وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِااللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya untuk
menasehatinya: “Wahai anakku janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah,
karena sesungguhnya syirik itu adalah perbuatan dosa yang sangat besar”
(QS. Luqman/31: 13)
“Yang tak ada pada saya
adalah kepercayaan pada Tuhan. Agama adalah perlu, tetapi barang siapa yang
tidak mampu memiliki agama, ia mungkin binasa lantaran itu”.
Ungkapan di atas adalah
sepenggal suara hati Ehrenfest, seorang professor fisika yang ditulisnya sesaat
sebelum ia memutuskan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, setelah sebelumnya
membunuh anak semata wayangnya.
Paul Ehrenfest, itulah
nama lengkapnya. Ia seorang terpelajar, seorang intelek dengan arti yang penuh.
Ia berasal dari keluarga baik-baik, ia telah mendapatkan didikan yang teratur
menurut cara didikan yang sebaik-baiknya yang ada ditempat kelahirannya.
Otaknya yang tajam itu telah mengkaji dan menggali rahasia ilmu yang dapat
dicapai oleh manusia di zamannya pula.
Dari seseorang yang
menerima ilmu, ia telah sampai kepada derajat seseorang yang mengupas, meretas
dan menaruh rahasia-rahasia ilmu pengetahuan yang masih tersembunyi dan
menyediakan buah penyelidikannya itu untuk dihidangkan kepada dunia luar,
kepada orang banyak dan generasi baru yang akan menyambung dan meneruskan pekerjaannya.
Didikan yang diterimanya
dari kecil, telah memberi bekas dalam jiwanya bahwa tak ada yang lain, yang
pokok, yang asas dan tiada tujuan hidup yang sebenarnya, selain ilmu
pengetahuan itu sendiri. dikorbankannya segenap tenaga, kesungguhannya dan
kesanggupannya untuk science, sampai ia menapaki tingkatan yang paling
tinggi dalam karir ilmu pengetahuan.
Meski daya nalarnya
telah melampaui standar, masih ada ‘sesuatu’ yang belum bisa ia raih dengan
hanya mengandalkan nalar ilmu pengetahuannya saja. Ada ruang hampa ruhani yang
masih kosong, tak terpuaskan dengan ilmu. Semakin lama ia memperdalam ilmu,
semakin hilang rasanya tempat berpijak. Apa yang kemarin benar, sekarang
sudah tak betul lagi dan apa yang betul sekarang, besok sudah salah pula. Dalam
kehampaan jiwa, maka mati menjadi pilihan sang professor.
Demikian Allâh yarham
Mohammad Natsir menukilkan kisah tragis di atas dalam Capita Selecta
mengawali tulisannya tentang “Tauhid sebagai dasar didikan”.
kehampaan, keresahan dan
kegundah-gulanaan seorang Ehrenfest
dulu, pun telah (akan, sedang) dan tengah dialami jutaan kaum pelajar di
sekitar kita hari ini.
Beberapa waktu yang
lalu, jasad pendidikan kita dikejutkan dengan percobaan bunuh diri seorang anak
SD, bahkan sebelumnya beberapa orang pelajar yang rela mengakhiri masa hidupnya,
karena persoalan sepele.
sadar ataupun tidak, perbuatan
mereka sesungguhnya merepresentasikan mentalitas dan suasana ‘hati’ peserta
didik di negeri ini. Berarti ada sesuatu yang salah dalam pola
pendidikan kita. Dan kesalahan itu -sebagaimana professor Ehrenfest- adalah menafikan
keberagamaan dan kebertuhanan dalam seluruh aspek
penyelenggaraan pendidikan. jangan sampai bangsa kita menganut pendidikan sekuler kapitalis.
Pola pendidikan kita
yang cenderung sekularistik-materialistik hanya menghasilkan insan-insan
yang hanya pandai bermain dengan angka-angka dan pinter tapi
keblinger.
