Allah yang maha tahu dan bijaksana telah menurunkan
syari’at Islam yang mulia ini untuk kemaslahatan seluruh komponen makhluk yang
ada di dalamnya. Khususnya manusia, sebagai makhluk yang telah dilebihkan atas
sekalian makhluk lainnya, maka syariat yang mulia ini berfungsi untuk menjaga
lima hal pokok yang merupakan penopang hidup mereka, yaitu; agama, akal, jiwa,
nasab atau keturunan dan harta.
Salah satu syari’at Allah yang berfungsi untuk menjaga
hal itu adalah pengharaman zina dan seluruh hal yang dapat menjerumuskan
seseorang kepada perilaku keji tersebut. Allah berfirman;
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا [الإسراء/32]
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”. (al Israa’;
32). Dalam ayat ini tergambar kemahabijakan Allah yang tidak saja mengharamkan
perbuatan zina, tetapi juga melarang mendekati perbuatan itu, yaitu dengan
melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskan seorang kepada perbuatan keji
tersebut.
Diantara hal yang dapat menjerumuskan seorang kepada
perbuatan keji itu –wal ‘iyaadzu billah- adalah ikhtilath, yang
berarti; bercampurnya antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam satu
tempat yang memungkinkan mereka untuk saling melihat dan melakukan interaksi
langusng tanpa adanya batasan. Perbuatan ini –diakui atau tidak- adalah salah
satu sebab terbesar terjerumusnya seseorang dan masyarakat secara umum kepada
perzinahan. Imam Ibnu al Qayyim –rahimahullah- berkata;
“واختلاط الرجال بالنساء سبب لكثرة الفواحش والزنا”
“Bercampurnya laki-laki dan wanita yang bukan mahram (ikhtilath)
adalah sebab dari maraknya tindakan keji dan perzinahan.[1]”. Lihatlah gaya hidup bebas orang-orang barat
saat ini. Sebuah gaya hidup yang telah menganggap budaya “kencan” dengan
seluruh ritualnya sebagai sebuah fase yang mesti dilewati oleh
orang-orang yang ingin hidup berumahtangga. Lihat dan pelajarilah !, niscaya
anda akan tahu kebenaran dari pernyataan imam Ibnu al Qayyim –sebagaimana telah
disebutkan-. Olehnya, maka –secara umum- al Quran dan sunnah telah
mengharamkan ikhtilath. Diantara keterangan al Quran yang berkenaan dengan itu
adalah sebagai berikut;
- Firman Allah dalam surah Yusuf, ayat 23;
- Firman Allah dalam surah an-Nuur, ayat 30-31;
- Firman Allah dalam surah an Nuur, ayat 31;
- Pernyataan Rasulullah e menanggapi keinginan dari istri Abu Humaid as Saaidi –radhiyallahu ‘anhuma- untuk menghadiri shalat bersama Beliau di masjid Beliau. Menanggapi keinginan tersebut Rasulullah e bersabda;
- Hadits Rasulullah e, dari Abu Hurairah t;
- Hadits Ibnu Umar, bahwa Rasulullah e bersabda;
- Senantiasa konsisten dalam kegiatan menuntut ilmu agama, menghadiri majelis ilmu, dan bertanya kepada ulama dalam setiap permasalahan pelik yang dihadapi –khususnya- dalam interaksi dalam kampus.
- Senantiasa berada bersama orang-orang yang memiliki komitmen dalam menegakkan nilai-nilai Islam pada diri dan orang-orang selain mereka.
- Menghindarkan diri dari tempat-tempat atau kegiatan-kegiatan yang dapat menjerumuskan seorang dalam fitnah.
- Memperbanyak doa dan ibadah kepada Allah.
- Firman Allah;
- Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
وَرَاوَدَتْهُ
الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأَبْوَابَ وَقَالَتْ
هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لا
يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ) يوسف:23(
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya
menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup
pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung
kepada Allah, sungguh tuanku Telah memperlakukan Aku dengan baik.” Sesungguhnya
orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.”. (Yusuf; 23). Dalam ayat ini
digambarkan hal yang terjadi ketika nabiullah Yusuf u berada dalam satu ruangan
dengan istri sang pembesar Mesir kala itu. Hingga hampir-hampir saja Beliau
masuk dalam perangkap syaithan, kalau saja bukan karena petunjuk dan
pertolongan Allah. Allah berfirman;
وَلَقَدْ
هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ [يوسف/24]
“Sesungguhnya wanita itu Telah bermaksud (melakukan
perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan
wanita itu Andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.”. (Yusuf; 24)
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ [النور/30، 31]
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, …”. (an Nuur; 30-31). Dalam ayat ini Allah
memerintahkan laki-laki dan wanita yang bukan mahram untuk menahan pandangan
mereka terhadap lawan jenisnya, dan perintah ini –tentu- tidaklah akan
terlaksana manakala mereka semua berbaur dalam satu ruangan tanpa batasan
(ikhtilath). Syari’at menahan pandangan ini tiada lain ditujukan untuk
menjauhkan orang-orang dari perangkap syaithan. Olehnya, maka Rasulullah e
menyatakan bahwa pandangan kepada lawan jenis yang bukan mahram secara sengaja
adalah zina yang diharamkan. Rasulullah e bersabda kepada Ali t;
يَا عَلِيُّ
لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ
الْآخِرَةُ
“Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandanganmu yang
pertama (terhadap lawan jenis yang bukan mahram) dengan pandangan yang kedua.
