Syekh Muhammad Bin Abdul
Wahab (1115-1206H/1701-1793)
Pendahuluan
Allah telah
menyempurnakan agama Islam dengan menjaga kitab-Nya sampai hari kiamat. Sebagai
bukti penjagaan kitab dan agama ini adalah Allah akan menciptakan ulama pada setiap
masa sesuai kehendak-Nya. Hal ini dalam dalam rangka menjaga agama,menghidupkan
sunnah dan membimbing manusia kepada jalan yang lurus.
Rasulullah
SAW bersabda:
"sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini dalam
setiap abadnya ada kalangan yang memperbaharuai agama-Nya.
Dalam
hadits lain ia juga bersabda:
"Akan senantiasa ada dari ummatku sekelompok orang
yang tampil dalam membela kebenaran. Mereka tidak membahayakan orang-orang yang
menghinakan mereka sampai datang urusan Allah sementara mereka tetap dalam
pendirian mereka".
Sejarah mencatat, di setiap masa yang dilalui ummat
Islam, banyak tokoh-tokoh Islam yang muncul dan hadir memberikan kontribusinya
pada perkembangan Islam di masanya, dengan tetap berpegang teguh pada al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah saw. Salah satunya adalah Muhammad bin Abdul Wahab,
seorang ulama abad ke-18 yang berda’wah mengembalikan Islam kepada citranya
yang asli, yaitu al-Qur'an dan Sunnah. Meskipun Muhammad bin Abdul Wahab telah
wafat sekitar tiga abad yang lalu, namun kisah dan ajarannya masih menjadi
kontroversi hingga kini. Tapi satu hal yang pasti, kontroversi yang menyelimuti
seseorang bukanlah tolak ukur yang ilmiah untuk menyimpulkan keburukan atau
kebaikan seseorang tokoh. Untuk itu, melihat sosok Muhamad bin Abdul Wahab
harus dengan paradigma ilmiah, bukan dengan paradigma kontroversi yang berujung
kepada relativisme.
Latar Belakang
Pada abad 12 H/17 M keadaan umat di jazirah Arab sangat
jauh menyimpang dari ajaran Islam, terutama dalam aspek akidah. Di sana-sini
banyak praktik syirik dan bid’ah. Para ulama sulit mengatasi. Usaha mereka
hanya sebatas di lingkungan saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang
ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang.
Jumlah pelaku syirik dan bi’dah begitu banyak, di samping
pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktik-praktik
tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan
duniawi di belakang itu, sebagaimana masih kita saksikan di tengah-tengah
sebagian umat Islam sekarang ini. Oleh karena itu pada saat itu muncul suatu
gerakan yang disebut Shahwah
al-Islamiyah,
atau gerakan kebangkitan Islam yang kemudian di Indonesia lebih dikenal dengan
istilah pembaharuan dalam Islam, gerakan ini pertamakali muncul di dunia Islam
tepatnya di Timur Tengah, ditandai dengan kemunculan figur-figur pemikir muslim
seperti Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb (1703-1778), Jamal al-Dîn al-Afghani
(1839-1897),Muhammad ‘Abduh (1845-1905), dan Rasyîd Rîdha (1856-1935). Keempat
pemikir muslim terkemuka itu secara umum memiliki kesamaan pandangan bahwa
kelemahan umat Islam di berbagai sektor kehidupan itu adalah akibat ke-jumud-an
umat Islam sendiri karena jauh dari petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Karena
itu untuk meraih kembali kejayaan Islam itu, terutama di bidang politik dan
pemikiran Islam, tidak ada cara lain kecuali menjadikan sumber-sumber ajaran
Islam itu sendiri sebagai petunjuk gerak kehidupan. Arah pemikiran seperti itu
sesungguhnya memiliki hubungan erat dengan pandangan pemikir muslim yang hidup
pada kurun waktu sebelumnya, seperti Ibn Taymiyah (1262-1318) bersama muridnya,
Ibn Qayyim al-Jawziyah (1292-1350), yang telah merintis akar pemikiran corak
pembaharuan Islam, yakni dengan gagasan utamanya menempatkan al-Qur’an dan
al-Sunnah sebagai petunjuk kehidupan umat Islam. Hal ini tercermin misalnya
dalam pemikiran teologis Ibn Taymiyah terutama dalam buku ‘Aqidah
al-Wasithiyah, maupun pemikiran keagamaan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah dalam
bukunya Jad al-Ma’âd.
