UNSUR DAN SYARAT PERKAWINAN



Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hokum, terutama menyangkut sah tidaknya suatu perbuatan tersebut dari segi hokum. Rukun dan syarat merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu perkawinan, rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Rukun adalah sesuatu yang berada di dalam hakekat dan merupakan bagian atau unsure yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsure yang menjadi rukun. Ada pula syarat yang berdiri sendiri, dalam arti tidak merupakan criteria dari unsure-unsur rukun. Sebagai contoh, di antara rukun perkawinan ialah calon mempelai pria, ia disyaratkan antara lain harus laki-laki dan tidak ada penghalang perkawinan dengan wanita yang akan dinikahinya. Contoh syarat yang berdiri sendiri ialah seperti kehadiran saksi dalam akad perkawinan, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Hanafiyah.
Tidak semua ulama menyebut dan menjelaskan apa saja rukun dan syarat perkawinan. Bagi yang menyebutkan, mereka berbeda pendapat mengenai apa saja yang termasuk rukun dan apa yang termasuk syarat perkawinan tersebut. Ibnu Qudamah, salah seorang ulama Hanbaliah tidak menyebut secara tegas dan urai, rukun dan syarat perkawinan. Beliau membahas statemen-statemen yang mengarah kepada unsure dan syarat perkawinan. Sebagai contoh disebutkan bahwa perkawinan sah kalau ada wali dan saksi. Di bagian lain beliau menyebut bahwa salah satu syarat perkawinan ialah calon mempelainya harus tertentu. Disebutkan pula tentang syarat-syarat akad.
Ulama Hanfiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Oleh arena itu yang menjadi rukun perkawinan menurut ulama Hanafiyah hanyalah akad nikah/ijab qabul yang dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dimasukkan sebagai syarat perkawinan.
Menurut ulama Syafi’iyah, perkawinan adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsure dan syaratnya, bukan  hanya akad nikah  saja. Dengan demikian rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan. Namun demikian, dikalangan ulama Syafi’iyah sendiri terdapat perbedaan apa saja rukun perkawinan tersebut. Menurut an-Nawawi, salah seorang ulama Syafi’iyah, rukun perkawinan ada 4 yaitu: (1) akad (sigat ijab dan qabul), (2), calon mempelai (laki-laki dan perempuan), (3) saksi, (4) dua orang yang melakukan akad (wali dan calon suami). Menurut Zainuddin al-Malibari, seorang ulama Syafi’iyah, rukun perkawinan ada 5, yaitu (1)   isteri; (2) suami; (3) wali; (4) dua orang saksi, (5) akad (sigat).
Dari ulama Malikiah yang mengatakan secara tegas adanya rukun perkawinan, antara lain al-Girnati al-Maliki. Ia menyebutkan bahwa unsure perkainan ada 5, yaitu (1) suami; (2) isteri; (3) wali; (4) mahar, (5) sigat.
Unsur pokok suatu perkawinan ialah: akad nikah, laki-laki dan perempuan yang akan nikah, wali yang melangsungkan akad dengan calon suami, dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah. Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut masing-masing rukun perkawinan dan syarat-syaratnya dengan memperhatikan perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

1.    Akad  Nikah atau Ijab Qabul
Semua ulama sepakat bahwa akad nikah atau ijab qabul adalah rukun perkawinan. Menurut jumhur, ijab ialah  rumusan kata pernyataan menikahkan yang diucapkan oleh wali calon isteri atau wakilnya. Sedangkan qabul ialah rumusan kata pernyataan menerima pernikahan oleh calon suami atau wakilnya. Sementara menurut Hanafiyah, ijab ialah sigat pertama dari dua orang yang akan melakukan sigat akad nikah. Sigat pertama itu bisa datang dari pihak calon suami. Adapun qabul adalah jawaban terhadap sigat pertama.  Kalau  misalnya seorang laki-laki mengatakan kepada seorang perempuan: “Saya nikahi kamu” dan si wanita menjawab: “saya terima”, maka sigat yang diucapkan si laki-laki itu adalah ijab dan jawaban yang keluar dari perempuan tersebut adalah qabul.
