TELEVISI DAKWAH



Pendahuluan

         Televisi adalah media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat dunia dan khususnya Indonesia yang jauh dari budaya baca tulis. Media ini, sebagai media audio-visual tidak membebani banyak syarat bagi yang ingin menikmatinya. Untuk masyarakat Indonesia, yang notabene lebih dekat dengan budaya lisan, media televisi lebih akrab, sehingga pengaruh televisi jauh lebih besar dari pada media massa lain.

            Tak dapat disangkal dalam dekade baru ini televisi adalah produk canggih paling populer dan amat memasyarakat. Sejak ditemukan oleh pria asal Skotlandia, John Logie Baird pada tahun 1926 dan disempurnakan oleh pria asal AS keturunan Rusia, Vladimir Zworykin. Televisi menjadi satu-satunya perlengkapan rumah tangga yang dimiliki setiap keluarga betapapun miskinnya keluarga itu. Bolehlah mereka tidak bisa merasakan dinginnya AC, segarnya lemari es, empuknya Spring Bed, tetapi untuk urusan televisi mereka harus punya. Seolah-olah televisi adalah sesuatu yang wajib dimiliki yang jika tidak, mereka akan berdosa.

            Perkembangan keberadaannya jauh melampaui media-media massa lain. Seperti media koran, majalah, dan apalagi buku. Dari segi harga meski tidak selalu bisa dikatakan murah untuk sebagian besar masyarakat Indonesia namun keinginan untuk memiliki televisi jauh lebih tinggi dari pada keinginan intuk membeli buku.

            Dengan kondisi seperti ini pengaruh televisi menjadi sangat besar terhadap pola pikir maupun pola sikap masyarakat. Televisi yang telah menjadi teman bagi anak-anak dan penghibur bagi ibu-ibu bisa membuat sesuatu yang salah dianggap benar oleh publik, membunuh karakter seseorang atau sebuah obyek dan sebagai penyebab maraknya gaya hidup konsumeristik-hedonistik dengan maraknya program acara televisi yang hanya memunculkan kemudahan hidup yang bukan realitas sosial masyarakat penontonnya.

            Tanpa kemampuan mengambil jarak bagi munculnya sifat kritis, televisi memiliki kemampuan untuk membius, membihingi dan melarikan masyarakat pemirsanya dari realitas kehidupan sekelilingnya. Karena televisi memiliki kemampuan manipulatif untuk menghibur jauh dibanding media massa lainnya. Apalagi jika media televisi tersebut dibangun dan dikembangkan dengan orientasi kapitalistik tanpa regulasi yang jelas dan tanpa lembaga kontrol yang mumpuni. Maka berbagai masalah akan muncul dalam citraan tentang televisi. Misalnya, diabaikannya peran strategis dalam membimbing dan mengembangkan kualitas sumber daya mannusia.

            Nuansa dan citra yang lebih menonjol adalah adanya pengeksploitasian tercermin pada posisi masyarakat yang lebih sebagai obyek dengan menafikan peran sertanya sebagai subyek. Perspektif ataupun dimensi etis tidak pernah menjadi unsur yang dipertimbangkan dalam berbagi lini bisnisnya. Besarnya investasi untuk sebuah stasiun televisi akan membuat para broadcaster televisi melakukan perhitungan-perhitungan untuk mengembalikan nilai modal ke titik nol dan kemudian meraih keuntungan finansial. Itulah fakta yang didapati pada pertelevisian Indonesia yang dibangun lebih dengan perspektif bisnis-industri ketimbang idealisme media massa, yang harus mengabdi pada kepentingan etika-budaya dalam pengertian edukatif.

            Begitu besar pengaruh televisi terhadap budaya masyarakat. Padahal, keadaan pertelevisian Indonesia sangat minim dengan program acara yang bermuatan pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia. Maka bagi mereka yang secara cerdas mampu memanfaatkan televisi dengan maksimal. Maka televisi itu membuat penontonnya semakin pandai karena pengetahuannya bertambah dari aktivitas menonton televisi itu. Akan tetapi bagi mereka yang justru dimanfaatkan atau diperbudak oleh televisi maka hidupnya akan habis sia-sia dan tak bermanfaat.