Pada saat itu di Nejd lahir sang pengibar bendera tauhid,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis
biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di masa itu pengaruh keagamaan
melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk
maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Ilmu agama mulai minim di
kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktik-praktik syirik terjadi di
sana-sini, seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan
pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung,
dan peramal.
Di Nejd terdapat kampung bernama Jubailiyah. Di situ
terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang
syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab. Manusia
berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah dan meminta berbagai hajat.
Begitu pula di kampung ‘Uyainah, terdapat sebuah pohon yang diagungkan. Banyak
orang mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum mendapatkan
pasangan hidup.
Biografi Muhammad bin Abdul
Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal dengan nama keluarga ‘Musyarraf’ (alu Musyarraf). Alu Musyarraf merupakan cabang dari kabilah Tamin. Sedangkan Musyarraf adalah kakeknya yang ke-9 menurut riwayat yang rajah. Dengan demikian nasabnya adalah Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhamad bin Buraid bin Musyaraf. Dia dilahirkan di daerah Uyainah pada tahun 1115 H, terletak di wilayah Yamamah yang masih bagian dari Nejd. Uyainah berada di arah barat laut dari kota Riyadh yang berjarak sekitar 70 KM. Ia wafat pada 29 Syawal 1206 H (1793) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri dalam da'wah dan jihad, termasuk memangku jabatan sebagai menteri penerangan kerajaan Arab Saudi.
Dia tumbuh di lingkungan keluarga yang cinta ilmu.
Ayahnya adalah seorang ulama besar negara yang memegang jabatan peradilan di
beberapa daerah. Kakeknya, Syaikh Sulaiman bin Ali adalah seorang ulama
terkemuka dan juga imam dalam ilmu fiqh. Jabatan lain yang juga diemban Syaikh
Sulaiman adalah sebagai mufti Negara. Di bawah bimbingannya, lahir sejumlah
ulama dan para murid yang tersebut di seluruh semenanjung Arab. Maka, wajar
jika kemudian lahir seorang keturunan yang faqih dan alim pula. Muhammad bin
Abdul Wahab hafal al-Qur'an sebelum usianya mencapai sepuluh tahun, ia belajar
fiqh dan hadits dengan ayahnya sendiri, dan belajar tafsir dari guru-guru dari
berbagai negeri, terutama di Madinah al-Munawwarah serta memahami Tauhid dari
al-Qur'an dan Sunnah.
Ibnu Khadamah, seorang ulama Timur Tengah mengatakan,
"Muhammad bin Abdul Wahab telah menerapkan semangat menuntut ilmu sejak
usia dini. Dia memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan dengan anak-anak
sebayanya. Dia tidak suka bermain-main dan perbuatan yang sia-sia. Karena
kecintaannya pada ilmu sangat tinggi, dan melihat kondisi masyarakatnya yang
kacau balau itulah yang membuat Muhammad bin Abdul Wahab melanglang buana untuk
bisa menimba ilmu dari para ulama. Ia pernah mengatakan di dalam kitab
al-Rasâil al-Syakhsiyyah, yang kemudian dinukil oleh Ibrahim bin Usman bin
Muhammad Al-Farisi di dalam kitab Asyhar Aimmah Da'wah Khilal al-Qarnayn, “Diketahui
bahwasannya penduduk negriku dan negeri Hijaj yang mengingkari hari kebangkitan
itu lebih banyak jumlahnya dari pada yang meyakininya, yang mengenal agama
lebih sedikit jumlahnya dari pada yang tidak mengenalnya, yang menyia-nyiakan
shalat itu lebih banyak jumlahnya dari pada yang menjaganya dan yang enggan
mengeluarkan zakat itu lebih banyak jumlahnya dari pada yang mengeluarkannya”.
