Dalam bahasa Arab, kata tanjim (pernujuman), adalah setimbang dengan kata taf’iil yang berarti usaha mengetahui sesuatu melihat fenomena bintang. Sedang dalam terminologi syari’at pernujuman diartikan sebagai upaya mengetahui sesuatu dengan mengikuti hikmah penciptaan bintang-bintang.
Al- Qur’an telah menyebutkan beberapa hikmah penciptaan bintang :
Pertama, dasar penentuan arah mata angin.
Kedua, petunjuk bagi musafir dalam menentukan posisi tujuan perjalanan. Sebagaimana Firman-Nya dalam surat Allah swt dalam surat An-Nahl ayat 16 :
وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
Ketiga, sebagai hiasan di langit dunia.
Keempat, untuk melempar setan-setan yang mencuri berita di langit setelah diutusnya Rasulullah saw. Sebagaimana Firman-Nya dalam surat Al-Mulk ayat 5 :
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
Maka jika ada manfaat selain ini, dia harus mendatangkan dalil syar’i yang benar dan bebas dari syubhat, untuk membenarkannya. Karena kita tidak boleh meninggalkan apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an hanya lantaran pendapat orang.
Selanjutnya, pernujuman dibagi menjadi dua bagian :
Pertama, Ilmu Ta’tsir. Maksudnya, menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa lainnya sebagai dasar penentuan berbagai peristiwa di bumi, baik sebagai sesuatu yang berpengaruh mutlak maupun hanya sebagai isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi. Jika ia percaya keadaan itu adalah faktor yang berpengaruh mutlak diatas peristiwa-peristiwa bumi—baik karena kekuatan internalnya maupun karena izin dari Allah swt–maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat musyrik besar dan keluar dari Islam. Tetapi jika percaya bahwa keadaan itu merupakan isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat musyrik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid. Alasannya, menyakini faktor atau kesetaraan keadaan perbintangan itu atas peristiwa-peristiwa bumi adalah masalah syari’at, maka hubungan sebab akibat itu harus didukung oleh dalil syar’i atau konvensi, sesuatu dalam hal ini tidak ditemukan. Dengan demikian, klaim tersebut dianggap sebagai berkata sesuatu tentang Allah swt tanpa ilmu.
Kedua, Ilmu Tas-yir. Maksudnya, menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa sebagai petunjuk penentuan arah angin dan letak geografis suatu negara dan semacamnya. Jenis ini dibolehkan dalam Islam. Dari sinilah muncul ilmu Hisab Takwin (penanggalan, pengetahuan tentang puncak atau musim dingin dan panas, waktu-waktu pembuahan (hewan dan tumbuhan), kondisi cuaca, hujan, penyebaran wabah penyakit dan semacamnya.
Rasulullah saw pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Abbas
مَنْ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنْ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنْ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Dan barang siapa yang mengambil pancaran sinar dari sekumpulan bintang (menjadikanya sebagai dasar ramalan peristiwa bumi), maka sungguh ia telah mengambil pancaran sinar dari sekumpulan sihir (sama dengan melakukan sihir), dia menambahkannya jika ia menambahkannya.”
Hadits ini mengacu kepada bagian pertama tadi, yakni ilmu Ta’tsir. Karena seorang ahli nujum (astrolog) memang biasa menggunakan bantuan setan untuk menyelesaikan urusan mereka. Atas dasar inilah , maka ilmu ini dianggap sebagai bagian dari sihir.
Loading...
0 Response to "SYIRIK KECIL DALAM Tanjim (perbintangan)"
Post a Comment