Pendahuluan
Ilmu Kalam disebut juga dengan Ilmu Ushuluddin, karena yang menjadi obyek kajian ilmu ini adalah berkaitan dengan pokok-pokok agama; disebut juga ilmu al-Aqaid al Islamiyah, artinya simpul-simpul agama atau Ilmu Tauhid, karena menempatkan tauhid sebagai dasar kajian utamanya; atau dikenal juga dengan Teologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang ketuhanan.
Ilmu kalam adalah sebuah nama yang paling dikenal, karena semula yang menjadi obyek kajian dan menimbulkan polemik dan perdebatan yang tajam dikalangan umat Islam adalah problematika sekitar firman atau kalam Allah, apakah kalam itu kadim (awal tanpa permulaan) atau hadits (baru, ciptaan). Karena itu, nama ilmu merupakan derivasi dari obyek ilmu yang dikaji yaitu al-Qur’an, problem kekadiman atau kebaruan Kalam Allah.
Pada masa Nabi kaum Muslimin menjalani kehidupan mereka dengan mengikuti Kalam Allah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi. Al-Qur’an dan Nabi menanamkan keimanan kepada mereka dengan cara yang sederhana tapi praktis dan efektif Nabi lebih banyak berperan sebagai pemberi petunjuk kebenaran kepada mereka. Bila ada masalah yang dihadapi umat terutama dalam bidang akidah, mereka langsung bertanya kepada Nabi, dan Nabi memberikan penjelasan dalam jawabannya. Disamping itu, orang-orang Arab dengan bahasa arabnya yang murni dan asli dapat dengan baik memahami makna al-Qur’an yang diturunkan di tengah-tengah mereka. Itu sebabnya pada masa Nabi tidak terdapat perbedaan yang berarti di antara umat Islam, lagi pula, kaum Muslimin lebih mengutamakan ajaran agama untuk pengamalan praktis, serta mengindari diri dari perdebatan teoritis, jikapun ada diskusi-diskusi umumnya lebih banyak disekitar amalan kemanusiaan yang bermanfaat untuk kehidupan nyata.
Akan tetapi itu tidak berarti bahwa perdebatan dalam bidang akidah tidak ada sama sekali. Misalnya dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa pada suatu hari para sahabat berkumpul lagi sedang memperdebatkan masalah takdir (qadar) manusia, lantas Rasulullah datang dan memerintahkan berhenti dan melarang mereka memperdebatkannya. Nabi bersabda, “kesesatan umat sebelum kalian disebabkan mereka telah melakukan perdebatan (jadal), dalam masalah takdir.” Karena itu, dalam kesempatan lain Nabi menambahkan.” Apabila dibicarakan kepada kalian masalah takdir maka hendaklah kalian diam, dan tidak ikut serta.” Ini, menunjukkan bahwa kajian kalam, terutama masalah takdir, pada masa Nabi, belum ada kebolehan untuk mendiskusikannya secara teoritis. Tentu ketidakbolehan pada masa itu dapat dipahami, karena dismping Nabi lebih memfokuskan usaha untuk menanamkan pemahaman dan pengamalan akidah yang baik, juga belum tersedianya bagi umat seperangkat alat metodologi untuk berdiskusi secara teoritis dan filosofis. Itu sebabnya, ternyata dikemudian hari, setelah Islam mengembangkan sayapnya ke luar Jazirah Arab dan umat Islam berkenalan dan menguasai peradaban asing, terutama ilmu logika dan filsafat Yunani, kajian tentang kalam menjadi lebih argumentatif dan berkembang pesat.
Kita juga dapat menemukan ayat-ayat al-Qur’an al-Karim menganjurkan umat Islam melakukan diskusi dan dialog yang baik, dengan menggunakan akal yang cerdas, supaya sampai kepada iman yang baik. Allah berfirman, “Ajaklah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pesan yang baik; dan berdiskusilah (dengan mereka) dengan cara yang terbaik……,” (al-Nahl, 16:125).
Dialog itu terutama disampaikan dikala berhadapan dengan umat-umat agama lain yang terdapat di Jazirah Arab pada masa itu seperti agama pagan (orang-orang musyrik), Yahudi, Nasrani, Sabean, Majusi dan agama-agama lain yang ada disana.