Dikatakan juga bahwa dalam diri Muhammad bin Abdul Wahab terlihat adanya
perpaduan antara karakter ayah dan pamannya. Ia mempunyai ingatan yang cukup
baik dan kecintaan yang luar biasa dalam mencari ilmu, sehingga tidak jarang ia
mendebat ayah dan pamannya dalam berbagai masalah. Ia juga sering mendiskusikan
kitab al-Syarh al-Kabîr dan kitab al-Mugni wa al-Inshaf.
Ketika berada di Madinah, ia melihat banyak ummat Islam
di sana yang tidak menjalankan syari'at dan berbuat syirik, seperti perbuatan
mengunjungi makam seorang tokoh agama kemudian memohon sesuatu kepada kuburan
dan penghuninya. Hal ini menurut dia sangat bertentangan dengan ajaran Islam
yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah. Hal inilah
yang mendorong Syekh Muhammad bin Abdul Wahab untuk memperdalam ilmu ketauhidan
yang murni (‘aqîdah sahîhah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri akan
berjuang untuk mengembalikan akidah umat Islam di sana sesuai keyakinannya,
yaitu kepada akidah Islam yang murni (Tauhid), jauh dari sifat khurâfat,
takhayûl, atau bid'ah. Untuk itu, ia pun mulai mempelajari berbagai buku yang ditulis
para ulama terdahulu. Lama setelah menetap di Madinah ia pindah ke Basrah. Di
sana ia bermukim lebih lama sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehnya,
terutama di bidang hadits dan Musthalah-nya, fiqh dan ushl fiqh-nya, serta ilmu
gramatika (ilmu qawâ’id).
Kondisi Nejd di Jaman Pemerintahan Dinasti Turki
Nejd adalah suatu daerah yang sangat terpencil di
pedalaman Arab Saudi, daerah yang tandus dan tidak banyak diperhatikan orang
sebelum timbulnya gerakan pembaharuan yang dilancarkan oleh Muhammad bin Abdul
Wahab. Walaupun daerah ini secara resmi merupakan wilayah kekuasaan Turki pada
saat itu, namun pemerintah Turki kurang memperhatikan daerah itu, dan tidak
mempunyai wakil pemerintahan yang efektif di daerah yang dianggap tidak penting
ini. Sehingga kabilah-kabilah Arab yang mendiami daerah ini tetap sebagai
kelompok-kelompok yang bebas di bawah bimbingan kepala-kepala suku
(‘amir-‘amir). Beberapa sejarawan seperti Ibnu Ghudamah, Ibnu Basyar dan
lainnya menggambarkan keadaan penduduk negeri Nejd ketika itu banyak dikuasai
oleh praktik-praktik bid'ah, khurâfat, kesyirikan dan keterbelakangan dalam
memahami agama-agama yang benar. Pandangan
masyarakat Nejd terhadap seseorang bergantung pada nasab yang ia miliki. Pada
masa itu masyarakat Nejd terbagi menjadi dua kelompok atau dua golongan,
Hadhari dan Badawi (Badui). Orang Badui konsisten dengan kehidupan padang
pasirnya. Mereka merasa bahwa orang-orang Hadhari lebih rendah di hadapan
mereka.
Di awal abad ke-12 H, kawasan Nejd dikuasai oleh kabilah-kabilah.
Setiap daerah memiliki ‘amir. Masing-masing daerah/kabilah memiliki kemerdekaan
penuh mengatur rumah tangganya sendiri sehingga lebih menyerupai
kerajaan-kerajaan kecil. Daerah Uyainah dipimpin oleh Alu Ma'mar, Riyayyah
dipimpin oleh Alu Sa'ud, Riyadh oleh Alu Duwas, Hail oleh Alu Ali, Qushaim oleh
Alu Hujailan, dan bagian utara Nejd oleh Alu Syubaib.