Yang pertama itu adalah untukmu, dan yang selanjutnya tidaklah halal bagimu.”[2]. Dalam hadits lainnya, Beliau e bersabda;
الْعَيْنَانِ
زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ
زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا
وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Zina mata adalah memandang, zina telinga adalah
mendengar, zina lisan adalah berbicara, zina tangan adalah memegang, zina kaki
adalah melangkah, zina hati dengan berangan-angan, dan yang membuktikannya
adalah kemaluan.”[3]. –semoga Allah menyelamatkan kami dan seluruh
kaum muslimin dari fitnah-.
وَلَا
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
[النور/31]
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”. (an Nuur; 31). Dalam ayat ini
Allah melarang seorang wanita untuk menghentakkan kakinya, yang mana dengan
hentakkan tersebut akan terdengarlah bunyi gelang kakinya yang dapat mengundang
perhatian lawan jenisnya hingga terjadilah fitnah. Perhatikan!, sedemikian
Allah ingin menutup sekecil apapun celah yang dapat menjerumuskan seorang masuk
ke dalam kubangan zina. Jika saja hentakan kaki dengan sifat yang telah
disebutkan dinyatakan sebagai hal yang dapat menjerumuskan seorang ke dalam
fitnah, maka bagaimana dengan interaksi langsung dengan mereka ?!. Sedangkan
Rasulullah e bersabda;
الْمَرْأَةُ
عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu adalah aurat. Maka bila ia keluar dari
rumahnya, syaithan pun datang menambah elok penampilannya.”[4]. Olehnya, sangatlah wajar bila dalam
haditsnya yang lain Rasulullah e bersabda;
مَا تَرَكْتُ
بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Tiada fitnah terbesar bagi laki-laki sepeninggalku
melainkan fitnah wanita.”[5]. Rasulullah e bersabda;
فَاتَّقُوا
الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Takutlah kalian terhadap fitnah dunia dan fitnah
wanita. Sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Israail adalah fitnah
wanita.”[6].
Adapun keterangan-keterangan dari sunnah Rasulullah e
tentang pengharaman ikhtilath ini sungguh amatlah banyak, diantaranya adalah
beberapa hadits yang telah diutarakan sebelumnya, dan beberapa keterangan yang
lainnya adalah;
قَدْ
عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ
لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ
صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي
مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ
فِي مَسْجِدِي
“Sungguh saya telah mengetahui hal tersebut, namun
shalat yang engkau lakukan di kamar tidurmu lebih baik dari shalat yang engkau
kerjakan di kamar-kamar lainnya; dan shalat yang engkau kerjakan di bagian lain
dari kamar tidurmu lebih baik dari shalat yang engkau laksanakan di halaman
rumahmu; dan shalat yang engkau laksanakan di halaman rumahmu lebih baik dari
shalat yang engkau laksanakan di mesjid kampungmu; dan shalat yang engkau laksanakan
di mesjid kampungmu lebih baik dari shalat yang engkau laksanakan di mesjidku
ini.”. Semenjak itu, Beliau menyuruh seseorang membangun tempat shalat pada
bagian terdalam dari rumahnya, lantas Beliau terus melaksanakan shalat di
tempat itu hingga berjumpa dengan Allah ta’ala[7].
خَيْرُ
صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ
آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang terdepan dan
seburuk-buruknya adalah yang terbelakang. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang
terbelakang dan seburuk-buruknya adalah yang terdepan.”[8].
لَوْ
تَرَكْنَا هَذَا الْبَابَ لِلنِّسَاءِ
“Seandainya kita mengkhusukan pintu ini (pintu masjid)
untuk para wanita (tentu hal itu adalah lebih baik).”[9].
Ketiga riwayat diatas dan masih banyak keterangan
lainnya menyiratkan kepada kita bahwa ikhtilat adalah hal yang tidak diinginkan
di dalam Islam. Sekaligus hal tersebut menegaskan bahwa semakin jauh seorang
wanita dari laki-laki dan demikian sebaliknya, maka akan semakin amanlah mereka
dari syaithan yang telah siap membinasakan mereka dengan jaring-jaring mautnya.
