*Disusun Guna Memenuhi Tugas Dalam Mata Kuliah Ushul
at-Tarbiyyah Yang Diampu Oleh Supriyanto Pasir, MA. Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia Oleh Khorirur Rijal Luthfi dan Mohammad Agus Khoirul Wafa
A. Pendahuluan
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang
benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang
akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun
institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun
institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang
beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya
manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan
nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan
kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah
berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis.
Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja
untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri,
perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap
sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan
secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai
keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik
yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan
menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang
bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma
pendidikan Barat yang sekular.
Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang
tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang
bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin
adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun
dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan
berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih
dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan
visi dan misi pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki
tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem
pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki
paradigma yang pragmatis.
Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan
mendeskripsikan tujuan dan sasaran pedidikan dalam Islam secara induktif dengan
melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, juga
memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara umum dalam
pendidikan, sehingga diharapkan tujuan dan sasaran pendidikan dalam Islam dapat
diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.
B. Pembahasan
B.1. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip
dasar pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi.
Dalam hal ini akan dikemukakan ayat ayat atau hadits hadits yang dapat mewakili
dan mengandung ide tentang prinsip prinsip dasar tersebut, dengan asumsi dasar,
seperti dikatakan an Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu
adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan
kelebihan serta menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan
interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya.
Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai berikut:[1]
Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya
dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena
itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan
agar masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan
dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat
dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu terutama
dengan mematuhi keinginan Tuhan. Allah Swt Berfirman, “Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan
janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi...” (QS. Al
Qoshosh: 77). Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan
segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam
rangka pengabdian kepada Tuhan.
Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi,
prinsip keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan
pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan. Keseimbangan antara
material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani. Pada banyak ayat al-Qur’an
Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak kurang dari enam puluh
tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara implisit
menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr:
1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang
beriman dan beramal sholeh.” .
Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep
dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan
derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras,
atau warna kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam
pendidikan. Nabi Muhammad Saw bersabda
“Siapapun di antara seorang laki laki yang mempunyai seorang
budak perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik
kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki) itu mendapat dua
pahala” (HR. Bukhori).
Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Sesungguhnya
prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam
kaitan keterbatasan manusia di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan
pada berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskandirinya sendiri ke
jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan
untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping
selalu memperbaiki kualitas dirinya. Sebagaimana firman Allah, “Maka siapa yang
bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka Allah menerima
taubatnya....” (QS. Al Maidah: 39).
Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan
bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang
mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada
keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai nilai
moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah
adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas
menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut
membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh
pendidik tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah anak anakmu dan baikkanlah
budi pekerti mereka,” (HR. Nasa’i).
B.2. Mekanisme Pendidikan Islam
Mengenai mekanisme dalam menjalankan pendidikan Islam Dalam
karyanya Tahdzibul Akhlak, Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa syariat agama
memiliki peran penting dalam meluruskan akhlak remaja, yang membiasakan mereka
untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menerima
kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan
penalaran yang akurat. Orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik mereka agar
mentaati syariat ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat dijalankan melalui
al-mau’izhah (nasehat), al- dharb (dipukul) kalau perlu, al-taubikh (dihardik),
diberi janji yang menyenangkan atau tahdzir (diancam) dengan al-‘uqubah
(hukuman).[2] (konsep uqubah dalam Islam)
Akan tetapi,
Berbeda dengan beberapa pandangan teori di atas, Ibnu Khaldun justru
berpandangan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun
seharusnya tidak dilakukan dalam dunia pendidikan. Karena dalam pandangan Ibnu
Khaldun, penggunaan kekerasan dalam pengajaran dapat membahayakan anak didik,
apalagi pada anak kecil, kekerasan merupakan bagian dari sifat-sifat buruk.
