Dasar hukum perkawinan
Allah menciptakan segala sesuatu secara berpasangan, ada jantan dan ada betina, ada laki-laki dan ada perempuan, ada panas dan ada dingin, ada malam dan ada siang. Pada makhluk hidup, selain diciptakan secara berpasangan juga diberikan instink tertarik kepada lawan jenisnya. Kondisi demikian sebagai sarana untuk mempertahankan eksistensi makhluk tersebut.
ومن كلّ شيئ خلقنا زوجين لعلّكم تذكّرون (الذاريات: 49 )
"Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah".
سبحن الذى خلق الازواج كلّها ممّا تنبت الارض ومن انفسهم وممّا لايعلمون (يس: 36 )
"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui".
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui perkawinan dengan melalui prosedur dan aturan. Apabila manusia dalam menyalurkan instink seksnya seperti makhluk lainnya yang bebas mengikuti naluri dalam berhubungan antara jantan dan betina maka akan terjadi anarkis. Oleh karena itu sesuai dengan martabat kemuliaan manusia maka bagi manusia dalam penyaluran instink seksnya diatur melalui aturan perkawinan.
Allah mensyari'atkan perkawinan bagi umatnya. Dalil-dalil yang menunjukan kepada pensyari'atan perkawinan dan hukumnya adalah sebagai berikut:
- فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع فان خفتم الا تعدلوا فوحدة او ما ملكت ايمانكم (النساء : 3)
- وانكحوا الايامى منكم والصالحين من عبادكم وامائكم ...( ألنور : 32 )
- يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء (رواه البخارى ومسلم)
- ... فقال ما بال أقوام قالوا كذا وكذا لكني أصلي وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني (رواه مسلم)
Dari ayat dan hadis di atas dapat diketahui bahwa perkawinan itu disyari'atkan oleh Islam. Hal ini sejalan dengan tujuan diciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk memakmurkan dunia. Kemakmuran dunia tergantung kepada adanya manusia. Perkawinan merupakan media untuk keberlangsungan hidup manusia karena dengan perkawinan terjadilah keturunan yang berkembang biak dengan teratur.
2. Hukum melakukan perkawinan
Walaupun perkawinan itu disyari'atkan akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai hukum melakukan perkawinan. Ada tiga pendapat mengenai hukum melakukan perkawinan, yaitu:
a. Menurut Daud ad-Dahiry, Ibn Hazm, dan Imam Ahmad dalam satu riwayat berpendapat bahwa melakukan perkawinan hukumnya wajib. Mereka ini beralasan bahwa perintah kawin dalam surat an-Nisa' ayat 3 dan perintah mengawinkan dalam surat an-Nur ayat 32, semuanya menunjukkan kepada perintah wajib atas dasar qaidah bahwa setiap sigat amar itu menunjukkan "wajib" secara mutlak. Hukum wajib dimaksud adalah satu kali kawin untuk seumur hidup. Menurut Ibn Hazm perintah wajib tersebut ditujukan kepada orang yang tidak inin (impotent).
b. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa melakukan perkawinan hukumnya sunah, karena dalam surat an-Nisa' ayat 3 disebutkan: ... فإن خفتم الاّ تعدلوا فواحدة او ماملكت ايمانكم
Menurut ayat ini jalan halal mendekati wanita ada dua cara, yaitu menikah dan dengan tasarri, yakni memiliki jariyah (budak perempuan). Tasarri hukumnya tidak wajib, demikian menurut ijma. Ayat 3 surat an-Nisa membolehkan takhyir antara menikah dan tasarri. Menurut Usul Fiqh, tidak ada pilihan antara wajib dan tidak wajib, karena yang dikatakan wajib itu adalah suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan. Atas dasar demikian, menurut kelompok ini perintah menikah atau perintah menikahkan dalam ayat dan hadis di atas hanyalah menujukkan kepada sunnat.
c. Imam asy-Syafi'i berpendapat bahwa hukum menikah itu mubah, alasannya karena dalam surat an-Nisa' ayat 3 Allah menyerahkan untuk memperoleh wanita dengan cara menikah atau dengan cara tasarri. Hal itu menujukkan bahwa antara keduanya sama derajatnya. Menurut ijma tasarri hukumnya mubah. Dengan demikian menikah juga hukumnya mubah (tidak sunnat) karena tidak ada pilihan antara sunnat dan mubah.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hukum menikah itu diperselisihkan, ada yang mengatakan wajib, sunnat, dan mubah. Perbedaan pendapat dalam masalah ini menimbulkan adanya perselisihan mengenai manakah yang afdal, berkhalwat untuk beribadah sunnat dengan tidak menikah ataukah meninggalkan ibadah sunnat untuk menempuh kehidupan baru dengan jalan menikah.
3. Hukum melakukan perkawinan dilihat dari kondisi pelakunya
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tersebut di atas, hukum melakukan perkawinan juga bisa dilihat dari kondisi orang yang akan melakukan perkawinan dan tujuan melakukannya. Oleh karena itu bagi orang perorang melakukan perkawinan bisa dikategorikan wajib, sunnat, haram, makruh atau mubah.
a. Wajib, yaitu bagi orang yang sudah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin apabila tidak kawin ia akan tergelincir ke dalam perbuatan yang dilarang yaitu zina. Hal ini didasarkan kepada suatu pemikiran bahwa bagi setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Apabila penjagaan diri itu dengan cara kawin, maka hukum perkawinan itu wajib, sesuai dengan qaidah:
مالا يتم الواجب الا به فهو واجب
“Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya maka sesuatu itu hukumnya wajib.”
b. Sunnat, yaitu bagi orang yang sudah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin, tetapi apabila tidak kawin tidak khawatir akan berbuat zina. Penetapan hokum sunnat ini adalah adanya anjuran al-Qur’an dan al-hadis yang disebutkan di atas yang menerangkan sikap agama Islam terhadap perkawinan. Baik ayat al-Qur’an maupun al-hadis bersifat perintah, tetapi berdasarkan qarinah-qarinah yang ada, perintah tadi tidak memfaedahkan hokum wajib, tetapi sunnat saja.
c. Haram, yaitu bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila kawin akan terlantar dirinya dan isteri serta keluarganya, maka hokum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. Surat al-Baqarah ayat 195 melarang orang mekakukan hal-hal yang mendatangkan kerusakan.
ولا تلقوا بأيدكم إلى التهلكة ...
d. Makruh, yaitu bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk kawin tapi juga mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak jatuh ke dalam perbuatan zina, sekiranya tidak kawin.Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewjiban suami isteri.
e. Mubah, yaitu bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk kawin tapi juga mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak jatuh ke dalam perbuatan zina, sekiranya tidak kawin.Apabila kawin ia tidak akan menelantarkan isteri. Perkawinan orang ini hanya untuk kesenangan bukan atas dasar agama dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah juga bisa diterapkan kepada orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin sama.
Loading...
0 Response to "DASAR HUKUM MELAKUKAN PERKAWINAN"
Post a Comment