Dalam
perspektif pendidikan islam, tujuan hidup seorang muslim pada hakekatnya adalah
mengabdi kepada Allah. Pengabdian pada Allah sebagai realisasi dari keimanan
yang diwujudkan dalam amal, tidak lain untuk mencapai derajat orang yang
bertaqwa disisi-Nya. Beriman dan beramal shaleh merupakan dua aspek kepribadian
yang dicita-citakan oleh pendidikan islam. Sedangkan hakikat tujuan pendidikan
islam adalah terbentuknya insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan
berkemampuan ilmiah (insan kamil).
Untuk
mengaktualisasikan tujuan tersebut, seorang pendidik memiliki tanggungjawab
untuk mengantarkan peserta didik kearah tujuan tersebut, yaitu dengan menjadikan
sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya. Untuk itu,
keberadaan pendidik dalam dunia pendidikan sangat krusial. Hal ini disebabkan
karena kewajibanya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan (knowledge)
belaka, akan tetapi juga dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah)
pada peserta didik. Bentuk nilai yangt ditransformasikan dan disosialisasikan paling tidak meliputi: nilai etis, nilai
pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius.
Secara
faktual, pelaksanaan transformasi pengetahuan dan iternalisasi nilai pada peserta
didik secara integral merupakan tugas yang cukup berat di tengah kehidupan
masyarakat yang kompleks, apalagi pada era globalisasi dan imformasi. Pandangan
tersebut dilatarbelakangi banyaknya kasus yang melecehkan keberadaan pendidik
di sekolah, di luar sekolah maupun dalam kehidupan sosial masyarakat yang
demikian luas.
Kata
pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara, merawat dan memberi
latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang
sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya). Selanjutnya dengan
menambahkan awalan pe hingga menjadi pendidik yang artinya orang yang mendidik.
Secara terminologi,
pendidik menurut Ahmad Tafsir[1]
adalah "orang yang bertanggungjawab terhadap berlangsungnya proses
pertumbuhan dan perkembangan potensi anak didik, baik potensi kognitif maupun
potensi psikomotoriknya." Sementara pendidik menurut Iman Barnadib[2]
adalah "tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk
mencapai kedewasaan. Pendidik terdiri dari; 1) orang tua; dan 2) orang dewasa
lain yang bertanggung jawab tentang kedewasaan anak. Selanjutnya, Ahmad D. Marimba[3]
memandang, bahwa " pendidik sebagai orang yang memikul pertanggungjawaban
untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajiban bertangggung
jawab tentang pendidikan si terdidik.
Istilah pendidik dalam
konteks islam pada umumnya mengacu kepada term at-tarbiyah, an al-ta'dib,
dan al-ta'lim.
a). Pengertian Tarbiyah
Abdurrahman An-Nahlawi[4]
mengemukakan bahwa menurut kamus Bahasa Arab, lafal At-tarbiyah berasal dari
tiga kata:
Pertama, raba-yarbu yang berarti bertambah an
bertumbuh (Q.S. Ar-Rum (30): 39)
Kedua, rabiya-yarba dengan wazan
(bentuk) khafiyah-yakhfa, yang berarti menjadi besar.
Ketiga, rabba-yarubbu dengan wazan
(bentuk) madda-yamuddu
yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, dan memelihara.
(Q.S Al-Fatihah (1): 2)
Kata
rabb sebagaimana sebgaiman yang terdapat dalam (Q.S Al-Fatihah (1): 2) mempunyai kandungan
makna yang berkonotasi dengan istilah Al-Tarbiyah. Sebab kata rabb
(tuhan) dan murobbi (pendidik) berasal dari akar kata yang sama.
Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah Pendidik yang Maha Agung bagi seluruh
alam semesta[5]
Kata
"tarbiyah" merupakan masdhar dari rabba-yurabbi. Kata
ini ditemukan dalam dalam Alquran surah Al-Isra (17): 24. Di dalam surah
tersebut, kata tarbiyah digunakan untuk mengungkapkan pekerjaan orangtua yang
mengasuh anaknya sewaktu kecil. Pengasuhan ini meliputi pekrjaan memberi
makanan, minuman, pengobatan, memandikan, menidurkan dan kebutuhan lainya
sebagai bayi. Semua itu dilakukan dengan rasa kasih saying.
b). Pengertian
Mu'allim
Mu'allim
berasal dari al-fi'l al-madhi 'allama,
mudhari'-nya yu'allimu dan mashdar-nya al-ta'lim.