Al-Qur’an menyatakan bahwa Islam adalah agama akal, dan berbicara kepada akal, serta lapangan taktif kewajiban juga dibebankan Allah kepada akal. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menuntut kita mempergunakan argumen logika akal dalam masalah yang berkaitan dengan ketuhanan, kenabian dan hari kebangkitan. Dari sinilah kemudian melahirkan perbedaan pendapat dalam mendudukkan fungsi akal dalam tradisi kalam.
Fungsi Naqal dan Akal dalam Kalam
Ilmu kalam dimulai, seperti ilmu-ilmu keislaman lainnya, berlandaskan kepada naqal (nash, teks) dan akal. Kemudian sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi, aliran-aliran kalam juga berkembang dan masing-masing mempunyai kecenderungan yang berbeda antara satu dan lainnya.
Persoalannya ialah dalam mennetukan hubungan antara akal dan naqal. Mana yang dominan, apakah mendahulukan akal atas naqal, atau mendahulukan naqal atas akal. Sekurangnya ada tiga orientasi para teolog dalam persoalan ini. Pertama, lebih mendahulukan akal atas naqal (teks agama). Ini adalah kecenderungan kaum Mu’tazilah. Pendapat kedua, menjadikan otoritas teks semata, dan tidak ada lapangan bagi akal dalam teks. Ini adalah paham alairan Hasywiyah, Zahiriyah, dan yang semacamnya. Ketiga, mencoba mencari jalan tengah antara akal dan teks; dengan mendahulukan teks atas akal, tapi membolehkan akan masuk dalam bidang teks. Ini adalah paham yang diambil oleh Abu al Hasan al Asy’ary pendiri Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.
A. Kaum Mu’tazilah membagi persoalan kalam kepada tiga bagian:
1. Otoritas akal semata, yaitu dalam masalah dasar keimanan, yang terkait dengan dalil-dalil sahnya kenabian, Wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya, seperti Tauhid dan Keadilan; atau persoalan baik dan buruk. Tanpa agama, manusia dengan akalnya dapat mengetahui Tuhan dan mensyukuri nikmat-Nya, manusia dapat mengetahui baik dan buruk serta melakukan yang baik dan menjahui yang buruk.
2. Otoritas wahyu semata, yaitu dalam masalah dan cara-cara ibadah ritual, ukuran pahala dan sangsi. Fungsi akal, disini, hanyalah mencari dan menjelaskan hikmah-hikmah yang ada dibalik pelaksanaan ibadah itu.
3. Wahyu dan akal adalah dalam masalah selain dari yang dua di atas.
Dalil naqal (teks) menurut Mu’tazilah mencakup:
1. Al-Qur’an, semua kaum Mu’tazilah sepakat berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an sebagai dalil, tapi mereka memakai senjata ta’wil (metafor), bila lahir teks al-Qur’an bertentangan dengan akal, sehingga pemahaman teks harus disesesuaikan dengan akal.
2. Hadits, pada umumnya mereka sepakat menerima hadits mutawatir sebagai dalil agama, dan berbeda dengan hadits masyhur; apalagi khabar Ahad, banyak yang meragukannya.
Kriteria penerimaan hadits bagi Mu’tazilah lebih banyak memperhatikan matannya daripada sanadnya atau rawinya. Bila hadits itu, sejalan dengan al-Qur’an dan akal maka ia dapat diterima sebagai hujjah, bila tidak ia diragukan.
3. Konsensus (ijma’), ada yang menerimanya sebagai dalil agama, dan banyak yang meragukannya, dengan alasan bahwa biasa saja umat bersepakat atas yang batil.
B Kaum Hasywiyah dan Zahiriyah
Mereka berbeda dengan kaum Mu’tazilah, sebab mereka berpegang dengan lahir teks dan meniadakan peran akal sama sekali, baik dalam keimanan maupun syariat. Dalam keimanan mereka menganut paham anthropomorphisme, dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia, Tuhan juga mempunyai anggota badan, tapi Tuhan berbeda dari manusia. Sedangkan dalam syariat mereka menolak ijtihad dan qiyas (analogi), karena yang pertama mempraktekkan analogi, menurut mereka, adalah iblis. Mereka juga berpendapat manusia biasa melihat Tuhan di dunia dan di akhirat.