Sejarah Awal Pertelevisian Indonesia

            Sejarah pertumbuhan televisi Indonesia berjalan tidak seiring dengan proses pertumbuhan masyarakatnya. Media televisi juga agak berbeda jika dibandingkan dengan sejarah perkembangan media massa lainnya seperti radio, koran ataupun buku. Meskipun media radio mengambil alih lembaga siaran Belanda maupun Jepang, tetapi spirit pengelolaannya sangat dipengaruhi oleh etos perjuangan zamannya (Sumardian Wirodono Matikan TV-mu, Resist Book, 2006).

            Pada sejarah yang lebih tua seperti koran, majalah, dan buku bacaan. Perkembangan media cetak Indonesia disemangati oleh spirit pencerahan (enlightment) sebagai bagian dari perjuangan bangsa. Oleh karena itu, para pelaku di bidang ini pada mulanya lebih didasari oleh komitmen kejuangan dibidang-bidang strategis seperti pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu meski mengalami berbagi pergeseran, perilaku media ini tidak bisa tidak berkecenderungan dimulai dari gagasan-gagasan intelektualitas (Sumardian Wirodono Matikan TV-mu, Resist Book, 2006.).

            Lain halnya dengan media televisi Indonesia yang lahir dari sebuah kecelakaan. Ia lahir bukan dari sebuah proses persetubuhan yang indah dan lazim yaitu dengan terjadinya sebuah interaksi kebutuahan yang muncul dalam masyarakat. Lahirnya media televisi di Indonesia, didahului dengan adanya syahwat megalomanian (gila hormat) yang dimiliki oleh sang penguasa Soekarno ketika Indonesia menyelenggarakan Asian Games IV di Jakarta (Sumardian Wirodono Matikan TV-mu, Resist Book, 2006.).

            Dengan ketidaksiapannya pada 17 Agustus 1962. Televisi pertama Indonesia (TVRI) mengudara dengan siaran perdananya. Walaupun sebenarnya itu merupakan siaran percobaan untuk menghadapi siaran rutin bertepatan dengan pembukaan Asian Games IV. Karena baru pada 24 Agustus 1962 TVRI memulai siaran rutin, dan tanggal itu pula ditetapkan sebagai hari lahirnya TVRI. Meskipun hari itu siaran hanya terbatas untuk kota Jakarta dan sekitarnya. Demikianlah, sebagaimana watak Soekarno yang “Merdeka sekarang juga!”.

            Jika perkembangan pertelevisian negara demikian. Pertelevisian swasta tidak jauh berbeda. Munculnya televisi swasta sama dan sebangun dengan munculnya TVRI yang tidak berangkat dari pola yang jelas untuk tidak mengatakan tanpa pola sama sekali. Dalam akselerasi modernisasi dengan kondisi negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia, TVRI sebagai televisi pemerintah tidak mampu menjangkau seluruh tanah air.
            Dengan latar belakang seperti itu. Mulailah muncul televisi swasta yang dimulai dengan mengudaranya RCTI sebagai televisi swasta pertama di Indonesia. Sulit dipahami dari kacamata tumbuhnya pertelevisan sebagai sebuah industri. Kecuali apabila mengingat terpusatnya kekuasaan pada waktu itu. Karena RCTI tidak layak disebut sebagai broadcaster karena tidak didukung perangkat-perangkat sebagai lembaga penyiaran. Bahkan materi siarannya pun tidak bisa diproduksi sendiri karena tidak adanya sumber daya manusia dan diperparah dengan belum adanya regulasi yang mengatur tentang keberadaan lembaga televisi swasta.

            Hanya karena RCTI ini dimiliki oleh keluarga dan koneksi penguasa pada waktu itu, pemerintah kemudian mengatur dan mengantisipasinya. Tentunya tidak lepas dari kongkalikong dan kedipan mata penguasa. Itu pula yang terjadi ketika munculnya TPI, ANTV, dan SCTV.