Untuk sahnya akad nikah atau ijab qabul, disyaratkan
a.    Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu kalimat yang mengandung kata INKAH atau TAZWIJ atau terjemahannya, dalam bahasa Indonesia menikahkan atau mengawinkan.
b.    Ijab qabul harus dalam satu majelis, apabila ijab dilakukan di satu tempat dan qabul dilakukan di tempat lain, atau setelah wali calon isteri mengucapkan ijab kemudian yang mengqabulkannya meninggalkan majelis atau mengerjakan suatu perbuatan yang dapat dipandang  sebagai berpaling dari majelis, maka perkawinannya tidak sah.
c.    Ijab dan qabul diucapkan secara langsung dan beruntun, artinya antara ijab dan qabul tidak ada pembicaraan lain atau diam yang lama.
d.   Qabul tidak boleh bertentangan dengan ijabnya, seperti dalam ijab disebutkan dengan maskawin ……, tetapi qabul menolak mahar tersebut.
e.    Sigat ijab dan qabul tidak digantungkan dengan sesuatu hal, seperti “Kalau anak saya telah lulus sarjana, saya nikahkan …….. atau seperti ucapan qabul “kalau saya sudah diangkat menjadi PNS saya terima nikahnya ……….”.
f.     Ijab dan qabul tidak dibatasi dengan waktu tertentu, seperti satu bulan, satu tahun, dll.
g.    Sigat ijab dan qabul harus didengar dan difahami oleh pihak-pihak yang berakad maupun saksinya.
2.    Laki-laki dan Perempuan yang menikah
Islam hanya mengakui pernikahan anara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti nikah  antara sesama laki-laki atau sesama perempuan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan nikah:
a.       Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan satu dengan lainnya baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengannya.
b.      Keduanya sama-sama beragama Islam, atau yang perempuan ahlul kitab
c.       Antara keduanya tidak terhalang melakukan perkawinan
d.      Keduanya telah setuju untuk melakukan pernikahan
3.    Wali Nikah
Wali  nikah yaitu atau wakilnya pihak mengucapkan ijab dalam akad nikah. Untuk sahnya ijab, wali atau wakilnya disyaratkan:
a.    Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam
b.    Balig/Dewasa
c.    Berakal (tidak gila)
d.   Tidak dicabut hak menguasai harta karena pemboros (mahjur bissafah)
e.    Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
 Para ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan wali dalam pernikahan. Apakah wali itu sesuatu yang diperlukan adanya untuk sahya akad nikah ataukah tidak.   Menurut jumhur ulama, wali adalah salah satu rukun nikah, tidak sah pernikahan yang tidak dilakukan oleh wali. Akad nikah yang dilakukan oleh wanita yang sudah balig, baik ia gadis ataupun janda, maka akad nikahnya tidak sah. Menurut Hanafiyah, akad nikah yang dilakukan oleh wanita yang sudah balig/dewasa dan cerdik (berakal sehat) adalah sah secara mutlak. Yang dimaksud mutlak ialah, apakah wanita itu gadis atau janda, atas ijin walinya atau tidak, baik ia ucapkan langsung atau mewakilkan kepada wanita lain atau kepada laki-laki yang hukan walinya.
Alasan jumhur bahwa wali itu merupakan rukun nikah dan tidak sah pernikahan yang ijabnya tidak dilakukan oleh wali ialah:
a.        Firman Allah surat an-Nur ayat ayat 32:وانكحوا الايمى منكم  
Artinya: “Nikahkanlah orang-orang yang tidak bersuami/tidak beristeri di antara kamu”
b.      Firman Allah surat al-Baqarah ayat ayat 221:ولا تنكحوا المشركين حتىّ يؤمنوا  
Artinya: “Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sehingga mereka beriman”.
Surat an-Nur ayat 32 ditujukan kepada wali, yaitu mereka diminta untuk menikahkan orang-orang yan belum bersuami. Ini menunjukkan bahwa urusan pernikahan adalah urusan wali, kalau tidak demikian halnya tentulah khitab ayat tsb tidak ditujukan kepada wali. Ayat 221 surat al-Baqarah juga ditujukan kepada wali supaya mereka tidak menikahkan wanita muslimah kepada orang musyrik. Seandainya wanita mempunyai hak untuk menikahkan dirinya tanpa wali, maka tidak ada artinya khitab ayat tersebut ditujukan kepada wali dan semestinya ditujukan kepada wanita, tetapi karena akad nikah itu urusan wali, maka larangan menikahkan itu ditujukan kepada wali.
c.       Firman Allah surat al-Baqarah ayat ayat 232:
واذا طلّقتم النسآء فبلغن اجلهنّ فلا تعضلوهن ان ينكحن ازوجهن
Artinya” Apabila kamu mentalak isteri-isteri kamu kemudian selesai iddahnya maka janganlah kamu (wahai para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.”
Kalau wali tidak diperlukan tentulah larangan untuk tidak menghalang-halangi perkawinan dalam ayat di atas tidak ada artinya.