C Kaum Ahl al Sunnah wa al Jamaah, yang didirikan oleh Abu al Hasan al Asy’ari, juga berbeda dengan Mu’tazilah. Menurutnya, semua kewajiban mengetahui Tuhan dan bersyukur kepada-Nya, mengetahui baik dan buruk, serta melakukan yang baik dan menjahui yang jahat adalah berdasarkan naqal (teks agama); akal tidak mewajib sesuatu. Tidak ada kewajiban bagi Allah untuk melakukan sesuatu yang baik dan yang terbaik buat manusia.
Bagi Asy’ariyah tidak ada hukum produk akal. Akal tidak dapat mewajibkan atau mengharamkan, yang ada hanya hukum syariat, karena itu, tidak ada hukuman bagi orang yang belum sampai kepadanya syariat. Baik adalah apa yang diperintahkan syara’ dan buruk adalah apa yang dilarangnya. Tugas akal hanya sebagai alat untuk memahami ajaran-ajaran syara’.
Perbedaan yang mendasar antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah ialah, bagi Asy’ariyah tidak ada kebenaran di luar agama Islam, karena yang menentukan benar dan salah, baik dan buruk sesuatu adalah agama. Sedangkan menurut Mu’tazilah tanpa wahyu manusia dengan akalnya dapat mengetahui Tuhan, demikian juga baik dan buruk. Baik dan buruk itu bersifat objektif, maka akal dapat mengetahuinya. Fungsi wahyu berperan sebagai konfirmasi dan informasi. Karena sifat baik dan buruk itu adalah objektif maka setiap pelaku kebaikan mendapat imbalan yang baik, dan pelaku keburukan mendapat hukumannya.
Akan tetapi kaum Mu’tazilah memahami konsep pembalasan amal perbuatan manusia dengan keadilan yang sangat literal dan kaku, yaitu orang yang baik mesti ke surga dan yang jahat mesti ke neraka, dan tidak menerima konsep rahmat Allah yang tak terbatas, dalam artian, Allah dengan rahmat-Nya dapat saja memaafkan dan mengampuni kesalahan manusia dan menempatkannya di surga. Demikian juga kaum Asy’ariyah dalam memahami konsep kekuasaan absolut Tuhan, bahwa Tuhan dengan wewenang-Nya yang absolut dapat saja memasukkan orang-orang saleh dan para nabi ke neraka dan para penjahat ke dalam surga. Tentu saja memasukkan manusia-manusia baik ke dalam neraka adalah paham kekuasaan yang kering dari rahmat dan kasih sayang Tuhan yang mengatasi segala sesuatu.
Politik dan Ilmu Kalam
Ilmu kalam lahir dari konflik politik yang terjadi dikalangan umat Islam awal; dan perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Kekuasan politik memperjuangkan dan mempertahankan agama sebagai dasar negara dan menerima syariah sebagai konstitusi hanyalah untuk memperalat syariah sebagai konstitusi hanyalah untuk memeperoleh syariah, malahan juga memeperoleh negara untuk memperalat dan mempertahankan kekuasaan mereka yang berkuasa.
Awal permasalahan yang terjadi setelah Nabi wafat (w. 632 M) adalah konflik politik. Suku Quraisy menolak keras prinsip peralihan kekuasaan ataupun prinsip koalisi. Kaum Anshor (penduduk Madinah) mengusulkan pembagian kekuasaan, dengan prinsip “dari kami (kaum Anshar) ada seorang amir (pimpinan) dan dari kamu (kaum Quraisy) ada seorang amir, atau 3 amir berasal dari kami, sementara jabatan wazir (menteri) dari kamu.” Semua usulan tentang pembagian kekuasaan ini ditolak oleh Quraisy; malahan Abu Bakar mengemukakan hadits sabda Nabi “Bahwa yang menjadi pemimpin itu adalah dari suku Quraisy.” Naiklah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Abu Bakar wafat (634 M) dan Umar bin Khatab diangkat sebagai penggantinya.
Umar menemui ajalnya (w. 644 M) karena ditusuk oleh Abu Lu’luah al-Majusi. Sebelum wafat Umar menunjuk 6 orang formatur, untuk dipilih salah satunya sebagai penggantinya menjadi khalifah. Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah ketiga. Usman dalam menjalankan pemerintahannya bersifat nepotisme, dengan mengangkat kaum keluarganya menjadi gubernur-gubernur di daerah-daerah yang dibebaskan umat Islam dan menjatuhkan orang-orang yang dianggkat Umar.
