A.Pendahuluan
Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen
penting yang saling berhubungan. Di antara komponen yang ada dalam sistem
tersebut adalah metode dan alat. Pengkajian terhadap metode dan alat memang
menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab keduanya turut
menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan dalam mencapai
tujuan pendidikan. Untuk itu metode dan alat mesti dikembangkan secara dinamis
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Dalam konteks pendidikan Islam, metode dan alat pendidikan tentu memiliki
karakteristik yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Maka pengembangan
metode dan alat yang diinginkan dalam sistem pendidikan Islam harus sesuai
dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Pengembangan metode dan alat pendidikan itu harus dilakukan, khususnya para
pelaksana pendidikan Islam. Jika metode dan alat yang digunakan—meminjam
istilah Mastuhu—masih bersifat klasik, statis dan cenderung membosankan peserta
didik, maka akan berdampak terhadap kualitas kehidupan umat Islam itu sendiri
yang akan terus terbelakang. Memang ada kecenderungan selama ini bahwa dinamika
pendidikan Islam dalam tataran pelaksanaanya kurang mampu bersaing dengan
lembaga-lembaga pendidikan lain. Hal itu tentu dipengaruhi oleh banyak faktor,
salah satu di antaranya adalah lemahnya pengembangan metode dan alat
pendidikan.
Untuk itu, makalah yang sederhana ini akan menganilisis secara filosofis
tentang metode dan alat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, dengan
harapan kajian ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang konsep keduanya
sehingga memberikan kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di
bidang pendidikan Islam. Namun, apa yang tertulis secara eksplisit dalam
makalah ini tentu kurang memadai untuk memenuhi harapan tersebut tanpa adanya
kritik, saran dan diskusi lebih lanjut tentang gagasan-gagasan yang ada. Maka
kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari peserta
diskusi untuk memenuhi harapan dimaksud.
B.Analisi Filosofis tentang Metode Pendidikan
1.Antara Epistemologi, Metodologi dan Metode
Dalam kajian filsafat, ontologi, epistemologi, dan aksiologi merupakan tiga
sub sistem dari filsafat. Ontologi merupakan teori tentang ”ada”, yaitu tentang
apa hakikat sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Epistemologi
merupakan teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Sementara aksiologi adalah teori
tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan atau fungsi dari objek
yang dipikirkan. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa ada sesuatu
yang perlu dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya
(epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat
atau kegunaan (aksiologi).
Pendidikan juga merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen.
Salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan adalah metode. Secara
sederhana dapat dipahami bahwa metode dalam pendidikan adalah cara yang
digunakan untuk mewujudkan suatu tujuan yang diinginkan. Dengan demikian ada
kaitan yang erat antara epistemologi dengan metode, bahkan dengan metodologi.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang sumber, struktur,
metode-metode dan validitas pengetahuan. Metodologi adalah ilmu tentang metode
atau ilmu yang mempelajari prosedur/cara-cara mengetahui sesuatu. Sedangkan
metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah sistematis. Jadi, jika metode bicara tentang prosedur sesuatu
maka metodologilah yang merangkai secara konseptual tentang prosedur tersebut.
Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa jika diurutkan, epistemologi
merupakan bagian dari filsafat, metodologi bagian dari epistemologi, dan metode
merupakan bagian dari metodologi. Sementara dalam kajian makalah ini, akan
dibahas tentang metode pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam.
Mengenai apa dan bagaimana metode pendidikan dalam perspektif filsafat
pendidikan Islam akan dijelaskan pada bagian berikut.
2.Pengertian Metode Pendidikan Islam
Istilah “metode” berasal dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya
“melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Jadi metode bisa dipahami
sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu.
Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang
ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang
digunakan kata al-tharīqah, manhaj, atau al-wasīlah. Al-Tharīqah berarti jalan,
manhaj berarti sistem, sedangkan al- wasīlah berarti perantara atau mediator.
Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah al-tharīqah yang berarti
langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Kata-kata al-tharīqah juga banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Menurut Muhammad Fuad
Abd Baqy, sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa di dalam al-Qur’an
kata al-tharīqah diulang sebanyak 9 kali. Kata ini terkadang dihubungkan dengan
objek yang dituju, seperti neraka sehingga menjadi jalan menuju neraka (Q.S.
an-Nisa/4: 169) ; terkadang dihubungkan dengan sifat dari jalan tersebut,
seperti al-tharīqah al-mustaqimah, yang diartikan jalan lurus (Q.S.
al-Ahqaf/46:30) ; terkadang dihubungkan dengan jalan yang ada di tempat
tertentu, seperti al-tharīqah fi al-bahr yang berarti jalan (yang kering) di
laut (Q.S. Thaha/20: 77) ; dan terkadang pula al-tharīqah berarti tata surya
atau langit (Q.S. al-Mukminun/23: 17).
Dari pendekatan kebahasan tersebut tampak bahwa metode lebih menunjukkan
kepada jalan dalam arti jalan yang bersifat non fisik, yakni jalan dalam bentuk
ide-ide yang mengacu kepada cara yang mengantarkan seseorang untuk sampai pada
tujuan yang diinginkan. Namun secara terminologis, kata metode bisa membawa
kepada pengertian yang beragam sesuai dengan konteks. Dalam konteks pendidikan
Islam, metode dapat dipahami sebagai cara atau jalan yang ditempuh oleh
pendidik dalam mendidik peserta didiknya dengan seperangkat pengalaman belajar
sehingga tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan dapat tercapai secara
efektif dan efisien. Defenisi ini secara substansi tidak jauh berbeda dengan
berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam.
Al-Syaibany, misalnya berpendapat bahwa metode pendidikan adalah:
Segala segi kegiatan yang tearah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka
kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkan, ciri-ciri mata pelajaran
yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam
sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar
yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan,
kebiasaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang diinginkan.
3.Urgensi dan Fungsi Metode Pendidikan Islam
Dari pengertian pendidikan yang telah dijelaskan di atas dapat dipahami
bahwa metode merupakan komponen yang amat penting dalam sistem pendidikan.
Bahkan jika ditelusuri ayat-ayat al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang
mengajak manusia untuk berpikir untuk mempertanyakan ”bagaimana cara” sesuatu
sebagai bentuk motivasi bagi manusia agar mengembangkan suatu metode. Seperti
firman Allah dalam surat al-Ghasyiyah/88: 17-20.
