Umat
Islam sedunia terperanjat ketika Amina Wadud Muhsin, seorang feminis, mengimami
shalat jum’at di sebuah gereja di New York 18 Maret2005. Berbagai komentar,
kecaman dan kritikan pun tak ayal lagi banyak tertuju kepada aksi bid’ah dan
mungkar tersebut.
Kejadian
di atas merupakan salah satu contoh yang terjadi di barat yang merupakan dampak dari
adanya faham feminisme, munculnya gerakan feminisme di barat sebenarnya tidak
terlepas dari kekecewaaan terhadap gambaran perempuan dalam kitab suci mereka,
seperti di katakan di dalam bibel: “Kejahatan laki-laki lebih baik dari
pada kebaikan perempuan, dan perempuanlah yang mendatangkan malu dan
nista”(sirakh 42:14),[1]
“setiap keburukan hanya kecil di bandingkan dengan keburukan perempuan
mudah-mudahan ia di timpa nasib orang berdosa (sirakh 25;19), “Derajatnya di
bawah laki-laki dan harus tunduk seperti tunduknya manusia kepada tuhan (Efesus
5:2) dan masih banyak lagi contoh-contoh di dalam kitab bibel yang
menomer duakan wanita atas laki-laki, juga Konstruk sosial di dunia barat yang
menempatkan perempuan sebagai makhluk cacat dan pelengkap penderita dilatarbelakangi
oleh ideologi gender yang berasal dari budaya patriarkhi.[2]
Ideologi gender yang patriarkhis ini kemudian di pandang sebagai ajaran agama
yang baku dan tidak boleh di pertanyakan. Terlebih selama berabad-abad tata
kehidupan sosial masyarakat barat di kendalikan oleh otoritas gereja dengan
kawalan mahkamah inkuisisi yang tidak manusiawi.
Permasalahan
lokal di dunia barat berkenaan dengan perempuan ini dipandang sebagai problem
universal. Sehingga bermunculan pandangan perlunya mengadopsi faham feminisme
barat sebagai solusi untuk menangani
semua masalah yang terkait dengan perempuan, kemudian juga diskriminasi
dan marginalisasi terhadap perempuan hampir merata di dunia barat hingga
awal-awal abad 19. Bagi kaum waniat, bukanlah hal mudah untuk mendapatkan akses
pendidikan, pekerjaan dan hak-hak primer lainnya di ruang publik. Pada umumnya,
kondisi sosial yang buruk dalam menempatkan perempuan seperti ini telah
mengakar kuat pada masyarakat barat.
Pada
awal-awal abad 19, banyak bermunculan tokoh-tokoh perempuan yang mulai bersuara
lantang tentang hak-hak perempuan, seperti Susan B anthony, Elizabeth Cady
Stanton (1848), Ann Preston (1813-1872), Elizabeth Blackweell (1821-1910),
Elizabeth Garrett Anderson (1836-1917), Charlotte E. Ray (1850-1911), Clarina
Irene Howard Nicholes (1810-1885).
Berikut
ini adalah beberapa fakta-fakta menarik yang mendorong para perempuan barat
untuk mengadopsi faham feminisme :
1.Faktor
Kondisi Rumah Tangga Berdasarkan Hasil Survei
92%
wanita yang meninggalkan rumah karena mengalami penyiksaan fisik dan seksual yang
hebat dalam kehidupan mereka.[3]
2.Isu-isu
Kesehatan (Health issues)
Dana
kesehatan yang di alokasikan untuk kasus pemerkosaaan, penganiaan fisik dan
pembunuhan yang di lakukan oleh pasangan intim melebihi U$D 5,8 miliar per
tahun. Dari jumlah tersebut, hampir U$D
4,1 miliar di gunakan untuk pengobatan langsung dan jasa perawatan mental, dan
sekitar U$D 1,8 miliar di alokasikan untuk dana tidak langsung seperti
hilangnya produktifitas atau santunan. [4]
3.Kekerasan
Rumah tangga Dan Pemuda(Domestic Violence and Youth)
Satu
di antara lima wanita pelajar SMU di laporkan telah mengalami penyiksaan fisik
dan atau seksual oleh pacar mereka. [5]
4.Kekerasan
Rumah Tangga dan Anak-anak (Domestic Violences and Children)
Dalam
suvei nasional, terdapat lebih dari 6.000 keluarga di amerika, 50% kaum lelaki
sering menganiaya istri dan anak-anak mereka. [6]
5.Pemerkosaan
(Rape)
Tiga
perempat wanita (76%) dilaporkan telah mengalami perkosaan dan atau
penganiayaan fisik sejak berumur 18 tahun yang di lakukan oleh mantan atau
pasangan kumpul kebo, suami atau pacarnya sekarang. [7]
6.Angka
Pertumbuhan penduduk
Di
antara tuntutan yang di suarakan para aktifis feminis di awal munculnya gerakan
feminisme hak reproduksi , termasuk hak mutlak melakukan aborsi, menghapus
undang-undang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi.
