Makalahkuliah.com-Salah satu persoalan bangsa yang
krusial dewasa ini adalah persoalan akhlak. Membudayanya KKN baik di kalangan
birokrat maupun masyarakat bawah, menjamurnya media pornografi dan pornoaksi,
konflik SARA yang mengancam disentegrasi bangsa, serta kasus illegal logging
dan pekerjaan ilegal lainnya adalah sekelumit dari persoalan akhlak bangsa yang
sedang dihadapi oleh negara yang sudah "merdeka" ini. Banyak kalangan
yang menilai bahwa munculnya perilaku tersebut merupakan hasil dari pendidikan
masa lalu. Di bidang pendidikan sendiri, tak jarang guru Agamalah yang
dikambinghitamkan, sebab materi yang diajarkannya banyak menyangkut tentang
akhlak.
Pendidikan memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk kepribadian
setiap manusia. Pendidikan merupakan proses pengembangan potensi peserta didik
sehingga menjadi pribadi yang paripurna (insan kamil). Salah satu indikator
insan kamil tersebut adalah setiap peserta didik melahirkan akhlakul karimah.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa ada tiga lembaga
pendidikan yang turut berperan dalam mengembangkan potensi tersebut, yaitu
pendidikan formal, informal, dan non formal, masing-masing diwakili oleh
sekolah, keluarga, dan lingkungan atau masyarakat. Dengan demikian sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal turut bertanggung jawab dalam mendidik akhlak
setiap peserta didiknya. Itu sebabnya, ketika muncul perilaku negatif (akhlak
mazmumah) di tengah-tengah masyarakat, maka salah satu factor yang disorot
adalah bidang pendidikan, disamping factor-faktor lainnya.
Tetapi tidaklah tepat jika dikatakan bahwa tanggungjawab mendidik akhlak
siswa hanyalah tugas guru agama. Meskipun prinsip-prinsip dasar mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam,
yaitu akidah (keimanan), syari'ah (ibadah), dan ihsan (akhlak), bukan berarti
pendidikan akhlak hanya menjadi tugas guru agama semata, melainkan tugas semua
guru.
Dalam Perspektif pendidikan Islam, guru disebut sebagai abu al-ruh, yaitu
orang tua spiritual. Artinya setiap guru, khususnya yang beragama
Islam—terlepas apakah dia guru bidang studi agama atau tidak—bertugas dan
memiliki tanggungjaab dalam membimbing dan mendidik dimensi spiritual peserta didik
sehingga melahirkan akhlakul karimah. Guru membawa misi penyempurnaan akhlak,
sebagaimana misi diutusnya Rasulullah Muhammad SAW. Nabi sendiri dengan tegas
pernah bersabda: Innama buitstu liutammima makaarima al-akhlaq, artinya
sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak (manusia). Lantaran
itu, tidak salah jika Ahmad Tafsir mengatakan bahwa posisi guru setingkat di
bawah Nabi, sebagaimana yang ia pahami dalam sabda Nabi, al-Ulama'u waratsatu
al-Anbiya', (Ulama [menurutnya termasuk guru] adalah pewaris para nabi).
Guru dalam pemahaman seperti ini tidak hanya dibatasi pada guru yang
mengajarkan bidang studi keagamaan (keislaman) semata. Sebab, setiap ilmu yang
dimiliki oleh setiap guru, baik di bidang sains, sosial dan lainnya pada
hakikatnya bersumber dari Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT, sebagaimana yang
diajarkan oleh Rasulullah. Perhatikanlah salah satu firman-Nya: La 'ilmalana
illa ma 'allamtana, Tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang diajarkan
(Allah) kepada kami.
Karena hakikat ilmu hanya berasal dari Allah, maka setiap ilmu yang
adiajarkan mesti melahirkan akhlakul karimah. Dengan demikian setiap ilmu
membawa misi pembinaan akhlak, akhlak kepada khaliq maupun akhlak kepada
makhluk secara mulia dan terpuji.
Selain dari tugas dan tanggungjawab guru dalam perspektif pendidikan Islam,
Undang-undang yang berlaku di Indonesia sebagai landasan yuridis formil dalam
segala aspek kehidupan bangsa, termasuk aspek pendidikan, secara implisit juga
mengamanahkan kepada guru untuk mendidik akhlak peserta didik. Dalam UUD 1945
Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ayat (3) termaktub:
"Pemerintah mengusahakan dengan menyelenggaraan satu system pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang."
Dari pasal di atas dapat dipahami bahwa akhlak mulia menjadi salah satu
indikator utama, disamping iman dan takwa dalam mewujudkan cita-cita bangsa,
yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagaimana yang tertulis dalam
pembukaan (preambule) UUD 1945 itu sendiri. Lebih lanjut amanah UUD 1945 itu
dituangkan dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam UU Sisdiknas, pasal 3 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab". Lagi-lagi dalam ini ditegaskan bahwa
salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mendidik akhlak mulia.
Karena mendidik akhlak mulia menjadi salah satu tujuan pendidikan nasional,
maka semua guru sebagai pendidik mesti mengarahkan proses pembelajaran yang
dilakukannya ke tujuan pendidikan yang tertinggi dalam Sisdiknas di atas. Hal
ini juga ditegaskan dalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal
6 bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan
untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional…".