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ. وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ. وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ. وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Dalam kaitannya dengan pendidikan, metode sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu proses pembelajaran yang dilakukan dalam mewujudkan tujuan
pendidikan. Bahkan sebaik apa pun materi pendidikan yang telah dirumuskan,
tanpa metode yang baik maka peserta didik akan sulit untuk menguasai materi
tersebut. Al-Qur’an, misalnya, merupakan kumpulan wahyu yang mutlak
kebenarannya dan jika dikuasai oleh umat Islam maknanya lalu mampu
mengamalkannya, niscaya keselamatan dan kebahagiaan akan diperoleh. Namun,
ketika umat Islam tidak memiliki metode yang baik dalam memahami makna
al-Qur’an serta mengembangkan isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung di
dalamnya, maka konsep al-Qur’an yang ideal itu hanya sekedar doktrin dan umat
Islam tetap terbelakang.
Begitu pentingnya metode dalam sistem pendidikan Islam, maka metode pun
mempunyai fungsi yang amat penting pula. Abuddin Nata menyebutkan bahwa secara
umum metode berfungsi sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi
pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan. Selain itu metode dapat merupakan
sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi
pengembangan disiplin suatu ilmu. Dari pemahaman seperti ini, Abuddin
mengatakan bahwa pada intinya metode berfungsi mengantarkan pada suatu tujuan
kepada objek sasaran tersebut.
Sementara M. Arifin menyebutkan bahwa dari sudut filosofis, metode
merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara
esensial, metode yang digunakan mempuunyai fungsi ganda. Pertama, fungsi
polipragmatis, yaitu manakala metode itu mengandung kegunaa yang serba ganda
(multi purpose). Misalnya metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi
tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, pada situasi dan kondisi yang lain
dapat digunakan untuk membangun atau memperbaiki. Kegunaannya dapat bergantung
kepada di pemakai atau pada corak dan bentuk serta kemampuan dari metode
sebagai alat. Misalnya audio visual methods yang mempergunakan Video Casette
Record (VCR) yang dapat merekam dan menayangkan semua jenis film, baik yang
moralis maupun pornografis, dan dapat pula dijadikan sebagai media dalam proses
pendidikan.
Kedua, fungsi monopragmatis, yaitu alat yang hana daat dipergunakan untuk
mencapai satu amcam tujuan saja. Misalnya metode eksperimen ilmu alam yang
menggunakan laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk
eksperimen-eksperimen di bidang ilmu alam saja dan tidak bisa dipergunakan
untuk bidang ilmu sosial dan ilmu-ilmu lainnya.
4.Karakteristik Metode Pendidikan Islam
Selain dari asas-asas di atas, perlu pula mengenal karakteristik metode
pendidikan Islam. Mengenal karakter ini penting, sebab metode yang digunakan
dan dikembangkan dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri dan
berbeda dengan pendidikan non-Islam. Dengan mengenal karakteristik tersebut, maka
penggunaan dan pengembangan metode pendidikan Islam akan membuatnya lebih
unggul dan sesuai dengan karakteristik sistem pendidikan Islam itu sendiri.
Adapun karakteristik metode pendidikan Islam tentunya sesuai dengan
karakteristik sistem pendidikan Islam itu sendiri. Kaarakteristik yang paling
menonjol adalah pendikan Islam berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah serta
pendidikan Islam sarat nilai (full value) bukan bebas nilai. Maka metode
pendidikan yang diterapkan dan dikembangkan harus berladaskan kepada semangat
al-Qur’an dan Sunnah serta sarat akan nilai yang sesuai dengan sumber Islam itu
sendiri.
Lebih lanjut, Samsul Nizar dan al-Rasyidin merumuskan ada delapan yang
menjadi karakteristik metode pendidikan Islam, yaitu:
a.Keseluruhan proses penerapan metode pendidikan Islam, mulai dari
pembentukannya, penggunaannya sampai pada pengembangannya tetap didasarkan pada
nilai-nilai asasi Islam sebagai ajaran yang universal.
b.Proses pembentukan, penerapan dan pengembangannya tetap tidak dapat
dipisahkan dengan konsep al-akhlak al-karīmah sebagai tujuan tertinggi dari
pendidikan Islam.
c.Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel dalam artian
senantiasa membuka diri dan dapat menerima perubahan sesuai dengan situasi dan
kondisi yang melingkupi proses pendidikan Islam tersebut, baik dari segi
peserta didik, pendidik, materi pelajaran dan lain-lain.
d.Metode pendidikan Islam berusaha sungguh-sungguh untuk menyeimbangkan
antara teori dan praktek.
e.Metode pendidikan Islam dalam penerapannya menekankan kebebasan peserta
didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa dalam batas-batas kesopanan dan
al-akhlak al-karīmah.
f.Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan nilai-nilai
keteladanan dan kebebasan pendidik dalam menggunakan serta mengkombinasikan
berbagai metode pendidikan yang ada dalam mencapai tujuan pengajarannya.
g.Metode pendidikan Islam dalam penerapannya berupaya menciptakan situasi
dan kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya interaksi edukatif yang
kondusif.
h.Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahkan proses
pengajaran dalam mencapai tujuannya secara efektif dan efesien.
Selain dari karakteristik di atas, setiap pendidik muslim juga harus
mengetahui pendekatan umum dalam pembentukan dan penerapan metode pendidikan
Islam sebagaimana yang telah dijelaskan Allah SWT dalam proses pendidikan
Rasulullah, yaitu dengan pendekatan tilawah (membaca ayat-ayat Allah), tazkiyah
(penyucian jiwa), dan ta’lim (mengajarkan kitab dengan hikmah). Bahkan metode
pendidikan Islam dikembangkan juga dari konsepsi amr ma’ruf nahi munkar dengan
pendekatan ishlah atau perbaikan serta pendekatan penuh hikmah, mau’idzhah dan
mujadalah. Berdasarkan hal ini maka paradigma pengembangan dan penerapan metode
pendidikan Islam dalam proses internasilasi sejumlah pengetahuan, keterampilan
dan sikap mental yang terpuji harus dilakukan dengan pendekatan yang
menyeluruh, integral dan sistematis.
5. Asas-asas Metode Pendidikan Islam
Untuk menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan, perlu diperhatikan
dasar-dasar umum metode pendidikan Islam tersebut. Menurut al-Syaibani, ada
empat dasar metode pendidikan Islam, yaitu: pertama, dasar agamis yaitu
meliputi pertimbangan bahwa metode yang digunakan diambil dari tuntunan
al-Qur’an dan hadis, kemudian dari sumber yang lain dengan berbagai cabangnya
dan dari peninggalan dan amalan orang-orang terdahulu yang shaleh; kedua, dasar
biologis, yang meliputi pertimbangan kebutuhan jasmani peserta didik dan
tingkat perkembangan usia anak didik; ketiga, dasar psikologis, yaitu meliputi
pertimbangan terhadap sejumlah kekuatan psikologis termasuk motivasi,
kebutuhan, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat, dan
kecakapan akal (intelektual); dan keempat, dasar sosial, yaitu meliputi
pertimbangan kebutuhan sosial di lingkungan peserta didik, artinya metode yang
digunakan mesti disesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat dan tradisi-tradisi
yang berkembang di dalamnya.