Lahirnya Da’wah Muhammad bin
Abdul Wahab
Dalam kondisi yang sangat sulit, situasi yang buruk, serta keadaan yang gelap gulita, terbitlah cahaya kebenaran yang menyinari segenap ufuk cakrawala, yaitu ketika Muhammad bin Abdul Wahab berusaha bangkit dengan membawa da'wah tauhid dan sunnah Nabi. Peristiwa monumental tersebut terjadi pada pertengahan abad ke-20 Hijriyah, ketika ayah ia masih hidup. Demi memikirkan masa depan agama dan ummat, sang ayah ikut merasa prihatin. Namun, ia menyuruh putranya agar tetap tegar. Ketika sang ayah meninggal dunia pada tahun 1153 H, Muhammad Bin Abdul Wahab mulai berani terang-terangan menyingkap kebenaran, memantapkan tauhid, mengibarkan sunnah Nabi saw, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Ia mengingkari berbagai macam bid'ah atau sesuatu yang diada-adakan dalam urusan akidah, ibadah dan istiada. Ia juga menyebarluaskan ilmu, menegakkan hukum, menyingkap kejelekan keadaan orang-orang yang jahil, serta menentang orang-orang yang suka berbuat bid'ah dan menuruti keinginan-keinginan hawa nafsu. Pada waktu itulah ia menjadi terkenal dan ikut bergabung bersamanya orang-orang yang ikhlas, shalih, dan bersemangat dalam memperbaiki agama ini. Ada beberapa orang yang kemudian ikut bergabung bersamanya, terlebih ketika ia melakukan penebangan terhadap pohon-pohon yang dikeramatkan oleh banyak orang Uyainah. Selanjutnya, ia merobohkan bangunan-bangunan yang berdiri di atas kuburan dan menghukum rajam terhadap wanita yang mengaku kepadanya telah berzina setelah syarat-syaratnya terpenuhi. Keberanian itu membuatnya semakin terkenal sehingga membuat banyak orang yang kemudian bergabung membelanya secara terang-terangan. Sedangkan orang-orang yang ragu menjadi takut dan juga segan kepadanya.
Dasar-Dasar Da’wah Muhammad
bin Abdul Wahab
Seruan da'wah Muhammad bin Abdul Wahab adalah berdasarkan
pada manhâj Islam yang benar sesuai kaedah-kaedah serta prinsip-prinsip agama.
Yang paling menonjol ialah upaya untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah
semata dan kesetiaan untuk selalu mentaati Allah serta Rasulullah SAW. Ia
sangat antusias dalam melakukan hal-hal sebagai berikut :
·
Menanamkan
Tauhid secara mendalam dan membasmi syirik serta berbagai macam bid'ah.
·
Menegakkan
kewajiban-kewajiban agama dan syi'ar-syi'arnya, seperti shalat, jihad dan amar
ma'ruf nahi mungkar.
·
Mewujudkan
keadilan di bidang hukum dan lainnya.
·
Mendirikan
masyarakat Islam yang berdasarkan tauhid, sunah, persatuan, kemuliaan,
perdamaian dan keadilan.
Semua ini berhasil terwujud di negara-negara yang terjangkau atau yang telah terpengaruh oleh da'wah dan seruannya. Gambaran tersebut nampak jelas di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Arab Saudi sebagai pengibar bendera gerakan reformasi pada tiga abad periode. Setiap negara yang terjangkau oleh gerakan ini akan kental dengan warna tauhid, iman, sunnah Nabi, perdamaian dan kesejahteraan. Hal ini demi mewujudkan apa yang telah dijanjikan oleh Allah di dalam firmanNya yang artinya,
"Sesungguhnya Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kuat lagi maha perkasa, yaitu orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan" (QS. Al-Hajj:40-41).
Keistimewaan Da’wah Muhammad
bin Abdul Wahab
Da’wah
yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab mempunyai banyak kesitimewaan,
diantaranya adalah :
1. Perilaku yang Jernih
Sesungguhnya perilaku Muhammad bin Abdul
Wahab telah tercermin di dalam pribadi, ilmu, sikap agama, akhlak, dan pergaulannya
terhadap orang-orang yang mendukung maupun yang menentangnya.
2. Sumber Yang Bersih
Sumber ilmu, adab, dan akhlak yang
diterima oleh Muhammad bin Abdul Wahab adalah sumber-sumber yang syar'i,
fitrâh, kuat, dan murni. Hal ini merupakan cerminan dari al-Qur'an, sunnah
Nabi, dan jejak peninggalan para salaf al-shâlih yang lepas dari falsafah dan
tasawuf, kesenangan nafsu, dan kerancuan-kerancuan dalam lingkungan keluarga.