Disamping itu, Ia juga menambahkan bahwa perbuatan yang lahir dari hukuman
tidak murni berasal dari keinginan dan kesadaran anak didik. Itu artinya
pendidikan dengan metode ini juga sekaligus akan membiasakan seseorang untuk
berbohong dikarenakan takut dengan hukuman.[3]
B.3. Tujuan dan
Sasaran Pendidikan Islam
Salah satu aspek
penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan. Merumuskan tujuan
pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri
yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu
serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan
pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk
manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya
merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.[4]
Maka dari itu berdasarkan definisinya, Rupert C. Lodge dalam
philosophy of education menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan
itu menyangkut seluruh pengalaman. Sehingga dengan kata lain, kehidupan adalah
pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. Sedangkan Joe Pack merumuskan
pendidikan sebagai “the art or process of imparting or acquiring knomledge and
habit through instructional as study”. Dalam definisi ini tekanan kegiatan
pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction), sedangkan segi kepribadian
yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Meyer Greene
mengajukan definisi pendidikan yang sangat umum. Menurutnya pendidikan adalah
usaha manusia untuk menyiapkan dirinya untuk suatu kehidupan yang bermakna.
Alfred North Whitehead menyusun definisi pendidikan yang menekankan segi
ketrampilan menggunakan pengetahuan.[5]
Untuk itu, pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian
dihubungkan dengan Islam -sebagai suatu sistem keagamaan- menimbulkan
pengertian pengertian baru yang secara implisit menjelaskan karakteristik
karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh
totalitasnya, dalam konteks Islam inheren salam konotasi istilah “tarbiyah”,
“ta’lim” dan “ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah
itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta
lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.
Istilah istilah itu sekaligus
menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; informal, formal, dan nonformal.[6]
Ghozali melukiskan
tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk
akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk
individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dengan
ini pula keutamaan itu akan merata dalam masyarakat.[7]
Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam
dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam
telah memiki visi dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain
itu, sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan
menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak
terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai
penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang
makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam
al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya
adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang yang
makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.[8]
Munzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak
terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya,
pandangan hidup, atau keinginan-keinginan lainnya. Bila dilihat dari ayat-ayat
al Qur’an ataupun hadits yang mengisyaratkan tujuan hidup manusia yang
sekaligus menjadi tujuan pendidikan, terdapat beberapa macam tujuan, termasuk
tujuan yang bersifat teleologik itu sebagai berbau mistik dan takhayul dapat
dipahami karena mereka menganut konsep konsep ontologi positivistik yang
mendasar kebenaran hanya kepada empiris sensual, yakni sesuatu yang teramati
dan terukur.[9]
Qodri Azizy menyebutkan batasan tentang definisi pendidikan
agama Islam dalam dua hal, yaitu; a) mendidik peserta didik untuk berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; b) mendidik peserta didik untuk
mempelajari materi ajaran Islam. Sehingga pengertian pendidikan agama Islam
merupakan usaha secara sadar dalam memberikan bimbingan kepada anak didik untuk
berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan memberikan pelajaran dengan
materi-materi tentang pengetahuan Islam.[10]
C. Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah penulis kemukakan dari
beberapa pendapat para tokoh pendidikian Islam bahwa pendidikan pada dasarnya
memiliki beberapa tujuan. Tujuan yang terpenting adalah pembentukan akhlak
objek didikan sehingga semua tujuan pendidikan dapat dicapai dengan landasan
moral dan etika Islam, yang tentunya memiliki tujuan kemashlahatan di dalam
mencapai tujuan tersebut. Mengenai mekanisme pelaksanaanya, hal ini tentunya
memerlukan kajian yang lebih mendalam sehingga nantinya implementasi dari teori
tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dipandang relevan dengan kondisi yang
terikat dengan faktor-faktor tertentu.
Daftar Pustaka
Azizy, Ahmad Qodri A. 2000. Islam dan Permaslahan Sosial; Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Azra. Azyumardi.
2002. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
Hitami, Munzir. 2004. Menggagas Kembali Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Infinite Press
Khaldun, Ibnu. 2001. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta:
Pustaka Firdaus
Miskawaih, Ibnu. Tanpa tahun. Tahzib al-Akhlaq, Mesir:
al-Mathbah al-Husainiyyah
Sanaky, Hujair AH. 2003. Paradigma Pendidikan Islam;
Membangun Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI
Tafsir, Ahmad. 2002. Metodologi Pengajaran Agama Islam.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Loading...
0 Response to "Tujuan dan Sasaran Pendiikan Islam"
Post a Comment