I.PENDAHULUAN
Hukum yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada manusia, pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia, karena
hukum diciptakan oleh Allah tentu bukan untuk Allah sebagai Syari’ (Lawgiver)
karena Allah tidak membutuhkan suatu hukum untuk diri-Nya, dan tentu bukan pula
diciptakan untuk hukum itu sendiri karena kalau demikian maka keberadaan hukum
itu akan sia-sia, akan tetapi hukum diciptakan untuk kehidupan manusia di
dunia. Dengan demikian, hukum yang terkandung dalam ajaran agama Islam memiliki
dinamika yang tinggi, oleh karena itu, hukum Islam dibangun di atas
karakteristik yang sangat mendasar, antara lain; rabbany; syumuly;
akhlaqy; insany; waqi’iy. Dari kelima karakter tersebut
dapat dikatakan bahwa hukum Islam berakar pada prinsip-prinsip universal yang
mencakup atau meliputi sasaran atau keadaan yang sangat luas, dapat menampung
perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan ummat manusia yang terus berkembang
mengikuti perubahan tanpa bertentangan dengan nilai-nilai yang digariskan oleh Allah
SWT.
Hukum Islam (Syari’ah)
merupakan norma Allah yang prinsip dan sumbernya berasal dari wahyu (Al-Quran
dan Sunnah). Namun, Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) tetap memberikan
ruang bagi manusia melalui nalar akal pikirannya untuk terlibat langsung baik
dalam memberi pemahaman terhadap wahyu tersebut ataupun dalam mengaplikasikan
hukum itu sendiri sebagai pedoman hidupnya. Sekalipun
demikian, dalam perjalanan sejarah pembangunan hukum Islam masih ditemukan
sebahagian ahli fiqh sering terkesan sangat berhati-hati dan teliti, bahkan
cenderung takut dalam menangani perubahan hukum akibat adanya perubahan waktu,
tempat dan keadaan. Sementara di sisi lain ada sebagian dari mereka (ulama) yang
terkesan berani melakukan perannya baik dalam posisinya subyek hukum atapun
sebagai obyek hukum.
Dari kondisi tersebut di atas, para ahli hukum Islam (faqih) telah
berhasil membentuk system hukum Islam dan membangun metode penemuan hukum (Islamic
Jurisprudence) sehingga muncullah metode-metode dalam beristinbat dengan
menggunakan kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah sarana penemuan hukum Islam.
Artinya kedua metode tersebut telah banyak memberikan ruang gerak dalam
menggali teks (nash al-Quran dan as-Sunnah) guna memenuhi kebutuhan hukum bagi ummat
manusi, sehingga dalam perkembangannya, telah memunculkan kajian-kajian kritis yang
menghendaki agar hukum Islam dapat lebih mendatangkan kemaslahatan bagi manusia
dan dianggap penting untuk diformulasikan
berdasarkan nilai-nilai esensialnya yang disebut sebagai “Maqashid al-Syari’ah”.
2. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN EPISTIMOLOGI
1. Pengertian Etimologi Maqashid Syari’ah
Secara literal Maqashid al-Syari’ah merupakan kata majmuk (murakkab
idlafi) yang terdiri dari kata maqashid dan al-syari’ah. Menurut kata dasarnya, kedua kata tersebut masing-masing
mempunyai pengertian tersendiri. Kata ”Maqashid” adalah jama’ (plural)
dari kata ”maqshad” (mashdar mimy) dari kata kerja ”qashada,
yaqshidu qashdan wa maqshadan” yang memiliki arti sebagai legitimasi;
komitmen terhadap jalan yang benar (QS. Al-Nahl: 9) dan dapat diartikan
juga sebagai keseimbangan dan moderat (QS. Luqman: 19). Sedangkan kata ”Syari’ah”
secara harfiah berasal dari akar kata "syara'a" dan memiliki
dua arti yaitu: (a) sebagai sumber air (mata air) yang dapat digunakan sebagai
air minum, orang Arab menyebutnya: "masyra'at al-mãi" artinya: "maurid
al-mãi" (sumber air). (b) sebagai jalan yang benar (lurus)
(QS. Al-Jatsiyah: 18). Dalam kaitan ini, kedua arti di atas dapat dipadukan
karena kata "Syari'ah" berarti jalan yang membekas menuju air
karena sudah sering dilalui, tetapi digunakan dalam pengertian sehari-hari
sebagai sumber air yang selalu diambil orang untuk keperluan hidup mereka). (Yusuf:
19) Dua kata di atas
(maqashid dan syari’ah) jika digabung menjadi satu maka bisa menghasilkan makna
sebagai ”maksud agama atau hal-hal yang menjadi maksud dan tujuan dalam agama”.
2. PengertianEpistimologi Maqashid Syari’ah
Ketika dilakukan pengkajian terhadap buku-buku Ushul Fiqh
klasik tidak ditemukan ada diantara mereka yang memberikan batasan pengertian Maqashdi
Syari’ah secara epistimologi, termasuk ulama yang mempunyai perhatian besar terhadap
maqashid seperti Imam Al-Juweni, Al-Razi, Al-Gazali Al-’Izz bin Abdussalam. Boleh
jadi karena ”Maqashid Syariah” pada waktu itu belum menjadi sebuah disiplin
ilmu yang berdiri sendiri, atau belum dianggap perlu untuk dijelaskan karena
sudah jelas maknanya bagi kalangan tertentu. Imam Al-Ghazali -umpamanya- beliau
dalam membahas Maqashid tidak memberikan batasan secara rinci mengenai
pengertian Maqashid Syari’ah terkecuali hanya mengatakan bahwa; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya: ’an
yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa
naslahum wa mãlahum” (tujuan
syariat Allah SWT bagi makhluk-Nya adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa
mereka, akal, keturunan, dan harta mereka). (al-Ghazali: 251)
Demikian halnya dengan Asy-Syathibi, sekalipun beliau dianggap sebagai bapak Maqashid, namun
beliau juga tidak secara tegas memberi definisi terhadap Maqashid, terkecuali
mengatakan bahwa: “sesungguhnya syari’at itu bertujuan untuk mewujudkan
kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat, atau hukum-hukum itu disyari’atkan
untuk kemashaahatan manusia. (Al-Syathibi: 6). Sikap
Al-Syathibi ini sempat dijustifikasi oleh muridnya Al-Raisuni dan mengatakan bahwa
“ketika Imam Al-Syathibi menulis tesis Maqashid Syari’ahnya ia tidak memberikan
definisi secara jelas dan tegas karena bisa saja beranggapan bahwa masalah
tersebut sudah sangat terang benderang, dan karya Maqashid dalam kitabnya “Al-Muwafaqat”
bukan untuk konsumsi umum tapi diperuntukkan untuk kalangan ulama saja
(Al-Raisuni: 17).
