Seputar Istilah Filsafat
Kata filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia. Merupakan kata majemuk dari kata philo dan sophia; Philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu. Shopia artinya kebijakan, yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai, cinta pada kebijakan (Wilhelm Windelband dalam Filsafat Umum, Ahmad Tafsir, 1993, hal. 8)
Sesuai makna aslinya, bahwa filsafat atau falsafah mengandung arti “Cinta kepada pengetahuan.” Maka orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosophos atau failasuf. Artinya pencinta pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain, orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetahuan. (Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 1991, hal. 3)
Bagi sebagian kalangan pemikir, filsafat pada dasarnya adalah sebuah pencarian kebenaran akhir, sekaligus juga merupakan keyakinan dan berakar pada kebutuhan praktis manusia, baik material maupun spiritual. (Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam, 2004, hal. 9)
Semua itu merupakan pandangan umum, dimana tidak seorang pun kalangan ahli filsafat memiliki definisi yang sama, dikarenakan penilaian seseorang terhadap sesuatu, jelas akan berbeda satu sama lainnya dikarenakan sudut pandang yang berbeda pula.
Dengan demikian, filsafatnya seseorang akan berbeda dengan filsafat orang yang lainnya. Ketika seseorang meyakini sesuatu dan berbeda dengan keyakinan lainnya, maka itulah filsafatnya. Dengan demikian, tidak dapat dipaksakan ketika seseorang telah meyakini sesuatu yang telah menjadi dasar falsafah hidupnya.
Hubungannya dengan Agama
Mengenai keyakinan agama dan hubungannya dengan filsafat, minimalnya terbagi kepada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa agama adalah filsafat, seperti halnya pendirian Dean Inge yang mengatakan: “Saya tidak mampu membedakan antara filsafat dan agama.” Ada pula yang membedakan antara filsafat dan agama sebagaimana para ulama menyimpulkan bahwa filsafat merupakan produk manusia, sementara agama terlahir dari wahyu. Kalaupun ada agama yang berlatar filsafat maka agama tersebut agama filsafat. Pandangan lainnya adalah ada hubungan erat antara filsafat dan agama. Kedua perkataan ini meliputi bidang yang sama, yaitu bidang yang sangat penting mengenai soal hidup dan matinya seseorang dan bukan persoalan remeh. Perbedaan keduanya tidak terletak pada bidangnya, melainkan dalam caranya. Filsafat berarti memikir, sedangkan agama berarti mengabdikan diri. Orang yang belajar filsafat tidak saja mengetahui soal filsafat, akan tetapi lebih penting dari itu ia dapat berpikir. Begitu juga orang yang mempelajari agama, tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, tetapi memerlukan membiasakan dirinya dengan hidup secara agama. William Temple berkata: “Filsafat itu ialah menuntut pengetahuan untuk memaham, sedangkan agama adalah menuntut pengetahuan untuk beribadah.” Menurutnya, pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, akan tetapi perhubungan antara seseorang manusia dengan Tuhan. Dalam bahasa C.S. Lewis diistilahkan dengan enjoyment dan contemplation (rasa cinta dan memikirkan rasa cinta). (David Trueblood, Philosophy of Religion; Filsafat Agama, 1994, hal. 3)
Dalam prakteknya, tentu ada perbedaan pada setiap agama, terlebih antara agama yang bersandar kepada wahyu dengan agama yang bersandar kepada filsafat seseorang. Yang berpegang kepada wahyu dan meyakini firman-firman Tuhan yang suci (kalamullâh) akan merasakan kesamaan dalam keyakinan (beraqidah) dan kesamaan bimbingan dalam pengabdian (beribadah), kalaulah ada perbedaan, hanyalah perbedaan dalam penafsiran. Sementara agama yang bersandar kepada filsafat, sudah dapat dipastikan akan terjadi banyak perbedaan. Bukan sekedar melahirkan banyak tata cara peribadatan, melainkan berbeda dalam meyakini Tuhan. Dengan demikian, ketika suatu pemahaman agama wahyu dipaksakan dengan pendekatan filsafat, jelas akan mengalami problem. Agama wahyu bersandar kepada dalil-dalil agama, sedangkan agama filsafat bersandar kepada akal. Karena itulah, Umar Sulaiman Al-Asyqar dalam kitabnya Al-Aqîdah Fillâh menjelaskan dengan tegas tidak ada titik temu antara agama dan filsafat (Lâ Liqâa bainad dîn wal falsafah), karena sesungguhnya keduanya merupakan dua manhaj yang berbeda, baik dalam permulaan ataupun akhiran, cara ataupun bentuknya, pengaruh dan dampaknya serta dalam menjadikan sumber ajarannya. Menurutnya, ada banyak ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan bahwa Islam (sebagai agama wahyu) tidak membutuhkan pelengkap yang lainnya, karena telah dicukupkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla (Q.S. Al-Mâidah/5: 35), tidak membutuhkan pencocokan dengan faham-faham bathil lainnya (Q.S. Fushilat/41: 42). Demikian pula sudah merupakan keyakinan yang wajib dibedakan bahwa aqidah dan syari’ah Islam merupakan aqidah dan syari’ah yang bersih dan mampu membedakan antara petunjuk dan kesesatan (Q.S. al-Baqarah/2: 256) serta terhindar dari pencampuran haq dan bathil sebagaimana terjadi pada kalangan ahlul kitab (Q.S. Ali Imrân/3: 71). (Al-Asyqar, 1979, hal. 38)
Bagaimana Dengan Filsafat Islam?