Penjelasan
di atas merupakan beberapa hal yang
melatar belakangi adanya feminisme di barat yang pada saat ini faham tersebut
marak dan mulai di pakai oleh masyarakat dari banyak negara dalam kehidupan
mereka.
Pengertian
Feminisme dan Pembagian-pembagiannya.
Menjadi
laki-laki atau perempuan adalah takdir yang tidak bisa dibantah dan diingkari
oleh seseorang. Jenis kelamin adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Oleh
karena itu, hal ini bersifat alami, kodrati dan tidak bisa berubah. Sedangkan
penilaian terhadap kenyataan sebagai laki-laki atau perempuan oleh masyarakat
dengan sosial dan budayanya dinamakan dengan gender .[8]
Konstruk
sosial dan budaya yang menempatkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan
telah melahirkan paham feminisme. Feminisme adalah suatu filsafat luas yang
memperhatikan tempat dan kodrat perempuan dalam masyarakat .[9]
Telah
banyak lahir teori-teori yang membahas tentang perbedaan laki-laki dan
perempuan, antara lain:
a. Teori Psikoanalisa
Menurut
teori ini unsure biologislah yang menjadi faktor dominant dalam menentukan pola
prilaku seseorang.
b. Teori Fungsional Struktural
Pembagian
peran laki-laki dan perempuan tidak didasari oleh distrupsi dan kompetisi,
tetapi lebih kepada melestarikan harmoni dan stabilitas di dalam masyrakat.
Laki-laki dan perempuan menjalankan perannya masing-masing.
c. Teori Konflik
Perbedaan
dan ketimpangan gender disebabkan dari penindasan dari kelas yang berkuasa
dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Terjadinya
subordinasi perempuan akibat pertumbuhan hak milik pribadi.
d. Teori Sosio-Biologis
Faktor
biologis dan sosial menyebabkan laki-laki lebih unggul dari perempuan. Fungsi
reproduksi perempuan dianggap sebagai faktor penghambat untuk mengimbangi
kekuatan dan peran laki-laki.[10]
Para
feminis yang mempunyai kesadaran dan tampil di garda depan dalam perjuangan
hak-hak perempuan terpecah dalam beberapa aliran karena perbedaan dalam
memandang sebab-sebab terjadinya keadilan terhadap perempuan , bentuk
perjuangan dan tujuan yang ingin dicapai. Secara garis besar, ada 4 mainstream
aliran feminisme:
a. Feminisme Liberal
Mereka
mengusahakan perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat dengan mengubah
hokum. Mereka percaya bahwa perempuan telah ditindas oleh hokum yang dibuat
oleh laki-laki. Dengan mengubah hokum (misalnya, dengan mengizinkan perempuan
memilih, mempertahankan milik mereka sendiri setelah perkawinan, untuk cerai),
tempat perempuan di masyarakat harus berubah seterusnya.[11]
b. Feminisme Radikal
Mereka
percaya bahwa pengertian paling mendalam mengenai keadaan perempuan telah
dibentuk dan diselewengkan oleh laki-laki. Dengan mengubah hokum, kaum
feminisme Radikal percaya tidak akan mengubah prasangka-prasangka mendalam yang
dimiliki oleh kaum laki-laki terhadap perempuan. Kaum feminisme radikal ingin
menemukan suatu pemahaman baru mengenai apa artinya menjadi perempuan, dan
suatu cara yang sama sekali baru untuk hidup bagi perempuan di dalam dunia
kita.[12]
c. Feminisme Marxis
Feminisme
Marxis berpendapat bahwa ketertinggalan yang dialami perempuan bukan disebabkan
oleh tindakan individu secara sengaja tetapi akibat struktur sosial, politik
dan ekonomi yang erat kaitannya dengan system kapitalisme. Menurut mereka,
tidak mungkin perempuan dapat memperoleh kesempatan yang sama seperti laki-laki
jika mereka masih tetap hidup dalam masyarakat yang berkelas.[13]
d. Feminisme Sosialis
Menurut
mereka hidup dalam masyarakat yang kapitalistik bukan satu-satunya penyebab
utama keterbelakangan perempuan. Menurut mereka, penindasan perempuan ada di
kelas manapun. Gerakan feminisme Sosialis lebih menfokuskan kepada penyadaran
akan posisi mereka yang tertindas. Timbulnya kesadaran ini akan membuat kaum
perempuan bangkit emosinya, dan secara kelomok diharapkan untuk mengadakan
konflik langsung dengan kelompok dominant ( laki-laki), sehingga diharapkan
dapat meruntuhkan sistem patriakhi.[14]
Sementara
itu di wilayah lainnya ada suatu konsep masyarakat yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat perempuan melalui sistem adat yang unik, yaitu sistem
matrilineal di Minangkabau. Dalam menentukan garis keturunan kesukuan,
masyarakat Minangkabau masih mengikuti garis ibu, yang meminang pihak
perempuan, sistem matrilokal, pemimpin rumah tangga adalah ibu bersama-sama
dengan saudara laki-lakinya (mamak), dan dalam pembagian harta warisan jatuh
kepada kaum perempuan sementara kaum laki-laki tidak mendapatkan apa-apa.[15]
Penyebaran
Faham Feminisme.
