itu sifat kegotongroyongan lebih menonjol dalam masyarakat seperti ini. Di Indonesia, adat kebiasaan seperti ini  menjadi lebih kuat karena telah dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Jika salah seorang suami isteri  meninggal dunia masalah pertama yang harus diselesaikan sebelum pembagian harta warisan adalah penyelesaian pembagian harta bersama.
Untuk melihat lebih lanjut posisi harta bersama atau harta gono gini, dapat dilihat dari kajian muamalat,  bahwa harta gono gini dapat dikategorikan sebagai hasil syirkah atau join antara suami isteri. Dalam perkawinan, suami dan isteri dipandang telah melakukan syirkah atau kongsi. Dalam konteks konvensional, suami merupakan tulang punggung keluarga, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi rumah tangganya. Dalam kondisi seperti ini, sekalipun isteri secara riil tidak bekerja menghasilkan harta, akan tetapi telah dipandang mempunyai kongsi, menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk mengurus rumah tangga, sehingga bekerja tidak harus selalu diartikan bekerja di luar rumah. Syirkah yang seperti ini dalam muamalah bisa dikategorikan ke dalam syirkah abdan yang oleh hukum Islam diperbolehkan. Lebih-lebih apabila isteri selain mengatur  manajemen ekonomi  rumah tangga, juga ikut bekerja secara riil menghasilkan harta, maka syirkah seperti ini disebut syirkah inan yang juga diperbolehkan oleh ukum Islam. Selanjutnya apabila suami isteri itu bercerai atau salah seorang suami isteri meninggal dunia, harta bersama atau gono gini dibagi dua bagian, sebagian untuk suami dan sebagian lagi untuk isteri.

Ketentuan harta bersama dalam Undang-undang No. 1/1974 bandingkan dengan ketentuan KHI yang diatur dalam Bab XIII dengan judul “HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN”
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing masing suami atau isteri.
Pasal 86
(1)      Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2)      Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
(1)      Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2)      Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1)      Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2)      Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)      Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4)      Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93
(1)      Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2)      Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
(3)      Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4)      Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
(1)      Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masingmasing terpisah dan berdiri sendiri.
(2)      Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.
Pasal 95
(1)      Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
(2)      Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
(1)      Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
(2)      Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
------



Loading...

0 Response to "HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN"

Post a Comment