Kemudian, dari sudut pelaksanaannya, Samsul Nizar dan al-Rasyidin
mengemukakan bahsa asas-asas metode pendidikan Islam dapat diformulasikan
kepada beberapa asas berikut ini.
a. Asas motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitkan perhatian
peserta didik ke arah bahan pelajaran yang sedang disajikan.
b. Asas aktivitas, yaitu memberikan kesempatakn kepada peserta didik untuk
mengambil bagian secara aktif dan kreatif dalam seluruh kegiatan pendidikan
yang dilaksanakan.
c. Asas apersepsi, yaitu mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta
didik sehingga mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, perbendaharaan
konsep, dan kekayaan akan informasi.
d. Asas peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan
mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk asilnya maupun
tiruan.
e. Asas ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau
keberhasilan belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan
sikap.
f. Asas korelasi, yaitu menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan
pelajaran lainnya, sehingga membentuk mata rantai yang erat.
g. Asas konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu
dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksanakan tujuan pendidikan serta
memperhatikan peserta didik dalam segala aspeknya.
h. Asas individualisasi, yaitu memperhatikan perbedaan-perbedaan individual
peserta didik.
i. Asas sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang membangkitakn
semangat kerja sama peserta didik dengan pendidik atau sesama peserta didik dan
masyarakat, dalam menerima pelajaran agar berdaya guna.
j. Asas evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap
kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai umpan balik pendidik dalam
memperbaiki cara mengajar.
k. Asas kebebasan, yaitu memberi keleluasaan keinginan dan tindakan bagi
peserta didik dnegan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang
positif.
l. Asas lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh
lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.
m. Asas globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap
lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga
secara fisik, sosial dan sebagainya.
n. Asas pusat-pusat minat, yaitu memperhatikan kecenderungan jiwa yang
tetap ke jurusan suatu yang berharga bagi seseorang.
o. Asas ketauladanan, yaitu memberikan contoh terbaik untuk ditiru dan
ditauladani peserta didik.
p. Asas pembiasaan, yaitu membiasakan hal-hal positif dana diri peserta
didik sebagai upaya praktis dalam pembinaan mereka.
Sementara Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah juga menyinggung masalah
asas-asas atau prinsip-prinsip metode pendidikan Islam. Di antara asas atau
prinsip metode pendidikan Islam yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Mengajarkan materi dari yang inderawi kepada yang rasional; menurut Ibn
Khaldun kemampuan manusia dalam berpikir terjadi dalam tiga tingakatan, yaitu
al-Aql al-tamyīziy yang bersifat empiris, al-Aql al-tajrībiy yang mampu
melakukan berbagai eksperimen dan mulai mampu berpikir lebih rasional, dan
al-Aql al-Nazhori atau berpikir spekulatif yaitu kemampuan akal untuk berpikir
lebih abstrak dari tingkatan sebelumnya. Maka dalam mengajarkan sesuatu,
hendaknya bertahap (al-tadrīj) dari yang inderawi kepada rasional sesuai dengan
tingkatan akal manusia tersebut.
2. Menggunakan sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran; karena
kemampuan anak didik biasanya diawali dari hal-hal yang empiris baru kemudian
diarahkan kepada hal-hal yang rasional atau abstrak, maka dalam mengajar pun
hendaknya sarana atau alat peraga yang bersifat kongkrit digunakan oleh guru
sehingga membantu pemahaman peserta didik terhadap materi yang diajarkan.
3. Prinsip spesifikasi dan integrasi; menurut Ibn Khaldun, ilmu memiliki
beberapa cabang, seperti kelompok ilmu naqliyah, aqliyah dan ilmu alat.
Masing-masing kelompok memiliki cabang-cabang tersendiri. Meskipun terdapat
banyak cabang ilmu, peserta didik tidak diharuskan untuk menguasai seluruhnya.
Ibn Khaldun justru memandang perlunya spesifikasi ilmu pengetahuan. Artinya,
seorang pelajar mesti mengkhususkan kajiannya kepada satu bidang keilmuan.
Menurutnya, apabila seorang pelajar dihadapkan kepada persoalan yang banyak
sekaligus niscaya ia tidak akan sanggup memahami secara keseluruhan. Akibatnya,
otaknya akan jemu dan tidak sanggup untuk beraktivitas sehingga bisa membuatnya
meninggalkan ilmu yang sedang dipelajarinya.
4. Prinsip kontinuitas dalam penyajian materi; Ibn Khaldun juga berpendapat
bahwa setiap pendidik seharusnya memperhatikan prinsip kontinuitas atau
kesinambungan dalam menyajikan materi pelajaran yang sejenis kepada
murid-muridnya. Dengan demikian antara penyajian suatu materi ke materi lainnya
hen¬daknya tidak ada jarak waktu yang terlalu lama, sebab hal itu dapat
menyebabkan murid lupa terhadap materi-materi sebelumnya.
5. Tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu;
Sejalan dengan prinsip spesifikasi dan integrasi di atas, Ibn Khaldun
menegaskan seorang guru agar tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan
dalam satu waktu sekaligus, khususnya bagi peserta didik tingkat pemula.
Mengajarkan dua atau lebih ilmu pengetahuan dalam satu waktu hanya akan
membingungkan, sebab metode seperti itu akan sukar sekali dikuasai oleh peserta
didik dan perhatiannya akan terbagi serta dapat terganggu oleh satu ilmu dengan
yang lainnya.
6. Menghindari kekerasan terhadap murid; Ibnu Khaldun mengharuskan kepada
guru agar bersikap kasih-sayang kepada anak dan tidak menggunakan kekerasan
terhadap mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam mengajar membahayakan
jasmani anak (peserta didik). Jika anak diperlakukan secara kasar dan keras,
menjadi sempit hatinya, dan hilang kecerdasannya, bahkan ia akan terdorong
untuk berdusta, malas, dan berbuat kotor. Sementara pemberlakuan sanksi
(punishment) bisa dilakukan, tetapi sanksi tersebut bersifat edukatif. Sanksi
ini hendaknya diterapkan oleh guru dalam keadaan terpaksa karena tak ada jalan
lain, (sesudah semua cara yang lemah-lembut tidak berhasil). Dengan begitu,
hukuman menjadi salah satu alat atau metode dalam pendidikan Islam
7. Jangan mengajarkan ilmu dari hasil ringkasannya; Ibn Khaldun menerangkan
bahwa para sarjana di zamannya, telah banyak yang membuat ringkasan dari
berbagai buku, atau yang disebut dengan mukhtashar. Buku-buku ringkasan ini
bisa membuat peserta didik—khususnya peserta didik tingkat lanjutan—tidak
menguasai suatu ilmu dengan utuh sebagaimana yang diinginkan oleh penulisnya,
padahal mereka harus menguasai ilmu secara spesifik.