Feminisme
sesungguhnya adalah alat penjajahan negara-negara barat terhadap dunia islam di
bidang hukum keluarga ( Al Akhwal al syakhsiyah). Dalam hal ini, AS dan
negara-negar barat lainnya telah memanfaatkan PBB sebagai salah satu ujung
tombak untuk memaksakan pandangan hidup kapitalisme-sekuler di seluruh dunia
islam.
Hal
ini dapat di buktikan, bahwa ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB
mencanagkan dasa warsa 1 untuk perempuan pada tahun 1975-1985. Sejak itu,
isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat
internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali amerika
serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu
tersebut, baik dalam forum yang khusus
membahas perempuan –seperti forum di meksiko tahun 1975 copenhagen tahun 1980,
nairobi tahun 1985, dan di bejing tahun 1995- maupun forum tingkat dunia
lainnya, seperti konperensi hak asasi manusia atau (HAM), KTT perkembangan sosial, serta KTT
bumi dan konferensi kependudukan.
Hingar
bingar isu-isu feminisme tersebut melahirkan beraneka respon dari berbagai
pihak di dunai islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para propogandis
feminisme baik secara individual maupun kelompok, dari lembaga pemerintah
maupun LSM-LSM. Feminisme yang aslinya merupakan derivat ide sekulrisme atau
sosialisme itu, akhirnya menginfiltrasi kedalam dunia islam. Maka tersohorlah
kemudian nama-nama feminis muslim semisal Fatimah Mernisi (Maroko), Taslima
Nasreen (Banglades) dan lain sebagainya. Secara kelompok, di indonesia
khususnya dapat di sebut beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme,
seperti yayasan kalyanamitra, forum indonesia untuk perempuan dan islam dan
lain sebagainya.
Dampak dan
Pengaruh Faham Feminisme.
Dalam
hal ini perlu kita ketahui bahwa
feminisme di barat sendiri sama sekali tidak menimbulkan dampak positif
bahkan justru sebaliknya. Seperti sesuatu yang tertera dalam majalah di amerika
serikat (Better Homes And Gardens)
menggulirkan suatu pertanyaan pada pembacannya: “Apakah anda pikir kehidupan di
amerika serikat tengah menghadapi banyak permasalahan? “.
Sebanyak
7,6 % koresponden mengiyakan pernyataan tersebut dan 85% menyatakan bahwa
harapan mereka untuk merasakan hidup yang bahagia dalam sebuah keluarga belum
terpenuhi.
Majalah
Amerika lainya, news week, telah mempublikasikan suatu kesimpulan dari hasil
survei itu, bahwa sekitar separuh dari semua lembaga pernikahan di amerika
berakhir di meja perceraian. Walaupun kemudian ada yang rujuk kembali dan lainnya mengakhiri dengan perceraian.
Ronald
D Kelly, seorang konsultan pernikahan menyatakan di dalam tulisannya:
“satu
dari sekian banyak kenyataan yang menyedihkan buat saya sebagai seorang
konsultan pernikahan adalah bahwa dari sekian banyak pasangan yang telah menikah
tetap saja ada yang merasa asing antara satu dengan yang lainnya di rumah
mereka berdua. Mereka hanya berbagi sedikit saja dalam hal-hal yang umum.