Pengertian Maqashid Syari’ah secara epistimologi dapat ditemukan pada karya ulama seperti Ibn Asyur, ‘Alal
Al-Fasi, dan juga Ahmad Al-Raisuni dan lainnya, sebagaimana berikut ini:
a) Menurut Ibnu ‘Asyur: Maqashid al-Tasyri’
al-‘Am hiya al-ma’ani wa al-hikam al-malhuzhah li al-syari’ fi jami’ ahwal
al-tasyri’ au ma’zhamiha, bihaitsu la takhtasshu mulahazhatuha bi al-kaun fi
nau’in khasshin min ahkam al-syari’ah (Maqashid Syari’ah adalah makna-makna
dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah SWT dalam semua atau
sebagian besar syariat-Nya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah
atau tujuan umumnya). (Ibn ‘Asyur: 51)
b) ‘Allal al Fasi: Al-murad bi maqashid
al-syari’ah: al-ghayah minha wa al-asrar allati wadha’aha al-Syari’ ‘inda kulli
hukmin min ahkamiha (Maqashid Syari’ah adalah tujuan syariah dan rahasia
yang diletakkan oleh Allah SWT pada setiap hukum-hukum-Nya). (Al-Fasi: 3).
c) Ahmad Al-Raisuni: Al-ghayat allati
wudhi’at al-syari’atu liajli tahqiqiha li mashlahati al-‘ibadah (Maqashid Syari’ah
adalah tujuan-tujuan yang ditentukan oleh syariah untuk diwujudkan demi
kemaslahatan manusia). (Al-Raisuni: 7)
Melihat definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa:
kandungan “maqashid syar’iyah atau tujuan hukum” adalah untuk kemaslahatan
manusia. Pandangan tersebut didasarkan pada titik tolak dari suatu pemahaman
bahwa “dibalik suatu kewajiban (taklif) yang diciptakan adalah rangka
mewujudkan kemaslahatan manusia, sehingga setiap hukum itu pasti mempunyai tujuan. Jadi apabila ada hukum yang tidak
mempunyai tujuan maka sama saja dengan memberi beban kewajiban (taklif)
yang tidak dapat dilaksanakan, dan itu merupakan sesuatu yang mustahil.
Jelasnya, bahwa hukum-hukum yang telah ditentukan dan diturunkan kepada manusia
tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk kemaslahatan
manusia.
B.KONSTRUKSI MAQASHID SYAR’IYAH SEBAGAI EPISTIMOLOGI HUKUM ISLAM
1. Konstruksi Maqashid Syar’iyah sebelum Al-Syathibi
Secara historis, Maqashid
al-Syari’ah sebenarnya telah dikembangkan oleh para ulama mujtahid
sebelum al-Syathibi, namun masih dalam bentuk doktrin yang pembahasannya belum
dibangun secara epistimologis, bahkan hanya dijadikan sebagai sub pembahasan
atau menjadi pembahasan kecil dalam beberapa kajian keilmuan, seperti yang
pertama kali dilakukan oleh al-Turmudzi al-Hakim (+ w. 285 H). dalam beberapa
karya-karya ilmiahnya seperti: al-Shalah wa
Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal
al-‘Ubudiyyah (Al-Raisuni: 40).
Setelah
al-Hakim muncul beberapa nama seperti Abu Mansur al-Maturidy (w. 333. H.); Abu
Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365 H.); Abu Bakar al-Abhari (w.375 H) dan
al-Baqillany (w. 403 H.). Kemudian selanjutnya muncul pemikiran Maqashid yang
dipelopori oleh ulama Ushul Fiqh seperti al-Juwaini (w. 478 H.) dan al-Ghazali
(w. 505 H.). Sedangkan dalam pandangan ulama fiqih ditemukan al-‘Izz ibnu ‘Abd
al-Salam (w. 660 H.), Syihab al-Din al-Qarafi (w. 685 H.), Najam al-Din
al-Thufi (w. 716 H.), Ibnu Taimiyah (w. 728 H.) dan muridnya Ibnu al-Qayyim (w.
751 H.) dan al-Syathibi Abu Ishaq (w. 790 H.) (Al-Raisuni: 39-71).
Pemikiran
Maqashid pada fase ini muncul dengan corak dan versi yang beraneka ragam,
sekalipun perbedaan itu hanya terkesan sebagai penambahan dan pengembangan, dan
mereka pada umumnya sepakat bahwa tujuan dari syariah itu adalah bagaimana
mewujudkan maslahah/manfaah (jalb al-mashlahah/manfa’ah) dan
menghindarkan mafsadah (daf’u al-mafsadah) dan untuk mewujudkannya
mereka sepakat untuk mengklasifikasikan maqashid syari’ah menjadi 3 (tiga)
tingkatan yaitu: (1) al-dharuriyat; (2) al-hajiyat dan (3) al-tahsiniyat.