Asas-asas, dasar, atau prinsip metode pendidikan di atas mesti menjadi
pertimbangan setiap pendidik dalam menentukan dan mengembangkan metode
pendidikan yang akan digunakan. Dengan asas-asas itu pula diharapkan metode
yang digunakan mampu mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang diinginkan
secara efektif dan efisien dan tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.
6. Macam-macam Metode Pendidikan Islam
Terdapat beberapa macam metode yang digunakan dalam pendidikan Islam.
Al-Syaibany mengemukakan ada dua belas metode yang dapat digunakan dalam
pendidikan Islam, yaitu: metode pengambilan kesimpulan atau induktif, metode
perbandingan (qiyasiah), metode kuliah, metode dialog dan perbincangan, metode
lingkaran (halaqah), metode riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode
imla’ (dictation), metode hafalan, metode pemahaman, dan metode lawatan untuk
menuntut ilmu (pariwisata).
Abdurrahman an-Nahlawi juga mengemukakan beberapa metode yang dapat
digunakan dalam pendidikan Islam. Menurutnya, metode yang dianggap paling
penting dan paling menonjol adalah sebagai berikut:
a. metode dialog Qur’ani dan Nabawi, meliputi dialog khithabi dan
ta’abbudi, dialog deskriptif, dialog naratif, dialog argumentatif, dan dialog
nabawi;
b. mendidik melalui kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi;
c. mendidik melalui perumpamaan (amtsal) Qur’ani dan Nabawi;
d. mendidik melalui keteladanan;
e. mendidik melalui aplikasi dan pengamalan;
f. mendidik melalui ibrah dan nasehat; dan
g. mendidik melalui targhib
(membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
Selain pendapat an-Nahlawi di
atas, Ramayulis mengemukakan tiga belas metode yang dapat digunakan dalam
mengajar, yaitu: metode ceramah, tanya jawab, demonstrasi, eksperimen, diskusi,
sosio drama dan bermain peranan, drill (latihan), mengajar beregu (team
teaching), pemecahan masalah, pemberian tugas belajar dan resitasi, kerja
kelompok, imla’ (dikte), dan simulasi.
Dari beberapa metode di atas, dalam makalah yang terbatas ini akan
diuraikan beberapa metode yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.
a. Metode Teladan
Metode keteladanan merupakan metode yang paling berpengaruh dalam mendidik
peserta didik, khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pentingnya metode
ini juga dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Bahkan al-Qur’an
menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW itu menjadi teladan bagi para umatnya.
Keteladanan itu terlihat dari setiap perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah,
sehingga Allah pun memujinya dalam al-Qur’an: dan sesungguhnya engkau
(Muhammad) memiliki akhlak yang agung (Q.s. Qalam/68:4).
Selain kepada Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa
keteladanan itu ada pada diri Nabi Ibrahim AS. Keteladanan Nabi Ibrahim AS yang
mendapat julukan khalilullah ini juga dapat dilihat dari kepribadiannya yang
mulia dalam mendidik kaumnya agar menegakkan agama tauhid. Bahkan metode
keteladanan ini menjadi salah satu kunci keberhasilan Nabi Ibrahim dalam
mendidik anaknya Isma’il sehingga menjadi anak yang shaleh lagi halim.
Kedua nabi yang disebut al-Qur’an sebagai uswatun hasanah ini patut
diteladani oleh umat Islam, khususnya pendidik Islam sebagai pewaris nabi.
Dengan keteladanan tersebut diharapkan peserta didik memiliki kepribadian yang
islami dan pada gilirannya akan menjadi teladan bagi sekelilingnya.
b. Metode ceramah
Metode ceramah merupakan metode
yang paling banyak digunakan dalam proses pendidikan. Meskipun metode lain
dipakai, tetapi metode itu selalu dikombinasikan dengan metode ceramah ini.
Al-Qur’an juga mengisyaratkan adanya metode ceramah. Menurut Abuddin Nata,
metode ini disebut al-Qur’an dengan kata khutbah yang diulang sebanyak 9 kali
dan kata tabligh yang diulang sebanyak 78 kali. Metode ini juga dilakukan oleh
nabi dalam mengajak dan mendidik kaumnya ke jalan yang benar.
Metode ini juga bisa efektif
diterapkan jika penyampaiannya menggunakan bahasa yang jelas, mudah dipahami
dan mengandung pesan-pesan yang bermutu sehingga memperkaya wawasan peserta
didik secara kognitif. Metode ceramah juga bisa menyentuh qalbu peserta didik
sehingga ceramah tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga ranah apektif.
c. Metode Nasehat
Metode nasehat merupakan
penyampaian kata-kata yang menyentuh hati dan disertai dengan keteladanan.
Dengan demikian metode ini memadukan antara metode ceramah dengan keteladanan,
namun lebih diarahkan kepada bahasa hati, tetapi bisa pula disampaikan dengan
pendekatan rasional. Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan tentang metode nasehat
yang dilakukan oleh para nabi kepada kaumnya, seperi Nabi Shaleh As yang
menasehati kaumnya agar menyembah Allah, dan Nabi Ibrahim AS yang menasehati
ayahnya, Azar, agar menyembah Allah dan tidak lagi membuat patung . Begitu pula
al-Qur’an mengisahkan Luqman memberi nasehat kepada anaknya agar menyembah
Allah dan berbakti kepada orang tua serta melakukan sifat-sifat yang terpuji
seperti yang terdapat dalam Q.S. Luqman/31: 12-13.
Selain dari kisah nabi dan Luqman
di atas, al-Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang mengandung nasehat,
seperti nasehat agar tidak mempersekutukan Allah dan berbuat baiklah kepada
manusia. Dalam al-Qur’an juga terdapat nasehat yang berulang-ulang. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah yang dinasehati itu penting sesuai dengan konteksnya.
Abuddin Nata menegaskan bahwa
al-Qur’an secara eksplisit menggunakan nasehat sebagai salah satu cara untuk
menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur’an berbicara tentang penasehat, yang
dinasehati, obyek nasehat, situasi nasehat, dan latar belakang nasehat.