Masing-masing memilih jalannya sendiri
dan hanya berhenti sesaat untuk percakapan rutin seputar uang, pengasuhan anak,
atau seks. Anda akan sangat heran mendapati mereka bisa terlihat bersama di satu
tempat.[16]
Kenyataan
ini biasanya terjadi karena permasalahan kehidupan atau hilangnya keintiman
seksual (sexual attraction) antara pasangan suami istri tersebut. Sekarang,
apabila suami istri duduk berdua untuk berbagai konsep tentang “ menikah demi
satu tujuan”, kemudian bersama-sama berusaha mencapai tujuan itu, maka mereka
akan dapat melewati semua keadaan yang tidak mengenakan dalam pernikahan mereka
dan melanjutkan hidup mereka bersama. Sebaliknya, ketika pernikahan itu hanya
bertujuan demi mendapatkan hidup bersama saja (menikah untuk kesenangan
semata), maka apa saja yang tidak sesuai dengan kesenangan mereka akan
memberikan ancaman serius dalam kehidupan pernikahan mereka. Dalam situasi
seperti itu, mereka tidak memiliki alasan untuk bertoleransi dengan setiap
kejadian yang tidak menyenangkan itu untuk tetap mempertahankan keutuhan
keluarga mereka.[17]
Dampak
lain adalah, berdasarkan laporan yang di muat di media masa amerika[18]
menjelaskan bahwa kecenderungan bunuh diri di kalangan remaja yang berumur
antara 10-20 tahun meningkat sangat tajam di amerika serikat, yaitu bertambah
tiga kali lipat pertahunnya sejak 1950. Pada tahun 1985, dari 100.000 0rang
tercatat 60 orang dewasa dan 60 remaja nekat melakukan bunuh diri.
Ini
di sebabkan karena, mereka menyangka bahwa bunuh diri itu salah satu cara untuk
mengakhiri rasa sakit dan dapat menyelesaikan masalah, seperti halnya ungkapan
dari seorang spesialis pencegah bunuh diri di oklahoma,” semua orang seperti
sedang terburu-buru sehingga seperti tidak mempunyai waktu mendengar suara hati
anak-anak kita,
Apa
sebenarnya alasan dari kecenderungan bunuh diri pada kaum remaja di
negara-negara maju? Selain satu sebab utamanya adalah bahwa mereka telah
kehilangan satu bentuk perlindungan atau naungan sebenarnya yang mutlak
keberadaannya dalam suatu keluarga. Sebab lain adalah perkembangan jiwa mereka
yang tidak sehat karena hilangnya kepedulian dan kasih sayang dalam lingkaran
sebuah keluarga, jadi, hancurnya keutuhan keluarga sebagia suatu unit sosial
harus di akui sebagai faktor utama kecenderungan bunuh diri pada kaum remaja
masa kini.
mereka.
Saat
ini fokus dari perhatian orang tua tidak lagi tertuju ke rumah, walaupun dengan
alasan yang berbeda-beda. Dulu, seorang ibu senantiasa berada di rumah untuk
dapat memperhatikan anak-anak, tetapi sekarang, dengan kedua orang tua yang
bekerja di luar rumah anak-anak hanya
dapat menemui mereka di malam hari, ketika keduanya sudah sangat lelah
untuk memberikan perhatian yang cukup kepada anak-anaknya, ataupun mereka dapat
bersama-sama kembali di penghujung minggu, di saat mereka lebih memikirkan
acara rekreasi. Anak-anak di negara barat telah kehilangan sosok seorang ibu,
karena seperti ayahnya, ibunya pun lebih memilih bekerja di kantor, sama halnya
di mana mereka harus kehilangan sosok kakek-neneknya. Karena mereka pun telah
di kucilkan di panti-panti jompo. Anak-anak dari keluarga seperti itu biasanya
tidak mempunyai emosi yang seimbang sehingga mereka bisa saja berfikir sampai
pada satu titik tidak ada gunanya lagi melanjutkan hidup.
Juga
dampak lainnya seperti didirikannya Bank sperma oleh Dr. Robert Graham, seorang
jutawan di california yang menyediakan sperma-sperma unggulan dari para peraih
nobel[19],
sehingga para wanita berharap bisa mendapatkan anak dengan kecerdasan di atas
rata-rata serta berharap bisa hamil dengan sperma –sperma tersebut. Sebenarnya
tujuan Dr Robert mendirikan bank sperma ini adalah sebagai konpensasi bagi keluarga
yang para suaminya melakukan sterilisasi. Tetapi sekarang, para wanita yang
tidak mau menikah (gelar baru dunia barat modern yang serba boleh) telah
melangkah lebih maju untuk ikut memanfaatkan fasilitas bank tersebut.
Para
wanita yang menolak untuk menikah dan lebih tertarik untuk memiliki anak-anak
dengan semua kelebihan di atas rata-rata akhirnya bisa bebas mendapatkan
bantuan dari bank sperma tersebut.
