MENGAGAS USHUL FIQIH YANG MENCERAHKAN


"Jika kita berpendapat bahwa Fiqh Islam yang ada pada kita merupakan genre pembacaan pertama, maka tidak ada lagi pilihan bagi kita kecuali melakukan pembacaan yang kedua."
[Muhammad Syahrur]

A. Prolog: Antara Fiqh dan Ushul Fiqh
Perkembangan fiqh islamy atau bahkan Islam itu sendiri telah melalui beberapa dekade penting dalam ranah sejarah klasik umat Islam. Sejarah ini terbentang luas mulai dari masa pembentukan (the age of foundation) sampai masa kebangkitan atau reformasi (the age of reformation). Dalam sejarah klasik ini tergambar jelas elastisitas fiqh—bahkan Islam itu sendiri—dalam menjawab tantangan zaman sebagai implementasi karakter dasarnya yang bersifat zhanniyyâh. Adagium yang selalu dielukan fikih (al-fiqh) atau Islamic jurisprudence: shâlih li kulli zamân wa makân, semakin menempati posisinya yang jelas dalam ranah pemikiran kontemporer dan semakin menguatkan asumsi penulis akan pentingnya memahami maqâshid asy-syarî’ah dalam menghasilkan produk fikih (al-fiqh) yang pada mulanya berkarakter stagnant (beku) dan rigid (kaku) menjadi progresif dan elastis.

Asumsi awal penulis, penyuis nyatakan bahwa perkembangan fikih (al-fiqh) ini juga diikuti dengan perkembangan Usul Fikih (Ushûl al-Fiqh) yang semakin menuju ke bentuk yang lebih sempurna. Hubungan antara Usul Fikih (Ushûl al-Fiqh) dan Fikih (al-Fiqh) adalah bersiaf resiprokal (berkait-kelindan). Atau dalam bahasa Ali Sami’an-Nasysyar bagaikan hubungan mantiq dengan filsafat. Hubungan keduanya merupakan hubungan simbiosis-mutualisme, jika boleh disebut demikian. Dalam makna berhubungan saling-menguntungkan di antara kedua belah pihak. Pihak pertama— dalam hal ini fikih (al-fiqh) —semakin mendapat legitimasi keabsahannya dengan munculnya usul fikih (ushûl al-fiqh) jika menerapkan metodologi Ulama Hanafiyah atau semakin terkonsep dan tertata rapi dalam sudut pandang Ulama Syafiiyah atau Mutakallimin. Di pihak lain, yakni usul fikih (ushûl al-fiqh), mendapat lahan aplikasinya dalam diskursus fikih (al-fiqh), baik menurut metodologi  Hanafiyah  ataupun  Syafi’iyah,  atau lebih spesifiknya menurut metodologi Ulama Mutaakhkhirin.

Sehingga penulis berkesimpulan bahwa hubungan Fikih (al-Fiqh) dan Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) merupakan -- semacam -- hubungan dialektis yang saling melengkapi. Fikih (al-Fiqh) mengandaikan adanya penerapan dalam dunia praktis. Sedang Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) lebih kepada dunia teoritis. Gambarannya lebih ‘mengawang-ngawang’ ke langit’ (khârij ‘an al-dzihni). Namun dalam tataran tertentu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) dianggap secara hierarkis lebih tinggi dari Fikih (al-Fiqh) karena ia merupakan sumber dari Fikih (al-Fiqh). Teori ini dalam pandangan penulis agak absurd, minimal dilihat dari dua sisi: ”historis dan teoretik”.

Sejarah klasik membuktikan bahwa kemunculan Fikih (al-Fiqh)  lebih awal daripada Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh). Karenanya mustahil Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) menjadi sumber fiqih (al-fiqh) secara independen. Sedang secara teoritis mayoritas poin-poin Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) bersifat ’ambigu’ non-permanen (zhanniy) yang berkonskuensi rapuhnya basis Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) secara independen. Hal ini diakui Thahir bin Asyur dalam muqaddimah kitabnya Maqâshid asy-Syarî’ah. Dia berpandangan bahwa para sarjana klasik Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) telah gagal mendasari diskursus ini. Sehingga poin-poinnya hanya bersifat ’ambigu’ non-permanen (zhanniy). Kegagalan ini lebih pahit rasanya jika dikomparasikan dengan para sarjana diskursus lain, semisal Ushuluddîn/Ilmu Kalam (Islamic Theology) yang mampu medasarkan poin-poinnya menjadi permanen non-ambigu (qath’iy). Mungkin maqâshid asy-syarî’ah-lah satu-satunya poin dalam diskursus Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) yang layak mendapatkan legislasi semacam ini.