Tindakan politik yang dijalankan Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan dirinya, dimana menimbulkan kemarahan politik dari lawan-lawan politiknya. Serombongan pemberontak datang dari Mesir ke Madinahdan mereka melakukan pembunuhan atas diri Usman, yang membawa kepada ajalnya (w. 655 M).
Ketika pertikaian besar (al-Ftnah al Kubra) melanda umat Islam, yaitu setelah terbunuhnya khalifah Usman, Ali bin Abi Thalib menduduki tampuk kekhalifahan, tapi Muawiyah, keluarga dekat dari Usman yang terbunuh dan gubernur di Damaskus, tidak mengakui kekhalifahan Ali dan memusuhinya. Muawiyah menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan Usman. Akibatnya pasukan kedua kubu saling bertempur di Siffen; dengan ratusan korban berjatuhan dikedua belah pihak.
Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam. Perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibimngkai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan aliran-lairan teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi di kalangan umat Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masing-masing kelompok, ulama dari kedua kelompokpun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan.
Adanya pendapat yang pro dan kontrak atas terbunuhnya Usman khalifah yang ketiga, misalnya; dari pihak Usman berpendapat bahwa si pembunuh wajib bertanggungjawab atas perbuatan mereka. Tuntutan ini datang dari keluarga terbunuh terutama Muawiyah. Tapi kemudian setelah naik ke tampuk kekuasaan iapun tidak mau bertanggungjawab atas perbuatan dan kezalimannya terhadap lawan-lawan politiknya, dengan alasan bahwa ia naik menjadi penguasa karena kehendak Tuhan, karena itu semua perbuatannya juga merupakan kehendak Tuhan. Sedang dari pihak pembunuh mereka merasa tidak bersalah dan berdosa atas perbuatan mereka, dengan alasan bahwa mereka berpendapat bahwa Usman telah menyalahgunakan kekuasaan yang berada ditangannya dan mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadanya. Karena itu Usman wajib bertanggung jawab atas perbuatannya, dan ia wajib di bunuh.
Dari pertentangan kedua kelompok ini lahirlah faham Fatalisme dan Freewill atau yang dikenal dengan istilah ilmu kalam, dengan aliran Jabbriyah dan Qadariyah, keterpaksaan dan kehendak bebas. Masing-masing aliran mencari dukungan dari teks-teks al-Qur’an, hadits-hadits dan fatwa-fatwa daripada ulama terdahulu.
Kekalahan politik Ali bin Abi Thalib dalam perundingan dengan tipu muslihat Mu’amiyah menimbulkan kekecewaan dan tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka keluar dari barisan Ali dan membentuk sebuah kelompok eksklusif yaitu kaum Khawarij (plural dari Khariji): kaum Khawarij terdiri dari suku-suku pengemnbara dan setengah pengembara dari
semenanjung Arabia dan perbatasan-perbatasan Irak. Karena sifat badui dan eksklusif itu mereka menjadi tidak toleran dan melakukan perubahan politik dan agama melalui cara-cara kekerasan dan kekalapan. Mereka adalah ‘pemberontak’ atau ‘aktivis revolusi’. Disamping fanatisme dan cara-cara yang kalap, mereka adalah orang-orang yang ekstrim saleh dan puritan dalam beragama.
Kaum Khawarij berpendapat bahwa keputusan politik yang diambil dalam perundingan itu tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Semboyan mereka “La hukma illa lillah” (bertahkim hanya kepada Kitab Allah). Fatwa-fatwa sejarah menunjukkan bahwa kaum Khawarij adalah golongan pertama yang mengangkat prinsip itu. Prinsipnya adalah bahwa teks al-Qur’an menyediakan pemecahan bagi setiap problematika dan jawaban bagi setiap pertanyaan. Sebenarnya Mu’awiyah, sebelumnya, telah mempergunakan prinsip dalam perang Siffen yang mengangkat mushhaf di atas pedang pada saat pasukan Ali berada diambang kemenangan atas mereka. Akan tetapi bila diandaikan pasukan Mu’awiyah yang akan memperoleh kemenangan dalam pertempuran itu, maka tentu Amr bin Ash sebagai komandan pasukan perang Mu’awiyah tidak akan melakukan tipu muslihat dengan cara memperalat mushhaf itu.