Para
perempuan tersebut menganggap bahwa dengan memiliki anak melalui bantuan bank
sperma yang sperma tersebut di dapatkan dari orang-oarang pintar dan cerdas
mereka akan mendapatkan kebahagian dan kebanggaan tersendiri, padahal
sebaliknya, mereka justru mendapatkan permasalahan-permasalahan yang komplek
dengan adanyan kenyataan bahwa anak yang di hasilkan dari bantuan bank sperma
tersebut sering menanyakan keberadaan ayahnya sejak ia mulai bisa berbicara dan
ingin tinggal bersama ayahnya. Jadi pada kenyataannya penolakan terhadap
hal-hal yang bersifat alami akan menciptakan banyak permasalahan yang tidak
bisa di temuakn jalan keluarnya.
Menyikapi
Feminisme dan Isu Gender.
Di
dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad
Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak
perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan
perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai
seorang Muslimah dalam pembangunan Umat.
Pandangan
yang sama dinyatakan juga Hasan at-Turabi dari Sudan. Menurutnya, Islam mengakui
hak-hak perempuan di ranah publik, seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan
memilih, berdagang, menghadiri shalat berjama‘ah, ikut ke medan perang dan
lain-lain.
Ulama
lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Qutb,
Syekh Yusuf al-Qaradhawi dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para tokoh ini
mendasari pendapatnya pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.
Namun
ada juga yang menggunakan pendekatan sekular, yaitu Qasim Amin. Intelektual
satu ini disebut-sebut sebagai ‘bapak feminis Arab’. Dalam bukunya yang
kontroversial, Tahriru l-Mar’ah (Kairo, 1899) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo,
1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah
jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan,
seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.
Gagasan-gagasan
Qasim Amin telah banyak disanggah dan ditolak. Syekh Mahmud Abu Syuqqah dalam
karya monumentalnya, Tahriru l-Mar’ah fi ‘Ashri r-Risalah (Kuwait, 1991), membuktikan
bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam ternyata sangat
emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik,
beliau mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah menyebabkan terjadinya
revolusi gender pada abad ke-7 Masehi.
Agama
samawi terakhir ini datang memerdekakan perempuan dari dominasi kultur
Jahiliyah yang dikenal sangat zalim dan biadab itu. Abu Syuqqah juga menemukan
bahwa pasca datangnya Islam kaum wanita mulai diakui hak-haknya sebagai layaknya
manusia dan warganegara (bukan sebagai komoditi), terjun dan berperan aktif
dalam berbagai sektor, termasuk politik dan militer.
Kesimpulan
senada juga dicapai oleh para peniliti Barat (Lihat misalnya: Dorothy van Ess,
Fatima and Her Sisters (New York, 1961); Magali Morsy, Les Femmes du Prophete
(Paris, 1989); D.A. Spellberg, Politics, Gender, and the Islamic Past: the
Legacy of ‘A’isha bint Abi Bakr (New York, 1994).
Dengan
kata lain, gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia
sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Islam
datang mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah yang berlaku pada masa itu,
seperti mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini
perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai
pernah ada kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga sembilan puluh istri.
Nah, semua ini dikecam dan dihapuskan untuk selama-lamanya.
Sebagaimana
dimaklumi, masyarakat Arab zaman Jahiliyyah mempraktekkan bermacam-macam pola
perkawinan. Ada yang disebut nikah ad-dayzan, dimana anak sulung laki-laki
dibolehkan menikahi janda (istri) mendiang ayahnya.
Caranya
sederhana, cukup dengan melemparkan sehelai kain kepada wanita itu, maka saat
itu juga dia sudah mewarisi ibu tirinya itu sebagai isteri. Kadangkala dua
orang bapak saling menyerahkan putrinya masing-masing kepada satu sama lain
untuk dinikahinya.
Praktek
ini mereka namakan nikah as-syighâr. Ada juga yang saling bertukar isteri hanya
dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar, yaitu nikah
al-badal.
Selain
itu ada pula yang dinamakan zawaj al istibdhâ‘, dimana seorang suami boleh
dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan
setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula,
semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang
dipandang mempunyai keistimewaan tertentu.
Bentuk-bentuk
pernikahan semacam ini jelas sangat merugikan dan menindas perempuan.[20]
Gerakan
feminis radikal rupanya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Kita mengenal
nama-nama Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal
al-Saadawi dari Mesir (penulis buku The Hidden Face of Eve), Riffat Hasan
(pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for the
Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari
Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat yang
sempat membuat heboh beberapa waktu lalu, Zainah Anwar dari Sisters In Islam Malaysia,
Siti Musdah Mulia dari Indonesia dan masih banyak lagi.
Kalau
tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk
kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis
radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.
