FAKTA SEJARAH ISLAM (Telaah Terhadap Determinisme Sejarah)


Penulis sangat yakin, jika seandainya imam Syafi`i lahir kembali dan melihat kenyataan sekarang yang telah jauh berubah dan berbeda dari masa dan tempat ia hidup dahulu, maka ia akan membuat mazhab jadidun ajdat sebagai anti thesis mazhab jadidnya di Mesir yang ada ditangan kita sekarang.

Kata kunci:
Determinisme, Sejarah, Ilmu Kalam, Fiqh, Tassawuf, Istiqra`, Sahabat, Tabi`in dan Tabi` tabi`in.

A.Pendahuluan

Anak rantai terakhir sebelum putusnya perkembangan ilmu pengetahuan dan ditutup pintu ijtihad dalam Islam diakhiri oleh tiga pemikir dan ulama terkemuka, yaitu Imam Syatibi wafat 790, Ibnu Khaldun (1332-1405)  dan Ibnu Taimiyah (1263-1328).

Ilmu maqashid yang dikembangkan oleh imam Abu Ishak Asy-Syatibi  wafat 790 H. pada paroh akhir abad 14 merupakan ilmu yang lahir lebih awal dari abadnya, nasib ilmu ini tidak lebih baik dari ilmu sosiologi, metode experimental (istiqra` sebagai ganti dari metode mantiq) yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun (1332-1405) dan Ibnu Taimiyah (1263-1328).

Layaknya ilmu yang lebih awal lahir dari masanya, ilmu-ilmu tersebut tidak mendapat tempat lebih pantas didalam masyarakat masa itu. Bagi ilmuwan dan cendekiawan, ilmu-ilmu ini bagi mereka lagei ceit langet, jangankan mendapatkan penghargaan, malahan ilmu ini dibenci untuk dipelajari dikalangan pelajar dan lingkungan penguasa pada saat itu. Akibatnya adalah sangat fatal, urat nadi perkembangan keilmuwan di dunia Islam berhenti hanya pada karya-karya tiga tokoh ini.  Sedangkan pengetahuan-pengetahuan yang digalakkan untuk dipelajari dibatasi pada kitab-kitab fiqh empat, karena telah mendapat justifikasi dari penguasa, tassawuf isyraqiyah dan ilmu kalam Asy `ariyah.

Kalau seandainya, umat Islam terus menelaah dan mengembangkan paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan Imam Syatibi dalam pemahaman Fiqh berskala kuliyyat. Ilmu sosiologi yang saat itu miskin pemahamannya dalam masyarakat dan metode istiqra` experimental yang dikembangkan oleh Ibnu Tamiyah dan ajakannya kearah hidup lebih praktis sungguh umat Islam tidak bernasib seperti sekarang.

Ilmu maqasid akan memberi petunjuk pemahaman fiqh yang tidak berkelompok-kelompok dan fanatik mazhab, sehingga bisa mempertahankan kesatuan umat. Ilmu sosial dan politik Ibnu Khaldun itu setidaknya dapat mempertahankan khilafah Islamiyah sebelum sirnanya di tangan Attarturk. Sedangkan ilmu istiqra` experimental sungguh sangat berguna untuk obat pengembangan kemajuan yang telah dicapai umat Islam saat itu. Metode ini menuntut tidak bertele-tele dan berliku-liku melingkar dibilik rumah reyot seperti ajaran mantiq Aristoteles. Disamping itu, metode ini mengajarkan untuk langsung terjun kelapangan melihat juz`iyat-ju`iyat yang ada dalam masyarakat, terakhir dinamakan weltanchauung/world view. Kemajuan Eropa sekarang adalah kontribusi metode istiqra` Ibnu Tamiyah yang diadopsi dan dikembangkan oleh bapak filosof modern Eropa; Francis Beacon (1561-1627 ) dan Rene Descarte (1596-1650).

B.Hegemoni Fiqh, Ilmu Kalam dan Tassawuf
Khususnya pada abad setelah kepergian tiga tokoh ini, dunia Islam menjadi gelap gulita. Dunia Islam telah dihuni oleh anak-anak yang belum dewasa atau manusia-manusia yang serakah dengan popularitas. Semua ilmu yang pernah berkembang didunia Islam dipaksakan untuk tunduk kepada hegemoni paradigma ilmu yang dikembangkan oleh mereka, apakah dengan cara kekuasaan, siksaan fisik maupun ancaman-ancaman yang menyebabkan tidak boleh ada perbedaan dalam kancah keilmuan. Seakan-akan ilmu itu punya mereka dan mereka sumber ilmu pengetahuan bukan Allah pencipta mereka dan alam semesta.