Berdasarkan dua pandangan di atas—guru dalam perspektif Islam dan amanah
UUD 1945—maka setiap guru dituntut untuk berperan aktif dalam mendidik setiap
akhlak siswanya. Setidaknya akhlak itu berkenaan dengan mata pelajaran yang
diasuh oleh guru tersebut, sehingga guru agama tidak lagi dikambinghitamkan.
Misalnya, ketika seorang anak—yang juga siswa—diberikan orangtuanya uang
sebesar Rp10.000,00 untuk membeli seliter beras seharga Rp8.000,00 si anak
hanya mengembalikan uang Rp1000,00. Dalam kasus ini, yang dipersoalkan bukan
guru agama saja, tetapi yang lebih dipersoalakan adalah guru matematika, sebab
10.000 – 8.000 = 2.000, lalu kenapa si anak hanya mengembalikan Rp1000,00?
Jadi, guru matematika bertanggungjawab dalam mendidik akhlak siswanya agar
tidak curang dalam takaran; guru bahasa bertanggungjawab mendidik akhlak
siswanya dalam berbicara, sehingga tidak mengucapkan kata-kata kotor
(mencarut); guru IPA bertanggungjawab mendidik akhlak siswa agar tidak
melakukan pencemaran terhadap alam; demikian juga untuk guru-guru bidang studi
lainnya akan bertanggungjawab dalam mendidik akhlak peserta didiknya,
setidaknya yang berhubungan dengan bidang studi yang diasuhnya.
Untuk itu setiap guru diharapkan mampu melakukan pendekatan keagamaan dan
pendekatan integral—dalam konteks keagamaan—ketika melakukan proses
pembelajaran kepada siswanya, khususnya guru yang beragama Islam berhadapan
dengan peserta didik yang beragama Islam. Artinya setiap materi yang diajarkan
dikaitkan dengan pemahaman agama. Sebab secara garis besar, al-Qur'an telah
memberi kerangka dasar untuk seluruh bidang ilmu pengetahuan. Itu sebabnya para
ilmuan muslim—baik di ilmu bidang keislaman maupun ilmu bidang umum—banyak yang
lahir di masa kejayaan Islam pada masa pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah.
Keberhasilan itu tentunya tidak terlepas dari upaya mereka dalam
mengintegrasikan antara ilmu umum dengan ilmu agama.
Ini bisa dilakukan mengingat setiap guru juga memiliki pemahaman keagamaan,
sebab ia telah belajar bidang studi Pendidikan Agama Islam di setiap jenjang
pendidikan yang pernah ia lalui. Kemudian hal ini juga sangat relevan dilakukan
oleh lembaga pendidikan yang ada di Sumatera Barat, mengingat penduduk Sumatera
Barat mayoritas muslim. Terlebih lagi di daerah ini dikenal falsah Adat Basandi
Syara', Syara' Basandi Kitabullah. Kemudian kebijakan pemerintah di tingkat
kota/kabupaten pada umumnya memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan
akhlak ini. Seperti halnya pemerintah kota Padang, kabupaten Pasaman, Solok,
Bukittinggi, Padangpanjang, dan lainnya mengeluarkan kebijakan mewajibkan
setiap siswa berpakain muslim.
Selain dari pendekatan keagamaan, setiap guru dituntut untuk melakukan
metode keteladanan. Persoalan mendidik akhlak siswa akan sulit—kalau tidak
mustahil—berhasil tanpa keteladanan. Keberhasilan Rasulullah sendiri dalam
menjalankan misinya untuk menyempurnakan akhlak umatnya tidak terlepas dari
metode keteladanan yang ia terapkan. Mengenai hal ini, Allah menerangkan lewat
Firman-Nya: "Sesungguhnya dalam diri Rasulullah (Muhammad) itu terdapat
uswah (keteladanan) yang baik" (QS. Al-Ahzab: 21).
Implikasi dari keteladanan ini, maka guru yang beragama Islam tersebut harus
konsisten dan komitmen (istiqomah) dalam menjalankan syari'at Islam. Tanpa
menjalankan syari'at Islam secara benar, mustahil ia akan mampu melahirkan
akhlak al-karimah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Umpamanya,
ketika diberlakukan peraturan siswa wajib mengenakan pakaian muslim/muslimah,
maka setiap guru juga dituntut untuk berpakaian muslim/muslimah dengan baik dan
benar.Jika semua guru dalam suatu lembaga pendidikan (sekolah) secara
bersama-sama melaksanakan tanggungjawabnya dalam mendidik akhlak siswa sesuai
dengan ajaran Islam, maka out came dari sekolah tersebut akan melahirkan SDM
yang berkualitas, baik kualitas intelektual, emosional maupun spiritual secara
integral. Generasi inilah yang akan mampu melakukan perubahan dalam mewujudkan
bangsa yang berperadaban, diberkahi dan senatiasa memperoleh ampunan dari Allah
SWT. Semoga saja!
Loading...
0 Response to "Pendidikan dan Akhlak dalam Perspektif UUD 1945 dan UU Sisdiknas"
Post a Comment