Artinya, telah mengajar, sedang mengajar, dan pengajaran. Kata mu'allim memeliki
arti pengajar atau orang yang mengajar. Istilah mu'allim sebagai
pendidik dalam Hadits Rosulullah adalah kata yang paling umum dikenal dan
banyak ditemukan. Mu'allim merupakan al-isim al-fail dari 'allama
yang artinya orang mengajaar. Dalam bentuk tsulasi mujarrrad, mashdar
dari 'alima adalah 'ilmun, yang sering dipakai dalam bahasa
Indonesia disebut ilmu[6]
Dalam
proses pendidikan istilah pendidikan yang kedua yang sering dikenal sesudah at-tarbiyat
adalah al-ta'lim. Rasyid Rida, mengartikan al-ta'lim sebagai
proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu. Ini dapat
dilihat dalam (Q.S. al-Baqarah: 251).
Berdasarkan
ayat tersebut, maka mu'allim adalah orang yang mampu untuk merekontruksi
bangunan ilmu secara sistematis dalam pemikiran peserta didik dalam bentuk ide,
wawasan, kecakapan, dan sebagainya, yang ada kaitanya dengan sesuatu. Mu'allim
adalah orang yang memiliki kemampuan unggul dibandingkan dengan peserta
didik, yang denganya ia dipercaya menghantarkan peserta didik ke arah
kesemprnaan dan kemandirian.
c). Pengertian
Mu'addib
Mu'addib
merupakan al-ism al-fail dari madhi-nya addaba yang
artinya orang yang mendidik. Secara bahasa mu'addib merupakan bentukan
mamashdar dari kata addaba yang berarti memberi adab, mendidik.[7]
Adab dalam kehidupan sehari-hari sering diartikan tata krama, sopan santun,
akhlak, budi pekerti. Anak yang beradab biasanya dipahami sebagai anak yang
sopan yang mempunyai tingkah laku yang terpuji. Ini dapat dilihat dari Hadits
Nabi:
أدبنى ربى فأحسن تأديبى
"Tuhanku telah mendidikku dan telah membaguskan
pendidikank".
Hadits
Nabi tersebut menjelaskan bahwa adanya proses pembentukan kepribadian yang
secara berangsur angsur ditanamkan kepada manusia.
Dalam
pengertian yang lebih luas pendidik dalam persfektif pendidikan islam adalah
orang yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan jasmani dan perkembangan
rohani peserta didik agar ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaan (baik
sebagai khalifah fi al-ardh maupun 'abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran
islam. Oleh karena itu pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada
orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam
proses pendidikan mulai sejak alam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.
Beberapa
definisi di atas mengisyaratkan, bahwa pendidik adalah orang yang bertanggung
jawab terhadap pekembangan dan kematangan aspek rohani dan jasmani anak.
Pendidik itu bisa saja orang tua dari si terdidik itu sendiri, atau orang lain
yang diserahi tanggung jawab oleh orang tua.
Pendidik
adalah bapak ruhani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan santapan
jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk.
Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam agam islam. Dalam
ajaran islam pendidik disamakan ulama yang sangatlah dihargai kedudukanya. Hal
ini dijelaskan oleh Allah maupun Rasul-Nya.
Firman Allah swt
Artinya: "Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan". (QS. Al-Mujadalah: 11)
Dalam
beberapa hadits disebutkan "jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar,
atau pendengar, atau pencinta, dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima,
sehingga kamu menjadi rusak. Dalam hadis Nabi yang lain: " Tinta
para ulama lebih tinggi nilainya daripada darah para shuhada". (H.R
Abu Daud dan Turmizi) Dalam hadis Nabi
yang lain: " Sebaik-baik kamu adalah orang yang mepelajari al-Quran dan
mengamalkanya". (H.R. Bukhari)
Firman
Allah dan sabda Rasul tersebut menggambarkan tingginya kedudukan orang yang mempunyai
Ilmu Pengetahuan (pendidik). Hal ini beralasan bahwa dengan pengetahuan
dapat mengantarkan manusia untuk selalu berpikir dan menganalisa hakikat semua
fenomena yang ada pada alam, sehingga mampu membawa manusia semakin dekat
dengan Allah. Dengan kemampuan yang ada pada manusia terlahirlah teori-teori
untuk kemaslahatan manusia.