Diantara doktrin yang ditanamkan untuk menghambat perbedaan keilmuan dan perkembangan ilmu pengetahuan; "Asy `ariyah adalah ahlu sunnah waljama`ah, berbeda paham dengan asy`ariyah adalah sesat dan keluar dari ahlu sunnah waljama`ah alias kafir" (wawancara dengan salah seorang pimpinan dayah salafi di Aceh Utara). "Pintu ijtihad telah ditutup" (pendapat Mayoritas ulama universitas al-Azhar pada masa Pembaharuan al-Azhar yang dilakukan Muhammad Abduh). "Kita umat Islam akhir zaman harus mengikuti apa saja yang diijtihad ulama mutaqaddimin, karena semakin dekat suatu generasi dengan Rasulullah SAW semakin mulia mereka. Merekalah cetakan hidup dan prilaku kita, tidak perlu lagi kita ijtihad karena semuanya telah ada pada generasi awwalun" (paham ini dianut umumnya oleh komunitas jama`ah tabligh).

Nada lainnya yang juga berkembang, misalnya: "Imam Syafi`i merupakan mujtahid mutlak. Kita (umat Islam akhir zaman) tidak boleh menyimpang dari ajaran fiqih beliau, bahkan tidak boleh mengikuti apa saja yang dianggap berbeda pendapat dengan beliau, meskipun imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ibnu Hambal" (wawancara dengan beberapa pimpinan dayah tentang alasan bersiteguh kepada mazhab imam Syafi`i). Dalam tassawuf, Imam Ghazali merupakan aktor satu-satunya, ia bagaikan raja dan tidak boleh ada raja dalam negara.

Padahal imam Asy`ary, Imam Syafi`i, dan Imam Ghazali bukanlah raja, mereka merupakan pengemis kepada Allah (fakir ilallah), "Dua orang pengemis dapat tidur diatas ranjang yang sama dan dapat makan di dalam piring yang sama, tetapi dua orang raja merasa sempit berada dalam satu negara, kalau tidak saling berperang maka salah  satunya harus mati".

Asy`ary misalnya, dengan metode mantiq Aristotoles yang dipakainya dalam ilmu kalam dan mentakwilkan ayat-ayat yang dianggapnya mujassamah tidak pernah mengklaim bahwa selainnya sesat dan keluar dari Islam. Beliau sendiri berpaham Mu`tazilah sebelum mendirikan firqah asy`ariyah. Metode jidal dan sebagian argumen kalamiyah beliau adalah adopsi dari Mu`tazilah. Ketika mendekati wafatnya beliau mengarang kitab "Al Ibanah fi ushul diayanah". Secara jelas dan gamblang beliau menjelaskan aqidah salaf dan metode kenyakinan yang seharusnya dilakukan ummah kapan dan dimana saja, sebagaimana dilakukan salaful ummah yang diteruskan ide ini oleh Ibnu Taimiyah selanjutnya.

Jika kita lihat kebelakang sebelum imam Asy`ary, yaitu; sejak wafatnya Rasulullah Muhammad SAW sekitar 633 M hingga ke masa Asy`ary memproklamirkan Asy`ariyah tahun 913 M, maka terjadi perselisihan waktu sekitar 280 tahun. Kemudian kita telusuri lebih lanjut, ternyata dalam masa rentang waktu 280 tahun dari wafat Rasulullah, telah lahir berbagai ragam aliran kalam yang berbeda, apakah itu aliran-aliran yang masih exist sekarang ataupun yang telah hilang sama sekali. Jika kita hitung lamanya masa  setelah aliran Asy`ari hingga sekarang, betapa lama masa tersebut telah berjalan. Pada waktu yang cukup lama itulah yang dianggap kurun waktu abad keemasan dan lahir berbagai aliran, misalnya Syi`ah, Mu`tazilah, Qadariah, Jabariah, Salafi, Khawarij, Murjiah dan lain-lain.