Bagi
para ulama, ketimpangan dan penindasan yang masih sering terjadi di kalangan
Umat Islam lebih disebabkan oleh praktek dan tradisi masyarakat setempat,
ketimbang oleh ajaran Islam. Namun bagi feminis radikal, yang salah dan harus
dikoreksi itu adalah ajaran Islam itu sendiri, yang dikatakan mencerminkan
budaya patriarkis. Di sinilah nampak kedangkalan pemahaman mereka.
Seperti
kita ketahui, tidak satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menampakkan misogyny
atau bias gender. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya,
sejak di surga hingga turun ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan
menggunakan kata ganti untuk dua orang (humâ ataupun kumâ).
Disamping
itu, bukan pasangan Adam yang disalahkan, melainkan syetan yang dikatakan
menggoda keduanya hingga memakan buah dari pohon keabadian.
Di
muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka
ditentukan bukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh
masing-masing. Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian
bagi perempuan, dan begitu pula sebaliknya.
Namun
dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran tersendiri dan
tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antar manusia.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan
dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar,
laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah…Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab: 35).
Nabi
Muhammad SAW juga mengingatkan, bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara
laki-laki (an-nisâ’ syaqâ’iqu r-rijâl) (HR Abu Dâwud dan an-Nasâ’i).
Oleh
karena itu, meskipun di kalangan Muslim pada kenyataannya masih selalu dijumpai
diskriminasi terhadap perempuan, namun yang mesti dikoreksi adalah
masyarakatnya, bukan agamanya. Toh, di tanah kelahirannya sendiri, gerakan
feminis dan kesetaraan gender masih belum bisa menghapuskan sama sekali
berbagai bentuk pelecehan, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan
hasil sebuah survei, kendati undang-undang persamaan upah (Equal Pay Act 1970)
di Inggris sudah berusia 30 tahun lebih, wanita yang bekerja sepenuh waktu di
negeri itu digaji 18% lebih rendah dari pekerja laki-laki.
Sementara
mereka yang bekerja separuh waktu menerima upah 39% lebih rendah berbanding
laki-laki. Begitu juga di Amerika Serikat, pendapatan kaum wanita rata-rata 25%
lebih rendah dibanding laki-laki. Penelitian lain menemukan bahwa dalam tiap 10
detik di Inggris terjadi tindak kekerasan terhadap wanita, berupa pemukulan,
pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Ini belum termasuk tindak pelecehan
seksual dan sebagainya.
Terakhir,
pejuang gender juga perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan
gagasan dan agenda mereka, agar tidak ‘menabrak rambu-rambu’ yang ada dan tidak
‘menuai badai’.
Sebab,
seperti kata Imam al-Ghazali, segala sesuatu jika sudah melewati batas,
justru memantulkan kebalikannya (kullu syay’in idzâ bâlagha haddahu in‘kasa
‘alâ dhiddihi).
Mewaspadai
Feminisme.
Jelaslah,
bahwa ide-ide feminisme memang wajib di waspadai. Di balik advokasinya terhadap
kaum wanita yang seakan tulus, ternyata terselip racun-racun ideologis yang
berbahaya dan amat mematikan. Memang benar, kita perlu memulaikan kaum wanita,
tetepi haruskah kita bunuh diri secara bodoh dengan menenggak racun-racun
ideologisnya tanpa dasar?
Feminisme
seridaknya berbahaya terhadap umat islam karena tiga hal berikut;
Pertama,
menjadi paradigma yang akan melegitimasi faham-faham kufur dan sesat dengan
mengatasnamakan agama. Umat di sini akan dapat terkecoh bila tidak waspada dan
membekali diri dengan tsaqafah islamiyah (ilmu-ilmu keislaman0 yang memadai.
Kedua,
menjadi alat kontrol bagi pemerintah sekuler yang ada, agar konsisten
mengeluarkan peratuaran yang di keluarkan PBB. Ini artinya, feminisme telah di
manfaatkan negara-negara kapitalis-sekuler seperti amerika serikat dalam
mendominasi dunia islam.
Ketiga,
menipu umat islam-khususnya muslimah- agar ridha dan ikhlas menerima
faham-faham yang bathil, seperti lontaran ide bahwa perempuan boleh menadi imam
shalat bagi jamaah laki-laki.
Dari
adanya ketiga hal tersebut , jelaslah kemana arah yang di tuju faham feminisme.
Arahnya adlah mendukung dan melegitimasi konspirasi internasional negara-negara
kapitalis barat untuk menjadikan ideologi kapitalisme yang kufur sebagai agama
bagi seluruh umat manusia dan membuang ideologi islam yang shahih dari perannya
mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Menolak
Feminisme.
