Lafadz al-hukm (hukum), secara etimologis, bermakna halangan (al-man'),[1] sedangkan secara terminologis berarti pandangan mengenai masalah tertentu yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Jika pandangan tersebut bersumber dari pembuat syariat (as-Syâri'), maka pandangan tersebut disebut hukum syara', dan jika tidak bersumber dari pembuat syariat (as-Syâri'), maka tidak disebut hukum syara'.[2] Dengan demikian, hukum syara' bisa didefinisikan dengan:
« خِطَابُ الشَّارِعِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْعِبَادِ، بِالإِقْتِضَاءِ أَوِالتَّخْيِيْرِ أَوِ الْوَضْعِ »
Seruan pembuat syariat (as-Syâri') yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik berupa tuntutan (iqtidhâ'), pilihan (takhyîr) ataupun wadh'i.[3]
Yang dimaksud dengan seruan pembuat syariat (khithâb as-syâri') di sini adalah makna yang terkandung dalam lafadz dan susunan lafadz (tarkîb) dalam nash-nash syara', seperti ayat al-Qur'an dan hadits. Dengan demikian, seruan pembuat syariat (khithâb as-syâri') ini adalah makna yang diperoleh oleh seorang mujtahid dari nash, baik melalui ijtihad maupun tidak. Karena yang dimaksud dengan khithâb as-syâri' di sini adalah makna yang diperoleh, tentu makna yang diperoleh seorang mujtahid berbeda dengan mujtahid lain. Sekalipun demikian, masing-masing makna tersebut tetap disebut khithâb as-syâri' bagi masing-masing.
Mengenai penggunaan khithâb as-syâri', dan bukan khithâbu-Llâh (seruan Allah), sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan ulama' ushul fiqih,[4] sebenarnya substansinya sama. Karena yang dimaksud dengan pembuat syariat (as-syâri') adalah Allah, sehingga makna seruan pembuat syariat ini sebenarnya adalah seruan Allah. Hanya, menurut an-Nabhâni, tujuan penggunaan khithâb as-syâri' di sini adalah agar tidak diasumsikan, bahwa seruan tersebut hanyalah al-Qur'an, padahal as-Sunnah juga wahyu. Dengan demikian, as-Sunnah juga merupakan seruan Allah. Disamping itu, agar batasan tersebut meliputi al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma' Sahabat, jika dilihat dari aspek bahwa Ijma' Sahabat tersebut bisa menunjukkan adanya seruan (khithâb) tertentu.
Sementara dari aspek bahwa hukum syara' tersebut sasarannya adalah perbuatan fisik (af'âl), bukan perbuatan hati (i'tiqâd), adalah jelas. Karena hukum syara' memang hanya membahas perbuatan fisik, bukan akidah dan keyakinan, sebagaimana yang dibahas oleh ilmu tauhid dan kalam. Sementara penggunaan istilah manusia (al-'ibâd) agar meliputi hukum-hukum yang berkaitan dengan non-mukallaf, seperti anak kecil dan orang gila; misalnya dalam kasus zakat dan hukum harta kekayaan.[5]
Adapun tuntutan (iqtidhâ'), sebagaimana yang dinyatakan dalam definisi di atas, adalah tuntutan untuk melakukan (thalab al-fi'l) dan tuntutan untuk meninggalkan (thalab at-tark), baik secara tegas (jazm) maupun tidak (ghayr jazm). Tuntutan untuk melakukan tersebut bisa tegas sehingga implikasi hukumnya adalah wajib, dan bisa tidak sehingga implikasi hukumnya hanyalah sunnah (mandûb), sementara tuntutan untuk meninggalkan bisa juga tegas dan tidak. Jika tegas, implikasi hukumnya adalah haram, dan jika tidak, implikasi hukumnya adalah makruh. Ketegasan dan ketidaktegasan dalam kedua konteks tuntutan di atas bisa diidentifikasi melalui, antara lain, indikasi ada dan tidaknya ancaman sanksi hukum di dunia dan azab di neraka bagi pelanggarnya. Dari sinilah, maka hukum wajib juga bisa didefinisikan dengan perintah Allah yang jika dilakukan pelakunya akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan pelakunya akan mendapatkan siksa. Ini merupakan kebalikan dari hukum haram. Sedangkan sunnah didefinisikan dengan perintah Allah yang jika dilakukan pelakunya akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan, pelakunya tidak akan mendapatkan apa-apa. Ini juga merupakan kebalikan dari hukum makruh.[6] Dari sini, wajib dan sunnah juga bisa dinilai al-hasan sedangkan haram dan makruh dinilai dengan al-qabîh.[7]
Sementara pilihan (takhyîr) adalah seruan untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan, yang berimplikasi pada hukum mubah. Maka, ulama' ushul fiqih juga ada yang mendefinisikannya dengan perintah yang jika dilaksanakan tidak mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan juga tidak mendapatkan sanksi apa-apa. [8] Disamping itu, ada juga yang menyebut mubah dengan lâ al-hasan wa al-qabîh. Karena tidak ada implikasi apapun terhadap seruan tersebut, baik ketika dilaksanakan maupun ditinggalkan.