Umumnya umat Islam sepakat bahwa awal-awal masa dari lahirnya Islam atau generasi-generasi Islam yang paling dekat dengan Rasulullah SAW dan masa awalnya Islam merupakan generasi terbaik. Karena itu, diharapkan umat Islam harus mentauladani hasil kesepakatan dan prilaku kehidupan agama mereka. Logikanya, generasi yang dimaksudkan itu adalah mereka yang berada pada generasi 280 tahun setelah wafat Nabi hingga hingga lahir firqah Asy`Ariyah. Mereka adalah orang yang telah hidup, menganut, melahirkan dan memperjuangkan beragam aliran kalam, fiqh dan kreasi-kreasi lainnya yang berbeda-beda, itulah generasi terbaik. Dan tentunya bukan generasi Asy`ariyah dan bukan juga generasi-generasi setelah mereka.

Konsekuensi dari keyakinan diatas, adalah paling kurang, bahwa kita juga boleh berbeda pendapat dalam kalam. Sebagai bukti sikap dan prilaku mencontoh tauladan dan mengikuti generasi terbaik yang lebih dekat dengan Rasulullah. Untuk membuka kemajuan dan kemulian yang serupa dengan generasi yang dekat Rasulullah, kita harus mengalakkan perbedaan dalam kesatuan Islam. Tentunya dengan tidak menghambat perbedaan pemahaman pemikiran kalam dalam kurikulum-kurikulum pendidikan dan menggalakkan dialog untuk membebaskan ummah dari belenggu satu ragam pendapat.

Kenyatannya adalah sungguh berbeda. Umat Islam dipakukan kepada satu aliran kalam Asy`ariyah dan dihambat untuk berijtihad yang bisa menggugat sesuatu yang telah mapan. Dalam Fiqh misalnya, tidak jauh berbeda dengan kenyataan kalam diatas.  Misalnya saja di Aceh, hegemoni fiqh dalam masyarakat telah membelenggui masyarakat dari rahmat Islam itu sendiri.

Masyarakat memahami Islam adalah fiqh, jika berkosultasi tentang Islam berarti berkonsultasi hukum Islam. Padahal sesungguhnya Islam jauh luas dari pada bilik fiqh. Islam mencakupi segala yang ada, ia bagaikan jagat raya yang tidak berbatas dan berakhir. Fiqh laksana satu bintang dan matahari yang menyilaukan mata umat Islam sekarang, sehingga mereka menganggap matahari satu-satunya sumber cahaya dan satu-satunya benda angkasa yang ada. Padahal dalam angkasa Islam sangat banyak jumlah bintang dan benda angkasa lainnya yang lebih hebat dari matahari. Al-quran sebagai angkasa Islam, sedikit sekali ayat-ayat didalamnya teralokasi untuk fiqh. Dalam jumlah minimalnya ayat ahkam, para ulama bebeda pendapat berapa ayat mengenai itu. Ada yang berpendapat sekitar 500 ayat, ada yang lainnya lebih dari 1000 ayat, bahkan ada yang berpendapat hanya 250 ayat.

Kalau kita kalkulasi dengan angka-angka, ambil sajalah yang jumlah 500 ayat, dari 6666 jumlah ayat keseluruhan ayat alquran, (jumlah keseluruhan ayat al quran yang ma`ruf dikalangan kita) maka masih tersisa 6166 ayat yang tidak termasuk bidang fiqh. Artinya, cangkupan ayat kepada selain fiqh sungguh sangat banyak, maka memahami Islam terbatas kepada pengertian-pengertian fiqh sangat merugikan. Paling tidak mengurangi rahmat Islam. Betapa rugi lagi jika fiqh telah menghegemoni seluruh pemikiran dan potensi umat, padahal fiqh adalah bagian kecil dari Islam.

Ironisnya lagi, adalah jika fiqh itu hanya dibatasi pada mazhab imam Syafi`i saja.  Pengertian mazhab imam Syafi`i dibatasi pada ijtihad yang dihasilkan beliau pada zamannya saja. Taqlid terhadap Syafi’i tidak boleh dirubah dan melenceng dari pendapat asal imam Syafi`i. Imam Syafi`i kemudian dianggap sebagai manusia super, dalam artian tidak satupun dari muslim sesudahnya dapat menandinggi kepiawaian imam Syafi`i. Padahal, imam Syafi`i adalah manusia biasa yang tidak ma`sum dan tidak luput dari kesalahan.