3. Manhâj Yang Baik
Dalam menjabarkan ketetapan agama kepada
para pengikut dan orang-orang menentangnya adalah manhaj Syar'i yang salaf,
murni, bersih dari kotoran-kotoran, asli, kokoh, terang, realistis, yang
berpedoman pada al-Qur'an dan sunnah, serta patut untuk mendirikan sebuah
masyarakat Islami.
4. Berorientasi pada Manhâj Salaf al-Shâlih
Da'wah Islam Muhammad bin Abdul Wahab
dalam segala sesuatu menggunakan manhâj salaf al-shâlih. Itulah yang membuat
manhâj-nya memiliki ciri khas tersendiri, yakni murni, realiatis, mantap dan
meyakinkan. Hasilnya ia sanggup menegakkan syi'ar dan dasar-dasar agama sangat
sempurna, yang meliputi masalah tauhid, shalat, jihad, amar ma'ruf nahi
mungkar, penegak hukum, keadilan, keamanan, tampilnya keutamaan-keutamaan dan
tersembunyinya kerendahan-kerendahan. Agama dan ilmu menjadi sangat marak di
setiap negara yang terjangkau oleh seruan da'wahnya yang ada di Kerajaan Arab
Saudi.
5. Penuh Semangat dan Berwawasan Luas
Hal lain yang membuat manhâj Muhammad
bin Abdul Wahab menjadi istimewa ialah semangat dan keyakinannya yang sangat
tinggi dalam menegakkan kalimat Allah, membela agama, menyebarkan Sunnah Nabi
dan mengobati penyakit-penyakit yang diderita oleh ummat berupa berbagai macam
bid'ah, kemungkaran, kebodohan, perpecahan, kedzaliman dan keterbelakangan. Semangat
yang tinggi dan wawasan luas dalam hal teori dan praktek yang dimilikinya
nampak jelas dari banyak hal. Diantaranya adalah:
·
Perhatiannya
yang fokus terhadap masalah-masalah yang utama, seperti masalah tauhid dan
kewajiban-kewajiban agama, dengan tidak mengenyampingkan masalah-masalah yang
lainnya.
·
Kesiapannya
sejak dini untuk menghadapi berbagai rintangan, ditambah wawasan yang luas dan
kemampuan memiliki antipasi yang peka untuk menghadapi segala sesuatu yang akan
terjadi.
6. Kemampuan dan Kesuksesan
Berkat Muhammad bin Abdul Wahab, Allah
berkenan menolong agama dan memuliakan sunnah Nabi. Ia baru meningal dunia
setelah sempat menyaksikan buah da'wahnya yang ia rintis dengan susah payah,
yakni dengan berkibarnya bendera sunnah dan berdirinya negeri tauhid pada zaman
pemerintahan Imam Abdul Aziz bin Muhamad dan Putranya, Sa'ud. Bendera tersebut
terus berkibar melambangkan kejayaan, kemenangan, kewibawaan, kekuasaan, dan
kedamaian. Hal itu dilihat sebagai dominasi agama dan tenggelamnya berbagai
macam bid'ah. Dan, kebanyakan gerakan-gerakan Islam sekarang ini merupakan
kelanjutan yang alami dari gerakan Salafiyah di jazirah Arab.
Gagasan dan Pemikiran Da’wah
Diantara gagasan dan pemikiran da'wah Muhammad bin Abdul
Wahab adalah :
1. Mengembalikan Islam kepada Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah saw.
2. Berpegang teguh kepada manhâj ahl al-Sunnah
dalam mengambil dalil dan membangun kerangka berfikir.
3. Membersihkan faham tauhid untuk kembali
kepada pemahaman yang benar.
4. Berorientasi pada pemahaman tauhid ‘ubudiyah
5. Menghidupkan kewajiban jihad
6. Menghentikan perbuatan bid'ah dan khurafat
yang disebabkan oleh kebodohan.
