Takhrij Hadis shalat tarawih 23 rakaat,- Menanggapi apa yang dijawab oleh
Ust. Amir mengutip Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, lalu Mas
Nadirsyah di Australia mengutip dari Dewan Asatidz di Pesantren virtual, dan apa yang diposting
oleh Mas Fendi untuk menjawab pertanyaan
Saudara Shafie Amhar, menurut pembacaan
saya belum mengenai betul dengan apa
yang diinginkan saudara Shafie tentang
keingintahuan mengenai keshahihan riwayat hadis shalat tarawih 20
rakaat. Beliau-beliau di atas hanya memaparkan
dalil-dalil dari hadis serta
ketetapan dari mazhab fikih yang empat tanpa menganalisa riwayat yang
dijadikan argumen dalam ketetapan itu. Ini menurut pengamatan saya.
Nah, masalah riwayat sahalat tarawih 20 rakaat inilah yang akan saya coba ketengahkan dan telisik.
Mumpung saya juga lagi buka kitab2 Rijal
untuk sebuah tulisan di Jurnal. Memang masalah ini termasuk dalam
kategori khilafiyah.
Berikut penelisikan dan komentar tentang riwayat-riwayat hadis serta atsar yang menunjukkan shalat
tarawih 20 rakaat:
1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari fi Syarhi Shahih al Bukhari
setelah mengomentari hadis riwayat
Bukhari lewat jalur Abu Salmah dari
Abdurrahman dari Aisyiah ra. bahwa Nabi Saw. tidak pernah melaksanakan shalat
tarawih lebih dari 11 rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun lainnya serta
riwayat dari Jabir bin Abdullah ra., Ibnu Hajar mendatangkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, "Kana Rasulullah shalallahu alaihi wa salam yusalli fi
ramadhan 'isrina ra'ah wal witr (Adalah rasulullah Saw. melaksanakan shalat di Ramadhan
20 rakaat serta witir) (2/90/2). Ibnu Hajar berkomentar , "Sanad hadis ini dhaif dan bertentangan dengan
riwayat dari Aisyiah sebagaimana termaktub di Shahihain (Bukhari-Muslim) serta
perlu diketahui bahwa Aisyah adalah orang yang paling tahu tentang apa yang
dilakukan oleh Nabi Saw. pada malam-malamnya". (4/205-206)
Komentar yang sama diberikan oleh Hafiz al-Zaila'i dalam Nasbu al-Rayah
(2/153), sebuah kitab komentar hadis-hadis fikih karangan Imam Rafi'I dalam
mazhab Syafi'i.
Imam Suyuthi dalam al-Hawi al-Kabir (2/73) juga men-dhaifkan, alasannya
terdapat seorang rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Usman .
Tentang rawi ini, Ibnu Hajar dalam "Taqrib al-Tahdzib" memberi
komentar "matruk al-Hadis (hadisnya ditinggalkan)
Syekh Nashiruddin Albani dalam bukunya "Shalat
al-Tarawih:19-21" meneliti
sumber-sumber riwayat ini dan didapati
tidak ada jalur lain selain dari Abu
Syaibah Ibrahim bin Usman ini. Sumber-sumber itu adalah Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/90/2), Muntakhab min
al-Musnad oleh Abdu bin Humaid (43/2-1), Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir
(3/148/2) juga dalam Mu'jam al-Ausath-nya, Muntaqa Mu'jam al-Kabir Thabrani (3/2)
oleh Imam Dzahabi, Ibnu Adi dalam al-Kamil (1/2), Khatib al-Baghdadi dalam
al-Muwadhah (1/219) serta Baihaqi dalam Sunan-nya (2/496). Semuanya dari jalur Ibrahim ini.
Thabrani berkomentar, "ia tidak meriwayatkan hadis dan atsar lain
dari Ibnu abbas selain riwayat ini", juga Imam Baihaqi , "Ia
meriwayatkannya sendirian (tafarrada bihi) ditambah ia adalah dhaif (lemah)
"
Al-Haitsami dalam Majma' al-Zawaid (3/172) juga mengomentarinya dhaif.
Ibnu Main mengatakan, "laisa bi tisqah"
Sedang Imam Bukhari mengomentarinya "sakatu 'anhu (orang-orang
mendiamkannya)" dan "sakatu 'anhu" ini menurut Ibnu Katsir
adalah tingkatan al-jarh (kecacatan
seorang rawi) yang terendah. (Ikhtisar Ulum al-hadis: 118)
Maka Albani menghukuminya maudhu (palsu) dan termasuk "syadid
al-Dhaif " (sangat lemah) sebab berlawanan dengan hadis Aisyah dan Jabir
tadi. Juga al-Zaila'I dan Ibnu Hajar di
atas. Sedang Imam al-Dzahabi dan Ibnu
Hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra (1/195) pun menganggapnya mungkar. Imam
al-Subki mengatakan bahwa hadis dhaif bisa diamalkan jika dhaif-nya tidak
terlalu sangat (syadid al-dhaif).