B. Polemik antara Teks dan Fakta Empirik (Jadaliyyât al-Nash bi al-Wâqi’)
Dominasi diskursus fikih (al-fiqh) memang sebuah fakta empirik yang tak terbantahkan. Diskursus ini menyedot akal para sarjana Islam (Islamic scholars) lebih dibanding yang lain, walaupun dibanding Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) itu sendiri. Namun tetap diakui kedua diskursus ini menjadi diskursus dominan di sepanjang sejarah intelektual Islam. Hal ini diakui juga oleh al-Ghazali dalam pembukaan al-Mustashfa-nya. Menurutnya, hal ini karena keduanya termasuk di antara diskursus yang menggabungkan  ’aql dengan naql dengan proporsional yang lebih dibanding yang lain. Senada dengan ini asumsi Abid al-Jabiri. Baginya — dengan nada menyindir — peradaban Islam adalah peradaban fikih (hadhârah al-fiqh). Fikih (al-Fiqh) menjadi materi favorit umat Islam pada tingkat pertama sehingga mempengarui karakter nalar mereka. Segala hal selalu dipandang dengan kacamata hitam vis a vis putih, halâl vis a vis harâm.

Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) menjadi menarik untuk dikaji di kalangan para pemikir kontemporer saat ini semenjak ditemukannya kitab al-Muwafaqât  karya asy-Syathiby oleh Muhammad Abduh di Maroko. Sehingga  selanjutnya  oleh para pakar dia diangkat menjadi bapak maqâshid asy-syarî’ah meskipun para ulama sebelumnya telah membahas masalah ini. Para ulama – seperti -- ath-Thufi, Ibn al-Hajib, al-Qarafi, bahkan al-Ghazali telah membahasnya secara terpisah-pisah di beberapa kitabnya. Sama halnya dengan apa yang dialami asy-Syafi’i sebagai bapak Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) pertama meski sebelumnya telah dibahas oleh para ulama khususnya Hanafiyah.

C. Urgensi Kajian Maqâshid as-Syarî’ah
Maqâshid as-Syarî’ah menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengkaji Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) karena diskursus inilah yang menjembatani polemik berkepanjangan antara nash dengan waqi’ atau fakta empirik. Polemik ini cukup dirasakan oleh Thahir bin Asyur, pakar Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) Tunisia, sehingga ia ‘terpaksa’ harus berusaha menjadikan maqâshid asy-syarî’ah sebagai disiplin ilmu tersendiri. Usaha ini bukanlah hal baru dalam ranah pemikiran para sarjana Islam. Terbukti, menurut pembacaan Abid al-Jabiri pemikir kontemporer Maroko, asy-Syatibi dalam master piece-nya  ”al-Muwafaqat’  berusaha melakukan pengulangan pendasaran Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) [i’âdah ta’shâl al-ushûl’] dari tataran  zhanniyyât  kepada  qath’iyyât. Asumsi penulis, usaha ini dilakukan dalam rangka menguatkan posisi  maqâshid as-syarî’ah  menjadi  ’dalil’ yang independen tanpa harus merujuk pada al-Quran ataupun hadis sebagai legitimasi keabsahannya. Senada dengan ini, asumsi Najmuddin ath-Thufi mendahulukan maslahah di atas al-Quran maupun hadis, bahkan ijma’ sekalipun menemukan relevansinya. Argumen yang sempat penulis tangkap—sebagaimana Said Ramadlan al-Bouthi paparkan dalam dhawâbith al-mashlahah-nya—bahwa teks-teks, baik al-Quran maupun hadis seringkali paradoks, sedang mashlahah adalah tujuan diturunkannya teks tersebut. Sehingga selayaknya mendahulukan maslahah di atas teks ketika terjadi polemik. Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa inti dari landasan teori ini adalah  atsâr yang meriwayatkan bahwa Umar bin al-Khaththab pernah enggan memberikan bagian ghanimah kepada kaum muallaf padahal sudah ada ketentuan jelasnya dalam al-Quran. Beliau berkata,"Saya keluar dari al-Quran demi kembali kepada al-Quran". Dalam pandangan Jammal al-Banna, ijtihad Umar disini adalah contoh ijtihad yang berani merangsek dan mengotak-atik wilayah qath’iyyât.

Menurut pembacaan Hasan Hanafi , maqâshid asy-syarî’ah menjadi popular semenjak gagalnya kaum literalis dalam mengaplikasikan teks-teks agama dengan fakta empirik. Dalam asumsinya, pemahaman seperti inilah yang memicu fundamentalisme dan terorisme berkembang cukup pesat dalam tubuh Islam. Ia berujar :

"Semenjak condongnya gerakan Islam kepada radikalisme, terorisme dan pengkafiran, diskursus Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh)—khususnya maqâshid asy-syarî’ah dan mashlahah—kembali menjadi landasan formulasi syari’at. Kemudian muncullah nama-nama semacam asy-Syathibi dan ath-Thufi. Tema-tema maqâshid kemudian secara bertahap masuk ke berbagai universitas dan dibahas secara ilmiyah dalam berbagai makalah."