            Jika perkembangan peradaban manusia ditengarai dengan adanya gelombang-gelombang kebudayaan yang bersifat linier. Maka perjalanan kebudayaan Indonesia berjalan zig-zag. Tahap-tahap perubahan dengan gelombang satu-dua dan tiganya bisa jadi sekaligus. Sehingga modernisasi tidak berjalan seiring dengan daya adaptasi dan kapabilitas pengelola negara dan masyarakatnya. Perbedaan daya intelektualitas pada akhirnya akan berpengaruh pada proses-proses perjalanan bangsa ini.


Undang-Undang Penyiaran

            Sampai saat ini UU no. 32/ 2002 tentang penyiaran sebagai pengganti UU No. 24/ 1997 belum berlaku sebagai akibat belum adanya PP yang mengaturnya. Hal demikian menjadikan situasi media penyiaran Indonesia bak rimba raya yang multi tafsir. Apalagi dalam persepsi para broadcaster swasta, UU No. 32/ 2002 memiliki potensi untuk membatasi siaran. Bahkan berbagai asosiasi profesi dan lembaga yang muncul justru menolak UU ini. Padahal UU penyiaran ini jauh lebih bersemangat demokrasi dan egaliter. Tentu saja hal tersebut bertabrakan dengan kepentingan finansial-profit.

Pada akhirnya, televisi seakan-akan dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri dengan gaya dan cara masing-masing. Sampai pada tingkat kompetisi yang tidak elegan. Media penyiaran yumbuh tanpa kontrol yang memadai karena situasi lawless ini. Sementara dari sisi kepentingan publik ketiadaan UU penyiaran dan lembaga kontrol yang mengawasi dan mengkritisi televisi memunculkan dua akibat. Yakni, media televisi tidak bisa mengukur keberhasilan dan kegagalannya, media televisi menjadi lembaga yang terlalu jumawa serta percaya diri berlebihan sehingga bisa arogan dalam menyikapi kritik.

Hingga kini peraturan pemerintah masih berupa rancangan. Sejak akhir 2004 tidak ada pembahasan sama sekali. Dalam RPP pun terlihat pemerintah melanggar janjinya untuk tidak lagi mengurusi masalah media dan penyiaran. Padahal, tanpa kontrol dan pengawasan, dunia televisi Indonesia akan tumbuh liar-mekar dan akan memar. Sehingga pada titik tertentu akan menjadi kontra-produktif (Sumardian Wirodono Matikan TV-mu, Resist Book, 2006.).
Lebih dari itu, sejumlah aturan hukum yang ada: KUHP, Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang pers, Undang-Undang No. 8 tahun 1992 tentang penyiaran, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak hingga Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga selain belum optimal ditegakkan juga belum ada regulasi yang jelas. Inilah indikasi lemahnya hukum menjangkau pesatnya perkembangan teknologi komunikasi (Azimah Subagijo Pornografi Dilarang Tapi Dicari GIP, 2008).


Syahwat Kapitalis

Kini, kita hidup dalam era pasar raya semesta. Bersamanya tumbuh kesadaran industrial di hampir semua level tindakan manusia. Pasar kini tidak lagi menunjuk suatu tempat tetapi telah berubah menjadi sebuah ruang. Apa yang di sebut Jurgen Habermas sebagai kesadaran teknokratis kini muncul dari ruang tersebut. Kesadaran teknokratis sangat berwatak ideologis dan telah menyebabkan tunduknya kepentigan-kepentingan praktis pada kepentingan-kepentingan teknis pribadi dan golongan.

Sekarang, media tumbuh terutama untuk dirinya sendiri. Zaman industri telah memunculkan media secara bebas dan menumbuhkanya sebagai industri yang solid. Tetapi bersamaan dengan itu, pola produksi media pun mengalami pergeseran yang menempatkan pasar sebagai target dan orientasi produk yang di hasilkan. (Ade Marup Wirasenja  Media Dalam Arus Industrialisasi Demokrasi: Siasat Gerakan Kota,  LABDA, 2003).

Kenyataan diatas barangkali terjadi karena makin bergerak ke wilayah industri, media akan makin mengalami putus hubungan dengan gerakan sosial yang ada. Karena itu, untuk melihat peran media kita harus melakukan pembacaan terhadap struktur sosial yang menghidupinya. Masyarakat media penting untuk senantiasa menjaga kesadaran dari hubungan yang menjebak di atas. Pangsa pasar memang penting bagi eksistensinya, tetepi penting juga untuk melihat bahwa berbahayanya mengajak masyarakat melompat dari realitas hidupnya.