Ikhtilath Dalam Dunia Pendidikan
Tidak syak bahwa menuntut ilmu yang bermanfaat adalah
sebuah ibadah yang sifatnya fardhu, baik fardhu ‘ain atau fardhu kifayah. Namun
hal yang perlu untuk selalu diingat bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk
mendapatkan ridha Allah dan untuk meraih serta memberikan kemaslahatan yang
sebesar-besarnya kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Olehnya itu, hal
yang sangat naïf –tentunya- bila tujuan yang sangat mulia ini pada akhirnya
harus tercoreng dengan melakukan hal yang tidak diridhai oleh Allah.
Maka setelah memperhatikan keterangan-keterangan umum
yang telah disampaikan berkenaan dengan hukum ikhtilath, dapatlah dipahami
bahwa hukum ini pun berlaku –juga- dalam dunia pendidikan. Bahkan secara
logika, dunia pendidikanlah yang seharusnya sangat pantas untuk menjadi yang
terdepan dalam penerapan hukum “tidak ikhtilath”. Hal ini
disebabkan karena dunia pendidikan adalah cermin peradaban. Baik dan bersihnya dunia
pendidikan adalah cermin dari tingginya tingkat peradaban. Sebaliknya, buruk
dan kotornya dunia pendidikan adalah cerminan dari dekadensi dan kemerosotan
peradaban.
Menegaskan hal ini adalah riwayat Abu Sa’id t, Beliau
berkata;
قَالَتْ
النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ
الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا
لَقِيَهُنَّ فِيهِ
“Para sahabat wanita berkata kepada Rasulullah e,
‘Kami tidak bisa mendatangi majelismu wahai Rasulullah karena banyaknya
laki-laki’. Karenanya sisihkanlah harimu wahai Rasulullah e untuk kami. Maka
Rasulullah e pun menyiapkan satu hari buat mereka.”[10]. Diambil pelajaran dari keterangan ini bahwa
pemisahan antara laki-laki dan wanita dalam kegiatan belajar mengajar –pun
adalah bagian dari syari’at Islam. Terlebih di era ini, dimana perkembangan
teknologi yang begitu pesat sangat memungkinkan hal tersebut, dan tidak lagi
seperti dahulu yang mesti menggunakan cara manual dengan menyediakan waktu
khusus buat mereka.
Khalwat di dunia maya
Di era teknologi saat ini, berbagai cara –ternyata-
bisa menjadi alternativ efektif untuk meraih hal yang diingini dari ritual
khalwat; tatap-tatapan, senyum-senyuman, dan menumpahkan seluruh isi hati;
seluruhnya dilakukan dengan aman, murah, tidak capek, lebih berani, n tanpa
khawatir ada yang ngintip … wah guawat juga … Jalan alternativ yang dimaksud
tidak lain adalah berkhalwat di dunia maya.
Berbicara soal dunia maya …, yah …, sekarang,
begitulah eranya. Mulai dari transaksi kecil-kecilan, sampai yang besar-besar,
hingga masalah cari jodoh, pun –sekarang ini- dieksekusi juga lewat dunia maya.
Ngomong-ngomong soal manfaat dan mudharatnya, tentu sangatlah relativ. Jika
ditanya tentang internet, hp, dan seabrek alat komunikasi saat ini; -tentu-
semua sepakat menyatakan bahwa hukum asalnya mubah-mubah aje. Bila demikian,
-jelas- bahwa hukum seluruh fasilitas yang ada pada alat-alat canggih yang
disebut tadi, -pun adalah mubah.
Tetapi jangan enjoy dulu …, perlu diketahui bahwa
segala yang mubah, status hukumnya mungkin saja berubah menjadi wajib, sunnah,
haram atau makruh. Dalam sebuah kaidah fiqhi dinyatakan;
الوسائل لها
حكم الغاية
“Hukum sarana yang digunakan sama dengan tujuan
penggunaanya.”. Nuklir, bila digunakan untuk kemaslahatan, maka memanfaatkannya
adalah baik. Tetapi jika digunakan untuk menghancurkan dan membunuh orang-orang
yang tidak berdosa, maka hukumnya so pasti adalah haram.
Bila ada yang nanya; “Apa sih zina itu, dan bagaimana
hukumnya ?”. Dikatakan bahwa zina itu adalah masuknya kemaluan laki-laki ke
dalam kemaluan wanita yang bukan pasangan syah secara sengaja tanpa syubhah
(iih vulgar banget, maaf yah !!). Ini adalah pengertian zina secara baku, dan
sudah tentu hukumnya adalah haram. Lantas bagaimana dengan
pandang-pandangan, pegang-pegangan, out bond dengan orang-orang yang bukan
mahram, ikhtilath dan berkhalwat ???. Ternyata, agama –pun menggolongkannya
sebagai perbuatan zina. Mengapa yah ???. Jawabannya; karena seluruh hal itu
adalah hal yang sangat rentan mengantar seorang ke gerbang perzinahan. Olehnya
itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
إِنَّ
اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا
مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ
وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ
وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bahwa seorang
anak Adam pasti akan terjerat dalam (bentuk) perzinahan. Zinanya mata adalah
melihat, zinanya lisan adalah berbicara, hati berkeinginan dan berangan-angan,
dan yang membuktikan itu semua adalah kemaluan.”[11].