Terakhir, Imam Suyuthi memberi komentar setelah menyebutkan riwayat dari jabir bin Abdulah di atas yang
dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam al-Shahih-nya, "Maka kesimpulannya
adalah, bahwa shalat tarawih 20 rakaat
tidak ada ketetapan yang pasti Nabi Saw. pernah melakukannya"
(Albani, Op.cit. hal. 20)
2. Tentang riwayat yang terkenal sebagai sandaran atau legalisasi dari
tarawih 20 rakaat adalah atsar dari Umar bin Khatab ra. Tapi benarkah Umar memerintahkan yang 20
rakaat itu?
Berikut atsar itu:
Dari Abdurrahman bin al-Qari berkata, "
Suatu malam di bulan Ramadhan aku berjalan bersama Umar bin Khattab melihat-lihat masjid, lalu beliau melihat orang-orang berbeda-beda dalam mendirikan sholat (sunnah), sebagian sholat sendiri, sebagian sholat bersama kelompok kecil. Lalu Umar berkata: "Aku melihat seandainya mereka dikumpulkan di belakang satu qari (pembaca Qur'an) tentu lebih baik. Lalu beliau menganjurkan agar semua shalat di belakang Ubay bin Ka'ab. Kemudian aku keluar bersama Umar pada malam lain dan orang-orang sudah shalat berjamaah di belakang imam satu, lalu Umar berkata:"Inilah sebaik-baik bid'ah, dan shalat yang mereka tinggalkan untuk tidur tetap lebih baik dibandingkan dengan shalat yang mereka dirikan" (maksudnya shalat malam di akhir malam lebih utama dibandingkan dengan shalat di awal waktunya).
Atsar (hadis mauquf) ini di riwayatkan oleh Imam Malik dalam
Al-Muwatha' (1/6/3-7), ed. Syekh Mustafa Adawi, Dar Ibnu Rajab, Mansora-Mesir),
lalu Bukhari (4/203), al-Faryabi dalam Ma'alim
al-Sunan (73/2,74/1-2), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (2/91/1) tanpa
menampilkan kalimat, " Inilah sebaik-baik bid'ah", dan Ibnu Saad
dalam Thabaqat al-Kubra-nya (5/42).
Untuk catatan, dalam riwayat ini tidak tercantum jumlah rakaat yang ditentukan oleh Umar. Sedang untuk kualitas para perawinya tsiqah (baik-terpercaya) semuanya kecuali Naufal bin Iyas yang Ibnu Hajar menilainya "maqbul (diterima)"
Selain itu, dalam Muwatha-nya, Imam Malik juga mengetengahkan riwayat
lain yang menunjukkan bahwa Umar menentukan jumlah rakaatnya adalah 11 rakaat dan 23 rakaat. Tepat
di bawah urutan hadis Abdurrahman al-Qari di atas. Mari kita telisik dua
riwayat itu.
Pertama, yang 11 rakaat adalah lewat jalur Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin
Yazid yang berkata, "Umar memerintahkan Ubay bin Kaab dan Tamim
al-Dari untuk memimpin orang-orang shalat dengan 11 rakaat. Dan Imam (Qari)
membaca sekitar 200 ayat hingga orang-orang (para sahabat) berpegangan dengan
tongkat disebabkan panjangnya (bacaan) shalat".
Kualitas sanad hadis ini adalah shahih sekali sebab Muhammad bin Yusuf
(tsiqah) adalah guru Imam Malik yang Imam Bukhari dan Muslimpun menggunakan dan
mengambil riwayat-riwayatnya. Sedang
Saib bin Yazid adalah sahabat
kecil (shaghir) yang pernah menemani Rasul Saw. menunaikan ibadah haji. Selain Imam Malik yang mengeluarkan (1/6/4), juga al-Faryabi (1/76-2/75), Ibnu Abi
Syaibah (2/284), Ibnu Ja'ad dalam Musnad-nya (2926), Abu Bakar al-Nisaburi dalam al-Fawaid dari (1/135)
dan Imam Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (2/496) juga lewat jalur dari Malik.