Pada tahun 199 H Imam Syafi`i berada di Mesir yang sebelumnya beliau berada di Bagdad. Dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun Imam Syafi`i berada di Mesir beliau telah merombak pendapatnya (ijtihadnya). Disebutkan mazhab jadid, sebagai ijtihad baru beliau dari ijtihad lama di bagdad (mazhab qadim).

Jelas sekali imam Syafi`i menempatkan hukum dan ijtihad sesuai dengan kemapanan ilmu, pengalaman, tempat dan waktu sehingga beliau berpindah dari mazhab Malik ke mazhab Abu Hanifah, kemudian ke mazhab qadim dan dari qadim ke jadid. Fakta sejarah imam Syafi`i ini disepakati kebenarannya oleh ahli hukum Islam sekarang. Tetapi sulit sekali dipastikan bahwa mereka setuju kalau apa yang mungkin berlaku ke Imam Syafi`i mungkin juga berlaku kepada kita. Secara jelasnya adalah dibenarkan bagi imam Syafi`i merubah mazhabnya dari Malik ke Hanafi dari Hanafi ke mazhab qadim dan akhirnya ke mazhab jadid. Tetapi kenyataan aapa yang dilakukan imam Syafi`i ini tidak dibenarkan untuk dilakukan oleh muslim sekarang, dengan berbagai alasan.

Penulis berpendapat, bahwa kenyataan-kenyataan atau fenomena imam Syafi`i sekarang yang ada dalam masyarakat adalah rancu dan tidak ilmiah. Alasan yang dikemukan itu adalah alasan klasik dan fanatik mazhab. Mengapa harus terjadi pemahaman yang berbeda terhadap imam Syafi`i dan terhadap kita, paling tidak kita dengan imam-imam terdahulu khusus imam Syafi`i adalah sama-sama manusia. Apa saja proses yang dilakukan oleh imam Syafi`i dapat juga dilalui oleh kita, dan tentunya dapat juga menjadi pendiri mazhab baru sebagaimana mereka. Misalnya saja seperti dirintis Dr. Yusuf al-Qardhawi, Dr. Athieyah Saqar, Dr. Hasan Turabi dan lain-lain, meskipun belum ke tingkat mujtahid mutlak.

Penulis sangat yakin, jika seandainya imam Syafi`i lahir kembali dan melihat kenyataan sekarang yang telah jauh berubah dan berbeda dari masa dan tempat ia hidup dahulu, maka ia akan membuat mazhab jadidun ajdat sebagai anti thesis mazhab jadidnya di Mesir yang ada ditangan kita sekarang. Apalagi beliau sampai mengetahui bahwa mazhabnya menjadi belenggu keilmuan manusia sekarang. Sangat disayangkan kalau kita selalu beralasan bahwa mereka generasi yang lebih dekat dengan Rasulullah adalah generasi super. Sementara disisi lain kita menempatkan diri sebagai generasi mutaakhirin adalah generasi sampah atau generasi idiot, bodoh, tidak berdaya, inferior, dan berbagai kelemahan dan ketidak berdayaan lainnya, sehingga tidak mampu sebagaimana generasi awwalin mutaqadimin.

Menurut penulis, inilah punca permasalahan, semakin kuat kenyakinan kita yang ada dizaman sekarang ini. Bahwa ketidakberdayaan kita dibandingkan dengan mutaqaddimin. Dengan demikian, semakin lemah dan tidak berdaya kita berhadapan dengan permasalahan baru, perbedaan tempat dan waktu. Pola berfikir seperti ini yang menyebabkan kenyataan kita seperti sekarang, terbelakang, bodoh, kosumtif, materialis, hedonis, miskin, terjajah, berakhlak budak dan berkwalitas manusia inferior dihadapan peradaban dunia.

Kenapa tidak, logikanya adalah dalam kurun waktu 200 tahun dari masa Rasulullah lahir berbagai mazhab dikatakan sampai 19 mazahib lahir dan berkembang dengan normal. lalu kenapa sejak meninggalnya imam Syafi`i hingga sekarang tidak boleh ada perbedaan dan perubahan mazhab sama sekali. Atas dasar alasan apa sehingga fakta sejarah tersebut terabaikan, bahkan dianggap kenyataan laknat (abad ketiga hijrah, dalam kurun waktu kurang lebih 204 H ketika meninggalnya imam Syafi`i sampai sekarang 1427 H). Selama 1223 tahun kita masih tetap dengan pendapat imam Syafi`i  yang beliau ijtihadkan di Mesir. Padahal sejak wafat Rasulullah, abad pertama, kedua dan paruh awal abad ketiga telah lahir beragam mazahib, dan Imam Syafi`i  sendiri beranjak dari satu mazhab ke mazhab lain. Dari satu pendapat dirinya kepada pendapat lainnya.

