Sebagian kaum muslimin beranggapan, orang yang memiliki moralitas yang tinggi, dimana secara umum orang tersebut berperilaku baik, sangat ketat menghindari hal-hal yang buruk, lalu orang lain menyebutnya dia seorang shûfi. Dengan kehati-hatiannya menjalani kehidupan, orang ini terkesan meremehkan dunia (ihtiqâr).Yang jelas, apapun perilaku yang diperbuatnya, semuanya bermuara kepada ‘seseorang yang dianggap suci atau bersih’.Banyak sandaran kata yang diajukan oleh para tokoh shûfi (sebutan bagi pengamal tashawwuf) untuk meyakinkan masyarakat banyak, bahwa ajaran shûfi berasal dari Islam itu sendiri.Sementara yang lainnya menolak dengan keras, bahwa ajaran shûfi bukan dari ajaran Islam.
Pendapat pertama, mereka yang mengatakan tashawwuf dari ajaran Islam. Kata tashawwuf berasal dari shâfa yang berarti bersih, dikatakan shûfi karena hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Teori lain mengatakan, kata tersebut diambil dari kata shuffah yang berarti serambi masjid nabawi di Madinah yang di tempati oleh shahabat-shahabat nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut Ahlus Shuffah, sungguh pun mereka miskin, namun berhati mulia dan mereka bersikap tidak mementingkan dunia.Teori lainnya menegaskan bahwa kata Shûfi diambil dari kata shûf yaitu kain yang dibuat dari bulu atau wool, dan kaum Shûfi memilih memakai kain wool yang kasar sebagai sumber kesederhanaan. (Dinukil dari Al-Kalabadzi, Ibrahim Basuni dan Ali Sami al-Nasyar oleh Abuddin Nata dalam Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, 1993, hal. 151-152, Sayyid Muhammad ‘Aqil bin ‘Ali al-Mahdali, Madkhal ‘Ilat Tashawwuf al-Islâmi, hal. 54-55)
Pendapat kedua, mereka yang mengatakan tashawwuf bukan dari ajaran Islam, melainkan ajaran dari luar Islam. Beberapa asumsi menyebutkan:
· Berasal dari ajaran Kristen
Perilaku yang nampak dari asumsi ini adalah sikap menjauhi dunia atau hidup mengasingkan diri dalam biara.Dugaan ini dikuatkan oleh Von Kromyer yang mengatakan bahwa tashawwuf merupakan buah kenashranian pada zaman jahiliyyah.Sedangkan Ignaz Goldziher menyebutkan sikap faqir dalam tashawwuf Islam berpangkal dari agama Nashrani.Adapun Noldicker menyoroti masalah kain wool kasarnya para shufi merupakan milik agama Nashrani.Demikian pula dengan R.A. Nicholson yang menyebutkan kec`enderungan asketis dan kesenyapan, memiliki kesamaan teori dengan Nashrani. (Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, 1994, hal. 178-179)
· Dipengaruhi teori filsafat
Filsafat mistik Pythagoras yang mengatakan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing.Badan jasmani merupakan penjara bagi roh.Kesenangan roh yang sebenarnya berada di alam samawi. Untuk memperolehnya, manusia harus membersihkan rohnya dengan meninggalkan hidup duniawi yang serba materialis, yaitu dengan sikap zuhd, untuk selanjutnya berkontemplasi. (Asmaran, hal. 180)
Maka menurut Abul Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, pola tashawuf yang sudah dicampurkan dengan filsafat, itulah Tashawuf Falsafi. (Sayyid Muhammad ‘Aqîl bin ‘Ali al-Mahdali, Dirâsat fit Tashawwuf al-Falsafi al-Islâmi, hal. 8-9)
Dipengaruhi oleh Yahudi
Sebagian peneliti menyebutkan, paham tashawwuf yang semula dari bahasa Yunani (diarabkan menjadi istilah Theosophia: hikmat ketuhanan). Istilah ini masuk ke dalam bahasa Arab bersama istilah filsafat, filosuf dan sebagainya. Ketika penyalinan buku-buku bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab abad ke-7 dan 8 M. (A.D. Elmarzdedeq, Parasit Aqidah, hal. 219)
Perjalanan berikutnya, theosofi lebih akrab dengan gerakan freemasonry Yahudi yang dalam ajarannya tidak lepas dari ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ajaran-ajaran tashawwuf falsafi yang berfaham panteisme. Maka dapat pula disimpulkan bahwa ajaran tashawwuf itu dipengaruhi ajaran Yahudi.