Menurut
Al-Juwaini, Maqashid itu didasarkan pada 5 (lima) pilar, yaitu: (1) sesuatu
yang dapat dinalar dan dipahami maknanya sehingga diinterpretasikan menjadi hal
yang dharurat (primer), seperti sanksi qisas disyariatkan untuk
menghindarkan manusia dari pertumpahan darah secara berkesinambungan; (2)
sesuatu yang berhubungan dengan hajat umum tapi tidak mencapai tingkatan dharurat,
seperti transaksi sewa menyewa (ijarah) disyariatkan karena adanya kebutuhan bagi
orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan kepemilikan; (3) sesuatu yang tidak
berhubungan dengan dharurat khusus atau hajat umum, tapi dapat mencapai
keutamaan dan kesenangan, seperti membersihkan hadats dan menghilangkan kotoran;
dan (5) sesuatu yang tidak berdasar kepada hal-hal dharurat ataupun hajiyat,
namun dapat menjadi suplemen (Al-Juwaini: 2/925) Al-Burhan: (2/810, 811, 823, 905, 911, 913,
914, 961 dan 1238), Konstruksi maqashid ini ternyata pada menjadi dasar bagi
ulama semasanya.
Al-Ghazali
-murid Al-Juwaini- dalam mengembangkan pemikiran Maqashid tidak jauh berbeda
dengan gurunya, beliau hanya sedikit lebih jauh mengelaborasi 3 (tiga)
tingkatan maqashid (Al-Dharuriyat, Al-Hajiyat dan Al-Tahsiniyat)
dan menambahkan bahwa tingkatan maqashid yang lebih rendah akan menjadi
penyempurna (mukammilat) terhadap maqashid yang lebih kuat, sehingga al-hajiyat
sebagai penyempurnah terhadap al-dharuriyat dan al-tahsiniyat
menjadi penyempurna terhapad al-hajiyat., hal tersebut menurutnya tidak
dapat dibolak-balik (Al-Gazali /Al-Mustashfa: 253 dan Syifa’ al-Ghalil: 208).
Sementara konstruksi maqashid menurut al-Razi dan Ibn ’Abd Al-Salam juga tidak berbeda jauh dengan pemikiran maqashid yang dibangun oleh Al-Ghazali karena dapat dipastikan bahwa sumber mereka satu yaitu maqashid yang dibangun oleh Al-Juwaini, sehingga mereka hanya menambah dan menyempurnakan bangunan maqashid Al-Juwaini dan Al-Ghazali (Al-Mahshul: 2/2/220-222) dan Qawaid Al-Ahkam; 1/7, 9, 167; 2/66)
2. Konstruksi Maqashid Syar’iyah Menurut Al-Syathibi
Sudah
tidak asing di kalangan para peneliti di bidang jurisprudensi Islam (ushul
al-fiqh) mengenai teori Maqashid al-Syari’ah yang
disistematisasi dan dikembangkan oleh Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqa,
bahkan sebahagian peneliti sering keliru karena menempatkan beliau sebagai penemu
pertama teori Maqashid Syari’ah ini. Dengan tesis maqashid tersebut, pemikiran
al-Syathibi diposisikan sebagai salah satu bagian corak aliran yang terpisah
dari aliran ushul fiqh lainnya (aliran muatkallimin dan fuqaha). Hal ini karena
al-Syathibi dianggap mampu menggabungkan teori-teori ushul fiqh (nadhariyyat
ushuliyah) dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga
produk hukum yang dihasilkan dipandang lebih hidup dan lebih kontekstual.
Tesis Maqashid Syari’ah yang dikembangkan Al-Syathibi diklsifikasi
menjadi dua bagian yaitu:
1) Maqashid
Syari’ah diformulasikan menjadi 2 (dua) bagian penting yakni (1) Qashdu
al-Syari’ (maksud syari’); dan (2) Qashdu al-Mukallaf (maksud
mukallaf). Kemudian bangunan pertama (Qshdu al-Syari’ (maksud Syari’)) dibagi
lagi menjadi empat bagian yaitu:
a) Tujuan Allah dalam menetapkan syariat atau
hukum (Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah). Menurut
al-Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) kepada hamba-Nya tidak
lain kecuali untuk memperoleh kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan (jalbul
mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan hukum
yang diturunkan oleh Allah hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
Dalam kaitan ini, Al-Syathibi mengikuti ulama-ulama sebelumnya membagi maslahat
manusia kepada tiga klasifikasi penting yaitu: 1) dhauriyyat (primer); 2) hajiyyat (skunder) dan; 3) tahsinat (tertier,
suplemen). (Al-Syathibi: 2/8).
b) Tujuan Allah menurunkan syari’atnya untuk dapat
dipahami (Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah lil Ifham). Untuk
Syariat dapat dipahami, Al-Syathibi menyebutkan ada 2 (dua) hal penting yang
berkaitan dengan hal ini yaitu: (1) Syari’ah diturunkan dalam Bahasa Arab (QS.
Yusuf : 2; QS. al-Syu’ara: 195) untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu
memahami seluk beluk ketatabahasaan Arab. al-Syathibi mengatakan: “Siapa orang
yang hendak memahaminya, maka dia seharusnya memahami lidah Arab terlebih
dahulu. (Al-Syathibi). (2) Syari’at bersifat ummiyyah. Artinya
Syariah
ini diturunkan kepada umat yang ummi, yang tidak mengetahui ilmu-ilmu
lain, ia mengibaratkannya dengan keadaan mereka sama seperti ketika dilahirkan,
tidak belajar ilmu apa-apa. “wal ummi mansubun ila al umm, wa huwa al baqi
‘ala ashli wiladati al umm lam yata’allam kitaban wa la ghairahu” (Al-Syathibi: 2/69). Hal ini dimaksudkan agar syari’ah mudah dipahami oleh
semua kalangan manusia karena pangkal syariah adalah kemaslahatan manusia (fa
inna tanzila al-syari’ah ‘ala muqtadha haal al-munazzali ‘alaihim aufaq li
ri’ayat al-mashalih allati yaqshuduha al-syari’ al-hakim (Al-Raisuni: 149).