Nah, dari uraian ini jelaslah bahwa berkhalwat itu
adalah haram. Tentang perbuatan ini, –secara khusus- Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ
مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
janganlah ia berdua-duaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya tanpa
ditemani oleh mahram dari sang wanita, karena sesungguhnya yang ketiga adalah
syaithan.”[12]. Hukum nih berlaku di dunia nyata,
lantas gimana hukum yang berlaku di dunia maya?. Untuk mengetahui jawabannya,
perlu diketahui dua kaidah fiqh berikut. Kaidah Pertama;
الأصل في
الأحكام الشرعية التعليل
“Asal dari hukum-hukum syariat bahwa penetapan
hukum-hukum itu disebabkan karena adanya illat (sebab) tertentu.”[13]. Pertanyaan; mengapa khalwat
diharamkan ?. Jawabannya -sebagaimana disebutkan- karena pekerjaan itu adalah
jembatan yang bisa mengantar seorang kepada perzinahan. Bertolak dari kaidah
ini, marilah disimak masalah berkhalwat di dunia maya. Pertanyaan; apakah
kekhawatiran yang timbul akibat berkhalwat (dalam wilayah dunia nyata) –pun
adalah sama dengan kekhawatiran yang timbul akibat berkhalwat di dunia maya ?.
Dalam tataran waaqi’e (realita), -ternyata- jawabannya adalah “ya”. Kalau
demikian, berikut ini adalah kaidah kedua;
الحكم يدور
مع علته وسببه وجودا وعدما
“Hukum dari sebuah masalah yang bersinggungan dengan
sebab tertentu akan senantiasa sejalan dengan keberadaan atau ketidakberadaan
sebab tersebut.”[14]. Nah … ni dia kata kuncinya, maksudnya
bahwa ketika sebab diharamkannya berkhalwat dalam tataran dunia nyata, juga ada
dalam tataran dunia maya; maka hukumnya pun –tentu- adalah sama.
Mengakhiri tulisan ini, ingatlah senantiasa beberapa
pesan agama berikut;
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا} [الإسراء: 32]
مَا تَرَكْتُ
بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Tidaklah saya meninggalkan fitnah yang lebih besar
bagi kaum lelaki melainkan fitnah wanita.”[15]. Olehnya, waspadalah … waspadalah !!!.
Semoga Allah senantiasa menjaga kaum muslimin dari
segala fitnah, yang nampak maupun yang tersembunyi. Wa huwa hasbuna wa ni’ma al
wakiil.
Harapan
Kepada para pemimpin Bangsa dan pihak-pihak yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam dunia pendidikan; hendaknya kisruh-kisruh yang terjadi di dunia pendidikan dewasa ini, yang telah banyak mencoreng nama baik dunia pendidikan secara umum, baik yang dilakukan oleh oknum Mahasiswa atau –bahkan- yang dilakukan oleh oknum Guru; hendaknya seluruh hal tersebut semakin mempertebal keyakinan kita semua akan penting dan urgennya kembali kepada syari’at Allah yang benar agar cita-cita yang menjadi visi dan misi utama pendidikan dapat tercapai.
[1] At Thuruk al Hukmiyyah, oleh Imam Ibnu al
Qayyim, hal. 379
[2] HR. Abu Daud, no. 1837
[3] HR. Muslim, no. 4802
[4] HR. Tirmidzi, no. 1093
[5] HR. Bukhari, no. 4706
[6] HR. Muslim, no. 4925
[7] HR. Ahmad, no. 25842
[8] HR. Muslim, no. 664
[9] HR. Abu Daud, no. 391
[10] HR. Bukhari, no. 99
[11] HR. Bukhari, no. 6243
[12] HR. Ahmad, no. 14651
[13] “al Maqaashid ‘Inda al Imam as Syaathibi,
Diraasah Ushuliyyah Fiqhiyyah”, oleh Mahmud Abdu al Haadi, (1/119)
[14] “I’laam al Mauwaqqi’ien ‘An Rabbi al
‘Alaamiin”, (4/108)
[15] HR. Bukhari, no. 5096
Loading...
0 Response to "Hukum Ikhtilath (Bercampur baur) Dalam Dunia Pendidikan dan Khalwat di Dunia Maya"
Post a Comment