Beberapa ulama mencoba memberi alasan, bahwa Nabi pernah bersabda: "khairul  qurun quruni, tsuma yaliha, trusma yaliha..ilakh, au kama qal” (hadist) sebaik-baiknya masa adalah masa aku, kemudian selanjutnya, kemudian selanjutnya…., Menurut penulis, seharusnya para ulama tidak hanya berpegang kepada hadist ini, karena banyak hadist-hadist lain yang berbeda pengertian dengan ini, seperti Nabi menerangkan bahwa iman yang paling tinggi dan hebat adalah iman mereka yang berada di akhir zaman karena tidak pernah menerima Islam langsung dari Beliau. Ilutrasi hadist tersebut, kira-kira seperti ini :

Suatu malam, menjelang waktu subuh, Rasulullah SAW bermaksud untuk wudhu.

"Apakah ada air untuk wudhu?" beliau bertanya kepada para sahabatnya. Ternyata tak ada seorang pun yang memiliki air. Yang ada hanyalah kantong kulit yang dibawahnya masih tersisa tetesan-tetesan air.  Kantong itu pun dibawa ke hadapan Rasulullah. Beliau lalu memasukkan jari jemarinya yang mulia ke dalam kantong itu.  Ketika Rasulullah mengeluarkan tangannya, terpancarlah dengan deras air dari sela-sela jarinya.  Para sahabat lalu segera berwudhu dengan air suci itu. Abdullah bin Mas'du bahkan meminum air itu. Usai shalat shubuh, Rasulullah duduk menghadapi para sahabatnya. Beliau bertanya, "Tahukah kalian, siapa yang paling menakjubkan imannya?" Para sahabat menjawab, "Para malaikat." "Bagaimana para malaikat tidak beriman," ucap Rasulullah, "Mereka adalah pelaksana-pelaksana perintah Allah. Pekerjaan mereka adalah melaksanakan  amanah-Nya." "Kalau begitu, para Nabi, ya Rasulullah," berkata para sahabat. "Bagaimana para nabi tidak beriman; mereka menerima wahyu dari Allah," jawab Rasulullah. "Kalau begitu, kami; para sahabatmu," kata para sahabat. "Bagaimana kalian tidak beriman; kalian baru saja menyaksikan apa yang kalian saksikan," Rasulullah merujuk kepada mukjizat yang baru saja terjadi. "Lalu, siapa yang paling menakjubkan imannya itu, ya Rasulullah?" para sahabat bertanya. Rasulullah menjawab, "Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku; tidak pernah melihatku. Tapi ketika mereka menemukan Al-Kitab terbuka di hadapan, mereka lalu mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa, sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka akan menjual seluruh hartanya." (Hadis di atas dimuat dalam Tafsir Al-Dûr Al-Mantsûr, karya mufasir Jalaluddin Al-Shuyuti).

Dr. Yusuf Qardhawi membahas tentang hadist-hadist diatas secara detil, kemudian mengambil argumen bahwa tidak menunjukkan superioritas dan inferioritas karena setiap zaman ada yang baik dan buruknya. Semakin extrem kebaikan suatu zaman maka juga dizaman yang sama lahir sesuatu yang sangat jahat. Misalnya dizaman Nabi ada Beliau sendiri yang sangat baik, tetapi sebaliknya adanya Abu Lahab, Abdullah bin Ubay. Begitu juga dimasa sahabat, ada sahabat-sahabat yang mendapat jaminan syurga, tetapi disitu juga ada Musailamah al Kazzab dan Mani`uzzakah.

Paling kurang adanya superioritas dan inferioritas itu mengakibat determinisme atau hatmiyah sejarah. Ini yang menyebabkan lahirnya manusia-manusia tidak berkualitas dan tidak berdaya, sebagaimana pemahaman Jabariah.