Menurut
al-Ghazali pendidik merupakan maslikhul kabir.[8]
Bahkan dapat dikatakan pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih
dibandingkan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tuanya menyelamatkan
anaknya dari sengatan api neraka dunia, sedangkan pendidik menyelamatkan dari
sengatan api neraka. Menurut Hasan Langgulung, kedudukan pendidik dalam
pendidikan islam ialah orang yang memikul tanggung jawab membimbing. Orang yang
bertanggung jawab dalam membimbing, mengarahkan dan mendidik peserta didik.
Oleh karena fungsinya sebagai pengarah dan pembimbing dalam pendidikan, maka
keberadaan pendidik sangat diperlukan dalam pendidikan islam. Selain sebagai
pembimbing dan pemberi arah dalam pendidikan, pendidik juga berfungsi sebagai
motivator dan fasilitator dalam proses belajar-mengajar, yaitu berupa
teraktualisasinya sifat-sifat ilahi dan mengaktualisasikan potensi-potensi yang
ada pada diri peserta didik guna mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.[9]
Al-Ghazali
menukil beberapa hadis Nabi tentang keutamaan seorang pendidik. Ia
berkesimpulan bahwa pendidik disebut sebagai orang-orang besar (great
individual) yang aktivitasnya lebih baik dari pada ibadah setahun (QS. At-Taubah
(9): 122). Selanjutnya Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakan
bahwa pendidik merupakan pelita (siraj) segala zaman, orang yang hidup semasa
denganya akan memperoleh pancaran cahaya keilmiahannya. Andaikata dunia tidak
ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab mendidik adalah upaya
mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah dan
ilahiyah.
Al-Ghazali
mengkhususkan guru dengan sifat-sifat kesucian dan kehormatan dan menempatkan
guru langsung sesudah kedudukan Nabi seperti contoh sebuah syair yang
diungkapkan oleh syauki yang berbunyi: "berdirilah dan hormatilah guru
dan berilah ia penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul".
Al-gazali
juga menyatakan sebagai berikut: "seseorang yang berilmu dan kemudian
mengamalkan ilmunya itu dialah yang disebut dengan orang besar di semua
kerajaan langit, dia bagaikan matahari yang menerangi alam sedangkan ia
mempunyai cahaya dalam dirinya seperti minyak kasturi yang mengaharumi orang
lain karena ia harum, seorang yang menyiukkan dirinya dalam mengajar berarti
dia telah memilih pekerjaan terhormat". Oleh karena itu hendaklah seorang
guru memprhatikan dan memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya seagai
seorang pendidik.[10]
Menurut
al-Ghzali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan,
mensucikan serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub)
kapada Allah. Hal tersebut karena tujuan pendidikan islam yang utama adalah
upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jika pendidik belum mampu membiasakan peserta
didik dalam peribadatan kepada-Nya, berarti ia mengalami kegagalan dalam tugasnya,
sekalipun peserta didik memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal
tersebut mengandung arti akan keterkaitan ilmyu dengan amal shaleh.
Dalam
paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu” dan “ditiru”.
Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang
memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam
melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memilki
kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak-tanduknya patut dijadikan
panutan dari suri teladan oleh peserta didik. Pengertian ini di asumsikan bahwa
tugas guru tidak sekadar transformasi ilmu, tetapi juga bagaimana ia mampu
menginternalisasikan ilmunya kepada peserta didik. Pada tatanan ini terjadi
sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar oleh peserta
didik) dan yang dilakukanya (dilihat oleh pesearta didik).