Karenanya sebagai suatu metode pengajaran nasehat dapat diakui kebenarannya
untuk diterapkan sebagai upaya mencapai suatu tujuan.
d. Metode Diskusi
Metode diskusi juga mendapat
perhatian dalam al-Qur’an. Seperti dalam surat al-Nahl/16 ayat 125 dijelaskan
agar kita mengajak ke jalan yang benar dnegan hikmah dan mau’izhah yang baik
dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang paling baik pula.
Kemudian dalam surat al-Ankabut ayat 46 juga dijelaskan agar kita tidak
berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik.
Dengan demikian, dalam proses
pembelajaran metode diskusi juga dapat digunakan. Namun penerapan metode ini
harus dilakukan dengan baik, seperti tidak menyinggung perasaan orang lain,
menghargai pendapat dan pembicaraannya, tidak memonopoli forum dan tidak pula
egois serta dibutuhkan kedewasaan berpikir.
e. Metode targhib dan tarhib
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi,
berdasarkan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat didefenisikan bahwa
targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda
kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Namun penundaan itu bersifat pasti,
baik, murni dan dilakukan melalui amal shaleh atau pencegahan diri dari
kelezatan yang membahayakan. Sementara tarhib adalah ancaman atau intimidasi
melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau
perbuatan yang telah dilarang Allah. Kedua metode ini bisa dilihat dalam surat
Zalzalah ayat 7-8. .
Dalam ilmu modern, targhib
dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau
imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk reinforcement
yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Sementara tarhib dikenal
dengan istilah punishment hukuman atau sanksi sebagai bentuk reinforcement yang
negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi metode
pendidikan yang baik. Keduanya dapat diterapkan dalam pendidikan dan
menyesuaikannya dengan kondisi yang dihadapi. Namun jika dibandingkan antara
keduanya, seharusnya metode targhib lebih diprioritaskan dari pada tarhib.
Misalnya, jika ada peserta didik yang mengerjakan tugas dan yang lainnya tidak
membuat tugas, maka yang terlebih dahulu diberikan respon adalah kepada peserta
didik yang telah membuat tugas.
Meskipun demikian, metode tarhib
memang tetap dibutuhkan, tetapi harus terlebih dahulu dilalui dengan metode
keteladanan, atau nasehat yang baik. Dalam hal ini Muhammad Qutb menegaskan
bahwa bila metode teladan dan nasehat juga tidak mampu, maka harus diadakan
tindakan berupa tarhib. Tetapi yang harus ditekankan bahwa sanksi atau hukuman
yang diberikan harus bersifat edukatif.
Masih banyak macam-macam metode
yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan. Semua metode tersebut dapat
digunakan dalam pendidikan Islam tetapi tetap menyesuaikan dengan karakteristik
dan asas-asas di atas. Namun tidak ada satu pun metode yang mutlak ideal di
antara metode-metode lain. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Pendidik juga bisa menggunakan metode secara
bervariasi dengan tetap mempertimbangkan kelebihan dan kelemahannya serta
relevansinya dengan kebutuhan.
Metode tersebut akan tepat dan
benar digunakan jika disesuaikan dengan kebutuhan, baik yang berhubungan dengan
materi, tujuan pendidikan, suasana lingkungan belajar, hingga kepada kondisi
psikologis peserta didik. Oleh karena itu, dituntut kompetensi pendidik dalam
memilih dan menentukan metode yang tepat sehingga pencapaian tujuan pendidikan
dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
C. Analisis Filosofis Alat Pendidikan
Islam
1. Pengertian Alat Pendidikan
Islam
Sutari Imam Barnadib berpendapat
bahwa alat pendidikan adalah “suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau
benda yang dengan tindakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan”. Sementara
Ahmad D. Marimba mendefinisikannya sebagai “segala sesuatu atau apa yang
dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan.” Ramayulis mengatakan bahwa dari
beberapa literatur tidak terdapat perbedaan antara alat dengan media
pendidikan. Oleh karenanya, ia tidak membedakan antara alat dengan media.
Zakiah Daradjat juga tidak membedakan antara alat dengan media. Menurutnya,
media atau alat pendidikan meliputi segala sesuatu yang dapat membantu proses
pencapaian tujuan pendidikan.
Dari pengertian yang dikemukakan
di atas, dapat dipahami bahwa alat juga merupakan komponen penting dalam
pendidikan. Dengan alat tersebut, tujuan pendidikan akan mudah untuk dicapai.
2. Urgensi dan Fungsi Alat
Pendidikan
Alat pendidikan memiliki peranan
penting dalam proses pendidikan dalam mencapai statu tujuan. Menurut Yusuf Hadi
Miarso, dkk, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis bahwa alat/media
pendidikan itu mempunyai nilai-nilai praktis yang berupa kemampuan antara lain:
(1) membuat konkrit konsep yang abstrak, (2) membawa obyek yang sukar didapat ke
dalam lingkungan belajar siswa, (3) menampilkan obyek yang terlalu besar, (4)
menampilkan obyek yang tak dapat diamati dengan mata telanjang, (5) mengamati
gerakan yang teralu cepat, (6) memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi
bagi pengalaman belajar siswa, (7) membangkitkan motivasi belajar, dan (8)
menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan
menurut kebutuhan.
Mengenai pentingnya alat ini, Ali
Jumbulati juga menyatakan bahwa dalam pekerjaan mengajar, alat-alat peraga
merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas, yang berlawanan dengan
kebiasaan merumuskan kalimat-kalimat yang ditulis atau diucapkan. Di samping
itu, alat peraga juga menjadikan pengetahuan anak bersentuhan langsung dengan
pengalaman indrawi yang hakiki. Maka dari itu makna yang terkandung di dalam
komponen pendidikan ini adalah lebih memudahkan anak memahami pelajaran dan
meminimalisir kesalahan dalam penerimaan ilmu yang diajarkan.
Adapun fungsi alat pendidikan, D.
Ahmad Marimba menyebutkan setidaknya ada tiga fungsi alat pendidikan, yaitu
sebagai perlengkapan, sebagai pembantu mempermudah usa mencapai tujuan, dan
sebagai tujuan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, seperti tujuan
mempelajari bahasa Arab untuk mengetahui isi al-Qur’an. Dengan demikian, alat
pendidikan sangat membantu terwujudnya tujuan pendidikan. Oleh karena itu,
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain menyebut media sebagai alat bantu
sekaligus sumber belajar.
