OBJEK HUKUM (al-Mahkûm 'alayh)

Selain persoalan pembuat hukum dan hukum di atas, objek hukum (al-mahkûm alayh) juga merupakan kajian yang menarik perhatian para pakar jurisprudensi Islam. Objek hukum (al-mahkûm alayh) ini biasanya mereka sebut dengan mukallaf.[1] Namun, siapakah sesungguhnya mukallaf, orang yang menjadi objek hukum Islam itu? Benarkah keislaman orang tersebut menjadi salah satu syarat kemukallafannya?

Di sini ada dua persoalan yang harus dipisahkan. Pertama, objek seruan hukum (mukhâtab) itu sendiri; Kedua, pelaksanaan hukum Islam oleh objek seruan (mukhâtab). Dalam konteks yang pertama, yang berkaitan dengan mukhâtab, bisa dinyatakan bahwa seluruh manusia, baik Muslim maupun Kafir, masing-masing diseru (mukhâtab) dan dibebani hukum (mukallaf) oleh Allah, baik yang menyangkut urusan ushûl (dasar), seperti akidah, maupun derivat (furû'), seperti ibadah dan lain-lain.[2] Pandangan ini disepakati oleh Mâlik, as-Syâfi'i dan Ahmad.[3] Kesimpulan ini dapat dibuktikan melalui berbagai argumentasi. Antara lain firman Allah SWT:

} وَمَا أرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كاَفَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا {

Dan Kami sekali-kali tidak mengutus kamu, kecuali untuk seluruh manusia dengan membawa kabar gembira dan ancaman (QS. Saba' [34]: 28).

} قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا {

Katakanlah (Muhammad): 'Wahai manusia, aku adalah utusan Allah untuk kalian semua.' (QS. al-A'râf [7]: 158).

Kedua nash di atas adalah seruan yang bermakna umum untuk seluruh manusia, Muslim dan non-Muslim. Maka, tidak bisa dinyatakan, bahwa seruan tersebut hanya menyangkut aspek keimanan pada risalah, bukan keimanan pada hukum-hukum cabang. Karena seruan untuk mengimani risalah adalah seruan untuk meyakini Islam, dan tidak bisa diartikan sebagai seruan untuk melaksanakan hukum-hukum cabang. Kongklusi ini tidak bisa dibenarkan, karena keimanan pada risalah ini meliputi persoalan pangkal dan cabangnya, bukan hanya pangkalnya saja. Jika terpaksa harus diinterpretasikan pangkalnya saja, interpretasi tersebut harus didukung dengan dalil yang berfungsi sebagai mukhashshish (pengkhusus). Karena jika tidak, interpretasi tersebut tidak bisa diterima. Padahal, banyak nash-nash qath'i yang justru menjelaskan sebaliknya. Antara lain firman Allah:

} وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ ~ الَّذِينَ لاَ يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ {
Celakalah orang-orang musyrik yang tidak menunaikan zakat. (QS. Fushshilat [41]: 6-7).

} مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ~ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ~ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ {
Apa yang menyeret kalian ke neraka Saqar? Mereka menjawab: 'Kami dahulu bukanlah orang yang mengerjakan shalat, dan tidak memberi makan orang-orang miskin.' (QS. al-Mudatstsir [74]: 42-44).

Jika orang-orang kafir, baik musyrik maupun ahli kitab, tidak menunaikan zakat dan shalat dinyatakan celaka dan diganjar dengan neraka, tentu zakat dan shalat tersebut juga diperintahkan kepada mereka. Karena jika tidak, mereka tidak akan dianggap celaka dan harus diganjar dengan azab akibat meninggalkannya. Jika demikian, berarti orang kafir juga bisa disebut mukallaf. Dan itu juga berarti, bahwa Islam bukan merupakan syarat bagi manusia untuk disebut mukallaf dan tidak, kecuali dalam persoalan yang memang Islam ditetapkan sebagai syaratnya. Misalnya, kewajiban berpuasa yang disyaratkan harus Muslim, sebagaimana firman Allah:

} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {

Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang kalian agar kalian bertakwa. (QS. al-Baqarah [2]: 183).

Sedangkan dalam konteks yang kedua adalah konteks pelaksanaan hukum Islam, harus dibedakan: Pertama, jika hukum tersebut dilaksanakan bukan karena paksaan siapapun, maka dalam konteks ini harus dibedakan antara pelaksanaan hukum Islam yang menetapkan Islam sebagai syaratnya, dengan pelaksanaan yang tidak menetapkan Islam sebagai syaratnya. Jika Islam ditetapkan sebagai syarat pelaksanaannya, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lain, sedekah, aktivitas kebajikan yang lain, serta kesaksian di luar urusan harta kekayaan, menjadi penguasa atau hakim bagi kaum Muslim, dalam hal ini orang Kafir tidak dibolehkan untuk melaksanakan hukum tersebut, dan harus dicegah agar mereka tidak melakukannya. Karena Allah telah menetapkan Islam sebagai syaratnya. Adapun selain hukum-hukum di atas, yaitu hukum yang dilaksanakan tanpa menjadikan Islam sebagai syaratnya, maka orang Kafir boleh melaksanakan hukum tersebut. Misalnya, seperti keterlibatan orang non-Muslim dalam peperangan bersama kaum Muslim, kesaksian dalam urusan harta benda, kedokteran dan aspek disiplin keilmuan.

Kedua, jika hukum tersebut dilaksanakan karena paksaan, dimana mereka dipaksa untuk melaksanakannya, maka harus dibedakan antara hukum yang dinyatakan dengan seruan umum, tanpa disertai syarat iman, dengan hukum yang spesifik dimana iman kepada Islam ditetapkan sebagai syaratnya.  Jika hukum ini bersifat umum, tanpa disertai syarat iman dalam pelaksanaannya, maka orang non-Muslim wajib dipaksa untuk melaksanakannya. Misalnya, dalam interaksi bisnis (mu'âmalah) dan sanksi hukum (uqûbât), orang non-Muslim harus dipaksa melaksanakan hukum Islam. Jika mereka meninggalkannya, mereka wajib dikenakan sanksi. Namun, jika hukum tersebut bersifat spesifik dimana iman kepada Islam ditetapkan sebagai syaratnya, maka mereka tidak dipaksa untuk melakukannya, dan sebaliknya jika mereka meninggalkannya tidak akan dikenakan sanksi. Misalnya, orang non-Muslim tidak akan dipaksa melakukan jihad atau meninggalkan minuman keras. Karena baik jihad maupun meninggalkan minuman keras, pelaksanaannya ditetapkan hanya untuk orang Muslim. Jika mereka tidak melakukan hukum tersebut, mereka juga tidak akan dikenakan sanksi. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa orang-orang non-Muslim dibiarkan untuk memeluk agama mereka, menjalankan ibadah mereka, dan bebas memakan makanan dan meminum minuman yang diharamkan untuk orang Muslim tetapi tidak untuk mereka.


[1] Lihat, al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, ed. Sayyid al-Jamîli, Dâr al-Kitâb al-Arabi, Beirut, cet. I, 1404, juz I, hal. 199; as-Syawkâni, Irsyâd al-Fuhûl, ed. Muhammad Saîd al-Badri, Dâr al-Fikr, Beirut, cet. I, 1992, hal. 32. 
[2] An-Nabhâni, op. cit., juz III, hal. 22.
[3] Lihat, as-Subki, al-Ibhâj, juz I, 177 dan 185.  
Loading...

0 Response to "OBJEK HUKUM (al-Mahkûm 'alayh)"

Post a Comment