A. Makna Hakikah (lahir)
Makna hakihah adalah makna lahir (harfiah/lughawiyah).
Hakikah diklasifikasikan menjadi :
1. Lughawiyyah Wadhi’iyyah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Selain itu biasa disebut pula dengan hakikah al lughawiyyah saja. Misalnya kata “rajul” yang digunakan untuk menyebut laki-laki dewasa.
2. Lughawiyya Manqulah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi makna, baik yang dilakukan oleh ahli bahasa maupun pembuat syariat. Kata jenis ini, bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian, sebagai berikut :
a. Al-Urfiyyah, yaitu transformasi makna dari makna asal karena kebiasaan. Misalnya kata “ad-dabbah” (hewan melata) menjadi makna lain yang lebih populer. Berdasarkan asal maknanya mempunyai konotasi semua mahkluk hidup yang melata dimuka bumi, yang meliputi manusia dan hewan. Kemudian digunakan orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat sehingga makna asalnya ditinggalkan.
b. As-Syari’yyah, yaitu kata yang mengalami transformasi makna dari makna asal kepada makna lain yang digunakan oleh pembuat syariat. Karena yang melakukan transformasi adalah yang membuat syariat, maka konotasi maknanya harus berdasarkan dalil syariat. Misalnya kata shalat, zakat, shiyam (puasa), kafir, haji dan lain-lain.
B. Makna Majaz (kiasan)
Makna majaz adalah makna yang digunakan tidak sesuai dengan asal makna kata yang lahir karena ada indikasi yang menghalangi diartikan dengan makna hakiki.
Klasifikasi makna majaz :
1. Isti’arah, yaitu meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru disebabkan adanya persamaan diantara masing-masing, contohnya wajah yang elok dengan dengan bulan purnama : “wajah anda bagai bulan purnama.”
Isti’arah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Isti’arah Tashrihiyyah, untuk menjelaskan persamaan yang disamakan dengan persamaannya, misalnya pada QS Ibrahim [14] : 1 :
“Alif lam ra. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju cahaya.”
Kata “gelap-gulita” dipinjam sebagai kiasan untuk kesesatan, kekufuran dan kata “cahaya” dipinjam sebagai kiasan untuk petunjuk, keimanan.
b. Isti’arah Makaniyyah, obyek yang menjadi kiasan dibuang, kemudian digantikan dengan kata yang mencerminkan sifatnya yang dominan, misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 24 :
“Rendahkanlah sayapmu terhadap mereka berdua (ibu-bapak) dengan penuh kash sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
Obyek yang menjadi kiasan yang sebenarnya adalah burung, namun kata burung dihilangkan digantikan dengan sifat burung yang dominan yaitu sayap.
c. Isti’arah Takhyiliyyah, menetapkan keberadaan obyek yang menjadi kiasan bagi yang dijadikan kiasan, sehingga pihak yang diseru akan membayangkan bahwa yang dijadikan kiasan tersebut sejenis dengan yang menjadi kiasan. Misalnya pada QS Al-Mulk : [67] : 8 :
“Hampir-hampir (neraka) itu meledak-ledak lantaran marah. Setiap kali dilemparkan kedalamnya sekumpulan (orang-orang) kafir, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan ?”
d. Isti’arah Tamtsiliyyah, ini berupa susunan kata yang tidak digunakan pada tempatnya. Hal itu disebabkan adanya hubungan persamaan, yaitu dengan dihilangkannya wujud persamaannya dari beberapa perkara, misalnya pada QS Al-Mulk [67] : 22 :
“Maka apakah orang yang berjalan dengan muka terjungkal itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap diatas jalan yang lurus ?”
Orang yang berjalan tegap diatas jalan lurus adalah kiasan untuk orang-orang mukmin, sedangkan orang yang berjalan dengan muka terjungkal adalah kiasan untuk orang-orang kafir.
3 Mursal, yaitu jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Majaz Mursal dibagi menjadi empat :
a. Juz’iyyah, karena dengan menyebut sebagiannya, Misalnya QS Al-Muzammil [73] : 2
“Bangunlah dimalam hari, kecuali sedikit (daripadanya).”
Bangunlah maksudnya berdirilah, maksudnya berdiri untuk maksud keseluruhannya yaitu shalat, jadi bangunlah adalah majaz untuk shalatlah.
b. Kulliyah, disebut keseluruhan untuk maksud sebagiannya. Contohnya QS Al-Baqarah [2] : 19 “
“Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.”
Anak jari adalah keseluruhan jari-jari, padahal yang dimaksud adalah salah satu dari anak jari, karena tidak mungkin seluruh anak jari dimasukkan untuk menyumbat telinga.
c. Sababiyah, menyebut sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya, misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 194 :
“Oleh sebab itu siapa saja yang menyerang kamu, maka seranglah (balaslah) ia seimbang dengan serangannya terhadapmu.”
Kata seranglah adalah kata yang sama dengan kata menyerang sebelumnya, padahal yang dimaksud seranglah adalah balaslah.
d. Musabbabiyah, yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya, contoh pada QS Al-Baqarah [2] : 61 :
“Oleh sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang bumi tumbuhkan, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang-putihnya, kacang-adasnya dan bawang-merah nya.”
Yang menumbuhkan tumbuhan adalah Allah, namun karena tempat tumbuhnya adalah di bumi maka penyebutan apa yang bumi tumbuhkan, maksudnya adalah apa yang Allah tumbuhkan di bumi itu.
C. Musytarak (ambigu)
Musytarak adalah kata yang mempunyai lebih dari satu arti. Bila dijumpai lafazh musytarak sedapat mungkin dicari penjelasan (bayan) nya, dari ayat Al-Qur’an yang lain maupun dari sunnah (riwayat hadits).
Contoh-contoh lafazh musytarak :
1. QS Al-Baqarah [2] : 228
“Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”
Kata “quru’” bisa bermakna haid, bisa bermakna suci (mandi).
2. QS An-Nisa’ [4] : 43 :
“…Atau kamu telah menyentuh perempuan…”
Kata “lamasa” bisa bermakna sentuhan kulit, bisa bermakna bersetubuh.
3. QS Al-Ma’idah [5] : 38 :
“Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…”
Kata “yad” bisa bermakna : tangan sampai pegelangan, tangan sampai siku, tangan sampai bahu.
Loading...
0 Response to "KAIDAH MAKNA KATA (LAFAZH) DALAM AL-QUR'AN"
Post a Comment