Ketiga ayat di atas mengindikasikan bahwa dalam perkawinan itu ada wali nikah, yaitu pihak yang mengijabkan pernikahan wanita yang berada di bawah perwaliannya.
d.        Hadis Abu Musa al-Asy’ari yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmizi, dan Ibnu Majah, bahwa Rasulullah saw bersabda: لانكاح الاّ بولىّ ٍ
Artinya: “Tidak boleh nikah melainkan dengan wali”
Kata “la” (tidak) dalam hadis di atas adalah tidak sah. Oleh karenanya nikah tanpa wali tidak sah.
e.         Hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad:
ايّما امرأة نكحت بغير إِذن وليّها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فإن دخل بها فلها المهر بما استحلّ  من فرجها فَإِنِ اشْتَجَرُوا فالسلطان ولىُّ من لاولىَّ له.
Artinya: “Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (3x) apabila suami sudah mendukhulnya maka wanita itu berhak mahar karena menganggap halal farj isterinya. Jika mereka bersengketa, maka sultan adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.”  
Perkataan “tanpa izin wali maka nikahnya batal”, tidak ada  mafhum mukhalafahnya yaitu akad nikah dengan izin wali maka nikahnya sah, karena dalam hadis ini sudah diterangkan sebab pernikahan tanpa wali itu  karena adanya perselisihan  antara wali dengan si wanitanya, hal mana dalam kondisi seperti ini  sultan yang menjadi wali.  Dengan demikian hadis ini tidak membenarkan ijab akad nikah yang diucapkan oleh wanita seara mutlak.
f.          Hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Ad-Daruqutniy, dan al- Baihaqy:  
لاتوّج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة تفسها فإن الزّانيةَ هى التى تُزَوِّجُ
Artinya: “Wania tidak boleh menikahkan wanita dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri”
Hadis ini melarang wanita mengucapkan sigat ijab dalam akad  nikah.  Larangan menunjukkan batalnya pekerjaan yang dilarang.
Ketiga hadis di atas saling mengisi dan saling melengkapi yang esensinya tidak sah akad nikah yang sigat ijabnya diucapkan oleh wanita atau oleh laki-laki yang tidak mewakili walinya.
Sementara menurut Hanafiyah bahwa wanita yang sudah dewasa dan sehat akalnya, baik ia janda maupun gadis, dapat melakukan sendiri pernikahannya dan tidak perlu wali yang mengakadkannya.
Alasan yang dijadikan dasar pendapat ini ialah:
a.   Ayat 230 surat al-Baqarah: فإن طلقها فلا تحلّ له من بعد حتى تَنْكِحَ زوجا غيره
b.    Ayat 232 surat al-Baqarah:
واذا طلّقتم النسآء فبلغن اجلهنّ فلا تعضلوهن ان ينكحن ازوجهن
c.   Ayat 234 surat al-Baqarah:فإذا بلغن اجلهنّ فلا جناح عليكم فيما فعلن فى انفسهنّ بالمعروف
Ayat pertama, perkataan  “hatta tankiha zaujan gairahu” menyatakan perempuan itu melakukan pernikahan dengan laki-laki lain. Ayat kedua dengan tegas mengatakan perempuan itu mengawini bekas suaminya. Dan ayat ketiga perempuan itu berbuat atas dirinya (maksudnya nikah). Dalam tiga ayat ini fa’il atau pelaku dari perkawinan adalah wanita itu sendiri tanpa disebutkan adanya wali.
Terhadap hadis di atas yang dikemukakan oleh jumhur untuk menujukkan disyariatkannya wali nikah, ulama Hanafiyah yang tidak mewajibkan adanya wali bagi perempuan dewasa dan sehat pikirannya, menanggapi hadis-hadis tersebut sebagai berikut:
Hadis لانكاح الاّ بولىّ ٍ, mengandung dua arti, pertama tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali, tapi bukan berarti tidak sah. Kedua, bila kata “la” itu diartikan tidak sah, maka arahnya kepada perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya, karena terhadap dua perempuan tersebut ulama Hanafiyah juga mewajibkan adanya wali.
