SASARAN HUKUM (al-Mahkûm fîh)

Pembahasan mengenai perbuatan manusia sebagai sasaran hukum harus dibedakan menjadi dua: Pertama, substansi perbuatan yang dikenakan hukum; Kedua, sandaran perbuatan kepada manusia.

Dalam konteks yang pertama, Allah SWT memang telah menetapkan perbuatan manusia (af'âl al-'ibâd) sebagai sasaran hukum (al-mahkûm fîh), sementara perbuatan manusia yang ditetapkan oleh Allah sebagai sasaran hukum tersebut adalah perbuatan fisik, bukan non-fisik, seperti keyakinan hati. Dalam hal ini, al-Qur'an maupun as-Sunnah, sama-sama telah membedakan antara seruan yang wajib diyakini dengan seruan yang wajib dilaksanakan. Konteks seruan yang pertama merupakan wilayah akidah, sedangkan konteks yang kedua adalah wilayah hukum syara'. Ini, misalnya, terlihat dengan jelas dalam firman Allah:

} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا آمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ {

Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya. (QS. an-Nisâ' [4]: 136).

} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ {

Wahai orang-orang yang beriman telah diperintahkan berperang kepada kalian. (QS. al-Baqarah [2]: 216).

Surat an-Nisâ': 136 adalah seruan Allah kepada manusia yang menuntut untuk diyakini, sehingga tidak muncul pertanyaan apakah kita wajib melaksanakan ataukah tidak seruan ini? Yang muncul justru pertanyaan apakah kita wajib meyakini ataukah tidak seruan ini? Pertanyaan apakah kita wajib melaksanakan ataukah tidak terhadap seruan ini jelas tidak relevan. Sedangkan seruan Allah dalam surat al-Baqarah: 216 menuntut untuk dilaksanakan, sehingga tidak muncul pertanyaan apakah kita wajib meyakini ataukah tidak. Karena pertanyaan ini tidak relevan dengan muatan yang dinyatakan dalam seruan tersebut. Maka, dari kedua konteks seruan di atas, terlihat dengan jelas perbedaan antara seruan yang berkaitan dengan perbuatan fisik dengan seruan yang berkaitan dengan keimanan.

Inilah substansi perbuatan manusia yang menjadi sasaran hukum syara'. Adapun dalam konteks sandaran perbuatan, apakah perbuatan mukallaf atau non-mukallaf, berdasarkan definisi af'âl al-ibâd di atas bisa disimpulkan, perbuatan yang menjadi sasaran hukum adalah perbuatan manusia secara mutlak, yang meliputi mukallaf maupun non-mukallaf, baik Muslim maupun non-Muslim. Ini sebagaimana yang terlihat dalam kasus zakat dan hukum harta kekayaan yang menempatkan anak kecil dan orang gila sebagai sasaran hukumnya.[1] 

[1] An-Nabhâni, al-Syakhshiyyah, juz III, hal. 31; Muhammad Husayn Abdullâh, al-Wâdhih, hal. 219-220. 
Loading...

0 Response to "SASARAN HUKUM (al-Mahkûm fîh)"

Post a Comment