Ibnu Abi Syaibah (2/89/2) juga mengeluarkan riwayat 11 rakaat dari Yahya
bin al-Qaththan dan Ismail bin Ja'far al-Madani (1/186/4) juga dari Muhammad
bin Yusuf . Rawi lain yang mengambil dari Muhammad bin Yusuf adalah Ismail bin
Umayyah, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Ishak yang dikeluarkan oleh Abu
Bakar al-Nisaburi.
Kongklusinya ada sekitar 6 orang
yang mengambil riwayat dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid dan sama
bersepakat bahwa Umar memerintahkan
orang-orang untuk melaksanakan tarawih 11 rakaat. Kecuali Muhammad bin Ishak
yang mengatakan 13 rakaat. Tapi menurut Albani, ini tidak bertentangan dan sama dengan riwayat lain dari Aisyah yang mengatakan 13, sebab
2 dari 13 rakaat itu adalah shalat khafifataini (2 rakaat ringan)
sebelum tarawih. (Albani, Op. cit:46 dan 16-17)
Kedua, adalah riwayat yang
juga dikeluarkan oleh Imam Malik dari
Yazid bin Rauman yang mengatakan, "Orang-orang mendirikan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada zaman
Umar bin Khatab dengan 23 rakaat". Muwatha' Malik (1/6/5), Baihaqi juga
mengeluarkan dalam Sunan al-Kubra lewat jalur Malik (2/496)
Tapi, jika dirunut sanad hadis ini adalah munqathi', sebab Yazid bin Rauman tidak pernah melihat
Umar. Ia (Yazid bin Rauman) ini juga meriwayatkan dari Abu Hurairah tapi
mursal. Lihat Ibnu Hajar dalam Taqrib Tahdzib. biografi 7712, Yazid bin
Rauman.
Imam Nawawi dalam al-Majmu' Syarah al-Muhadzab li Syaerazi (sebuah kitab
mu'tabar (rujukan) dalam mazhab Syafi'I, 4/33) berkomentar, "hadis ini
diriwayatkan oleh Baihaqi, akan tapi mursal. Dan Yazid bin Rauman tidak pernah
sekalipun bertemu dengan Umar". Badrudin al-Aini, komentator lain dari
Shahih al-Bukhari dalam Umdatul Qari-nya (5/357) juga mengatakan, " sanad
hadis ini munqathi'"
Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan
(2/285) tapi dari jalur Abdul Aziz bin Rufai' yang berkata, "Adalah
Ubay bin Kaab memimpin shalat
orang-orang di Madinah dengan 20 rakaat dan tiga witir". Abdul Aziz bin Rufai' ini juga munqathi'
sebab ia tidak pernah bertemu dan meriwayatkan dari Ubay bin Kaab. (Ibnu Hajar
Op. Cit, biografi 4095)
Untuk penjelasan, hadis munqathi' adalah hadis yang tidak
bersambung sanadnya atau terputus dari arah manapun, baik di awal, tengah,
maupun akhir sanad. Dan ulama sepakat memasukkannya ke dalam hadis dhaif dan
tidak memakainya sebab tidak diketahui
keadaan rawi yang terbuang atau hilang itu.
3. Adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Abdurrazak dalam Mushannaf-nya (4/7730
Ed. Habiburrahman al-A'dzami, Maktab Islami, Riyadh) dari Dawud bin Qais dan
lainnya dari Muhamamd bin Yusuf dari Saib bin Yazid, bahwasannya Umar mengumpulkan orang-orang sewaktu
Ramadhan kepada Ubay bin Kaab dan Tamim
al-Dari dengan 21 rakaat, mereka membaca
200 ayat, dan selesai ketika awal fajar (tiba).
Pertama, Meski sama-sama
berasal dari riwayat Muhammad bin Yusuf dari Said bin Yazid tapi secara dhahir hadis ini bertentangan
dengan riwayat-riwayat di atas (sekitar 6 riwayat) yang sama-sama dari Muhammad bin Yusuf dari Said bin Yazid dengan redaksinya yang jelas, 11 rakaat.
Kedua, bahwa Abdurrazak tersangkut permasalahan tafarrada bil-riwayah (meriwayatkan sendiri)
dengan redaksi ini. Meski sanadnya shahih, tapi 'illah (kecacatan yang
tersembunyi) terkait dneagn pribadi Abdurrazak sendiri. Meski ia dikenal selama
perawi tsiqah, hafidz, dan ulama hadis
masyhur. Tapi ia di penghujung hidupnya mengalami kebutaan dan sering tidak
stabil dalam meriwayatkan (berubah-ubah), sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu
Hajar al-Asqalani dalam biografinya di
Taqrib Tahdzib (no. 4064). Ia juga dimasukkan oleh Abu Amru Ibnu Shalah
(Muqaddimah ulum al-hadis: 407) dalam bab "man khalata fi akhir umrihi
(siapa yang bercampuraduk (periwayatannya) di akhir-akhir umurnya".
