I L A’ (الإيلاء )


Kata Ila’ merupakan masdar dari أَلَى – يُوْلِى – إِيْلاَءً secara bahasa  berarti sumpah. Menurut as-Sayyid Sabiq, pada  masa jahiliyah ila’ artinya bersumpah meninggalkan mengumpuli isteri selamanya, atau menolak mengumpuli isteri dengan bersumpah (أَلاِْمْتِنَاءُ بِالْيَمِيْنِ)                                             
Ila’ merupakan budaya Arab jahiliyah. Dalam tradisi jahiliyah, biasa seorang suami bersumpah  tidak mensetubuhi isterinya setahun, dua tahun, atau lebih lama lagi  dengan tujuan menyengsarakan isterinya. Sang isteri dibiarkan terkatung-katung dengan tidak diceraikan tapi juga tidak dikumpuli. Dapat dikatakan bahwa pada masa jahiliyah, ila’ merupakan salah satu bentuk demontratif kebencian suami kepada isterinya. Setelah Islam datang, tradisi itu diperbaiki dengan cara dibatasi waktunya dengan harapan selama kurun waktu tersebut baik suami maupun isteri dapat menginsyafi kesalahan dan kekurangan dirinya masing-masing.
Mengingat ila’  ini di Indonesia tidak membudaya, dalam kesempatan ini hanya akan dijelaskan secara singkat

1. Pengertian Ila’

Dalam hukum Islam, Ila’ ialah: “Sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya  yang tertuju kepada isterinya untuk tidak mendekati isterinya itu, baik secara mutlak atau dibatasi dengan ucapan selama-lamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih”.
Beberapa contoh ucapan ila’ yaitu ucapan suami kepada isterinya sebagai berikut:
-  “Demi Allah saya tidak akan mengumpuli isteriku”
-  “Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuri isteriku selama lima tahun”
-  “Demi Allah saya tidak akan mendekati isteriku selamanya”.
2. Dasar Hukum Ila’
Apabila suami yang meng-ila’ isterinya, penyelesaiannya dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 227:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(226)وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (البقرة: 227)
Meng-Ila’ isteri artinya bersumpah tidak akan mencampuri isteri. Dengan sumpah ini isteri menderita, karena tidak dicampuri tapi juga tidak dicerai. Dengan turunnya ayat ini maka suami setelah empat bulan harus memilih antara kembali mencampuri isteri dengan membayar kafarah lebih dahulu atau menceraikannya.

3. Lama Waktu Ila’ 
Dilihat  dari waktu yang digunakan suami dalam meng-ila’ isterinya, mungkin kurang dari empat bulan, empat bulan, atau lebih dari empat bulan. arena empat bulan itu adalah batasan maksimal.
Apabila ila’ kurang dari empat bulan, hendaknya ditunggu sampai berakhirnya  waktu yang diucapkan suami, isteri harus bersabar menunggunya. Jika sumpah ila’ itu lebih dari empat bulan, maka isteri berhak menuntut kepada suami setelah berakhirnya waktu empat bulan terhitung sejak mengucapkan ila’, antara mengumpulinya lagi dengan baik atau mentalaqnya. Apabila suami menolak, menurut Imam Malik, hakim menceraikannya, akan tetapi hakim dapat menahan suami dalam penjara sehingga ia mau menceraikannya sendiri. Menurut Hanafiyah, jika telah berlalu empat bulan dan suami tetap tidak mau mengumpulinya, maka telah jatuh talak ba’in dengan berlalunya waktu tersebut.

5. Kaffarah Ila’
Apabila suami setelah meng-ila' isterinya menyesali perbutannya dan ingin menggauli  kembali isterinya, kepada suami terlebih dahulu  diharuskan membayar kaffarah sumpahnya.  Kaffarah sumpah ila’ itu  diatur dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 89.
Dari ayat 89 surat al-Maidah di atas dapat diketahui bahwa kaffarah ila' itu ialah:
a.    Menjamu/menjamin makan 10 orang miskin, atau
b.  Memberi pakaian kepada 10 orang miskin, atau
a.    Memerdekakan seorang budak
Kalau tidak melakukan salah satu dari tiga hal di atas maka kaffarahnya ialah berpuasa selama tiga hari berturut-turut.

6. Talaq karena Ila’
Ulama berbeda pendapat mengenai talaq karena ila’ apakah talaq raj’i atau talaq ba’in. Menurut Abu Hanifah termasuk talaq ba’in, karena suami telah menyengsarakan dan memudaratkan isteri. Kalau dipandang sebagai talaq raj’i yang berarti suami dapat meruju isteri yang telah di-ila’nya, maka kemaslahatan isteri tidak terjamin dan kemudlaratannya tidak dapat dihilangkan.
Menurut imam Malik, imam asy-Syafi’i, Sa’id bin Musayyab, bahwa  Talaq karena ila’ merupakan talaq raj’i. Hal ini karena tidak ada dalil yang menerangkan sebagai talaq ba’in. Di samping itu karena talaq kepada isteri yang telah dikumpuli dan tanpa ada ganti rugi (khulu’).

7. Iddah Wanita yang di-Ila’
Jumhur ulama berpendapat bahwa isteri yang di-ila’ beriddah seperti halnya wanita yang ditalak. Sedangkan menurut Jabir bin Zaid, ia tidak wajib beriddah jika dalam masa empat bulan (pada waktu di-ila’)  telah mengalami haid tiga kali. Ibnu  Rusyd sependapat dengan Jabir. Ibnu Abbas dan sebagian  sahabat juga berpendapat seperti ini, alasannya bahwa iddah itu untuk membersihkan kandungan, ketika isteri yang di-ila’ sudah haid, maka bersihnya kandungan sudah dapat diketahui.
Dari uraian ila' di atas dapat diketahui bahwa ila' itu tidak secara otomatis berakibat putusnya perkawinan, tetapi baru merupakan prolog dari perceraian. Oleh karena itu apabila suami mau kembali kepada isterinya, ila' tidak merupakan perceraian, akan tetapi kalau suami tidak mau kembali  kepada isterinya, maka perbuatan ila' itu menjadi perceraian.

Loading...

0 Response to "I L A’ (الإيلاء )"

Post a Comment