c) Tujuan Allah dalam menetapkan syari’at adalah
untuk dilaksanakan sesuai dengan yang ketentuannya (Qashdu al-Syari’
fi Wadh’i al-Syari’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha). Dalam kaitan ini,
al-Syathibi mempokuskan pada 2 (dua) hal yaitu: (1) taklif yang di luar
kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq): al-Syathibi mengatakan:
“Setiap taklif (kewajiban) yang di luar batas kemampuan manusia,
secara Syar’i taklif tersebut tidak dianggap sah meskipun akal
membolehkannya” (Al-Syatibi: 2/107). (2) taklif yang di dalamnya terdapat masyaqqah,
kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah). Menurut al-Syathibi,
adanya taklif, tidak dimaksudkan agar menimbulkan masyaqqah (kesulitan)
bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya, di balik itu ada
manfaat tersendiri bagi mukallaf (Al-Syathibi, 2/93).
d) Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk
Semua Hambanya (Qashdu
al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah). Al-Syatibi menjelaskan bahwa syariat yang
diturunkan oleh Allah SWT berlaku untuk semua hamba-Nya, tidak ada pengecualian
selain dengan sesuatu yang sudah digariskan oleh syariat. Lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan ditetapkan syariah adalah
untuk membebaskan seorang manusia dari belenggu hawa nafsu, sehingga akan
muncul pengakuan secara sukarela sebagai hamba Allah SWT, sebagaimana ia tidak
bisa melepaskan diri dari predikat sebagai hamba. Itulah yang dimaksud dengan
uangkapan “al maqshad al syar’iy min wad’i al syariah ihraju al mukallaf ‘an
da’iyati hawahu, hatta yakuna ‘abdan lillahi ihtiyaran kama yakunu ‘abdan
lillahi idltiraran” (Al-Syathibi: 2/168)
2) Maqashid yang kedua yaitu Tujuan Syari’
kepada subyek hukum (mukallaf) (qasdu al-mukallaf). Dalam kaitan
ini al-Syathibi menekankan pada dua hal: a) Tujuan Syari’ kepada subyek hukum (mukallaf)
adalah segala niat (maksud) dari perbuatan yang akan dilakukan harus sejalan
dengan tuntunan syariah, sehinga dalam hal ini ”niat” yang menjadi dasar dari
seatu amal perbuatan. Niatlah yang menjadikan amal seorang menjadi sah dan
diterima atau tidak sah atau tidak diterima, niatlah yang bisa menjadikan amal perbuatan
menjadi suatu ibadah atau sekedar perbuatan biasa, menjadikan perbuatan menjadi
wajib atau sunnat dan seterusnya; b) siapa pun yang menjalankan perintah Allah
SWT akan tetapi mempunyai maksud dan niat lain tidak seperti yang dimaksudkan
oleh syariah, maka perbuatannya dikategorikan batal (Al-Syathibi: 2/323).
C. KEDUDUKAN MAQASHIDSYAR’IYAH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM
1. Kedudukan Kaidah MaqashidSyar’iyah dalam Penetapan Hukum Islam
Seperti
yang telah banyak dibahas sebelumnya bahwa bentuk maslahah yang dijadikan sebagai
dasar dalam menakar Maqashid Syari’ah terdiri dari dua bentuk, yaitu: a.
Mewujudkan manfaat, kebaikan, dan kesenangan untuk manusia, yang disebut dengan
”jalb al-manafi’/ al-mashalih”; b. Menghindarkan manusia dari kerusakan
dan keburukan, yang disebut dengan ”daf’u al-mafasid”. Untuk menentukan
baik-buruknya (manfaat atau mafasadah) suatu perbuatan dan guna mewujudkan
tujuan pokok pembentukan dan pembinaan hukum, maka tolak ukurnya adalah apa
yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan
tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan sehingga secara berurutan, ulama
penggagas maqashid membuat peringkat kebutuhan tersebut menjadi tiga tingkatan
yaitu: dharuriyyat (primer), hajiyyat (skunder) dan tahsinat (tertier):
a. Maqashid Dharuriyat (primer): adalah
sesuatu yang mutlak adanya demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia.
Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya
hidup dan kehidupan seperti makan, minum, shalat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah
lainnya (al-Syathibi: 2/8). Yang termasuk maqashid dharuriyat ini
ada lima yaitu: menjaga agama (hifzh al-din), menjaga jiwa (hifzh al-nafs),
menjaga keturunan (hifzh an-nasl), menjaga harta (hifzh al-mal)
dan menjaga aqal (hifzh al-’aql) (Al-Syatibi: 2/10).
Untuk melestarikan ke lima kebutuhan dharuriyat tersebut dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) dari segi keberadaannya (min nahiyati
al-wujud) yaitu dilakukan dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang
dapat melanggengkan keberadaannya; dan 2) dari segi ketidak-adaannya (min
nahiyyati al- ‘adam) yaitu dilakukan dengan cara mencegah hal-hal yang
menyebabkan ketidak-adaannya. (Al-Syatibi:
2/8)
Tujuan yang bersifat dharuriyat merupakan tujuan utama
dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai dan segala tuntutan (perintah)
yang berkaitan dengan hal tersebut bersifat mutlak dan pasti, serta hukum
syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuriyat menjadi
wajib. Demikian sebaliknya, larangan yang berkaitan dengan dengan dharuriyat
juga tegas dan mutlak dan hukum yang ditimbulkan menjadi haram (haram dzatiy).
(Amir Syarifuddin: 213).