Sebagaimana Mu’awiyah telah menjadikan mushhaf sebagai simbol tipuan teologis, demikian pula golongan Khawarij telah menjadikan dirinya kelompok otoriter melakukan kekerasan dan teror di balik teks-teks al-Qur’an. Mereka memfonis dengan kekafiran tokoh-tokoh perunding perdamaian perang Siffen hanya dengan pemahaman secara tekstual dan kaku atas ayat-ayat al-Qur’an, ‘Tidak ada hukum selain hukum Allah,” “Siapa yang menghukum tidak dari apa yang diturunkan Allah adalah kafir,” Ali bin Abi Thalib bangkit memberikan jawaban “Al-Qur’an berada ditangan kalian tidak mengatakan apa-apa, hanya kalian yang berkata mengatasnamakan al-Qur’an.” Artinya, Al-Qur’an tidak mengatakan seperti yang kalian katakan, hanya pemahaman kalian yang sempit dan kakulah yang menjadi penguasa yang otoriter. Al-Qur’an adalah benar, tapi dipergunakan untuk yang batil, demi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan pemahaman seperti itu, mereka telah melakukan kekerasan pemberontakan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka, termasuk membunuh Ali bin Abi Thalib.
Dalam agama, kaum Khawarij, yang ekstrim itu berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak bisa disebut Muslim, tapi sudah menajdi kafir, karena itu, mereka melancarkan jihad (perang suci) untuk membunuh pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya, atas nama idealisme dan transenden yang mereka gabungkan dengan fanatisme yang tidak mengenal kompromi. Khawarij mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dan sepaham dengan mereka; dengan demikian mereka menjadi musuh semua orang, setelah mereka berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib, maka Mu’awiyah yang berkuasa melakukan pengejaran terhadap mereka yang tinggal di barak-barak padang pasir Irak dan Persia.
Dalam suasana ramainya perdebatan tentang pedosa besar apakah mereka kafir dan ‘penghuni nereka,’ muncul sekte baru yang disebut kaum Murjiah. Kaum ini pada masa kekhalifahan Usman dan Ali mewakili pandangan yang moderat dalam menghadapi kelompok-kelompok keras yang mendukung dan menentang Usman atau Ali. Pada masa Mu’awiyah dan penguasa Umaiyyah sebagian besar dari mereka merasa tidak puas dengan penguasa itu, tapi mereka tidak berdaya mengahadapi dan mentang kezalimannya. Maka perlahan-lahan mereka menyerah kepada rezim Umaiyyah dan menyatakan bahwa iman dalam hati saja cukup bagi seseorang untuk bisa disebut Muslim, dan bahwa perbuatan (amal) berbeda dengan iman. Perbuatan dosa besar tidak merusak atau mengurangi iman seseorang. Bagi mereka, orang-orang yang terlibat dosa besar akan menjadi ‘penghuni surga,’ ataukah ‘penghuni neraka’ tidak dapat dijawab oleh manusia, tetapi harus diserahkan pada ketentuan dan kemurahan Tuhan pada Hari Akhir. Karena itu kelompok ini, disebut kaum Murji’ah berarti orang-orang yang ‘menangguhkan’ penghakiman atas seseorang sampai Hari Akhir nanti, dan menyerukan agar masyarakat tidak melakukan penghakiman atas seseorang pelaku dosa besar yang nasibnya akan diputuskan Allah nanti di hari kiamat.
Pengaruh langsung dari pandangan ini ialah bahwa penjahat dapat dihukum sesuai dengan ketentuan tanpa dibunuh atau dikucilkan dari masyarakat. Secara politis, ini berarti penguasa dari Bani Umaiyyah,walupun melakukan kejahatan dan kezaliman, tetap diakui sebagai khalifah dan melakukan pemberontakan terhadapnya tidak sah menrut hukum. Dengan demikian kaum Murjiah merupakan golongan pertama dan utama yang mendukung Bani Umaiyyah atas dasar teologi. Keuntungan yang diperoleh oleh kaum Murjiah ialah bahwa mereka mendapat perlindungan dan keamanan dari kezaliman penguasa; sekalipun mereka tidak berdaya dan lemah dalam perjuangan moral menentang kezaliman itu.
Kelompok yang tidak mau ikut campur dan memihak dalam pertengkaran politik antara Ali dan lawan-lawannya disebut dengan kaum Mu’tazilah, mereka mengambil sikap netral dan memfokuskan diri pada perjuangan moral dan intelektual. Di Irak mereka memulai pengembangan kalam dengan pendekatan spekulasi filosofis. Karena sebelum Islam daerah ini merupakan kantong filsafat Hellenisme Rumawi dan aliran keagamaan lainnya.
