1. Pengertian secara etimologi/bahasa
Istilah/kata perkawinan dalam fiqh dikenal dengan istilah nikah نكاح)) dan zawaj (زواج). Kedua kata ini, nakaha dan zawaja yang menjadi istilah pokok dalam al-Qur'an untuk menunjuk pengertian perkawinan (pernikahan). Sebenarnya kata nikah itu sendiri sudah menjadi bahasa Indonesia.
Secara etimologi kata نكاح berarti الجمع = berkumpul, berhimpun. Adapun kata زواج berarti pasangan. Dengan demikian, dari sisi bahasa, perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra. Kata زواج dalam berbagai bentuknya terulang tidak kurang dari 80 kali dalam al-Qur'an. Sementara kata نكاح dalam berbagai bentuknya ditemukan 23 kali. Dengan demikian dari kedua istilah yang digunakan untuk menunjukkan perkawinan (pernikahan) dapat dikatakan, bahwa dengan pernikahan menjadikan seseorang mempunyai pasangan. (Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, hlm. 17).
Dalam pada itu ada pula pendapat bahwa secara bahasa, kata نكاح , selain berarti al-jam'u, juga bisa berarti الضَّمُّ berarti menghimpit, dan الدُّخُول berarti memasuki atau دخول الشيئ فى الشيئ masuknya sesuatu kepada sesuatu. Orang Arab menyebut kata nikah dengan maksud الوطء (hubungan seksual). Akad perkawinan disebut nikah karena dengan adanya akad tersebut terjadi hubungan seksual (As-San'aniy, Subul as-Salam, III: 109). Perlu dikemukakan juga bahwa kata nikah menurut para ulama mempunyai dua arti, arti hakiki dan arti majazi, yaitu wat'un atau akad. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah makna hakiki dari kata nikah, wat'un atau akad. Menurut ulama Hanafiyah, nikah arti hakikinya ialah wat’un (setubuh) sedangkan art majazinya akad. Menurut ulama Syafi’iyah, nikah arti hakikinya akad sedangkan arti majazinya ialah wat’un. Menurut Abul Qasim az-Zajjad, Ibn Hazm, bahwa dalam kata nikah bersyarikat antara makna akad dan setubuh.
2 Pengertian secara istilah
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan perkawinan (pernikahan) secara istilah. Ulama klasik lebih berorientasi kepada kehalalan hubungan seksual. Sebagai contoh, ulama Hanafiyah mendefinisikan nikah dengan:
عقد وُضع لتملّك المـتـعة بالانثى قصدا
"Akad yang memfaedahkan hak memiliki bersedap-sedap terhadap seorang wanita dengan sengaja".
Dimaksud dengan hak memiliki bersedap-sedap ialah tertentunya suami memanfaatkan seks isteri beserta bagian badannya sebagai alat bersenang-senang. Dimaksudkan dengan memiliki ialah kehalalan bersenang-senang, bukan memiliki sebagai milik kebendaan (al-Hushary, an-Nikah wa al-Qadaya al-Muta'aliqatu bih, hlm. 8).
Al-Jaziri dalam kitabnya Kitab al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, IV: 2, mendefinisikan nikah/perkawinan dengan:
عقد وضعه الشارع ليرتب عليه انتفاع الزوج ببضع الزوجة وسائر بدنها من حيث التلذذ
"Suatu akad yang ditetapkan syara' agar dengan akad itu menjadi (berakibat) suami berhak mengambil manfaat kemaluan isterinya dan seluruh badannya untuk bersenang-senang"
Definisi di atas kesemuanya menitik beratkan kepada badan isteri sebagai obyek akad dan hanya meninjau dari hak dan kepentingan suami terhadap isterinya, tidak mengemukakan akibat akad itu yang berupa hak dan kewajiban yang timbal balik antara keduanya serta tujuan perkawinan.
Bandingkan dengan definisi di bawah ini :
Dr. Mustafa as-Siba'iy dalam karyanya al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, hlm. 32-33 merumuskan pernikahan dengan:
عقد بين رجل وامرأة احلّ له شرعا غايته انشاء رابطة للحياة المشتركة والنسل
"Suatu akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dihalakan menurut syara' yang bertujuan menumbuhkan ikatan untuk hidup bersama dan berketurunan".
Dalam definisi ini ditegaskan bahwa akad nikah itu adalah akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (dalam definisi yang dikemukkan fuqaha sebelumnya tidak tegas siapa yang mengadakan akad). Sekalipun tidak dijelaskan mengenai akibat dari akad perkawinan yang berupa hak dan kewaiban, tetapi dalam defini ini sudah tujuan dari adanya akad yaitu hidup bersama dan berketurunan.
Menurut Muhammad Abu Ishrah pernikahan yaitu:
عقد يفيد حلّ العشرة بين الرجل والمرأة وتعاونهما ويُـحَدُّ مالكليهما من حقوق وما عليه من واجبات
"Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan mengadakan tolong menolong dan membatasi (menentukan) hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masingnya".
Dalam definisi ini dijelaskan bahwa perkawinan itu selain mengakibatkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan yang dilandasi prinsip tolong menolong juga mengakibatkan adanya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
Dari beberapa rumusan di atas sekalipun secara redaksional berbeda, tetapi ada yang disepakati, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu akad atau perikatan.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, rumusan perkawinan dimuat dalam Pasal 1, bahwa perkawinan dirumuskan dengan "ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Dari rumusan perkawinan di atas dapat digaris bawahi bahwa perkawinan itu sebuah perikatan, tetapi tidak sekedar perikatan melainkan ikatan lahir dan batin dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera, tentram.
Dalam KHI rumusan perkawinan dimuat dalam Pasal 2, pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Kata misaqan galidan ini ditarik dari firman Allah yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 21.
Kalau dibaca rumusan perkawinan dalam KHI, kelihatan rumusan ini tidak menjelaskan pengertian perkawinan secara jelas, sekalipun di situ disebutkan sebagai sebuah akad, akan tetapi tidak disebutkan akad tersebut anatara siapa dengan siapa. Demikian juga tidak disebutkan akad apa atau untuk apa. Mengenai kKata misaqan galidan dalam rumusan tersebut, adalah ditarik dari firman Allah yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 21.
Loading...
0 Response to "PENGERTIAN PERKAWINAN"
Post a Comment