Sebagaimana juga terjadi pada Imam Ahlusunnah, Ahmad bin Hanbal yang ketika
pada akhir hidupnya juga mengalami kebutaan kemudian ia minta dibacakan hadis-hadis lewat perantara orang lain. Sehingga Imam Nasaiy mengatakan,
"hadis-hadis yang diriwayatkan pada
saat-saat terakhir hidupnya (Ahmad bin Hanbal) haruslah diteliti sebelum
diterima".
Dan sudah menjadi ketetapan para kritikus hadis bahwa , seseorang yang
terkategorikan sebagai mukhtalitin (bercampuraduk) akan diambil riwayatnya
sebelum ia mengalami masa-masa menophause itu, setelah itu tidak akan diambil periwayatannya
demi menjaga keotentikan hadis Nabi Saw.
Dalam hal ini, Abdurrazak termasuk kategori di dalamnya di samping teks riwayatnya bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang lebih banyak
kuantitasnya.
4. Apa yang diriwayatkan oleh al-Faryabi dalam "al-Siyam' (1/76)
dan Imam Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (2/496) dari jalur Yazid bin Hushaifah
dari Saib bin Yazid yang berkata, "mereka
melaksanakan (qiyam al-lail) di bulan ramadhan pada masa Umar bin Khatab ra.
dengan 20 rakaat dan mereka membaca 200 ayat seraya memegang tongkat pada masa
Usman ra. saking lamanya berdiri".
Menurut Albani, hadis ini dari segi sanad shahih
dan sering dijadikan sandaran bagi mereka yang mengambil pendapat tarawih
20 rakaat. Tapi jika ditelisik akan
didapati illal (kecacatan) dan bisa merubah statusnya dari shahih menjadi
mungkar. Berikut penelisikan itu:
- Ternyata didapati statemen dari Imam Ahmad (termasuk kritikus hadis periode awal) bahwa Yazid bin Hushaifah adalah "munkar al-hadis". Yaitu hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang rawi tanpa ada mutabi' (jalur lain pendukung) dan dijadikan argumen oleh banyak ulama (jamaah-jumhur) seperti Imam Malik. Pun al-Dzahabi (kritikus periode akhir) memasukkannya ke dalam kelompok perawi yang harus diteliti ke dalam riwayat-riwayatnya. Juga Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Hadyu al-Sari (2/173). Untuk lengkapnya lihat, Abdul Hay Luknawi, al-Raf'u wa al-Takmil fi al-Jarh wa al Ta'dil, Ed. Abdul Fattah Ghudah, Dar Salam-Kairo h. 202)
- Yazid bin Hushaifah ternyata termasuk perawi yang sering terbolak-balik (idhthirab) dalam periwayatnnya. Sebagaimana distatemenkan oleh Ismail bin Umayyah yang mendengar langsung dari Muhammad bin Yusuf (keponakan Saib bin Yazid) ketika bertanya pada Yazid bin Hushaifah tentang riwayat di atas yang ia riwayatkan dari dari Saib bin Yazid. Yazid bin Hushaifah berkata, "aku kira (hasabtu) ia (Saib bin Yazid) mengatakan: "21 rakaat". Di sini tanpak ketidakkonsekuenan bin Hushaifah yang pada riwayat di atas mengatakan 20, lain waktu 21 Maka tentu kita akan lebih mengambil riwayat dari Muhammad bin Yusuf yang lebih dekat kepada Saib bin Yazid sebab kekerabatannya dan kesesuaiannya dengan riwayat Aisyiah di atas daripada mengambil dari bin Hushaifah yang tidak konsekuen.
Kongklusinya terutama bagi saudara penanya, Shafie Amhar sanad hadis
atau atsar shalat tarawih 20 rakaat banyak yang dhaif (lemah). Meski agak njlimet
penelisikan ini tapi semoga bermanfaat.
Salam,
Khawaidim al-Sunnah
Abu Abdillah Mukhlis Rahmanto
Takhrij Hadis shalat tarawih 23 rakaat
Takhrij Hadis shalat tarawih 23 rakaat
Loading...
1 Response to "Takhrij Hadis shalat tarawih 23 rakaat"
Subhaanallah tulisan yang ilmiah dan sangat membantu
jazakallahu khoyran katsira.
Post a Comment