Contoh:
- Menjaga agama dari segi keberadaannya (min
nahiyat al-wujud) yaitu dengan menegakkan syiar-syiar keagamaan
(salat, puasa zakat dsb), melakukan dakwah islamiyah; berjihad di jalan Allah;
dan menjaga agama dari segi ketidak-adaannya (min nahiyat al-‘adam) yaitu
menjaga dari upaya-upaya penyimpangan ajaran agama dan memberikan sanksi hukuman
bagi orang yang murtad; (Al-Yubi: 195)
- Menjaga jiwa dari segi keberadaannya (min
nahiyat al-wujud) yaitu dengan memberi nutrisi berupa makanan dan
minuman; dan menjaga jiwa dari segi segi ketidak-adaannya (min nahiyat al-‘adam)
menjalankan sanksi qisas dan diyat terhadap pidana pembunuhan; (Al-Yubi:
211)
- Menjaga akal dari segi keberadaannya (min
nahiyat al-wujud) yaitu dengan menuntut ilmu dan melatih berikir
positif; dan menjaga akal dari segi segi ketidak-adaannya (min nahiyat al-‘adam)
yaitu dengan memberikan had al-syurb (sanksi hukuman) bagi
yang mengkonsumsi meinuman keras dan narkoba; (Al-Yubi: 235)
- Menjaga keturunan/harga diri dari segi keberadaannya
(min nahiyat al-wujud) yaitu dengan menganjurkan untuk melakukan
pernikahan; dan menjaga keturunan/ harga diri dari segi segi ketidak-adaannya (min
nahiyat al-‘adam) yaitu dengan memberikan sanksi had al-zina (sanksi
perzinahan) bagi yang melakukan hubungan intin di luar pernikahan; (Al-Yubi:
245)
- Menjaga harta dari segi keberadaannya (min
nahiyat al-wujud) yaitu dengan menganjurkan untuk bekerja dan
mencari rizki yang halal; dan menjaga harta dari segi segi ketidak-adaannya (min
nahiyat al-‘adam) yaitu dengan melarang untuk melakukan pencurian dan
penipuan terhadap harta orang lain dan memberi sanksi had al-sariqah
(sanksi pencurian dan penipuan) bagi yang melakukannya; (Al-Yubi: 283)
b. Maqashid Hajiyat (sekunder): adalah
sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam leluasa melaksanakannya dan terhindar
dari kesulitan. Kalau hal tidak ada, maka ia tidak akan meniadakan, merusak
kehidupan atau menimbulkan kematian hanya saja akan mengakibatkan kesulitan dan
kesempitan (al-masyaqqah wa al-jarah). (Al-Syathibi:2/10).
Tujuan hajiyat jika ditinjau dari segi petapan hukum dapat dikelompokkan
pada tiga bagian:
1) Hal
yang disuruh syara’ nmelakukan untuk dapat melaksanakan suatu kewajian secara
baik yang disebut sebagai ”muqaddimah wajib”. Contohnya: membangun
sarana pendidikan seperti sekolah sesuatu yang disuruh oleh agama sebagai tempat menuntut ilmu untuk meningkatkan
kualitas akal. Namun tidak berarti bahwa
jika sekolah tidak ada lantas tidak dapat menuntut ilmu karena masih dapat
dilakukan di luar sekolah, sehingga kebutuhan akan sekolah masuk sebagai hal
yang hajiyat.
2) Hal yang dilarang syara’ untuk dilakukan guna
menghindarkan pelanggaran pada salah satu unsur dharuryat. Perbuatan zina
berada pada larangan tingakt dharuriyat, namun segala hal yang menjurus pada
terjadinya perzinahan juga dilarang seperti berdua-duaan dengan lawan jenis,
sekalipun tidak secara langsung merusak keturunan akan tetapi dilarang guna
menutup pintu pelanggaran terhadap larangan yang bersifat dharuriyat .
3) Segala
bentuk kemudahan dan keringanan (rukhshah) yang diberikan karena adanya
kesukaran dan kesulitan sebagai pengecualian dari hukum azimah, sama halnya
masalah ibadah (kebolehan meng-qashar dan menjama’ shalat; bolehnya berbuka
puasa pada siang hari ramadhan bagi yang musafir atau sakit); masalah masalah
muamalat (ijarah (sewa menyewa, jual salam; transaksi mudharabah dsb).
c. Maqashid Tahsiniyat: adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk
memperindah kehidupan, namun jika tidak terpenuhi, kehidupan tidak akan rusak
dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan, hanya saja dinilai kurang pantas dan
tidak layak manurut ukuran tata-krama dan kesopanan (Al-Syathibi: 2/11).
Tujuan syariah pada tingkatan tahsiniyat menurut asalnya tidak menimbulkan
hukum wajib pada perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan dan juga tidak
menimbulkan hukum haran pada perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, akan
tetapi hanya menimbulkan ”hukum sunnat” bagi yang melakukan dan ”hukum makruh”
bagi yang mengabaikan.
Maqashid Tahsiniyat berlaku pada bidang ibadah (berbersih diri dan
berpakaian rapi pada waktu ingin mengerjakan salat dan mau ke masjid); pada
bidang muamalat (jual beli syuf’ah) pada bidang adat kebiasaan (makan dan minum
dengan tangan kanan) dsb.
Untuk
memperjelas tingkatan Maqashid Syari’ah berdasarkan
klasifikasi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat,
maka keterkaitan satu sama lain sebagaimana berikut ini:
1. Memelihara Agama
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan tingkat
kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara agama dalam peringkat “dharuriyat”,
yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat
primer, seperti: melaksanakan shalat fardhu (lima waktu). Apabila kewajiban shalat
diabaikan, maka eksistensi agama akan terancam.
b. Memelihara agama dalam peringkat “hajiyat”,
yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan,
seperti: melakukan shalat jama’ dan qasar ketika musafir. Kalau ketentuan ini
tidak dilaksanakan, tidak akan mengancam eksistensi agama, namun dapat
mempersulit pelaksanaannya.
c. Memelihara agama dalam peringkat “tahsiniyat”,
yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia,
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan, seperti: menutup
aurat baik dilakukan pada waktu shalat ataupun di luar shalat dan juga membersihkan
badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji.