Lalu kenapa kita menjadikan agama ini bagaikan bilik kamar pesantren yang gelap, kumuh dan sempit serba sederhana. Bukankah memudahkan itu inti ajaran agama. Inilah yang kemudian membuat ulama bersepakat membuat qaidah-qaidah yang diambilkan dari berbagai ayat dan hadist. Misalnya qaidah fiqh: almasyaqqah tajlibu taisir, la dhara wala dhirara, qaidah maqashid: ad din huwa tajlibul mashalih wa dar ul mashalih, al masyaqqah al mu`tabarah al lati tastawjibut taisir, iza kanatil masyaqqah kharijah `anil mu`tad, bihaisu yahshulu biha lil mukallaf fasadu dinie au dunyawi famaksud asyar i` fiha ar raf`u jumlatan, dan lain-lain.

Namun demikian, penulis bukan hendak mengajak kita uintuk membebaskan diri kita sebebas-bebasnya. Bagaimanapun jauh dipandang dan lamanya perjalanan tetap saja akan ada tepi dan jurangnya. Penulis berhipotesis, semakin kita berpegang dan terfokus kepada satu pola pikir dan mazhab manusia, maka semakin sempit dan sukar jalan hidup yang ditempuh. Tetapi sebaliknya, semakin terfokus kita berpegang kepada wahyu Allah dan penjelasan wahyu tersebut dari RasulNya maka semakin luas dan mudah hidup yang kita hadapi, maka sebaiknya mudahkanlah janganlah kamu persulit.

C.Kenyataan yang wajib dirubah

Bila kenyataan bahwa generasi-generasi semakin terdekat dengan Nabi adalah generasi yang semakin terunggul tidak bisa ditolak, dan mereka adalah generasi paling sempurna. Untuk memudahkah pemahaman kita ilustrasikan seperti ini; generasi Nabi Muhammad dan sahabat beliau adalah generasi terbaik nomor satu, generasi tabi`in adalah generasi terbaik nomor dua, generasi tabi` tabi`in adalah generasi terbaik ketiga dan begitu seterusnya.

Setidaknya ada beberapa fakta sejarah yang sangat signifikan menyatakan bahwa pada generasi pertama, kedua dan ketiga terbaik telah ada perbedaan-perbedaan beragam haluan dalam berbagai masalah, diantaranya; pertama, bahwa dalam fiqh dan ushulnya, Nabi bersabda: la yushaluna ahadukum a`shra hatta washaltum ila bani khuraizhah.  Untuk memahami hadist ini terjadi khilaf pendapat para sahabat, karena jarak antara madinah ke Bani Quraizah jauh yang menghabiskan waktu Ashar. Para sahabat akan sampai ketempat yang dituju ketika maghrib. Sehingga sebahagian sahabat shalat Ashar di dalam perjalanan, sebahagian lain mengabungkan dengan maghrib. Namun Nabi membenarkan keduanya, meskipun nash hadist tadi sangat shahih secara manthuq dan mafhum.

Pada masa Tabi`in dan tabi` tabi`in generasi kedua dan ketiga terbaik lahir berbagai mazhab, diantaranya: Zaidiyah, Tsauriyah, Abu Hanifah, Malikiyah, Syafi`iyah, Hambaliyah, Daud Dhahiriyah dan lain-lain. Kedua, permasalahan-permasalahan kalamiyah lebih cepat berkembang dari pada Fiqh. Pada masa Rasulullah telah timbul tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai ayat-ayat yang mengandung pengertian mujassamah bagi Allah SWT.

Ketika Wafat Rasulullah pada masa Ali bin Abi Thalib telah lahir beragam kelompok atau firqah kalamiyah, Qadariah, Jabariah, Murjiah, Syi`ah dan Khawarij, pada generasi kedua dan ketiga terbaik, Qadariyah berkembang menjadi Mu`tazilah, sebagai tandingannya lahir Asy`ariyah walaupun timbul Asy`ariyah ini terakhir, namun ia lebih kuat menghegemoni hingga kezaman kita. Disamping yang masyhur itu ada juga aliran Kalabiyah, Mujassamah dan aliran-aliran lain. Dalam kitab milal wan nihal karangan Syarastani, disebutkan sampai 73 firqah sesuai dengan hadist Nabi.