Metode Da’wah Muhammad bin
Abdul Wahab
1. Da'wah bî al-Lisân
Salah satu metode da'wah Muhammad Bin Abdul Wahab adalah dengan menyampaikan da'wahnya secara lemah lembut, walaupun pada hakikatnya tidak ada kompromi terhadap kemusyrikan. Contohnya ketika Muhammad bin Abdul Wahab diancam akan dibunuh atau diusir penguasa, yakni Utsman ibn Ma'mar yang mendapat tekanan dari ‘amir Badawi yang mengirim surat ancaman kepadanya dan memerintahkannya agar menghabisi nyawa Muhamamab bin Abdul Wahab. ‘Amir Utsman khawatir seandainya ia tidak menuruti kemauannya, ‘amir Badawi itu akan mogok membayar upeti dan bahkan memeranginya. Maka ia berkata kepada Muhammad bin Abdul Wahab, "’Amir Badawi telah menyurati kami dan menghendaki begini dan begitu, sedangkan kami tidaklah mungkin untuk membunuh anda, namun kami pun takut kepada ‘amir Badawi dan kami tidak mampu untuk menghadapi serangannya. Karenanya, jika Anda memandang baik untuk keluar dari lingkungan kami, lakukanlah!". Maka Muhammad bin Abdul Wahab menjelaskan dengan lidahnya yang fasih,“Bahwasannya yang aku da'wahkan ini adalah agama Alah SWT dan penerapan secara sebenarnya dalil kalimat lâ ilâha illallâh. Dari kesaksian Muhammad adalah utusan Allah maka barang siapa berpegang teguh kepada agama Islam ini dan membelanya dengan segala kesungguhan, niscaya akan ditolong dan dikukuhkan Allah SWT sehingga dapat menaklukkan negeri-negeri musuhnya. Jika Tuan sabar, tegak pada yang haq dan menerima karunia da'wah tauhid ini, maka nantikanlah berita gembira. Allah SWT akan menolong dan membela tuan serta akan melindungi tuan dari ‘amir Badawi itu dan yang lain, dan Allah SWT pun akan memberikan kekuatan tuan untuk dapat menundukkan negeri dan kabilahnya."
2. Da'wah bî al-Kitâb
Muhammad bin Abdul Wahab memusatkan perhatian untuk
menekuni kitab-kitab yang bermafaat dan dikajinya. Sebelumnya Muhammad bin
Abdul Wahab memusatkan perhatiannya untuk menekuni Kitabullah. Ia memiliki buah
kajian yang sangat berharga dalam menafsirkan al-Qur'an dan menggali hukum atau
nilai darinya. Ia juga memusatkan perhatiannya untuk menekuni sirah rasul dan
para sahabat. Ia menekuni itu semua dengan seksama hingga mendapatkan semacam
dorongan kekuatan yang dengannya dia merasa diberi Allah SWT kekukuhan batin
pada kebenaran.
Muhammad bin Abdul Wahab aktif dalam menulis, ia menjadikannya sebagai sarana da'wah dalam hidupnya. Diantara karyanya yang sangat praktis adalah kitab al-Tawhid al-ladzî huwa Haqqullâh 'ala al-‘Abid dan Kasyfu al-Syubahât. Kitab ini bila dibanding dengan kitab-kitab ilmu kalam pada umumnya, baik yang disusun oleh golongan Mu'tazilah maupun yang dari golongan Asy'ariyyah Maturidiyah, maka jelas sekali perbedaaanya. Kitab-kitab lain yang merupakan hasil karyanya antara lain Ushl al-Tsalâtsah wâ Dillâtuh (penjelasan tentang Allah, agama, Islam, dan Rasulullah), Syurût Sholâh wa arkânuh (syarat dan rukun shalat), al-Qowâ'id al-‘Arba’ (empat kaidah dalam Islam), Ushl al-Iman, Kitâb al-Kabâir, Kitâb Fadhâil al-Islam, Nashîhah al-Muslimîn, Sittah mawadhi in al-shirâh, Tafsîr al-Fâtihah, Masâil al-Jahîliyyah, Tafsîr al-Shahâdah,Tafsîr li Ba'dhi Suwar al-Qur'ân, Kitâb al-shirah, al-Hadyu al-nabawî .