Karena televisi indonesia berada dalam cengkraman syahwat kapitalis. Maka, televisi di Indonesia di bangun lebih dengan persepsi bisnis industri ketimbang idealisme media massa yang harus mengabdi pada kepentingan kebudayaan dalam pegertian luas. Maka semakin tidak bertanggung jawab sebuah setasiun televisi, barangkali semakin cepat berkembang setasiun televisi tersebut.

Kapitalis, dalam pertelevisian berwujud ikan. Pemirsa televisi boleh membenci iklan. Namun, iklan adalah darah yang menghidupi setasiun televisi. Tanpa iklan, tidak mungkin televisi swasta yang ada sekarang ini beroperasi. inilah fakta, sebagaimana fakta lain yang menunjukkan bahwa televisi adalah pemakan kue iklan terbesar dibandingkan media lainnya. Total belanja iklan nasional tahun 2004 mencapai 22,21 trilyun. Media televisi memakan iklan sebesar 62, 6 %, sementara surat kabar 3,1 % dan media luar ruang sebesar 1,7 % (sumber data antara persatuan perusahaan periklanan Indonesia/ Media scene dan Media Indek 2003).

Perlembangan periklanan dimedia televisi adalah sebuah keniscayaan dengan melihat tingkat penetrasinya di masyarakat yang semakin meningkat. Perkembangan itu tentu berjalan seiring dengan pertumbuhan media itu sendiri. Konsekuensi dari itu semua bukan hanya banyaknya media yang berrebut kue iklan, melainkan juga industri periklanan akan terpengaruh karenanya dan kompetisi menjadi lebih ketat diantara media televisi. Dengan kata lain, kompetisi bukan hanya menjadi tinggi, melainkan juga rumit. Nafsu untuk mendapatkan iklan sebanyak-banyaknya akan menjadi pertaruhan terpenting karena hanya dari itulah peghasilan media televisi swasta atau media apapun yang berorientasi profit. Maka, sebejat apapun program acara televisi akan diproduksi untuk menggait iklan yang sebanyak-banyaknya.


Rating dan Program Televisi

Tingginya suplai dan demand dalam relasi antara media televisi dengan pasar iklan pada akhirnya menuntut lembaga mediasi yang bisa menjadi tolak ukur. Lembaga ini kemudian diisi oleh apa yang disebut dengan rating. Rating adalah sistem yang digunakan untuk mengukur banyaknya penonton tayangan, yang paling tidak minimal satu menit bahkan tujuh belas detik.

Rating dihitung berdasar persentase jumlah audien suatu program acara, dibandingkan dengan populasi total atau populasi tertentu, yang didefinisikan dalam satu priode waktu. Rating melulu berurusan dengan kuantitas dan sama sekali tidak memperhitungkan kualitas suatu tanyangan.

Sesungguhnya, tidak ada korelasi antara rating dan kualitas acara. Kalaupun dikatakan program acara televisi itu unggulan atau berkualitas adalah dalam konteks pendapatan iklan, uang dan profit. Dengan demikian bisa jadi sebuah acara program televisi memiliki rating tinggi. Tetapi tidak ada kualitas sama sekali bahkan merusak moral masyarakat tanpa ada muatan edukatifnya.


Media Televisi Ideal; Televisi Dakwah

Fungsi televisi sebagai sarana informasi, pendidikan dan hiburan bukan tidak disadari oleh masyarakat dan pihak televisi sendiri. Namun, televisi memerlukan bumbu yang dapat membuat orang tertarik untuk membeli. Sehingga kalau pertelevisian Indonesia tetap dibiarkan seperti ini, maka akomodasi aspek bisnis-profit dan idealisme-budaya dalam zaman pragmatis ini mungkin akan semakin tak jelas juntrungannya.