Lebih jauh lagi, Hasan Hanafi menyiapkan proyek rekontruksi Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) [i’âdah binâ’ ‘ilmi ushûl al-fiqh] dalam kitabnya Min an-Nash ilâ al-Wâqi’ bagi para Sarjana Syari’ah khususnya, sehingga mereka mampu memosisikan mashlahah—yang merupakan fondasi formulasi syari’ah—di atas tekstualitas nash dan memberikan prioritas fakta empirik di atas nash.19 Selanjutnya ia menyatakan: "Min an-Nash ilâ al-Wâqi’”  ditulis  dalam rangka menghadang  stugma  bahwa  asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah  (Syari’at Islam) berkarakter tekstualis yang mengabaikan al-mashlahah al- ’âmmah (kemashalahatan publik). Dinyatakan oleh banyak kalanganj bahwa Syari’at Islam hanya mengenal rajm, jild, ta’dzib, potong tangan, penyaliban, penggantungan di batang-batang korma, potong tangan-kaki bersilang dan pembebanan yang melampaui batas…"

Polemik ini paling tidak membuktikan bahwa teks-teks agama secara literal sudah tak mampu lagi membendung tuntutan zaman yang mengglobal. Karenanya diperlukan interpretasi yang ’non-literal’, inklusif dan jauh dari postulat-postulat teologis. Teks harus terlepas dari itu semua sehingga tak membuatnya condong dan berpihak pada salah satu pihak. Asumsi penulis, para sarjana Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) —dengan segala jerih payahnya— merasakan polemik ini juga dan menemukan bahwa maqâshid asy-syarî’ah  (mungkin) satu-satunya harapan untuk menyelesaikannya.  Karenanya diskursus ini pada era kontemporer sekarang menyita cukup banyak perhatian para pakar.

D. Maqâshid asy-Syarî’ah dan Aplikasinya
Adagium yang di masa lalu telah didengungkan para sarjana klasik, sekarang telah benar-benar menjadi fakta empirik: "Al-Nushûs al-Mutanâhiyah wa al-Waqâi’ al-Mutajaddidah"(Teks-teks Tetap Tah Berubah sedang Fakta-fakta selalu Berubah dan Berkembang) mungkin masih terngiang di telinga kita. Konklusinya, "sehingga tak mungkin menafsirkan fakta-fakta empirik dengan teks-teks secara literal." Dan solusinya adalah diperlukan interpretasi teks yang mampu menggabungkan antara fakta empirik dengan teks.

Teks-teks agama—termasuk di dalamnya al-Quran dan hadis—adalah sederetan naskah ‘mati’ yang memerlukan interpretasi. Konon Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berujar, "Al-Qurân Mayyitun wa Innamâ Yunthiquhu ar-Rijâl" (al-Quran adalah teks [yang] mati, dan hanya mampu ‘bicara" dengan interpretasi para tokohnya) Dalam arti, teks adalah buah dari budaya yang tak boleh lepas dari sejarah. Teks merupakan hasil kesepakatan manusia dalam masa diciptakannya (teks tersebut) dengan budaya yang melingkupinya. Demikian kurang lebih Nashr Hamid Abu Zaid terangkan.

Namun, sayang sekali, pendapat Nashr Hamid Abu Zaid ini ditentang banyak kalangan. Asumsi penulis, hal ini karena pemakaian bahasanya yang cukup radikal. Ditambah dengan konklusi yang ia tandaskan dengan jelas tanpa basa-basi terlebih dahulu. Ia berkonklusi bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntâj tsaqafi) dan menyuarakan tesis ini di hadapan khalayak ramai yang masih konservatif. Sehingga terjadi benturan dan kekagetan berlebihan yang berujung pada pengusiran dia dari negara Mesir.

Hemat penulis—selain kekurangan yang telah penulis sebutkan—tesis ini menyimpan kebenaran ilmiah. Tak bisa diingkari bahwa al-Quran turun kepada masyarakat berbudaya dan menjadi bagian dari budaya itu sendiri. Al-Quran bukanlah teks yang ‘suci’ dari budaya dan tak tersentuh sama sekali. Adanya asbâb al-nuzûl merupakan salah satu syâhid yang menguatkan tesis ini. Namun—dengan segala hal yang telah penulis sebutkan—tetap harus diakui dan diimani bahwa al-Quran adalah wahyu dari Sang Maha Kuasa.