3. Da'wah bî al-Murâsalah
Da'wah bi al-Murâsalah atau yang lazim disebut dengan
surat menyurat merupakan salah satu metode yang dipraktekkan oleh Muhamad bin
Abdul Wahab dalam menebarkan da'wahnya. Ia menyisihkan waktunya untuk menulis
surat-surat da'wah yang disampaikan kepada para penguasa dan ulama. Da'wah bi
al-Murâsalah merupakan metode da'wah yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah
SAW. Beliau pernah mengirim surat kepada raja Najasyi, raja mesir, raja persi,
Rum, Amman dan lainnya.
4. Da'wah dengan Tangan
Besar kemungkinan istilah da'wah melalui tangan ini
diambil dari istilah tangan sebagaiman disebutkan dalam hadits Nabi,
"Barang siapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia mencegah dengan tangannya, jika dia tidak sangup demikian, maka dengan lisannya, dan jika tidak sanggup demikian maka dengan hatinya, dan yang ini adalah selemah-lemah iman". (H.R. Muslim)
Hadits di atas kiranya menjadi petunjuk dan pendorong bagi Muhammad bin Abdul Wahab untuk menghancurkan tempat-tempat yang dianggapnya berbau syirik. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika Muhammad Bin Abdul Wahab melakukan da'wah dengan tindakan nyata untuk menghilangkan ke-jahiliyah-an dengan tangannya sendiri. Dia pernah berkata kepada Utsman bin Ma'mar agar menghancurkan kubah yang di bangun di atas kuburan Zaid. Selain makam Zaid, di sana ada juga makam-makam lain. Salah satunya adalah yang disebut makam Dhihar al-Azûr. Makam ini pun berkubah dan dihancurkan juga. Ada juga tempat-tempat yang dikeramatkan seperti kuburan-kuburan, gua-gua dan pohon-pohon yang disembah, juga disirnakan dan dimusnahkan. Dan masyararakat pun telah diberi peringatan agar menjauhi dari semua itu.
5. Koalisi Dengan Penguasa
Pada awalnya Muhammad bin Abdul Wahab berkoalisi dengan
‘amir 'Usamah bin Ma'mar di Uyainah. Ia berencana untuk membangun Islam dengan
sistem ibadahnya yang betul dan kehidupan sosial yang sehat, jauh dari segala
angkara murka dan maksiat. Dengan dukungan ‘amir 'Utsman bin Ma'mar, ia
memerangi segala bentuk takhâyul, khurafat dan maksiat yang terdapat di
sekitarnya.
Tantangan Terhadap Dakwah Salafiyyah
Sebagaimana lazimnya, seorang
pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan, maka Tuan Syeikh Muhammad bin
'Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu,
baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Tuan Syeikh
menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, baik berupa
buku-buku maupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu
dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan
Arab).Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi
beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan
jilid tebalnya.Sebahagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta
diberi ta'liq dan sudah diterbitkan, sebahagian lainnya sedang dalam proses
penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat
ditulis sendiri oleh Tuan Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa
itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan
rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin
gerakan tauhidnya.
Tentangan
maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
- Permusuhan atau tentangan atas
nama ilmiyah dan agama,
- Atas nama politik yang
berselubung agama.
Bagi
yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung
kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.Mereka menuduh dan memfitnah
Tuan Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum khawarij,
sebagai orang yang ingkar terhadap ijma' ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk
lainnya.Namun Tuan Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi,
dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal,
tanpa mempedulikan celaan orang yang mencelanya,
Pada
hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
- Golongan ulama khurafat, yang
mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq.
Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan
sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan
Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya,
semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang
mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek
moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya' dan
orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
- Golongan ulama taksub, yang
mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Tuan Syeikh Muhammad bin
'Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya
saja terhadap berita-berita negatif mengenai Tuan Syeikh yang disampaikan
oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap
asabiyah yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari
belitan ketaksubannya. Lalu menganggap Tuan Syeikh dan para pengikutnya
seperti yang diberitakan, iaitu; anti auliya' dan memusuhi orang-orang
soleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Tuan Syeikh
habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
- Golongan yang takut kehilangan
pangkat dan jabatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi
beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Tuan Syeikh yang
berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal kerana ditelan oleh
suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah
tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang
digerakkan oleh Tuan Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang
perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Tuan Syeikh di satu pihak
dan lawannya di pihak yang lain. Tuan Syeikh menulis surat-surat dakwahnya
kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Guru-Guru Beliau
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab selama
hidupnya telah berguru kepada para ulama yang mumpuni dalam bidangnya, yaitu
1. Ayah beliau sendiri Asy-Syaikh Abdul Wahhab
bin Sulaiman
2. Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif,
yaitu ayah Asy-Syaikh Ibrahim bin Abdullah pengarang kitab Al-‘Adzbu Al-Faidh
fi ‘Ilmil Faraidh.