Kebutuhan akan media televisi yang ideal dengan nilai-nilai luhur agama dan budaya merupakan kebuthab yang tidak bisa ditawar lagi. Karena efek tangkap televisi begitu tinggi. Duyer, seorang pakar komunikasi mengatakan bahwa televisi sebagai media audio-visual mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi kedalam jiwa manusia lewat mata dan telinga. Televisi mampu membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar dalam sebuah tanyangan walaupun hanya sekali tanyang. Atau secara umum orang aka ingat 85 % dari apa yang mereka lihat ditelevisi setelah tiga jam kemudian, dan 65 % setelah tiga hari kemudian (Abu Sa’id Al-Khudri, Syahwat Televisi, Mujahid Press, 2005).

Bicara masalah dampak negatif televisi, berarti kita harus menyiapkan diri untuk mengetahui efek-efeknya. Mulai dari efek tiru, kecanduan sampai efek pelampiasan yang diakibatkan materi-materi tayang televisi. Beberapa contoh hasil penelitian yang memaparkan dahsyatnya efek negatif televisi. Diantaranya:

1.      Penelitian yang dilakukan pada 700 orang di New York selama 17 tahun, bahwa menonton televisi lebih dari satu jam berimplikasi pada kecendrungan anak untuk melakukan kekerasan.
2.      Penelitian Leonart Eron dan Rowell Hoesman menyebutkan, tontonan kekerasan yang dinikmati pada usia 8 tahun akan mendorong tidak kriminalitas pada usia 30 tahun.
3.      Penelitian oleh Yale Famaily Television menyebutkan, anak-anak yang menyaksikan program fantasi kekerasan cenderung kurang kooperatif, kurang baik bergaul, kurang imajenatif dan ber IQ rendah.
4.      Laporan UNESCO tahun 1994 menyebutkan bahwa pada tahun 1994 koran-koran di Singapura menyajikan hasil poling pendapat yang dilakukan pihak kepolisian pada 50 pemuda yang terlibat tindak kekerasan. Hasil poling tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan dari mereka melakukan tindak kekerasan suka menikmati film-film kekerasan. (Abu Sa’id Al-Khudri Syahwat Televisi Mujahid Press, 2005).

Melihat hasil penelitian ini. Sungguhpun daya tangkap dan efek yang di akibatkan oleh media ini sungguh sangat dahsyat. Kalau hanya semata-mata media televisi dijadikan sebagai media hiburan. Maka tinggal menunggu waktu saja.

Peranan ideal media sebagai sarana pembelajaran dan pendidikan agar masyarakat kian memiliki sikap kritis, mandiri dan kedalaman berfikir tidak sepenuhnya bisa terwakili. Karakter dari media massa seperti televisi lebih menuntut pengorganisasian kerja yang menekankan ketepatan waktu, kelenturan adaptif dan keuntungan finansial. Dan karena itu, pragmatisme ekonomi telah memaksa media menerapkan logika model. Lebih kepada yang superficial, sensasional, spektakuler, namun sungguh tidak esensial.

Setelah melihat sebegitu banyak sisi negatif televisi, baik dari sejarah awal berdirinya televisi Indonesia, belum adanya undang-undang penyiaran yang ideal, visi-misi televisi yang hilang karena hanya mengejar profit serta rating dan program televisi yang tak bermutu. Apakah kita akan mengatakan bahwa televisi haram untuk ditonton dan harus dilempar dari rumah kita?.

Televisi sama halnya dengan radio, surat kabar dan majalah. Semua itu hanyalah alat atau media yang digunakan untuk berbagagai maksud dan tujuan. Sehingga baik-buruk, halal-haram tergantung pada kita. Bahkan televisi dapat saja menjadi media pembangun dan pengembang pemikiran, ruh, jiwa, akhlak dan kemasyarakatan lebih cepat dan dalam pengaruhnya ditmbang media-media lain. (Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, Jakarta: GIP, 1995).

