D H I H A R (الظهار)


Kata dhihar diambil dari kata “dhahrun” ( ظهر ) yang artinya punggung. Dalam budaya Arab jahiliyah, apabila suami tidak senang kepada isterinya, dia mengatakan “anti ‘alayya ka dhahri umi” (انت على كظهر امى), ”engkau bagiku seperti punggung ibuku”. Dengan ucapannya ini  suami bermaksud mengharamkan mensetubuhi isteri dan berakibat menjadi haramnya isteri  bagi suami untuk selamanya. Dalam kata-kata “anti ‘alaya ka dhahri umi” disamakanlah antara isteri dengan ibunya dalam hal keharaman ditunggangi atau disetubuhi.
Syari’at Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan menseterilkannya menuju kemaslahatan hidup. Hukum Islam menjadikan ucapan dhihar itu berakibat hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum dhihar yang bersifat duniawi ialah menjadi haramnya  suami mengumpuli isteri yang didhihar sampai suami melaksanakan kaffarah dhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulangi perkataan dan sikap yang buruk itu, sedangkan yang bersifat ukhrawi ialah bahwa dhihar itu perbuatan dosa, orang yang mengucapkannya berarti berbuat dosa, untuk membersihkannya wajib bertaubat dan memohon ampunan Allah.
Mengingat dhihar di Indonesia tidak membudaya, dalam kesempatan ini hanya akan dijelaskan secara singkat

1. Pengertian Dhihar
Dari beberapa pendapat ulama tentang dhihar, dapat dirumuskan bahwa dhihar secara istilah ialah: “Ucapan kasar yang dikatakan suami kepada isterinya dengan menyerupakan isteri itu dengan ibu atau mahram suami, dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan isteri bagi suami”.
Sebagai dasar hukum dhihar ialah al-Qur’an dan al-hadis. Dalam al-Qur’an, dhihar dan penyelesaiannya diatur dalam surat al-Mujadalah ayat 1- 4 dan surat al-Ahzab ayat 4.

2. Akibat Dhihar
Apabila suami menyatakan dhihar terhadap isterinya maka berlakukah ketentuan hukum sebagai berikut:
a.      Apabila suami menyesali perbuatannya dan berpendapat bahwa hidup kembali dengan isterinya akan mendatangkan manfaat dan akan terbina hubungan yang normal dan baik, maka hendaknya suami mencabut kembali dhiharnya dan mengembalikan isteri kepangkuannya, saling memaafkan atas yang telah terjadi, saling berjanji akan memperbaiki hubungan selanjutnya. Sebelum suami mengumpuli kembali isterinya ia diwajibkan membayar kaffarah dhihar berupa:
1). Memerdekakan seorang budak sahaya yang beriman. Apabila suami tidak bisa melakukannya, maka ia harus
2). Puasa dua bulan berturut-turut, tanpa diselingi berbuka dalam satu haripun. Apabila suami tidak mampu melakukannya, maka ia harus
3). Memberi makan secukupnya kepada 60 orang  miskin.
b. Jika suami berpendapat bahwa memperbaiki kembali hubungannya dengan isteri tidak memungkinkan dan menurut pertimbangannya   bahwa bercerai itulah jalan yang terbaik, maka hendaklah suami menjatuhkan talaq kepada isterinya, agar tidak menyiksa  isteri lebih lama lagi.
c. Apabila suami tidak mencabut kembali dhiharnya  dan tidak juga menceraikan isterinya, maka setelah berlalu masa empat bulan atau 120 hari sejak diucapkan dhihar, Hakim menceraikan antara keduanya dan perceraian antara keduanya sebagai perceraian ba’in. Menurut Hanafiyah, setelah masa empat bulan atau 120 hari sejak diucapkan dhihar dan suami tidak mengucapkan talaq, Hakim tidak harus menceraikan antara keduanya karena dengan sendirinya jatuh talaq dengan berlalunya waktu empat bulan tersebut.

Dari uraian tentang  dhihar dapat diketahui bahwa seperti halnya ila' bahwa dhihar tidak secara langsung berkibat cerai melainkan  baru merupakan prolog dari perceraian. Apabila suami setelah mengucapkan dhihar dan sudah berlalu empat bulan, tidak mau kembali kepada isterinya dan mencabut sumpahnya maka dhihar berakibat perceraian.

Loading...

0 Response to "D H I H A R (الظهار)"

Post a Comment