REKONSILIASI TASHAWWUF DENGAN SYARI’AH, MUNGKINKAH?


Sebuah upaya pemufakatan, atau ishlah dan rujuknya sebuah permasalahan atau pemahaman (dalam hal ini faham shûfi) dengan ajaran Islam yang lebih luas, tentunya semua ahli ilmu sepakat, apabila yang dimaksud tashawwuf disini adalah ‘pentingnya membersihkan diri dan mendekatkan diri’ kepada Rabbul ‘Âlamîn yang dalam bahasa Qur’ani adalah Tazkiyyah an-Nafs. Hal ini pula yang dimaksud Abul Hasan Ali al-Husni an-Nadawy, dimana keterpaduan antara aqidah, ibadah dan akhlak atau suluk merupakan ajaran Islam yang paripurna antara satu dengan lainnya saling menguatkan dan semuanya merupakan “Syarâ’iul Islâm” (kelengkapan ajaran Islam). (Lihat Abul Hassan ‘Ali al-Husni an-Nadawi dalam bukunya Al-Aqîdah wal ‘Ibâdah was Sulûk fî Dhauil Kitâb was Sunnah was Sîrah an-Nabawiyyah)

Bahkan sebelumnya, Ibnu Taimiyyah sendiri (yang disebut-sebut sebagai tokoh kaum puritan), nampaknya lebih toleran dan dapat memahami, apabila pola hidup tashawwuf yang diambil seperti pola tashawwufnya Sahl at-Tusturi atau Fudhail bin ‘Iyadh serta Ma’ruf al Karkhi dan lain-lainnya dari tokoh-tokoh Tazkiyyah an-Nafs.

Sebagai contoh, Sahl at-Tusturi pernah mengatakan: “Pokok ajaran kami adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an, mengamalkan sunnah, makan makanan yang halal, mencegah menyakiti orang lain, menjauhi yang tidak baik, bertaubat dan menunaikan hak-hak. Lalu Imam an-Nawawi mengatakan: “Pokok ajaran tarikat tashawwuf ada lima: bertakwa kepada Allah baik tersembunyi ataupun terang-terangan, mengikuti sunnah baik perkataan ataupun perbuatan, berpaling dari akhlak tercela dihadapan atau dibelakang, ridha terhadap pemberian Allah sedikit ataupun banyak dan kembali ke jalan Allah dalam suka dan duka. Imam Ahmad pun menasihati anaknya (Abdullah bin Ahmad): “Wahai anakku wajib bagimu duduk bersama mereka, yaitu suatu kaum yang dapat memberikan kepada kita banyaknya ilmu, taqarrub kepada Allah (murâqabah), timbulnya rasa takut, hidup zuhud dan tingginya cita-cita, seraya beliau mengatakan: “Lâ a’lamu aqwâman afdhalu minhum” (aku tidak tahu ada kaum yang lebih utama daripada mereka).” (Sayyid al-Murâbith bin Abdurrahman al-Abyîri, Al-Firaqul Islâmiyyah bainal Qadîm wal Hadîts, 2007, hal. 148)

Dengan demikian, kalaulah upaya rekonsiliasi yang dimaksud adalah berpadunya dua atau tiga idea dengan sumber pijakan yang berbeda, maka tentu saja hal ini tidak akan pernah atau sulit terjadi. Namun  sebaliknya, apabila masih sama sumber pijakannya (mashdar talaqqi), maka upaya rekonsiliasi (Ishlâh ataupun taqrîb) sangat mungkin dilakukan dan dampaknya terhadap Islam lebih dapat mendukung terhadap pembaharuan, dimana keshalehan seseorang tidak berarti mematikan keshalehan sosial,  kembali kepada moralitas bukanlah penghalang bagi lajunya peradaban.





Loading...

0 Response to "REKONSILIASI TASHAWWUF DENGAN SYARI’AH, MUNGKINKAH?"

Post a Comment