Apabila semua itu tidak dilakukan karena tidak memungkinkan, maka tidak
mengamcam eksistensi agama. Namun demikian, tidak berarti tahsiniyat itu
dianggap tidak perlu, sebab peringkat ini akan menguatkan dlaruriyat dan
hajiyat.
2. Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat
kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara jiwa pada peringkat “dhururiyat”
adalah memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan, minuman untuk mempertahankan keberlangsungan
hidup. Kalau kebutuhan pokok tersebut diabaikan akan mengancam eksistensi jiwa
manusia.
b. Memelihara jiwa pada peringkat “hajiyat”
adalah dianjurkan untuk berusaha guna memperoleh makanan yang halal dan lezat.
Kalau kegiatan ini diabaikan tidak akan mengancam eksistensi kehidupan manusia,
melainkan hanya dapat mempersulit hidupnya.
c. Memelihara jiwa pada peringkat “tahsiniyat”
seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan
dengan kesopanan dan etika. Sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa
manusia atau mempersulitnya.
3. Memelihara Akal
Memelihara akal, dilihat dari tingkat kepentingannya
dapat dibagi menjadi tiga perinkat:
a. Memelihara akal pada peringkat “dharuriyat”,
seperti diharamkan mengkonsumsi minuman keras dan sejenisnya. Apabila ketentuan
ini diabaikan akan mengancam eksistensi akal manusia.
b. Memelihara akal pada peringkat “hajiyat”,
seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekirannya ketentuan itu
diabaikan tidak akan merusak eksistensi akal, akan tetapi dapat mempersulit
seseorang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan akhirnya berimbas pada
kesulitan dalam hidupnya.
c. Memelihar akal pada peringkat “tahsiniyat”,
menghindarkan diri dari kegiatan menghayal dan mendengarkan atau melihat
sesuatu yang tidak berfaedah. Kegiatan itu semua tidak secara langsung
mengancam eksistensi akal manusia.
4. Memelihara
Keturunan
Memelihara “keturunan/harga diri, ditinjau
dari peringkat kebutuhannya dapat dibagi menjadi tiga:
a. Memelihara keturunan pada peringkat “dharuriyat”,
seperti anjuran untuk melakukan pernikahan dan larangan perzinaan. Apabila hal
ini diabaikan dapat mengancam eksistensi keturunan dan harga diri manusia.
b. Memelihara keturunan pada peringkat “hajiyat”,
seperti ditetapkan Talak sebagai penyelesaian ikatan suami isteri. Apabila
Talak tidak boleh dilakukan maka akan mempersulit rumah tangga yang tidak bisa
dipertahankan lagi.
c. Memelihara keturunan pada peringkat “tahsiniyat”,
seperti disyariatkannya khitbah (peminangan) dan walimah (resepsi)
dalam pernikahan. Hal ini dilakukan untuk melengkapi acara siremoni pernikahan.
apabila tidak dilakukan tidak mengancam eksistensi keturunan atau harga diri
manusia dan tidak pula mempersulit kehidupannya.
5. Memelihara
Harta
Memelihara harta, ditinjau dari peringkat kepentingannya
dapat dibagi menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara harta pada peringkat “dharuriyat”,
seperti disyariatkan oleh agama untuk mendapatkan kepemilikan melalui transaksi
jual beli dan dilarang mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar
seperti mencuri, merampok dsb. Apabila aturan tersebut dilanggar akan mengancam
eksistensi harta.
b. Memelihara harta pada peringkat “hajiyat”,
seperti dibolehkan transaksi “jual-beli “salam”, istishna’
(jual beli order) dsb. Apabila ketentuan tersebut diabaikan tidak akan
mengancam eksistensi harta, namun akan menimbulkan kesulitan bagi pemiliknya
untuk melakukan pengembangannya.
c. Memelihara harta pada peringkat “tahsiniyat”,
seperti perintah menghindarkan diri dari penipuan dan spekulatif. Hal tersebut
hanya berupa etika bermuamalah dan sama sekali tidak mengancam kepemilikan
harta apabila diabaikan. (Al-Ayubi: 192-303)
2. Kedudukan Al-Mashlahahdalam Maqashid Syari’ah
a. Arti Mashlahah
Kata Al-Mashlahah secara
literal jika berasal dari akar kata ”shalah (baik)” lawan dari kata ”fasad
(buruk atau rusak)”. Namun jika berasal dari ”al-mashlahah” maka dapat
diartikan al-manfa’ah”, dikatakan ”Inna al-mashlahah ka al-manfa’ah
lafzhan wa ma’nan” (). Pengertian
Mashlahah dalam bahasa Arab dapat berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong
kepada kebaikan manusia. Dalam arti yang umum adalah setiap sesuatu yang bermanfaat bagi manusia,
baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan, kesenangan (jalb
al-manfa’ah); atau dalam arti menolak
atau menghindarkan kemudharatan atau kerusakan (daf’u
al-madharrah/al-mafsadah).
Dalam mengartikan al-Mashlahah secara epistimologi,
terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama sekalipun intinya hampir sama,
antara lain:
Imam Al-Ghazali: Mashlahah
menurut asalnya merupakan sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) atau
menhindarkan mudharat (kerusakan), namun lebih jauh dikatakan bahwa
al-mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Sedangkan tujuan syariat Allah SWT bagi makhluk-Nya
adalah untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. (al-Ghazali: 102
dan 251). Dari definisi tersebut Al-Ghazali melihat bahwa menurut asalnya
-Mashlahah berarti bagaimana manusia sebagai subyek hukum (al-mukallaf)
mewujudkan tujuannya (maa yuhaqqiq qashd al-mukallaf), namun
bukan itu yang diinginkan sebagai al-mashlahah akan tetapi yang
diinginkan adalah bagaimana tujuan Allah sebagai Syari’ (Lawgiver)
terhadap hamba-Nya yang mecakup lima hal pokok itu dapat terwujud (agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta).