Ketika ruang
kebertuhanan itu menjadi hampa, ia akan rapuh diterbangkan puting beliung; ia
kehilangan tempat berpijak, tempat menyangkutkan sauh bila ditimpa gelombang
dan tempat bernaung yang teduh bila datang pancaroba ruhani.
Mari kita simak nasihat seorang
ayah kepada anaknya yang Allah abadikan dalam Q.S. Luqmân/31:13: “Dan ingatlah
ketika Luqman berkata kepada anaknya untuk menasehatinya: “Wahai anakkku janganlah
engkau berbuat syirik kepada Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah perbuatan
dosa yang sangat besar”
Demikian, seorang pendidik
yang begitu menaruh perhatian terhadap nilai-nilai keberagamaan dan
kebertuhanan dalam diri peserta didiknya. Keyakinan terhadap Allah adalah sekokoh-kokohnya
tempat berpijak ketika terjadi kehampaan batin yang sungguh tak dapat digapai dengan
nalar manusia. Dan ingatlah bahwa ada
“sesuatu” di dunia ini yang sama sekali tak dapat diinderai dengan keuatan
ilmiah, hanya dengan pendekatan keimanan dan interaksi kita dengan sang khâliq
yang dapat memenuhi kebutuhan akan “sesuatu” itu.
Maka seyogyanya, nilai-nilai
kebertuhanan itu menjadi asas dan titik tolak (mabda`) dalam setiap
proses penyelenggaraan pendidikan. Karena sesungguhnya tujuan pendidikan dalam Islam
itu sendiri adalah terbentuknya insan-insan beriman. Keberimanan yang bukan
sekedar ucapan dan pengakuan belaka, tapi iman akan menjadi kebenaran jika masuk
ke dalam akal dan akan memberikan kepuasan aqli, iman yang jika masuk ke
dalam perasaan akan memperkuatnya dan jika masuk ke dalam iradah atau keinginan
akan membuatnya dinamis dan mampu menggerakkan.
Kebertuhanan seseorang
akan menimbulkan ketangguhan dalam melaksanakan tugas kemanusiaannya sebagai
hamba Allah, maupun sebagai makhluk sosial yang mampu melaksanakan kewajiban
yang penuh rasa tanggung jawab.
Kebertuhanan, seyogyanya
menjadi landasan setiap penyelenggaraan pendidikan, karena keyakianan akan
Tuhan tersebut tidak hanya membentuk karakter yang tangguh, berani hidup
mengarungi berbagai kesulitan, bahaya, tipu muslihat dan bahkam malapetaka,
tetapi juga berani mati demi tegaknya kebenaran perintah ilahi.
Simaklah baik-baik, jawaban
seorang belia Ismail yang di dalam dirinya telah terhunjam nilai-nilai
ketuhanan ketika menjawab pertanyaan bapaknya: “Dan tatkala umurnya sudah
lanjut, berkatalah ia: “Hai anakku, aku melihat dalam mimpiku bahwa aku
menyembelih engkau, bagaimanakah pendapatmu?. Anaknya menjawab: “Wahai bapakku
kerjakanlah apa yang telah disuruh itu, insya Allah engkau dapati bahwa aku ini
termasuk golongan orang-orang yang teguh dan tabah” (Q.S. As-Shaffat/37: 102)
Penanaman nilai
kebertuhanan dalam aspek pendidikan islam, tidaklah sekedar penyikapan ala kadarnya, atau
sekedar sebuah alternatif, tapi memang sudah seharusnya menjadi ‘rûh’ yang
mewarnai proses tersebut, karena sesungguhnya naluri “kebertuhanan” merupakan
suatu yang fithri yang terdapat dalam diri manusia. Maka pendidikan yang
menafikan nilai “kebertuhanan” berarti melawan naluri dasar manusia. Allâhu
A’lam bish Shawâb
Agus
Saifurrahman
Staf
Divisi Pendidikan
Pusdiklat
Dewan Da’wah
Loading...
0 Response to "Aspek Pendidikan dalam Surah Luqman Ayat 13"
Post a Comment