Tesis: al-Quran adalah muntâj tsaqafi dan keimanan: al-Quran adalah wahyu merupakan dua premis yang tak sepatutnya dibenturkan. Karena keduanya berada pada jalur dan orientasi yang berbeda. Tesis pertama ingin berusaha membuktikan secara ilmiah bahwa al-Quran—meskipun merupakan wahyu—sedang ‘berdialog’ dengan mukhâtab yang tak mempunyai kekuatan supranatural sebagaimana al-Quran sebagai wahyu. Karenanya dalam hal ini al-Quran harus mempunyai sisi yang dapat dipahami manusia yang non-supranatural. Terjadilah kemudian dialog antara wahyu yang supranatural dengan manusia yang non-supranatural. Dialog inilah yang memunculkan interpretasi terhadap 'teks suci’ ini dengan segala latar belakang yang mengiringi turunnya. Hanya sisi inilah satu-satunya ‘pintu’ bagi manusia untuk menafsirkannya. Dengan menganggap bahwa al-Quran tak memiliki sisi ini berarti secara tidak langsung menutup kemungkinan manusia dapat menafsirkannya sepeninggal Nabi karena yang mampu menafsirkan al-Quran tanpa melalui ‘pintu’ ini hanyalah Nabi.

Tesis keterbatasan teks disamping pentingnya memahami maqashid syari’ah di atas selayaknya menjadi bahan pertimbangan dalam merekonstruksi Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) kontemporer di kemudian hari. Penulis meyakini bahwa mengembangkan suatu ilmu caranya tidak dengan dekonstruksi membabi buta. Cara satu-satunya adalah merekonstrunksinya; dengan menambal-sulam kekurangannya sehingga mencapai bentukya yang lebih sempurna.

Proyek ini mengandaikan sebuah pembacaan ulang—meminjam istilah Muhammad Syahrur—terhadap warisan Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh), terutama maqâshid-nya. Pakar Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) Tunisia Thahir bin Asyur dengan ’apik’ berusaha mencapainya. Dalam pembacaannya,  maqâshid  ini tergambar dalam lima maslahat pokok (al-mashâlih adh-dharûriyyah): menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta. Menarik sekali ketika ia menukil pendapat asy-Syathibi dalam hal ini yang mengatakan: "Menjaga kelima masalah pokok ini dengan dua metode”.

Pertama, dengan menjaga dasar yang meneguhkan eksistensinya.
Kedua, dengan menolak darinya segala yang dapat merusaknya"
Kesan yang dapat penulis tangkap dalam redaksi as-Syatibi di atas bahwa menjaga agama … dan seterusnya, harus dipandang dari dua sisi: positif(ijabi) dan negatif (salbi). Sisi pertama menjaga eksistensi keberadaannya, sedang yang kedua menjaganya dari hal-hal yang merusaknya. Menjaga agama maksudnya tidak hanya mencegah hal-hal yang dapat merusak aqidah, namun juga dengan memberikan kebebasan umat seluas-luasnya untuk memilih agama dan menjalankannya sesuai kepercayaannya tanpa ada pemaksaan. Aplikasinya, pluralitas agama dalam suatu negara harus dihormati dan dijaga sehingga tetap eksis. Usaha-usaha pengingkaran pluralitas juga perlu diberantas dan diluruskan sampai diakui bahwa pluralitas agama merupakan hak—bahkan kewajiban—yang perlu dihormati.

E. Epilog

Tulisan di atas adalah sebuah usaha memetakan perkembangan diskursus Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) atau maqâshid asy-syarî’ah khususnya dalam menyongsong Ushul Fikih Kontemporer  (Ushûl al-Fiqh al-Mu’âshirah) yang mencerahkan. Setidaknya ada beberapa kesimpulan dari tulisan di atas.

Fikih Kontemporer (al-Fiqh al-Mu’âshir) dan Ushul Fikih Kontemporer  (Ushûl al-Fiqh al-Mu’âshirah) memerankan hubungan yang berkait-kelindan. Fikih (al-Fiqh)  menjadi lahan aplikasi Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh). Sebaliknya Kontemporer memberi legitimasi keabsahan fikih (al-fiqh) dan konseptualisasinya.

Maqâshid asy-Syarî’ah – dalam hal ini -- memerankan peran sebagai penengah polemik berkepanjangan antara teks dan fakta empirik. Teks muncul dari kesepakatan antara manusia dan budaya yang melingkupinya. Al-Mashâlih adh-Dharûiyyah harus dipahami dengan baik dari sisi (cara pandfng) positif; menjaga dasar yang meneguhkan eksistensinya dan sisi (sudut pandang) negatif; menjaganya dari hal-hal yang merusaknya dengan menginakan konsep adz-Dzarî’ah, baik dalam pengertian Fath adz-Dzarî’ah atau Sadd adz-Dzarî’ah.

(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan M. Nora Burhanuddin dalam http://elcaknora.multiply.com/journal/item/15)
Loading...

0 Response to "MENGAGAS USHUL FIQIH YANG MENCERAHKAN"

Post a Comment