Al-’Izz ibn Abd As-Salam memberikan
definisi bahwa Mashlahah dalam bentuk hakikatnya identik dengan kesenangan dan
kinkmatan, sedangkan bentuk majaznya adalah sebab-sebab yang mendatangkan
kesenangan dan kenikmatan. (Ibn As-Salam: 1/12)
Sementara menurut Al-Thufi: Maslahah adalah ungkapan dari
sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah atau adat. (Al-Thufi:
48)
Dari beberapa definisi di atas, sekalipun
dengan rumusan yang berbeda namun dapat disimpulkan bahwa masalahah itu adalah
sesuatu yang baik oleh akan sehat karena mendatangkan manfaat (kebaikan) dan
menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia sejalan dengan tujuan syara’
dalam menetapkan hukum. Ketiga ulama di atas (Al-Ghazali, Ibn Abd As-Salam dan
Al-Thufi) memliki pandangan yang hampir sama tentang maslahah; Al-Ghazali
menekankan bahwa maslahah merupakan upaya pelestarian tujuan syariat; Al-Thufi
menggambarkan sebagai sebab yang membawa kepada tujuan syara’; sementara Ibn
Abd Salam menggambarkan bahwa sanksi itu bukan untuk merusak, akan tetapi
bertujuan agar dapat menjaga tujuan sayara’ itu sendiri (Al-’Alim: 140).
Namun dari hasil penelitian Al-Raisuni
mengungkapkan hal lain dan mengatakan bahwa: Al-Mashlahah (al-manfaah)
dan Al-Mafsadah merupakan dua istilah yang disepakati oleh ulama sebagai
sarana kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukhrawi seperti yang disebutkan
oleh Al-Shathibi sebagai ”mashalih al-’ibad fi al-’ajil wa al-’ajil ma’an”.
Al-Raisuni memberikan gambaran mengenai kemaslahatan ukhrawi dan mengatakan: mashalih
al-akhirah adalah: semua yang dapat menghantarkan untuk mendapatkan ridha
dan nikmat Allah, sementara mafasid
al-akhirah adalah semua yang dapat membawa kepada kemurkaan Allah dan
siksaan-Nya (al-Raisuni: 255). Oleh karena itu, hampir dipastikan bahwa ketika
ulama berbicara mengenai maslahah mesti mereka akan menyebutkan dua istilah ”manfa’ah”
dan ”mafsadah” secara bersamaan, seperti ungkapan Ibn Qudama (1/412): Anna
al-mashahah hiya jalb al-manfaah au daf’u al-mafsadah; Al-Razi (2/2180 dan
Al-Syaukani (215): semua yang dapat membawa kepada kelezatan dan keyamanan
adalah manfaat, sementara semua yang dapat membawa kepada kesengsaraan dan
kesakitan adalah mafsadah. Jadi yang ingin dikatakan: maslahah itu adalah semua
yang dapat memberi kelezatan dan kenyamanan terhadap jiwa, pisik, ruh dan akal
pikiran. Sementara mafsadah adalah semua dapat menimbulkan kesengsaraan dan
kesakitan terhadap jiwa, pisik, ruh dan akal pikiran (Al-Raisuni: 257).
b. Keriteria Maslahah
Said Ramadhan Al-Buthi menawarkan lima
kriteria Maslahah (Al-Buthi: 113):
1) Maslahah harus dalam lingkup tujuan
syara’ (Allah sebagai Lawgiver)
2) Tidak bertentangan dengan nash Al-Quran
ataupun hadis Nabi SAW
4) Tidak bertentangan dengan Qiyas Shahih
5) Tidak mengabaikan maslahah lain yang
lebih penting dan kuat
c. Implementasi Nash dalam Mengukur
Maslahah:
Sering mendapatkan ungkapan
bahwa ada terjadi pertentangan antara nash dan maslahah atau ada indikasi
maslahah yang tidak mendapatkan legimasi nash.
Dalam kaitan ini, Al-Raisuni menawarkan suatu rumusan yang dapat
mewujudkan konsistensi maslahah terhadap nash, dengan perlunya (Ar-Raisuni: 50-55):
2)
Menjadikan nash sebagai tolok
ukur masalahah; posisi nash sebagai tolok ukur masalah melahirkan keyakinan
besar bahwa di dalam nash itu terdapat keadilan
dan akan selalu menjadi rahmat bagi umat
manusia (QS. Al-Anbiya: 107), maka nash akan selalu diposisikan
sebagai tolok ukur maslahah. Karena demikian; akan dapat diketahui bahwa disana
ada maslahah mu'tabarah (mendapat penegasan syara'); akan dapat
dibedakan antara maslahah (manfaat) dan mafsadah (kerusakan); akan
dapat dibedakan antara maslahah al-'ulya dengan sekedar kepentingan
duniawi saja, bahkan; dan akan dapat pula dibedakan antara kerusakan yang
menimbulkan bahaya dengan kerusakan biasa;
3)
Tafsir secara mashlahi
terhadap nash; Tafsir mashlahi dimaksudkan agar kajian dan penelitian yang
dilakukan untuk menemukan "tujuan-tujuan nash" yang terkandung
dibalik ketentuannya, karena seperti penegasan Al-Syathibi bahwa ketentuan
agama dietetapkan untuk kemaslahatan
umat manusia, baik untuk kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukhirawi (Al-Syathibi: 6), dengan "tafsir
mashlahi" ini memungkinkan untuk menghilangkan anggapan sementara
orang bahwa ada benturan antara maslahah dan nash; dan
4)
Aplikasi secara mashlahi,
yaitu dalam mengaplikasikan ketentuan nash selalu didasarkan kepada maqashid
syar'iah yang menjunjung tinggi kepentingan bersama, sehingga terjadi
keterikatan antara nash dan realita.