Dakwah islam harus bersifat universal dan merangkul semua media. Agar ajaran Islam lebih membumi dan bukan hanya sebagai pengetahuan belaka. Dakwah melalui televisi merupakan keniscayaan karena:

1.      Melalui televisi, memungkinkan setiap muslim berdasar kemampuan dan kondisi yang ada dapat melaksanakan peran dakwahnya.
2.      Semakin banyak warga masyarakat muslim yang tidak dapat lagi terjangkau oleh dakwah konvensinal.
3.      Dengan memanfaatkan televisi, dakwah akan lebih efektif karena proses komunikasi akan dapat terlaksana lebih intensif, lebih menarik, dan untuk kondisi tertentu lebih realistik.
4.      Dengan televisi, dakwah mampu menjankan obyek dakwah kalangan atas yang tidak mungkin mengunjungi forum pengajian konfensional.

(Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2004).

Maka berdirinya sebuah stasiun televisi Islami tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk mengimbangi kekuatan kapitalis yang hanya mengagungkan kata keramatnya yaitu mengeluarkan biaya serendah-rendahnya dengan keuntungan setinggi-tingginya. Dengan tanpa mengindahkan etika dan mutu siaran . maka dengan adanya televisi Islami maka moral masyarakat akan terselamatkan. Maka ittikad baik baik Muhammadiyah untuk mendirikan stasiun televisi sendiri usai MUKTAMAR ke-45 di Malang pada 2005 harus kita dukung.


Sekoci Televisi Ideal.

Untuk mendirikan sebuah setasiun televisi dakwah dengan mempertimbangkan berbagai aspek kekuatan umat Islam diantaranya; kualitas SDM, kekuatan modal, kesatuan ide dan kekonsistensian dalam berjuang, yang munkin untuk saat ini sulit untuk dimiliki oleh umat Islam. Maka Paling tidak, umat Islam terutama para dai dan Ormas-Ormas Islam harus mewujudkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Merevitalisasi kiprah KPI (Komisi penyiaran Indonesia) sebagai pemegang otoritas pengawasan penyiaran independen dan mewakili masyarakat.
2.      Mendesak pemerintah sebagai pemegang kebijakan untuk membuat Undang-Undang Penyiaran yang ideal dan bermoral serta menentukan sanksi-sanksi bagi stasiun televisi yang melaggar Undang-Undang Penyiaran.
3.      Mengkader sarjana-sarjana ahli komunikasi untuk menjadi Broadcaster yang bermoral. Seperti yang sudah di jalankan oleh Muhammadiyah melalui perguruan tingginya.
4.      Menyemarakkan televisi kampus, meski hanya dengan lingkup yang lebih kecil dan spesifik. Namun televisi kampus merupakan media alternatif seksligus pelatihan bagi para calon broadcaster muslim yang profesional dalam regulasi media penyiaran.

Penutup

            Tanpa kemampuan mengambil jarak bagi munculnya kesadaran diri dan sifat moral tinggi, media televisi memiliki kemampuan untuk membawa kepada gaya hidup maya dan membawa masyarakat pemirsanya pada kehidupan hayalan tingkat tinggi yang tidak akan pernah terpuaskan, bahkan gaya hidup yang demikian sejatinya adalah gaya hidup rendahan.
            Maka sekoci moral terahir adalah dengan membuat jadwal menonton dengan memilih tayangan-tayangan yang bernilai edukatif serta selalu mendampingi keluarga dalam menonton televisi. Inilah selemah lemah-lemah usaha kita untuk membentengi moral kita dan keluarga kita.





Daftar Pustaka

Abu Sa'id Al Khudri. Syahwat Televisi: Menggugat Tayangan Vulgar. Bandung: Mujahid Press. 2005.
Azimah Subagijo. Pornografi Dilarang Tapi Dicari. Jakarta: GIP. 2008.
Imam Subhan. Siasat Gerakan Kota; Jalan untuk Masyarakat Baru. Yogyakarta: LABDA. 2003.
Muhsin Suni M. Musuh Berwajah Ramah, Mewaspadai Pengaruh Negatif Televisi. Bandung: Media Qolbu. 2005.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dakwah Kultural Muhammadiyah. Suara Muhammadiyah. 2005.
Sunardian Wirodono. Matikan TV-mu; Teror Media Televisi di Indonesia. Yogyakarta: Resist Book. 2006.
Yusuf Qardhawi. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jilid I. Jakarta: GIP. 1995.
Loading...

0 Response to "TELEVISI DAKWAH"

Post a Comment