Kaum Mu’tazilah mempertahankan kehendak bebas dan tanggung jawab manusia, tapi kemerdekaan manusia ini tidak berarti ketidakmerdekaan Tuhan, karena sesungguhnya Tuhanlah yang menghendaki supaya manusia bebas mempergunakan kehendak yang diberi-Nya. Disinilah letaknya tanggung jawab penuh manusia atas semua perbuatannya.
Tidak dapat disangkal bahwa kaum Mu’tazilah telah memberikan sumbangan internal yang besar kepada Islam, terutama dalam memberikan argumentasi yang rasional dan filosofis dalam bidang teologi dan moral dan telah menjadikan Islam sebagai agama yang terbuka menerima peradaban asing terutama dari Yunani, Persia, India, Mesir dan dari daerah lainnya. Itu sebabnya, W. Montgomery Watt dalam bukunya Islamic Theology and Philosophy, mengatakan, “Rasanya Islam akan lebih cocok bagi orang-orang Eropa seandainya saja kaum Mu’tazilah tidak digantikan oleh golongan Asy’ariyah dan golongan serupanya yang eksklusif dan dogmatis.”
Kecelakaan sejarah juga terjadi pada aliran Mu’tazilah yaitu ketika para penguasa politik Abbasiyah, yang dimulai oleh al-Ma’mun (w. 833 M) memanfaatkan aliran Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai ideologi negara, serta menindak atau ‘Inquisition’ (mihnah), setiap orang yang menentangnya; terutama yang berkaitan dengan keterciptaan al-Qur’an. Hal inilah yang menimbulkan reaksi yang keras dari pihak ulama ortodoksi tradisionalis. Akhirnya al-Mutawakkil membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai ideologi Negara di tahun 848 m. dan mulai dari ketika itu Mu’tazilah menurun pengaruhnya. Dan baru dari permulaan abad XX, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Mu’tazilah bangkit kembali di dunia Islam dengan kemasan baru, yang dikenal dengan sebutan New Mu’tazilah.
Abu al Hasan al Asy’ari (873 – 935 m), sebagai pendiri dari aliran Ahl al Sunnah wa al Jamaah, aliran tradisional dan tekstual, dalam bidang fikih menganut mazhab Syafii merupakan reaksi terhadap aliran kaum rasionalis Mu’tazilah. Tokoh yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahl al Sunnah wa al Jamaah dari pengikut al-Asy’ari ialah Abu Hamid al Ghazali (1058-1111 m).
Nizam al Mulk (w. 1092). Seorang perdana menteri yang terkenal dalam pemerintahan sultan-sultan Saljuk pada abad XI. Mendirikan universitas Nizamiyyah di Baghdad tahun 1066 m. dan sekolah-sekolah untuk masyarakat umum. Ia merupakan sistem pertama sekolah khusus yang didirikan oleh negara dan Islam Sunni. Sekolah-sekolah itu dirancang sebagai sebuah lembaga negara untuk meningkatkan indoktrinasi agama berdasarkan Islam Sunni dan politiknya; Mulai dari sini pendidikan menjadi fungsi negara, dan sekolah-sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik. Motif utama didirikannya perguruan tinggi Nizamiyyah adalah motif agama. Tujuannya adalah untuk 6 mengajarkan Mazhab Hukum Syafi’iyyah (sunni), dan teologinya Asy’ariyah, dan Sufi besar al Ghazali mengajar di universitas ini selama dua puluh lima tahun. Dengan intervensi politik kekuasaan ini aliran sunni menjadi mapan hampir di seluruh dunia Islam; dan para ulama sangat diuntungkan dengan kemapanan itu. Sampai sekarang ulama ortodoks tradisionalis selalu meresponi dengan reaksi keras terhadap kemunculannya pemikir-pemikir Islam rasional.
Bila kita menginginkan umat Islam bangkit dan maju kembali sudah pada saatnya kita mengembangkan pemikiran yang rasional dan independen dari dominasi kekuasaaan politik atau semi politik seperti, kekuasaan para ulama yang berada pada lembaga negara atau lembaga non pemerintah. Wa Allahu a’lam bi al Showab .
Loading...
0 Response to "TRADISI KALAM DALAM ISLAM"
Post a Comment