Hadis ايّما امرأة نكحت بغير إِذن وليّها فنكاحها باطل, bahwa perkawinan yang batal itu bila perkawinan tanpa izin wali, bukan yang mengawinkannya hanyalah wali. Hadis yang melarang perempuan mengawinkan dirinya atau mengawinkan prempuan lain adalah bila perempuan itu masih kecil atau akalnya tidak sehat, sedangkan wanita yang sudah dewasa boleh saja mengawinkan dirinya atau  mengawinkan orang lain.
d.   Selain itu ulama Hanafiyah juga menggunakan hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan ole Jama’ah (kecuali al-Bukahri):
الثيّب احقّ بنفسها من وليّها والبكر تستأذن فى نفسها وإذنها صُمَاتُهَا.وفى رواية لابى داودّ والنسائى: لَيْسَ لِلْوَلِىِّ مَعَ الثَّيِبِ اَمْرٌ وَالْيَتِيْمَةُ تُسْتَأْمَرُ
“Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Anak gadis diminta ijinnya mengenai dirinya dan ijinnya adalah diamnya. Pada suatu riwayat Abu Dawud dan an-Nasai: Tidaklah ada urusan wali terhadap janda dan gadis yang tidak mempunyai bapak (yatimah) dimintai perintahnya”.
Hadis ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan wali dalam pernikahannya. Adapun wanita yang masih gadis karena belum biasa bergaul dengan laki-laki dan karena sifat pemalu yang menjadikan ia berat berterus terang untuk menyatakan persetujuannya, apalagi secara langsung melakukan akad, maka agama memandang cukup memberian kelonggaran kepadanya berupa diamnya sebagai tanda persetujuannya. Kelonggaran yang diberikan agama ini bukan berarti agama mencabut haknya untuk melakukan akad secara langsung.
Macam-macam wali nikah
Untuk menetapkan siapa yang behak menjadi wali nikah dalam suatu pernikahan, perlu diketahui tartibul auliya’, tertib/urut-urutan wali. Secara berurutan wali nikah itu ada 4 (empat) macam, yaitu:
1.    Wali nasab, yaitu wali nikah karena ada hubungan nasab dengan calon isteri yang akan nikah.
2.    Wali mu’tiq, yaitu wali nikah karena memerdekakan wanita yang akan menikah. Wali mu’tiq baru berhak menjadi wali nikah kalau wali nasab sudah tidak ada.
3.    Wali hakim, yaitu wali nikah yang dilakukan oleh penguasa terhadap wanita yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada, baik karena tidak punya, karena sudah meninggal, atau karena menolak menjadi wali .
4.              Wali muhakkam, yaitu wali nikah yang dilakukan oleh penguasa terhadap wanita yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada, baik karena tidak punya, karena sudah meninggal, atau karena menolak menjadi wali .Dari empat macam wali nikah di atas, di Indonesia sekarang ini yang ada hanya wali nasab dan wali hakim.
Adapun urut-urutan wali nasab menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a.    Laki-laki yang menurunkan clon isteri dari arah bapak, yaitu: (1) Bapak, (2) Kakek (ayahnya ayah) dst ke atas
b.    Laki-laki keturunan bapak, yaitu: (1) Saudara laki-laki sekandung, (2) Saudara laki-laki seayah, (3) anak laki-laki dari saudara sekandung, (4) anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak  dst ke bawah dengan catatan dalam hal sama derajatnya didahulukan yang sekandung
c.    Laki-laki keturunan kakek, yaitu (1) paman (saudaranya ayah) sekandung, (2) paman (saudaranya ayah) sebapak, (3) anak laki-laki paman sekandung, (4) anak laki-laki paman seayah dst ke bawah dengan catatan dalam hal sama derajatnya didahulukan yang sekandung
Wali nasab yang lebih dekat kepada calon isteri disebut wali aqrab (الولىّ القريب) sedangkan yang lebih jauh dari wali aqrab disebut wali ab’ad (الولىّ الابعد) sebagai contoh calon isteri mempunyai  wai nasab ayah dan saudara laki-laki sekandung, maka ayah disebut wali aqrab dan saudara laki-laki disebut wali ab’ad. Selama ada wali aqrab, maka wali ab’ad tidak berhak menjadi wali. Hak perwalian berpindah dari wali aqrab kepada wali ab’ad apabila:
(1)     wali aqarab tidak beragama Islam, sedangkan calon isteri beragama Islam
(2)     wali aqrab orang fasik
(3)     wa.li aqrab belum balig
(4)     wali aqrab gila
(5)     wali aqrab bisu dan tuli yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidk bisa menulis.
Wali Nasab berpindah kepada wali hakim apabila:
(1)     Tidak ada wali nasab sama sekali
(2)     Wali nasab mafqud
(3)     Walinya sendiri yang akan menikah padahal wali yang sederajat tidak ada
(4)     Walinya sakit pitam/ayan
(5)     Walinya gaib
(6)     Walinya dipenjara dan tidak dapat ditemui
(7)     Walinya dicabut haknya menjadi wali oleh Negara (mahjur ‘alaih)
(8)     Walinya bersembunyi/tawari
(9)     Walinya ta’azzuz (sombng dan bermahal diri)
(10) Walinya ‘adal (membangkang atau menolak menjadi wali).