Untuk membuktikan betapa erat hubungan faham tasawwuf (atau theosofi dalam bahasa lain) dengan ajaran Yahudi, terbukti banyaknya lembaga-lembaga freemasonry yang menyandarkannya dengan theosofi. Diantaranya: berdirinya Theosofi London (1917), freemasonry Inggris mendirikan markasnya di India dengan tokohnya Dr. Annie Besant dan istrinya Blavatsky (seorang Yahudi Rusia) mendirikan cabang theosofis di Newyork tahun 1875. Bahkan menerbitkan bulletin The Theosofis, kemudian berkembang hingga ke Birma, Malaya dan Singapura. Di Indonesia berdirilah ‘Vrij Metselarij’ di Batavia pada tahun 1767, di Pekalongan pada tahun 1883 dan dilanjutkan ke Semarang dengan tokohnya Baron Bon Tengnagel, dan tanggal 31 Mei 1909 berdiri Loge Theosofische Vereeniging (TV) dengan pendirinya Ir. A.J.H Van Leeven dan J.A.M. Blommestein (keduanya Yahudi Belanda) dan tanggal 12 November 1912 disahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. (lihat A.D. Elmarzdedeq, Jaringan Gelap Freemasonry, 2005, hal. 53-54)
Dipengaruhi Hinduisme dan Budhaisme
Masih menurut al-Taftazani, disamping tashawwuf dipengaruhi agama Masehi, juga dipengaruhi Neo-Platonisme, Budhaisme dan Hinduisme.Hal ini dikuatkan oleh M. Morten dan R. Hartmann yang berpendapat bahwa tashawwuf bersumber dari India dengan melihat kepada bentuk-bentuk tertentu dari latihan-latihan rohaniah dengan praktek-praktek yang serupa dengan mistisisme orang-orang India. (Asmaran, hal. 184)
Demikian pula dengan ajaran Budha, di bagian Timur dunia Islam ada yang mirip dengan ajaran tashawwuf, yaitu faham nirwana dalam agama Budha yang mirip dengan ajaran fana’ dalam tashawwuf. (Lihat Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufisme, 2000, hal. 49)
· Dipengaruhi unsur Persia
Pandangan ini dibenarkan Animarie Schimmel, menurutnya tidak perlu diragukan bahwa unsur-unsur penting tertentu dipengaruhi unsur Persia. Demikian pula Thoulk dan Dozy, dimana sebelumnya telah menyimpulkan pendapat yang sama, terutama faham Wujûdiyah yang sangat ketara aroma Persia. Disisi lain banyak tokoh S
hûfi berasal dari Persia (seperti Ma’ruf al-Karkhi dan Abu yazid al-Bustami), sekalipun pendapat ini ditolak sebagian peneliti. (Asmaran, hal. 190)
Sementara itu, Prof. DR. Hamka memberikan komentarnya: “Dalam perkembangan tashawwuf, Persia memberikan jasa yang utama. Boleh dikatakan bahwasanya air tirta tashawwuf belum akan memuaskan dahaga jiwa, kalau kita belum menyelami lubuk tashawwuf dari Persia…..” (Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, 1984, hal. 70)
Asumsi-asumsi inipun, sejalan dengan para analis lainnya diantaranya Prof. DR.Hassan As-Syafi’i dan Prof. DR.Abul Yazid al-‘Ajami (keduanya adalah Guru Besar di Universitas Dârul ‘Ulum Kairo) dalam kitabnya Fit Tashawwuf al-Islâmi.
Nampaknya, apabila ditelusuri lebih dalam pendapat para ulama, pemikir dan para peneliti orientalis dalam buku-bukunya, lebih cenderung bahwa tashawwuf berawal bukan dari Islam. Sekalipun para ulama tashawwuf, pembela dan simpatisannya meyakinkan dengan menyandarkan kepada Ahlus Shuffah di masa Nabi, atau shâf (orang yang berada di garis depan), shafwah (orang yang memiliki akhlak yang bersih) atau dinisbatkan kepada sosok seorang yang shalih di masa jahiliyyah bernama Shuffah bin Bisyir bin ‘Add bin Thanjah. Menanggapi pandangan seperti ini, sejak awal Ibnu Taimiyyah memberikan bantahannya: “Sesungguhnya kata shûfi disandarkan pada kata shuffah, maka istilahnya menjadi shuffi, bila disandarkan pada kata shafwah maka istilahnya menjadi shafawiy. Demikian pula apabila disandarkan kepada namaShuffah bin Bisyir yang ahli ibadah, itupunlemah pula. Disamping tidak populer di kalangan para shahabat, tâbi’in dan tâbi’ut tâbi’in, mereka pun tidak akan ridha untuk disandarkan kepada kabilah jahiliyyah yang tidak ada dalam Islam.” (Lihat Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatâwâ 11/5-6)
Menyikapi pro kontra istilah ini, Abul Hasan an-Nadawi dalam bukunya ‘Rabbâniyyah lâ Rahbâniyyah’ menegaskan: “Alangkah baiknya, jika kaum Muslimin tidak menggunakan kata shûfiyah (dalam memberikan penilaian hal-hal yang baik) melainkan dengan tazkiyyah (orang-orang yang mensucikan diri). (Dinukil oleh Muhammad Jamil Zainu dalam As-Shûfiyyah fî Mîzânil Kitâb wa Sunnah, hal. 5)
Loading...
0 Response to "SEPUTAR ISTILAH TASHAWWUF"
Post a Comment