Ketiga, kreasi-kreasi lain yang sangat beragam, dan menjadi cikal bakal lahir kemajuan Islam kedepan. Pada generasi pertama yang terbaik, ketika masa wafat Nabi SAW, pemilihan kepala pemerintah, berbeda antara satu khalifah dengan lainnya. Abu Bakar dibai`at langsung oleh Umar dan diikuti lainnya. Umar Ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Utsman terpilih  langsung dari enam calon yang diberikan Umar, sedangkan Ali terpilih langsung oleh umat. Pada masa Umar bin Khattab beliau mengubah kebijakan sesuai dengan hasil ijtihad, karena perbedaan waktu dan situasi yang berbeda diantaranya adalah:

- ketika Rasulullah wafat, terjadi keributan kecil tentang harta warisan Rasulullah. Fatimah meminta bagiannya dari tanah Fidak yang dulunya dikelola oleh Rasulullah untuk kebutuhan keluarga, namun Umar tidak menyerahkan kepada Fatimah juga kepada Ali, ketika Ali memintanya. Pada saat Fatimah sudah wafat di masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar berpendapat bahwa Rasulullah tidak memiliki warisan, sebagaimana firman Allah. Sehingga tanah itu dijadikan sebagai barang milik baitul mal.

- Ketika masa Rasulullah, harta warisan dibagikan empat perlima bagi para mujahid dan seperlima untuk Beliau dan keluarganya. Namun ketika Rasulullah wafat, bagian seperlima itu didebatkan, Umar mengambil kesimpulan bahwa seperlima itu untuk baitul mal, sedangkan Ali dan sahabat lain berpendapat bahwa harta itu tetap untuk keluarga baginda Rasulullah. Umar menjawab, jika demikian sungguh tidak rasional akan dibagikan terus harta seperlima kepada keluarga Rasulullah, sedangkan Beliau sebagai rasul telah wafat.

- Ketika masa kekhalifahannya, Umar mengwajibkan pajak atau bea cukai sepersepuluh bagi para pedagang asing yang berdagang ke wilayah kekuasaan Islam. Ini sebagaimana negara asing mewajibkan sepersepuluh untuk umat Islam yang berdagang ke wilayah mereka.

- Umar membuat kriteria khusus bagi yang menjadi gubernur di wilayah-wilayah Islam. Beliau tidak membolehkan menjadi orang yang ingin menjadi guberbur adalah orang yang masih memiliki tali kekerabatan dengan beliau langsung atau dengan Rasulullah. Ini dikarenakan kekhawatiran terjadinya nepotisme dan kolusi pada tubuh pemimpin terpilih tersebut. Beliau mengatakan: “saya ingin seseorang yang jika berada di tenggah masyarakat dia seakan seorang pemimpin dan ketika dia seorang pemimpin, kelihatan dia seperti salah 

- Pada generasi kedua terbaik terjadi persengketaan antara Hasan dan Husein; cucu Rasulullah dengan Muawiyah yang berakhir terpotongnya kepala Husen dan di jadikan bola kaki di medan Karbala. Kemudian diikuti terbunuhnya  Hasan dalam perang dimasa Yazid bin Muawiyah. Pada generasi kedua ini diubah sistem pemerintah Islam dari bentuk kekhalifahan ke bentuk kerajaan absolute monarchy.

- Pada generasi kedua dan ketiga terbaik, juga terjadi peperangan antara Muawiyah dengan Ali. Antara dinasti Muawiyah dengan ahlul bait dan Syi`ah dan antara dinasti Muawiyah dengan pemberontak dari Syam yang mematikan puluhan ribu jiwa manusia.

-  Muawiyah sebagai sahabat memberontak kepada Ali bin Abi Thalib yang juga sahabat dan menantu Nabi dan mendapat jaminan syurga. Pada masa dinasti Muawiyah, karena khutbah jum`at diisi dengan caci maki kepada keluarga Hasan dan Husen serta ahlul bait, maka umat Islam waktu itu memperlambat-lambat datang ke mesjid untuk tidak mendengar khutbah jum`at. Ketika selesai khutbah jumat mereka baru datang ke mesjid untuk shalat. Muawiyah mengambil kebijakan dengan mengubah shalat jum`at seperti shalat `id, yaitu dimulai dengan shalat dan diakhiri dengan khutbah.

Kenyataan-kenyataan diatas menunjukkan bahwa generasi pertama, kedua dan ketiga terbaik adalah generasi yang tidak luput salah dan benar. Demi kebenaran mereka telah melakukan kesalahan dan sebagian lagi melakukan kesalahan untuk kebenaran. Mereka hidup penuh dengan perbedaan, beragam dan plural.