Muhaimin
secarah utuh mengemukakan karesteristik tugas-tugas pendidik dalam pendidikan
islam. Dalam rumusanya, Muhaimin menggunakan istilah-istilah ustadz,
mu’allim, murabbi, mursyid, mudarris, dan mu’addib.[11]
Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Ustadz
adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya
sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous
improvement.
2) Mu’allim adalah
orang yang mengusai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya
dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis praktisnya, sekaligus melakukan transfer
ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi. (Q.S.
al-Baqarah:251)
3) Murabbi adalah
orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta
mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan
malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya. (Q.S. al- Isra': 24)
dan (Q.S. al-Fatihah:2)
4) Mursyid
adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri
atau menjadi pusat panutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didik.
5) Mudarris adalah
orang yang memiliki kepekaan intelektual dan imformasi serta memperbaharui
pengetahuan dan keahlian secara berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta
didik, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya.
6) Mu’addib adalah
orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam
membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
Berdasarkan
uraian di atas jelaslah bahwa tugas-tugas pendidik amat sngat berat, yang tidak
saja melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan efektif dan psikomotorik.
Profesionalisme pendidik sangat ditentukan oleh seberapa banyak tugas yang
telah dilakukannya, sekalipun terkadang profesionalismenya itu tidak
berimplikasi yang signifikan tehadap penghargaan yang diperolehnya.
E. Kode Etik Pendidik dalam
Pendidikan Islam
Dalam melaksanakan tugasnya, pendidik perlu memahami dan
mengikuti norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship)
antara pendidik dan peserta didik, orangtua peserta didik, kolega dan atasanya.
Itulah yang disebut kode etik pendidik. Suatu jabatan yang melayani orang lain
selalu memerlukan kode etik. Demikian pula jabatan pendidik. Bentuk kode etik
suatu lembaga pendidikan tidak harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai
kesamaan konten yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan
mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.
Menurut
Ibnu Jama'ah,[12]
etika pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1) Etika yang terkait
dengan dirinya sendiri, yaitu
(a) memiliki sifat keagamaan (diniyyah)
yang baik, meliputi patuh dan tunduk terhadap syariat Allah dalam bentuk ucapan
dan tindakan.
(b) memiliki sifa-sifat akhlak yang mulia (akhlaqiyyah).
2) Etika terhadap
peserta didik, yaitu
(a) sifat-sifat sopan santun (adabiyyah).
(b) sifat-sifat memudahkan, menyenangkan,
dan menyelmatkan (muhniyyah).
3) Etika dalam proses
belajar mengajar, yaitu
(a) sifat-sifat memudahkan, menyenangkan,
dan menyelamatkan(muhniyyah);
(b) sifat-sifat seni yaitu seni mengajar
yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak merasa bosan.
Dalam
merumuskan kode etik, Al-Ghazali lebih menekankan betapa berat kode etik yang
diperankan seorang pendidik daripada peserta didiknya. Kode etik pendidik
terumuskan sebanyak 17 bagian[13],
sementara kode etik peserta didik hanya 11 bagian. Hal itu terjadi karena guru
dalam konteks ini memegang banyak peran yang tidak hanya menyangkut keberhasilannya
dalam menjalankan profesi keguruan, tetapi juga tanggung jawabnya dihadapan
Allah kelak. Adpun kode etik pendidik yang dimaksud adalah:
a) Menerima segala problem peserta didik
dengan hati dan sikap yang terbuka.
b) Bersikap penyantung dan penyayang (QS.
Ali Imran (3) :159)
c) Menghindari dan menghilangkan sikap
angkuh terhadap sesama (QS. An-Najm (53): 32)
d) Bersifat rendah hati ketika menyatu
dengan sekelompok masyarakat. (QS. Al-Hijr (15): 88)
e) Menjaga kewibawaan dan kehormatan dalam
bertindak serta Menghilangkan sifat yang tidak berguna dan sia-sia.
f) Bersifat lemah lembut dalam menghadapi
peserta didik yang IQ-nya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal
dan Meninggalkan sifat marah dalam mengahdapi problem peserta didik
g) Memperbaiki sikap peserta didik, dan
lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicara.