3. Karakteristik Alat Pendidikan
Seperti halnya metode pendidikan,
maka karakteristik alat pendidikan Islam juga berlandaskan kepada karakteristik
pendidikan Islam itu sendiri. Ramayulis berpendapat bahwa karakteristik sistem
pendidikan Islam setidaknya dapat dilihat dari tiga hal dimana ketiga karakter
ini sekaligus membedakannya dengan sistem pendidikan non-Islam. Pertama, sistem
idiologi; Islam memiliki idiologi al-tauhid yang bersumber dari al-Qur’an dan
sunnah, sedangkan non-Islam memiliki berbagai macam ideologi yang bersumber
dari isme-isme materialis, sosialis, komunis, dan sebagainya. Dengan idiologi
tauhid, maka pendidikan Islam tidak mengenal istilah dikotomis, dualisme,
bahkan sekuralis. Akan tetapi sistem pendidikan Islam menghendaki adanya
integralistik yang menyatukan kebutuhan duniawi dan ukhrasi, jasmani dan
rohani, materi dan spiritual serta oleh oleh roh tauhid yang dinafasi dan
dijiwai. Kedua, sistem nilai; pendidikan Islam bersumber dari nilai al-Qur’an
dan Sunnah, berasal dari wahyu yang memiliki kebanaran mutlak. Sedangkan
non-Islam bersumber dari nilai-nilai yang berasal dari hasil pemikiran manusia,
penelitian para ahli atau adat kebiasaan masyarakat. Dalam pendidikan Islam,
nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah tersebut diinternalisasikan dalam proses
pembelajarannya. Ketiga, orientasi pendidikan; dalam pendidikan Islam
orientasinya kepada duniawi dan ukhrawi, sementara non-Islam berorientasi
kepada duniawi saja.
Demikian halnya alat pendidikan
Islam, tiga karakteristik di atas juga menjadi karakter alat pendidikan Islam.
Alat yang digunakan dan dikembangkan harus beridiologi al-tauhid sehingga
penggunaan alat tidak bercorak dikotomis, pragmatis dan materialistis. Alat
pendidikan Islam juga memiliki karakteristik sistem nilai yang bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah, sehingga alat apapun yang ingin digunakan tidak terlepas
dari semangat al-Qur’an dan Sunnah, tetapi sebagai upaya untuk mengaplikasikan
nilai-nilai kedua sumber tersebut. Begitu pula orientasi dari metode pendidikan
Islam tidak hanya mengantarkan peserta didik menguasai materi ajar yang
disampaikan, tetapi berorientasi pada tercapainya kebahagiaan dan keselamatan
dunia akhirat.
4. Macam-macam Alat Pendidikan
Adapun jenis dari alat tersebut,
tidak saja berupa benda (material) tetapi juga yang bukan benda (non materi).
Menurut Zakiah Dardjat, alat berupa benda ini meliputi: pertama, media tulis
atau cetak seperti al-Qur’an, hadis, tauhid, fiqh, sejarah, dan sebagainya;
kedua, benda-benda alam seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, zat padat, zat
cair, zat gas, dan sebagainya; ketiga, gambar-gambar, lukisan, diagram, peta
dan grafik. Alat ini dapat dibuat dalam ukuran besar dan dapat pula dipakai
dalam buku-buku teks atau bahan bacaan lain; keempat, gambar yang dapat
diproyeksi, baik dengan alat atau tanpa suara seperti foto, slide, film strip,
televisi, video, dan sebagainya; dan kelima, audio recording (alat untuk
didengar) seperti karet tape, radio, piringan hitam, dan lain-lain yang
semuanya diwarnai dengan ajaran agama.
Adapun alat yang berupa
non-benda, dapat berupa keteladanan, perintah/larangan, ganjaran dan hukuman,
dan sebagainya. Jadi, alat berupa non-benda ini tampaknya sama dengan metode.
Hal ini dapat diterima mengingat bahwa metode juga dapat disebtu sebagai alat
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
Dari pembagian alat pendidikan di
atas dapat disimpulkan bahwa alat pendidikan tersebut amat luas cakupannya.
Berbagai benda yang ada di alam sekitar dapat dijadikan sebagai alat, mulai
dari hal-hal sederhana, seperti tumbuhan, hewan, bebatuan, hingga kepada
benda-benda yang telah menjadi temuan ilmiah, seperti TV, LCD, komputer, dan
sebagainya. Begitu pula dalam hal non-benda, berbagai metode yang dikenal dalam
pendidikan juga dapat disebut sebagai alat pendidikan.
Dalam al-Qur’an juga ditemukan
ayat-ayat yang menunjukkan bahwa pentingnya alat dalam pendidikan. Makhluk
Allah berupa hewan yang dijelaskan dalam al-Qur’an juga bisa menjadi alat dalam
pendidikan. Seperti nama salah satu surat dalam al-Qur’an adalah an-Nahl yang
artinya lebah. Dalam ayat ke 68-69 di surat itu Allah menerangkan:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ
أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتاً وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ.
ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً يَخْرُجُ
مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan Tuhanmu mewahyukan
kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu,
dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", kemudian makanlah dari
tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan
(bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam
warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.
Jelaslah bahwa ayat di atas
menerangkan bahwa lebah bisa menjadi media atau alat bagi orang-orang yang
berpikir untuk mengenal kebesaran Allah yang pada gilirannya akan meningkatkan
keimanan dan kedekatan (taqarrub) seorang hamba kepada Allah SWT. Nabi Muhammad
SAW dalam mendidik para sahabatnya juga selalu menggunakan alat atau media,
baik berupa benda maupun non-benda. Salah satu alat yang digunakan Rasulullah
dalam memberikan pemahaman kepada para sahabatnya adalah dengan menggunakan
gambar.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
al-Hakim dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ”Rasulullah membuatkan kami
garis dan bersabda, ”Ini jalan Allah.” Kemudian membuat garis-garis di sebelah
kanan dan kirinya, dan bersabda, ”Ini adalah jalan-jalan (setan).” Yazid
berkata, ”(Garis-garis) yang berpencar-pencar.” Rasulullah SAW bersabda, ”Di
setiap jalan ada setan yang mengajak kepadanya. Kemudian beliau membaca,
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن
سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Dan bahwa (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) , karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa. (Q.S. al-An’am/6: 153).
Hadis di atas terlihat jelas
bahwa Rasulullah SAW menggunakan garis-garis sebagai alat pendidikan untuk
menjelaskan apa yang ingin beliau sampaikan kepada para sahabatnya.