Feminisme
apa pun bentuknya harus ditolak, mengingat argumen-argumen dan alasan-alasan berikut ini:
1.
feminisme sebenarnya terlahir dalam konteks sosio-historis khas di
negara-negara barat terutam pada abad XIX-XX M ketika waniat tertindas oleh
sitem masyarakat liberal-kapitalis yang cenderung ekploitatif. Di AS, misalnya,
kaum wanita baru mempunyai hak pilih dalam pemilu pada tahun 1920. Maka dari
itu mentrnsfer ide ini ketengah umat islam, yang memiliki sejarah dan
nilai-nilai yang unik , jelas merupakan generalisasi sosiologis yang terlalu di
paksakan dan tidak dapat di pertanggung jawabkan secara islam.
2.
Feminisme bersifat sekuleristik, yakni terlahir dari
aqidah pemisahan agama dari kehidupan. hal ini nampak jelas tatkala feminisme
memberikan solusi-solusi terhadap problem yang ada, yang tidak bersandar pada
satupun dalil syar’i. Jadi, para feminis telah memposisikan diri sebagai
musyarr’i (sang pembuat hukum), bukan Allah Azza wa jalla. Maka dari itu, tanpa
keraguan lagi dapat di tegaskan, feminisme adalah faham kufur. Allah SWT
berfirman: “siapa saja yang memberikan keputusan (hukum) dengan apa yan
di turunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS Al-Maidah : 44)
3.
Para feminis muslim, menggunakan metode historis-sosiologis khas kaum
modernis untuk memahami nash-nash syara’. Metode ini sebenarnya berasal dari
sistem hukum barat yang memandang kondisi masyarakat sebagai sumber hukum.
Fakta masyarakat di anggap sebagai dalil syar’i yang menjadi landasan penetapan
hukum. jelas di sini bahwa metode “usul fiqih” mereka adalah “usul fiqih”
yurispredensi hukum barat, bukan ushul fiqih yang murni di ambil dari para
ushuliyun kaum muslimin. Tentu saja ini sangat keliru. Sumber hukum tidak lain
adalah wahyu, yang termaktub dalam al-quran dan as sunnah, bukan realitas
masyarakat yang ada. Realitas sosial pada
saat suatu ayat hukum turun atau ketika suata hukum di simpulkan dari
ayat atau hadits dari seorang mujtahid, adalah fakta yang kepadanya hukum di
terapkan, bukan fakta yang darinya hukum di lahirkan. Dan juga selama manathul
hukmi (fakta yang menjadi objek penerapan hukum) di masa sekarang sama dengan masa
nabi dan sahabat, hukum tertentu untuk masalah tertentu tidaklah akan berbeda.
Jika ada manathul hukmi di jaman sekarang yang tidak terdapat di masa
sebelumnya , yang harus di lakukan adalah ijtihad untuk menggali hukum baru
bagi masalah baru, bukan mengubah hukum yang ada agar sesuai dengan realitas
baru. Jadi pembatalan dan penggantian hukum
seperti yang di lakukan para feminis muslim itu hakikatnya bukanlah
ijtihad , melainkan suatu kelancangan terhadap hukum Allah SWT, sebab manathul
hukmi yang ada sebenarnya tidak berubah.
4.
Para feminis muslim gagal memahami
khendak syariat islam dalam masalah hak dan kewajiban bagi lelaki dan
perempuan. Mereka mengangap bahwa kesetaraan lelaki dan perempuan , otomatis
menyebabkan kesetaraan hak-hak dan kewajiban bagi lelaki dan perempuan. Ini keliru, karena cara berfikir demikian
adalah cara berfikir logika (mantiqi) yang tidak berlandaskan pada dalil syar’i
manapun. Memang benar, islam memandang bahwa laki-laki dan perempuan itu
setara, dan bahwa Allah secara umum memberikan beban hukum (taklif syar’i) yang
sama antara laki-laki dan perempuan
Dalam hal wajibnya shalat, puasa, zakat, haji, amar
makhruf nahi munkar, dan sebagainya. Ini ketentuan secara umum. Namun, islam
menetapkan adanya takhshish (pengkhususan) dari hukum-hukum yang bersifat umum,
jika memang terdapat dalil-dalil syar’i yang mengkhususkan suatu hukum untuk
laki-laki saja, dan takhsis haruslah profesional, artinya hanya boleh ada pada
masalah yang telah di jelaskan oleh dali-dalil syar’i. Kaidah ushul fiqih
menetapkan :
“al-aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil
at-takhshis”
“lafadz umum tetap
dalam keumumannya selam tidak ada dalil yang mengkhususkannya”.