Kita adalah generasi akhir zaman yang mengaku mereka terbaik. Jika kita harus mengikuti, bertaqlid dan berqudwah kepada mereka sebagai harga mati, maka secara otomatis kita dianjurkan untuk berbeda mazhab, pendapat, aliran kalam dan kebijaksanaan dunia untuk kesatuan Islam dan kemajuan bersama. Ini sebagaimana generasi peratama, kedua dan ketiga terbaik lakukan. Namun kenapa kenyataannya kita mengharamkan perbedaan, beragam dan membuat sesuatu yang baru untuk merombak kemapanan?

D. Penutup dan Kesimpulan
1.      Semakin kita berpegang dan terfokus kepada satu pola pikir dan mazhab manusia,  maka semakin sempit dan sukar jalan hidup yang ditempuh. Tetapi sebaliknya,  semakin terfokus kita berpegang kepada wahyu Allah dan penjelasan wahyu tersebut dari RasulNya, maka semakin luas dan mudah hidup yang kita hadapi. Dengan demikian, maka sebaiknya mudahkanlah janganlah dipersulit.

2.      Asumsi penulis, bahwa kurikulum pendidikan pendidikan tradisional kita hanya terfokus kepada mazhab Imam Syafi`i, aliran kalam Asy`ary dan tassawuf Ghazali adalah alasan yang tidak berdasarkan kepada logika dan bukan pada praktek generasi pertama, kedua dan ketiga terbaik. Melainkan hasil kepentingan politik dan kekuasaan yang terjadi pada abad-abad kemunduran Islam. Pastinya setelah masa Imam Saytibi, Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah.

3.      Kepada setiap individu cendikiawan Muslim, seharusnya menganalisa kembali sejarah yang ada. Setidaknya terbebaskan dari determinisme dan hatmiyah sejarah nasib suatu bangsa. Sesungguhnya baik-buruknya suatu bangsa sangat ditentukan kepada keterbukaan dan penerimaan kepada perbedaan serta mengkritisi dan mengintropeksi kebekuan pribadi masing-masing.

4.      Untuk melanjutkan proyek pemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam, dimulai dari menyambung rantai yang telah putus pada Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah dan Imam Syatibi. Disamping materi yang telah ada, hasil karya dan kontribusi mereka yang telah ada harus dihidupkan kembali. Ini dapat ditempuh dengan menjadikan buah pikir dan sumbangsih ilmu pengetahuan mereka sebagai materi pokok disetiap kurikulum pendidikan berbasis Islam.

5.      Cara membuka diri dan menerima perbedaan adalah menerima kemajmukan mazahib Fiqh, Aliran kalam dan melebarkan wawasan keilmuan Islam. Ini  mencakupi ilmu-ilmu alam; fisika, kimia, astronomi, kedokteran, botani dan lain-lain. Kemudian ilmu alat; ilmu matematika, logika, istiqara`i, bahasa asing, statistika dan lain-lain. Selanjutnya ilmu sosial; ilmu politik, hukum positif, anthropology, etnology, sejarah dan lain-lainnya. Artinya tidak ada dikotomi ilmu umum dan agama. Tetapi menganggap semua ilmu sama, karena sama sumbernya dari Allah. Sifat Allah yang `alim, berarti Allah mengetahui ilmu umum dan agama tidak ada satu spesialispun bagi Allah, sebagaimana semestinya begitu juga bagi muslim karena semua ilmu itu sama-sama disebutkan dalam Al-quran dan dijelaskan dalam hadist.

 E. Referensi
1 Al-Quran al-Karim
2 Sunnah Nabawiyah 
3 Ismuha, “Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah,” dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
4 Ludwig von Mises, "Theory and History", The Ludwig von Mises Institute, Auburn, Alabama, www.mises.org.
5 Ahmad Amin, "Dhahru al Islam", Beirut 1969.
6 Abi Ishaq Ibrahim al-Khaimy al-Gharnathy al-Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikri, t.th.
7 Hasan al-Turaby, as-Siyasah wal Hukmu, al-Nudhum al-Sulthaniyah baina al-Ushul wa Sunan al-Waqi`, Beirut, Darul al-Saqi, 2003. 
8 Dr. Yusuf Qardhawi, Madkhal Liddirasah al-Syari`ah al-Islamiyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 2001.



Loading...

0 Response to "FAKTA SEJARAH ISLAM (Telaah Terhadap Determinisme Sejarah)"

Post a Comment