3. Asy-Syaikh Muhammad Hayah bin Ibrahim
As-Sindi
4. Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i Al-Bashri
5. Asy-Syaikh Musnid Abdullah bin Salim
Al-Bashri
6. Asy-Syaikh Abdul Lathif Al-Afaliqi Al-Ahsa’i
Karya-Karya
Beliau
Selain pandai dalam menda’wahkan islam secara
lisan, beliau pun dikenal sebagai ulama yang pandai akan menulis. Berikut
sebagaian karya tulis beliau yang tersebar di masyarakat dan menjadi referensi
umat dalam mengkaji ajaran islam:
1. Kitabut Tauhid
2. Ushulul Iman
3. Kasyfusy Syubhat
4. Tsalatsatul Ushul
5. Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid
6. Mukhtashar Fathul Bari
7. Mukhtashar Zadul Ma’ad
8. Masa’il Jahiliyyah
9. Fadhailush Shalah
10. Kitabul Istimbath
11. Risalah Ar-Radd ‘ala Ar-Rafidhah
12. Majmu’atul Hadits, dll
Detik-Detik Terakhirnya Beliau
Muhammad
bin 'Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar'iyah.
Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan
berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah
Arab. Dan Allah telah memanjangkan umurnya sampai 92 tahun, sehingga beliau
dapat menyaksikan sendiri kejayaan dakwah dan kesetiaan pendukung-pendukungnya.
Semuanya itu adalah berkat pertolongan Allah dan berkat dakwah dan jihadnya
yang gigih dan tidak kenal menyerah kalah itu. Kemudian, setelah puas melihat
hasil kemenangannya di seluruh negeri Dar'iyah dan sekitarnya, dengan hati yang
tenang, perasaan yang lega, Muhammad bin 'Abdul Wahab menghadap Tuhannya.
Beliau kembali ke rahmatullah pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan
tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar'iyah (Najd).
Penutup
Adalah suatu hal yang tak dapat dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya pergerakan kaum Wahabiyah, atau lebih tepat dikenal dengan kaum Muwahhidun yang digerakan di ‘padang pasir Nejd’ pada abad ke-12H/18M, merupakan suatu pergerakan reformis Islam, dimana bobotnya tidak kalah dari pergerakan yang dicetuskan oleh para reformer besar sebelumnya, seperti Umar bin Abdul Aziz, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Malik, Imam Tirmidzi, Imam Al-Asy'ari, Imam Al-Ghazali, dan Syaikh Ibnu Taimiyyah. Semenjak layar Islam berkembang, para mujaddid ini telah mampu mengembalikan Islam kepada citranya yang asli (al-Qur'an dan Sunnah), dan telah menempati posisi yang cukup tenar baik dilihat dari sisi perjuangan dan keberhasilan, maupun dari sisi pengaruh serta dampak yang ditimbulkan oleh pergerakan mereka masing-masing.
Pengaruh da'wah Muhammad bin Abdul Wahab tidak hanya terbatas di Nejd dan sekitarnya saja. Tetapi cahayanya menjangkau ke seluruh pelosok dunia Islam pada sa'at itu. Diantaranya adalah India, Mesir, Maroko, Iraq, Syam, Sudan dan lain-lain, yang merupakan pelopor gerakan-gerakan Islam di negeri-negeri tersebut dan merupakan sumber yang sebenarnya bagi kebangkitan Islam.
Oleh: Muhammad Akbar diajukan sebagai tugas mata kuliah Kemuhammadiyahan
Loading...
1 Response to "TOKOH PEMBAHARU DALAM ISLAM"
bagus artikelnya sob, semoga artikel selanjutnya juga artikel yang menarik dan saya akan rekomondasikan blog sobat kepada teman-teman saya
Post a Comment