Perlu pula ditegaskan bahwa dalam
konteks pendidikan Islam, M. Arifin menyebutkan alat-alat pendidikan harus
mengandung nilai-nilai operasional yang mampu mengantarkan kepada tujuan
pendidikan Islam yang sarat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut tentunya
berdasarkan kepada dasar atau karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Dewasa ini, pengembangan alat
pendidikan semakin pesat seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pendidikan Islam juga tetap melakukan berbagai inovasi termasuk
dalam pengembangan penggunaan alat pendidikan sehingga membantu kelancaran
proses pendidikan tersebut. Namun penggunaan alat tersebut mesti tetap
berlandaskan kepada dasar-dasar pendidikan Islam dan mengacu kepada tujuan yang
telah direncanakan.
5. Prinsip-prinsip Pemilihan dan
Penggunaan Alat
Dalam memilih dan menentukan alat
pendidikan, diperlukan prinsip-prinsip yang harus dipahami oleh seorang
pendidik. Menurut Nana Sudjana mengemukakan ada empat prinsip yang harus
diperhatikan, yaitu:
1) menentukan jenis alat peraga
dengan tepat, artinya sebaiknya guru memilih terlebih dahulu alat peraga
manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang hendak diajarkan.
2) Menetapkan atau memperhitungkan
subjek dengan tepat, artinya perlu diperhitungkan apakah penggunaan alat peraga
itu sesuai dengan tingkat kematangan/kemampuan anak didik.
3) Menyajikan alat peraga dengan
tepat, artinya teknik dan metode penggunaan alat peraga dalam pengajaran harus disesuaikan
dengan tujuan, bahan, metode, waktu, dan sarana yang ada.
4) Menempatkan atau
memperlihatkan alat peragaan pada waktu, tempat, dan situasi yang tepat.
Artinya kapan dan dalam situasi mana pada waktu mengajar alat peraga digunakan.
Tentu tidak setiap saat atau selama proses mengajar terus-menerus
memperlihatkan atau menjelaskan sesuatu dengan alat peraga.
Prinsip yang dikemukakan oleh
Nana Sudjana di atas memang lebih berkenaan dengan alat pendidikan berupa
benda. Sementara alat dalam bentuk non-benda pada dasarnya tidak berbeda dengan
prinsip-prinsip dalam menentukan metode, sebab alat non-benda tersebut juga
merupakan bagian dari metode.
D. Rekomendasi
Salah satu problematika
pendidikan Islam dewasa ini adalah persoalan metode pembelajaran yang masih
monoton dan cenderung membosankan peserta didik serta lemahnya kemampuan tenaga
pendidik dalam memanfaatkan dan mengembangkan alat/media pendidikan. Oleh
karena, pembaharuan di bidang metode dan alat pendidikan Islam harus dilakukan.
Mengenai persoalan metode, juga
telah pernah disinggung oleh para pendidikan Islam. Mastuhu, misalnya,
berpendapat bahwa metode belajar yang digunakan selama ini masih bersifat
“klasik”, yaitu mewariskan sejumlah materi ajaran agama yang diyakini benar
untuk disampaikan kepada peserta didik tanpa memberikan kesempatan kepadanya
agar disikapi secara kritis. Maka metode belajar dan mengajar sistem pendidikan
Islam bercorak menghafal, mekanis, dan lebih mengutamakan pengayaan materi,
sehingga ilmu lebih dipandang dari segi hasil dari pada proses. Lalu ia
menawarkan perlu segera diadakan reorientasi metodologi pengajaran dan cara
belajar pasif ke aktif. Dari murid menunggu, menerima, dan memperoleh materi
pelajaran sebanyak-banyaknya menjadi aktif mencari dan menguasai metodologi
berpikir yang kuat dan konstruktif. Dari dimensi belajar “memiliki” menjadi
belajar “menjadi”, atau dari dimensi “menganalisis” kemudian “mensintesa”,
“mengevaluasi”, dan “mengantisipasi”.
Selain itu, Mastuhu juga
menawarkan ada delapan hal yang perlu dilakukan perubahan dan pengembangan
metode belajar dan mengajar pada pendidikan Islam di Indonesia, yaitu:
(1) mengubah cara belajar dari
model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah; (2) dari hafalan ke
dialog; (3) dari pasif ke heuristic; (4) dari memiliki ke menjadi; (5) dari
mekanis ke kreatif; (6) dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya
menjadi menguasai metodologi yang kuat; (7) dari memandang dan menerima ilmu
sebagai hasil final yang mapan, menjadi memandang dan menimba ilmu dalam
dimensi proses, dan (8) fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan
mengembangkan akal, tetapi mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan
keterampilan.
Pendapat Mastuhu perlu dijadikan
bahan pertimbangan untuk meningkatkan motivasi pendidik dalam mengembangkan
metode dalam proses pendidikan. Guru atau tenaga pendidik harus mampu
menentukan metode yang dapat membuat peserta didik memiliki respon dan daya
kritis yang kuat sehingga proses pembelajaran lebih bersifat berpusat pada
siswa (student-centris), paling tidak seimbang, berpusat antara guru dengan
siswa; bukan malah sebaliknya hanya berpusat pada guru (teacher centris).
Dalam hal pengembangan metode
dalam proses belajar-mengajar, perlu juga dilakukan berbagai inovasi metode
mengajar, atau saat ini dikenal dengan sebutan ”model pembelajaran”.
Model-model pembelajaran ini diperlukan untuk dikembangkan lagi sehingga proses
pembelajaran membuat siswa lebih aktif tanpa terbebani.
Selain masalah metode,
pengembangan alat atau media juga harus dilakukan. Sistem pembelajaran berbasis
ICT (information, communication and technology). Agar perkembangan teknologi
ini tidak berdampak negatif, maka pemanfaatannya harus sesuai dengan
prinsip-prinsip pendidikan Islam yang berlandaskan kepada nilai-nilai ajaran Islam
itu sendiri.
Tidak kalah penting lagi adalah
mengenai metodologi keilmuan yang dikembangkan dalam lembaga pendidikan Islam.
Selama ini ada kecenderungan bahwa metode yang dikembangkan oleh pendidikan
Islam berbeda dengan yang dikembangkan oleh pendidikan Barat, bahkan ada
semacam dikotomi yang saling bertolak belakang. Akibatnya, lembaga pendidikan
yang mengikuti pola pendidikan Barat dalam hal metodologinya lebih cenderung
menguasai sains tetapi mengalami kehampaan spiritual dan terkesan jauh dari nilai-nilai
religius (baca: Islam); sebaliknya lembaga pendidikan yang mengikuti pola
pendidikan Islam lebih cenderung menguasai ilmu-ilmu agama, namun tertinggal
dalam penguasaan sains dan teknologi.
