Makalahkuliah.com-Problem pendidikan saat ini adalah
terpolarisasinya ilmu ke dalam dua kubu, ilmu-ilmu umum dan agama. Hal itu
kemudian menyebabkan terbaginya institusi pendidikan menjadi dua kubu pula; di
bawah Departemen Agama (DEPAG) dan di bawah Departemen Pendidikan Nasional
(DEPDIKNAS). Pendidikan di bawah DEPAG seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTS), Madrasah Aliyah (MA) dan Perguruan Tinggi Islam
(PTI). Sedangkan di bawah DEPDIKNAS seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi Umum
(PTU). Munculnya upaya-upaya penyatuan antar keduanya sudah lama muncul.
Sebagai misal munculnya Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah
Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu (SMAIT) dan
ditingkat PTN ada Universitas Islam Negeri (UIN) dan lain sebagainya adalah buah dari kegelisahan
banyak kalangan atas jarak yang sangat jauh antara pendidikan agama dan umum.
Namun demikian, bukan berarti
permasalahan terobati dan selesai sampai di situ, bahkan muncul problem-problem
yang semakin rumit. Di sekolah-sekolah Islam terpadu, misalnya, konsep keilmuan
yang terintegralistik kurang terbangun secara benar dan konseptual, justru yang
ditekankan hanya semangat beribadah dan praktikal saja. Akibatnya, dan ini
persoalan paling serius, ilmu-ilmu Islam terseret kepada paradigma Barat, sadar
atau tidak. Konsep-konsep ilmu secara menyeluruh didominasi oleh cara pandang
sekuler. Banyak kita menyaksikan sekolah-sekolah Islam terpadu mengajarkan
ilmu-ilmu Islam tapi kehilangan ruhnya. Akibatnya aqidah dan akhlak siswa tidak
beda dengan siswa yang belajar di sekolah non-Islam Terpadu. Begitu pula cara
pandang mereka terhadap ilmu umum. Mereka
tidak melihat bahwa ilmu umum juga adalah bagian dari Islam, yang merupakan
kewajiban agama untuk mempelajarinya dan bernilai ibadah tinggi. Tidak terlihat
motivasi bahwa belajar mereka adalah demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.
Atau bahkan, materi pelajaran umum di sekolahnya tidak berusaha di-Islamisasikan
oleh penyelenggara pendidikan itu sendiri.
Problem
lain terdapat di Perguruan Tinggi Islam, selain sudah terbaratkan,
jurusan-jurusan keagamaan semakin tidak diminati, karena arah dan tujuan
belajar di sana sudah terorientasikan untuk dunia kerja. Padahal lapangan kerja
untuk jurusan agama nyaris tidak ada. Tak bisa dipungkiri bahwa itulah penyebab
utama mengapa jurusan-jurusan agama tidak diminati, bahkan hanya menjadi
pelarian manakala calon siswa gagal dalam tes di jurusan-jurusan umum.
Menurut
Imam Al Ghazali (1058-1111 M.), semestinya institusi pendidikan Islam tidak
membagi ilmu itu kepada umum dan agama, tapi kepada fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah. Fardhu ‘ain berkaitan dengan asas-asas Islam yang wajib diketahui
dan diamalkan oleh setiap individu muslim seperti rukun iman (Tauhid),
rukun Islam dan menjauhi hal-hal yang jelas keharamannya. Sedangkan fardhu
kifayah menurut Al Ghazali berkaitan dengan ilmu-ilmu syariah dan non syariah.
Ilmu syariah ialah ilmu yang diperoleh dari nabi saw dan ilmu non syariah ialah
ilmu-ilmu terpuji, yaitu ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan kepentingan
duniawi dan kemaslahatan umat seperti kedokteran, militer, politik, ekonomi, hukum
dan lain sebagainya. Selama ini kita menganggap bahwa fardhu kifayah hanya
sebatas mengurusi jenazah saja. Padahal hakikat fardhu kifayah terus meluas,
setiap kemajuan dunia yang sesuai dengan syariat menjadi fardhu kifayah untuk
umat Islam. Fardhu kifayah itu sendiri artinya perkara wajib yang apabila telah
dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban yang lain terhadap
kewajiban tersebut. Artinya di antara umat Islam harus ada yang ahli di bidang
politik, medis, militer, hukum dan ekonomi.
Sehingga
dengan konsep seperti ini para pengajar dituntut memahami ilmu fardhu ‘ain,
selain spesialisasinya. Begitu pula pelajar harus memahami ilmu fardhu ‘ain,
selain ilmu yang menjadi favoritnya. Dengan cara seperti ini, mempelajari
agama, terutama yang fardhu ‘ain, tidak lagi dipandang sebelah mata, yang tidak
menjanjikan lapangan kerja, karena ia akan dipelajari sebelum belajar yang
lainnya oleh setiap penuntut ilmu.
Menurut Dr.
Hasan Langgulung (1995) pendidikan Islam mempunyai dua maksud; Yaitu pendidikan
Islam umum dan pendidikan Islam khusus. Pendidikan Islam umum ialah pendidikan
yang diberikan kepada orang Islam dalam semua keadaan seperti di sekolah,
rumah, masjid, kantin, tempat bermain, kendaraan. Saat mandi, makan, minum,
bermain, tidur dan bekerja. Termasuk juga di bidang politik, hukum, budaya, sosial,
kedokteran, perdagangan, militer dan lain sebagainya. Sedangkan pendidikan
Islam khusus ialah mata pelajaran sekolah, yaitu Tauhid, tafsir, hadits, akhlak
dan lain sebagainya. Maka bila disebutkan pendidikan Islam, bukan hanya mata
pelajaran agama di sekolah. Tetapi memiliki arti luas, yaitu segala usaha
mendidik orang Islam menjadi mukmin dan muttaqin. Pendidikan
seperti ini harus dilakukan oleh setiap individu muslim secara sinergis dalam
konsep amar ma’ruf dan nahyi munkar. Maka insya Allah dengan
konsep ini tidak akan ada lagi orang tua siswa yang mengeluhkan kelemahan
aqidah, akhlak, cara hidup dan cara pandang anaknya yang menjadi siswa di
sekolah Islam terpadu.
Rabbanâ Hab lanâ min Azwâjinâ wa Dzurriyyâtinâ
Qurrata A’yunin waj’alnâ lil muttaqîna Imâman
Sumber: http: //www.insisnet.com
Disarikan oleh:
Ceceng Rucita, S.Sos.I
Kepala Sekolah
SDIT Pusdiklat Dewan
Da’wah
Loading...
0 Response to "Pendidikan Fardhu Baik Fardhu Kifayah Maupun 'Ain"
Post a Comment