5.    Saksi
Akad nikah harus disaksikan oleh dua oran saksi supaya ada kepastian hokum dan untuk menghindar timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Namun demikian para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan  kedudukan  saksi dalam akad pernikahan. Menurut ulama Hanafiyah dan Zahiriyah, saksi bukan rukun nikah, melainkan syarat.   Sedangkan menurut jumhur ulama, saksi merupakan rukun perkawinan. Alasan jumhur ialah al-Qur’an dan al-Hadis. Dasar hokum dari al-Qur’an ialah surat at-Talaq ayat 2: 
فإذا بلغن اجلهنّ فامسكوهنّ بمعروف او فارقوهنّ بمعروف واشهدوا ذوى عدل منكم واقيموا الشهادة لله (الطلاق: 2)
Selain dengan ayat al-Qur’an, alasan keharusan adanya saksi dalam perkawinan juga didasarkan kepada hadis:
لانكاح إلاّ بولىّ وشاهدي عدل (رواه احمد)
“Tidak sah akad nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil”
اَلْبَغَايَا الَّلاتِى يَنْكِحْنَ اَنْفُسَهُنَّ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ (رواه الترمذى)
“Perempuan tuna susila ialah yang menikahkan dirinya sendiri tanpa ada saksi”
Syarat-syarat saksi
Untuk sahnya saksi nikah disyaratkan:
a.    Berjumlah minimal dua orang laki-laki, hal ini berdasarkan firman Allah:
واستشهدوا شهيدين من رجالكم  (البقرة: 282)
Menurut Hanafiyah, saksi itu boleh satu orang laki-laki dan dua orang wanita, sedangkan menurut Zahiriyah, boleh empat orang wanita.
b.    Kedua orang saksi itu beragama Islam
c.    Balig
d.   Berakal
e.    Adil
f.     Dapat mendengar (tidak tuli)
g.    Dapat melihat (tidak buta)
h.    Dapat berbicara (tidak bisu)
i.      Memahami maksud ijab dan qabul
j.      Tidak ada permusuhan antara saksi dengan orang yang berakad.
Menurut Malikiyah  menghadirkan saksi dalam majelis akad nikah bukan suatu keharusan, yang diperlukan adalah “pemberitahuan” kepada khalayak ramai dan dilakukan sebelum terjadinya hubungan seksual antara suami isteri. Alasan Malikiah ialah hadis Nabi at-Tirmizi dari Aisyah:
اَعْلِنُوا النِّكاحَ وَاضْرِبُوا عِلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ
“Beritahukanlah (siarkanlah) akad  nikah itu dan untuknya tabuhlah genderang”.
Apabila dalam majelis akad sudah ada mimimal dua orang saksi, maka itu sudah dipandang cukup. Menurut Malikiah bahwa tujuan dari akad nikah ialah halalnya hubungan seksual. Persetubuhan yang dharamkan ialah zina, hubungan seksual yang dilakukan dengan cara rahasia karena takut diketahui orang lain. Hub seksual dengan jalan nikah adalah hubungan seksual yang halal. Oleh karenanya perlu diketahui orang lain dengan  jalan pemberitahuan minimal sebelum terjadinya hub seksual sesudah berlangsung akad  nikah.
            Perbedaan jumhur dengan Malikiah,  jumhur mengharuskan kehadiran saksi ketika berlangsung akad  nikah. Akad nikah batal tanpa kehadiran saksi. Malikiah mensyaratkan adanya pemberitahuan ketika akan berlangsung persetubuhan sesudah akad. Manakala terdapat saksi atau pemberitahuan ketika akad berlangsung, maka hal itu sudah diandnag cukup.
            Semua ulama sepakat bahwa nikah sirri (nikah yang dirahasiakan) adalah dilarang. Bagaimana kalau kepada para saksi yang menghadiri majelis akad diminta untuk merahasiakan pernikahan, apakah termasuk nikah sirri atau bukan?. Menurut Imam Malik termasuk nikah sirri dan nikahnya harus difasakh. Menurut Abu Hanifah, asy-Syafi’I, bukan nikah sirri dan akad nikahnya tidak boleh difasakh.

Loading...

0 Response to "UNSUR DAN SYARAT PERKAWINAN"

Post a Comment