Kedua bentuk seruan di atas, baik iqtidhâ' maupun takhyîr, adalah seruan yang berkaitan dengan substansi perbuatannya secara langsung, baik untuk dilaksanakan, ditinggalkan maupun dipilih antara melaksanakan dan meninggalkannya. Karena itu, seruan tersebut bisa disebut dengan seruan pembebanan (khithâb at-taklîf), sedangkan muatan maknanya bisa wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Lalu, kelima makna yang terakhir inilah yang kemudian disebut hukum taklîfi.
Ini jelas berbeda dengan seruan wadh'i. Seruan ini berkaitan dengan kondisi taklîf yang dilaksanakan, sehingga bisa disebut sebagai hukumnya hukum. Misalnya, kewajiban mendirikan shalat adalah hukum taklîfi. Hukum ini tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali setelah diintegrasikan dengan kondisinya, yakni standar syarat, sah, batal, sebab, halangan (mâni'), dan dispensasi (rukhshah)-nya. Kondisi inilah yang biasanya disebut dengan istilah hukm al-wadh'i, atau hukum yang menghukumi hukum taklîfi.
Dengan demikian, berdasarkan aspek khithâb-nya, hukum syara' bisa dibagi menjadi dua, taklîfi dan wadh'i. Hukum taklîfi meliputi wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah, sedangkan hukum wadh'i meliputi syarat, sah, batal, rusak (fasâd), sebab, 'azîmah, rukhshah dan halangan (mâni'). Karena masing-masing merupakan hukum syara', maka keduanya harus bersumber dari dalil syara', bukan yang lain. Ini dari satu sisi. Di sisi lain, dari aspek lafadz yang menjadi sandarannya, hukum syara' juga bisa diklasifikasikan menurut bentuk lafadznya, kadangkala kulliyyah, 'ammah, dan lain-lain.
[1] Ibn al-Mandhûr, Lisân al-Arab, Dâr Shâdir, Beirut, cet. I, juz XII, hal. 141.
[2] Hizb at-Tahrîr, Mîtsâq al-Ummah, hal. 10.
[3] An-Nabhâni, al-Syakhshiyyah, juz III, hal. 31; Lihat juga, al-Asnawi, at-Tamhîd, ed. Hasan Haytû, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, cet. I, 1400, hal. 48; Muhammad Husayn Abdullâh, al-Wâdhih, hal. 219. Lihat juga, al-Ghazâli, al-Mustashfâ, hal. 45.
[4] Lihat, al-Asnawi, at-Tamhîd, hal. 48; as-Subki, al-Ibhâj, juz I, hal. 43 dan 49; Muhammad bin Hasan bin Ali, Kitâb at-Taqrîr wa at-Tahbîr, ed. Majma' al-Buhûts wa ad-Dirûsah, Dâr al-Fikr, Beirut, cet. I, 1996, hal. 216.
[5] An-Nabhâni, al-Syakhshiyyah, juz III, hal. 31; Muhammad Husayn Abdullâh, al-Wadhih, hal. 219-220.
[6] An-Nabhâni, ibid, hal. 33. Lihat juga, as-Syayrâzi, al-Luma' fi Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1985, hal. 6.
[7] Lihat, Abû al-Husyan, al-Mu'tamad, ed. Khalîl al-Mays, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1406, juz II, hal. 185; as-Subki, op. cit., juz I, hal. 61.
[8] An-Nabhâni, al-Syakhshiyyah, juz III, hal. 33. Lihat juga, as-Syayrâzi, op. cit., hal. 6.
Loading...
0 Response to "HUKUM (al-Hukm)"
Post a Comment