Diakui oleh para sarjana peneliti, semisal Prof. Majid Fakhry (seorang dosen Filsafat di Georgetown University) yang menyebutkan bahwa filsafat Islam adalah hasil sebuah proses Intelektual yang rumit, dimana para cendikiawan Syria, Persia, Turki dan Barbar dan lain-lain turut aktif mengambil bagian. Meskipun begitu, unsur Arab demikian dominan, sehingga sebutan Filsafat Arab barangkali lebih tepat digunakan. (Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, 1986, hal. 15)
Ini menunjukkan, bahwa para pakar filsafat sendiri kesulitan dalam memberikan definisinya. Apalagi para ulama Islam yang memiliki kesimpulan bahwa filsafat Islam tidak memberi gambaran Islam yang murni, melainkan pemikiran asing yang dikemas dengan kemasan Islam atau diberi pakaian dengan pakaian Islam. Salah satunya adalah Ilmu Kalâm, Filsafat Islam atau teologi (Ilâhiyyât) dalam pandangan ahli kalam, para filosuf dan para orientalis serta pengikutnya. (Nâshir Abdil Karim al-Aql, Mabâhits fi Aqîdah Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hal. 11)
Sedangkan para ulama Islam, berbeda pendapat dalam menyikapi filsafat, diantara mereka ada yang menolak dengan keras bahkan menghukumkan haram. Seperti Muhyiddin an-Nawawy (1233-1277 M.) dan Ibnu Shalah (1181-1243 M.). Juga muncul kritikan Ibnu Taimiyyah terhadap filsafat dalam kitabnya Ar-Radd ‘alal manthiqîyyîn (Bantahan terhadap kaum logika), Naqdhul Manthiq (kritikan terhadap logika), Dar’u Ta’ârudhil ‘aqli wan naqli (Tidak ada kontradiksi antara aqal dan naql) dan Nashîhatu Ahlil Imân fir Radd ‘alâ Manthiqil Yunân (Nashihat pendukung keimanan dalam mambantah logika Yunani) dan kritikan-kritikan lainnya seperti halnya Imam As-Suyuthi.
Adapula kalangan ulama yang sekedar mewaspadakan akan bahaya ilmu filsafat seperti halnya Sa’aduddin al-Taftazany (1322-1389 M.) dengan kitabnya Tahdzibul Manthiqi wal Kalâm (seleksi terhadap logika dan ahli kalam) atau Abu Hamid al-Ghazali dengan kitabnya Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan para filosuf).
Sejauh mana pengaruh filsafat tehadap ajaran Islam, Abul Hasan Ali an-Nadawi (seorang ulama India) mengemukakan dalam Rijâlul Fikri wad Da’wah sebagai berikut: “Disisi lain, sekelompok filosuf tengah berusaha untuk menyebarkan ajaran-ajarannya baik secara tersembunyi maupun terang-terangan. Mereka melepaskan ikatan agama dan ajaran para nabi. Disamping itu, ada pula kelompok lain berusaha mensejajarkan filsafat dengan agama dan dalil aqal dengan naql. Kedua kelompok itu adalah pengikut setia Aristoteles dan Plato yang menganggap suci pemikiran-pemikirannya dan teori keduanya, mempercayai kebenaran dan keutamaan ilmu keduanya bahkan manganggapnya sebagai sesuatu yang diatas kemampuan manusia biasa. Mereka tidak mengakui adanya kesalahan pada pemikiran dan teorinya. (An-Nadawi, hal. 38)
Inilah pengaruh filsafat terhadap keyakinan seseorang, sebagaimana diungkapkan Abu Abdillah Muhammad bin ‘Amr ar-Râzi dalam ungkapan penyesalannya:
Nihâyatu iqdâmil ‘uqûl ‘iqâl Wa qhâyatu sa’yil ‘âlamin dhalal.
Wa arwâhunâ fi wahsyatin min jusûminâ Wa hâshilu dunyânâ adzan wa wabâlu.
Walam nastafid min bahtsinâ ‘umrinâ Siwâ an jama’na fihi qîla wa qâlu.
“Akibat mendahulukan akal (atas naql/wahyu) adalah kebingunan, dan puncak usaha manusia (ahli kalam) adalah kesesatan. Jiwa-jiwa kita terasing dari jasad-jasad kita, dan hasil kita di dunia ini hanyalah bencana dan malapetaka. Kita tak dapat mengambil manfaat selama pencarian kita sepanjang masa, melainkan hanya mengumpulkan ucapan-ucapan qîla wa qâlu (ucapan yang tak berharga).”
Abu Imam Miftâhis Sunnah
Loading...
0 Response to "Artikel Apa dengan Filsafat"
Post a Comment