h) Meninggalkan sifat yang menakutkan bagi
peserta didik, terutama pada peserta didik yang belum mengerti atau mengetahui.
i)
Berusaha
memperhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didik, walaupun pertanyaanya
terkesan tidak bermutu atau tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan.
j)
Menjadikan
kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya
dari peserta didik.
k) Mencegah dan mengontol peserta didik
mempelajari ilmu yang membahayakan. (QS. Al-Baqarah (2): 195)
l)
Menanamkan
sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus-menerus mencari imformasi guna
disampaikan pada pesertra didik yang pada akhirnya mencapai tingkat taqarrub
kepada Allah. (QS. Al-Bayyinah (98): 5)
m) Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardhu
kifayah (kewajiban kolektif, seperti ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi,
dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardhu 'ain (kewajibanindividual,
seperti akidah, syariah, dan akhlak).
n) Mengaktualisasikan imformasi yang
diajarkan kepada peserta didik. (QS. Al-Baqarah (2): 44, Ash-shaff (61): 2-3).
F. Kesimpulan
Untuk
terbentuknya insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan berkemampuan
ilmiah (insan kamil). seorang pendidik harus memiliki tanggungjawab
untuk mengantarkan peserta didik kearah tujuan tersebut, yaitu dengan
menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya.
Untuk itu, seorang pendidik dalam melaksanakan kewajibanya tidak hanya
mentransformasikan pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga
dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah) pada peserta
didik. Bentuk nilai yang ditransformasikan dan disosialisasikan paling tidak meliputi: nilai etis, nilai
pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius.
G. Penutup
Demikianlah
makalah yang dapat penulis susun sebagai pemenuhan tugas akhir semester III
dengan mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kesalahan-kesalahan sehingga kritik yang membangun sangat penulis
harapkan untuk perkembangan diri penulis. Kami berharap, agar makalah ini bisa
dijadikan sebagai amalan dan sumbangsih ilmiah, utamanya untuk khazanah
pendidikan islam.
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h.
74.
[2] Sutari Iman
Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andioffset,
1993), h. 61.
[3] Ahmad D. Marimba,
Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1980),h. 37
[4] Abdurrahman An-Nahlawi, prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Silam
Dalam Keluarga Di Sekolah Dan Masyarakat. Terjemahan Herry Noor Ali. Judul
Asli " Ushul At-Tarbiyat Al-Islammiyah wa Asalibiha, (bandung:
Diupenogoro, 1989) h. 31
[5] Omar Muhammad Al-Thoumy, Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979). H. 41
[6] Al-Jurnani dalam kitabnya al-Ta'rifat, mendefinisikan ilmu dengan; (1)
ilmu adalah kesimpulan yang pasti sesuai dengan keadaan sesuatu; (2) ilmu
adalah menetapnya ide (gambaran) tentang sesuatu alam jiwa dan akal
seseorang; (3) ilmu adalah sampainya
jiwa kepada hakikat sesuatu. Lihat Al-Jurnani, Al-Ta'rifat, (Tunisia: Dar
al-Tunisiyat, tt), h. 82.
[7] Muhammad Yunus, kamus arab-Indonesia , (Jakarta: PT. Hiakarya Agt
1990), h. 37
[8] Abu Hamid al-Ghazali,
Ihya Ulum al-Din, jilid 1, (Beirut: Dar al- Fikr, 1991) h. 22
[9] Hasan Langgulung,
dalam Ramayulis, Metodologi Pengjaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
1994), h. 19.
[10] Al-Ghazali dalam Ramayulis,
op. cit. h. 62.
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam
Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), h. 86
[11] Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Agama Islam di Sekolah, Mdrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Rajawali, 2005), H. 50.
[12] Abd Al-Amir Syams
Ad-Din, Al-Mazhab At-Tarbawi 'ind Ibn Al-Jama'ah, (Beirut: Dar Iqra',
1984), h. 18-24
[13] Muhammad Nawwawi
Bantani Al-Jawi, Muraqi Al-Ubudiyah fi Syarh Al-Bidayah Al-Hidayah,
(Bandung: Al-Ma'arif) h. 88.
Loading...
0 Response to "Karakteristik Pendidik dalam Islam"
Post a Comment