Berdasarkan hal di atas, ada
perangkat metodolis yang ditawarkan oleh para ahli Ushul fiqh guna mewujudkan dialog
antara nash, maslahah dan relaitas, yaitu:
1) Tahqiq Al-Manath: seperti telah disebutkan
bahwa tahqiqi al-manath adalah upaya seorang mujtahid untuk
mengidentifikasi dan memverifikasi subtansi obyek hukum, guna menghindari
terjadinya kesalahan teksin penyesuaian
antara satu hukum dengan obyeknya.
2) I'tibar Maalat al-Ahkam: yang dimaksud dengan i'tibar
maalat al-ahkam adalah mempertimbangkan dan memantau kondisi aplikasi hukum
yang telah ditempuh pada perangkat tahqiq al-manat. Kalau pada perangkat
pertama (tahqiqi al-manat) menekankan pentingnya seorang mujtahid
memahami dan mendalami apa yang sedang terjadi, maka perangkat i'tibar
maalat al-ahkam adalah mewajibkan untuk memahami dan mempertimbangkan bakal
apa yang terjadi (mutawaqqa').
3) Muraat at-taghayyurat: inti perangkat ini adalah
merupakan anjuran kepada setiap yang ingin melibatkan diri dalam proses
penemuan dan penetapan hukum agar selalu memantau perkembangan dan perubahan yang
terjadi dalam dunia realita, karena kebijaksaan hukum akan dapat berubah
berdasarkan perubahan waktu dan tempat. (Ibn Al-Qayyim: 425).
3. PENUTUP/SIMPULAN
a. Maqashid Syari’ah sebagai epistimologi
hukum merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam, sebagai salah satu metode
ijtihad yang telah dikembangkan oleh ulama-ulama beberapa abad abad yang lalu dan
merupakan hasil dari prestasi yang gemilang dalam bidang pemikiran ilmu hukum.
b. Pemikiran Maqashdi Syari’ah sebagai teori
hukum yang pembahasan utamanya menjadikan “jalb al-manfa’ah dan daf’u
al-mafsadah sebagai tolok ukur terhadap sesuatu yang dilakukan manusia; dan
menjadikan kebutuhan dasar manusia sebagai tujuan pokok dalam pembinaan hukum
Islam.
c. Maqashid Syari’ah mengklasifikasi kebutuahn
manusia menjadi tiga tingkatan yaitu Ad-dharuriyat, al-hajiyat,
dan al-tahsiniyat agar manusia dapat mencapai kemaslahatannya di dunia
dan di akhirat nanti.
d. Dengan terbukanya Maqashid
al-Syari’ah sebagai salah satu epistemologi hukum Islam diharapkan dapat
membangun hukum yang mampu berfungsi dalam mewujudkan “jalb al-mashalih wa
daf’u al-mafasid” sehingga dapat tercipta stabilitas dalam kehidupan,
terwujud keadilan, kemanfaatan serta kesejahtaeraan dalam kehidupan manusia di
dunia dan al-fauz bi al-jannah wa an-najat min an-naar di akhirat nanti
dan itulah yang menjadi kemaslahatan tertinggi bagi manusia dan itulah inti
dari Maqashid Syari’ah.
4. DAFTTAR PUSTAKA
1)
Al-Juwaini,
Abd Al-Malik Ibn Abdullah, Al-Burhan fi Ushul Fiqh, Kairo, 1400 H, Dar
Al-Anshar
2)
Al-Ghazali,
Abu Hamid, Al-Mustashfa, Mesir, Maktabah Al-Jundi
3)
Al-mahshul
fi ‘Ilm Al-Ushul, Riyadh, 1401 H, Jami’ah Al-Imam Muhammad Bin Sa’ud
Al-Islamiyah,
4)
Al-Muwafaqat
5)
Ibn Abd
Al-Salam, ‘Izzuddin, Qawaid Al-ahkam fi Mashlih Al-Anam, Bairut, Dar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyah
6)
Ibn Al-Qayyim Syamsuddin Abu
Abdullah, I'lam Al-Muwaqqa'in, Bairut, 1973, Dar Al-Jael
7)
Al-Buthi,
Muhammad Said Ramadhan, Dhawabit Al-Mashlahah, Bairut, Muassasah
Al-risalah
8)
Al-Fasi,
‘Ilal, Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyah wa Makarimuha, Maroko, 1979,
Mathba’ah Al-Risalah
9)
Ibn ‘Asyur,
Muhammad Al-Thahir, Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyah, Tunisia, Mashna’
Al-Kitab
10)
Al-Raisuni, Ahmad,
Nazhariyah Al-Maqashid ‘inda Al-Imam Al-Syathibi, Al-Dar Al-‘Alamiyah li
Al-Kitab Al-Islamiyah
11)
________________,
Al-Ijtihad, Al-Nash, Al-Waqi’, Al-Mashlahah, Bairut, Dar Al-Fikr
Al-Mu’ashir
12)
Al-Kailani,
Abd Al-Rahman Ibarhim, Qawaid Al-maqashid ‘inda Al-Imam Al-Syathibi, Damaskus,
Syria, Dar Al-Fikr
13)
Dirasat fi
Fiqh Al-Maqashid Al-syar’iyah
14)
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta, 2008, Kencana
Perdana Media Group.
* Makalah ini disampaikan pada acara Pelatihan Majlis
Tarjih Muhammadiyah se-Indonesia pada 20-23 Januari 2012 di Universitas
Muhammadiyah Magelang
* Penulis Oleh: Dr. M. Khaeruddin Hamsin, MA (Dosen
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Loading...
1 Response to "Maqashid Syari'ah Dalam Penetapan Hukum Islam"
Masha Allah syukron atas tulisannya, sangat membantu untuk memahami maqosid syariah... Jazakalahu khoir..
Post a Comment