Perbedaan ini berangkat dari
pendekatan epistemologi pendidikan yang dikembangkan. Epistemologi keilmuan
yang berkembang di Barat berangkat dari hal-hal yang empiris, rasional, dan
tangkapan inderawi serta mengabaikan hal-hal yang bersifat metafisis, termasuk
eksistensi agama. Sementara epistemologi pendidikan Islam justru berangkat dari
motivasi agama melalui wahyu Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW dimana alam
semesta yang bersifat materi serta hal-hal yang bersifat metafisika dikaji
secara integral sehingga dikenal pendekatan intuisi di samping pendekatan-pendekatan
lainya.
Namun dalam kenyataannya, lembaga
pendidikan Islam masih cenderung bersifat dikotomis, dalam artian lebih
menekankan metodologi yang didasarkan kepada intuisis mistis dari manusia dan
terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan an sich. Oleh karena itu,
pendidikan Islam harus kembali kepada prinsip dasarnya yang bersifat integral,
komprehensif dan seimbang. Tegasnya, metodologi ilmu-ilmu umum yang berkembang
di Barat harus diintegrasikan dengan metodologi ilmu-ilmu agama yang selama ini
lebih digeluti.
Dalam hal integrasi antara kedua
bentuk ilmu di atas juga telah mendapat kajian dari beberapa pakar pendidikan,
salah satu di antaranya adalah Isma’il al-Faruqi yang menawarkan Islamisasi
Ilmu. Konsep ini juga berimplikasi kepada pentingnya menggunakan metodologi
yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu umum, tetapi diintegrasikan dengan
nilai-nilai Islam sehingga terhindar dari pendekatan yang dikotomis.
Akhir-akhir ini muncul pula
paradigma integritas transdisipliner. Keahlian transdisipliner adalah keahlian
seseorang dipandang lebih ideal apabila mamu meliat secara transparan disiplin
ilmu lain. Artinya mengenal substansi ilmu lain sampai batas tertentu; bukan
mesti menjadi multidisiplin dan interdisiplin, melainkan mengenal beragam hal
mengenai substansi banyak disiplin ilmu lain sehingga dalam mengembangkan disiplin
ilmunya sendiri tahu kawasan disiplin ilmunya dan tahu komplementasi atau
kontradiksi yang dapat terjadi dengan disiplin ilmu lain.
Tegasnya, metode pendidikan Islam
yang harus dikembangkan untuk menjawab tantangan saat ini dan masa yang akan
datang, tampaknya pendekatan nondikotomik atau integrasi ilmu ini patut
dijadikan sebagai solusi alternatif. Jika lembaga pendidikan Islam mampu
mengembangkannya secara konsisten, maka kejayaan ilmu pengetahuan akan dapat
diraih.
Untuk mewujudkan pemikiran-pemikiran
di atas, PTAI, seperti Fakulatas Tarbiyah, diharapkan mampu mempersiapkan guru
yang mampu mengembangkan metode dan alat/media pembelajaran yang dinamis,
inovatif dan kreatif sehingga peserta didik dapat belajar aktif dan akhirnya
membantunya dalam meraih tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Begitu
pula dalam hal pengembangan metodologi keilmuan yang transdisipliner di atas,
juga saatnya untuk dimulai secara bertahap dan konsisten. Program pascasarjana
di PTAI pun diharapkan mampu mengembangkan kajian ke arah yang lebih spesifik
sesuai yang diinginkan dalam disiplin ilmu pendidikan itu sendiri. Saat ini,
konsentrasi atau bidang ilmu pendidikan Islam masih bersifat umum; idealnya,
sudah ada konsentrasi/bidang yang lebih spesifik lagi, seperti konsentrasi
kurikulum pendidikan Islam, konsentrasi teknologi pendidikan Islam, konsentrasi
evaluasi pendidikan Islam, konsentrasi manajemen pendidikan Islam, dan
sebagainya. Jika spesifikasi keilmuan pendidikan Islam telah dimulai dari
program pascasarjana, maka akan memudahkan untuk mempersiapkan calon-calon
tenaga pendidik di tingkat program S.1 sehingga melahirkan guru-guru yang
berpikir integral, sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
E. Penutup
Dari paparan mengenai metode dan
alat pendidikan Islam dalam perspektif Filsafat Pendidikan Islam di atas, dapat
ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, metode merupakan salah satu komponen
penting dalam sistem pendidikan Islam. Sebaik apapun materi ajar yang telah
disiapkan atau direncanakan, tanpa metode yang baik dan tepat, maka proses
pembelajaran itu bisa menuai kegagalan dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu,
kemampuan pendidik dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan.
Metode dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem
pendidikan non-Islam. Metode pendidikan Islam tetap berlandaskan kepada
karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam
mengembangkan metode harus menunjukkan karakteristik tersebut lalu
mempertimbangkan asas-asas metode pendidikan Islam sebagaimana yang telah
diuraikan di atas.
Kedua, alat atau media juga
menjadi komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Alat pendidikan amat
membantu proses pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif
dan efisien. Maka setiap guru/pendidik juga dituntut untuk kreatif dalam
memilih dan menggunakan alat pendidikan. Penggunaan alat pendidikan juga harus
mempertimbangkan materi ajar, kondisi siswa/peserta didik, lingkungan, sarana
prasarana, dan aspek-aspek lain yang turut mempengaruhi penggunaan alat
tersebut.
Ketiga, begitu pentingnya metode
dan alat dalam pendidikan, maka pendidik dituntut profesionalitasnya dalam
mengembangkan metode dan alat tersebut. Pendidik harus mengetahui keunggulan
dan kelemahan dari masing-masing metode dan alat yang akan digunakan serta
menentukan pilihan yang paling tepat sehingga peserta didik lebih aktif dan
kritis dalam proses pembelajaran. Dan yang paling terpenting adalah dengan
metode dan alat itu, peserta didik sampai kepada tujuan yang diinginkan.
Keempat, selain dari
profesionalitas dalam menentukan dan menerapkan, pendidik juga dituntut untuk
kreatif dan inovatif dalam menciptakan metode dan alat-alat pendidikan, baik
dalam memvariasikan antara metode dan alat yang satu dengan lainnya atau
menemukan metode dan alat yang baru.
Kelima, epistemologi pendidikan
Islam yang berkembang selama ini merupakan sub sistem dari filsafat yang
berkaitan erat dengan pembahasan metode pendidikan. Oleh karena itu perlu
pengembangan lebih lanjut epistemologi pendidikan Islam serta kajian metodologi
keilmuan ke arah integrasi ilmu dan paradigma transdisipliner. Hal ini dapat
dilakukan mengingat salah satu karakteristik dari pendidikan Islam itu adalah
idiologi yang bercorak tauhid.
opini Makalah Pendidikan Oleh: Muhammad Kosim LA
Loading...
0 Response to "Analisis Filosofis Metoda dan Alat Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam"
Post a Comment