Dengan demikian , dapatlah di terima bila islam
mengkhususkan hukum-hukum kehamilan, kelahiran dan penyusuan hanya untuk
perempuan, bukan laki-laki, karena memang terdapat dalil-dalil syar’i mengenai
itu , demikian seterusnya . pengkhususan inilah yang di ingkari oleh para
feminis, padahal pengkhususan ini semata-mata berdasarkan dalil syar’i dari
al-kitab dan as-sunnah, buka mengikuti hawa nafsu para mufassair atau mujtahid
yang di cap oleh kaum feminis secara zalim sebagai laki-laki yang terkena bias
gender dalm penafsirannya terhadap al-qur’an dan as-sunnah. Yang juga patut di
catat, pengkhususan hukum sama sekali tidak bermakna adanya penghinaan salah
satu pihak oleh pihak lain, atau adaya dominasi/penindasan dari satu pihak
kepada pihak lain, sebagaimana ilusi para feminis. Ilusi seperti ini tentu
logis bagi para feminis, karena para feminis beranggapan bahwa kehinaan dan
kemulian lelaki/wanita mutlak di tentukan oleh kesetaraan hak dan kewajiban,
yang berarti tolak ukurnya adlah kuantitas pelaksanaan suatu aktifitas, bukan
kualitasnya. Ilusi ini timbul karena faham materialistik yang inheren dalam
ideologi kapitalisme/sosialisme. Padahal dalam islam tolak ukur kemulian adalah
ketaqwaan yang di ukur secara kualitatif, yaitu sebaik apa- bukan sebanyak
apa-seseorang menjalankan aktifitas dengan menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-NYA. Bukan di ukur secara kuantitatif yang mengukur seseorang
berdasarkan banyak sedikitnya peran atau aktifitas yang di lakukan. Allah SWT
berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah adalah orang yang palin bertaqwa di antara kamu.” (QS. Al hujurat
:13)
“(Allah) yang menjadikan mati dan hidup supaya dia
menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al mulk : 2).
Wassalam...
SEMOGA BERMANFAAT.
[1] Sirakh
adalah bagian dari Deuterokanonika. Dalam hal ini yang di kutip oleh penulis
berdasarkan persi terjemaham baru 1976 dalam sofware al kitab elektronik 2.0.
menurut insan mokoginta, deuterokanonika adalah bacaan tambahan di luar gereja.
[2] Budaya
yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin
[3] Browne,
A. 1998. “Responding to the Need of Low in Come and Homeless Women who are
Survivels of Family Violence”. Journal of American Medical Womens Asosiation
53(2):57-64 dalam www.endabuse.org,2
Januari 2006
[4] Centers
for Disease Control and Prevention, Costs of Intimate Patner Violence Against
Women in the Unaoted States, April 2003
[5] Jay G.
Silverman, PhD, Anita Raj, PhD, Loreley A. Mucci, MPH, and Jeane E. Hathaway,
MD,MPH.“Dating Violence Againts Adolescenet
girl and Asociated Substance use, Un healethi Waighate Control. Sexual
Riset Behavior, Pregnanci, and Suicidality”, Journal of The American Medical
Asociation, Vol 286, No.5,2001
[6] Strauss,
Muray A, Gelles Richard J., and Smith, Cristine. 1990 Physical Violence in
American Families, Riset Factors and Adaptations to Violence in 8,145 Families
new brun swicek: transaction publishers
[7] U.S.
Departemen of Justice Prevalince, Incidence, and Consequences of Violence
against Women Findings From The National Violence against Women Survei, August
1998
[8] (Ilyas,
Yunahar;12-13)
[9] (Smith,
Linda dan William Rapper;228)
[10]
(Ilyas,Yunahar;14-15
[11] (Smith,
Linda, William Rapper;229)
[12] (Smith,
Linda, William Rapper;229)
[13] (Ilyas,
Yunahar;18)
[14] (Ilyas,
Yunahar;21)
[15] (Ilyas,
Yunahar;49)
[16] Plain
Truth, June 1987
[17] Maulana
Wahiduddin Khan, Women Beetwen Islam and Western Society, Goodord Press,2000,
New Delhi, p. 108. Selanjutnya di singkat women
[18] Time
[19] Hadiah
tahunan internasional dalam bidang keilmuan atau penemuan,kemanusiaan, dan
sosial kemasyarakatan, perdamaaian dan sebagainya (kamus ilmiah populer)
[20] W.R.
Smith, Kinship ang Marriage in Early Arabia (London, 1907)
Loading...
0 Response to "LATAR BELAKANG ADANYA FAHAM FEMINIS"
Post a Comment