Dalam Ilmu Hadis, penelitian hadis dikenal dengan
istilah takhrîj al-hadîts yakni mengungkap hadis
kepada kitab-kitab sumber aslinya berikut sanadnya sekaligus menjelaskan
derajat kualitas dan status hukum hadis tersebut.[1]
Untuk melakiukan takhrîj
atau penelitian hadis maka ada tiga tahapan penelitian yang harus ditempuh,
yaitu:
1.
Pengumpulan data
Sebagai langkah awal, yakni mengumpulkan data-data
dari berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas,
yaitu seluruh hadis tentang masalah yang sedang dibahas pada berbagai kitab
induk (primer) dan mengumpulkan data yang menjadi alat analisis data yang
menginformatkan tentang kualitas sanad dan Mahmûd Thahhân, Ushûl
al-Takhrîj., hlm 10; Ahmad bin Muhammad al-Shiddîq
al-Ghimâri, 1994, Hushûl al-Tafrîj bi Ushûl al-Takhrîj,matan
hadis. Untuk lebih memudahkan penelitian secara manual maka --jika menggunakan CD
Program Mawsû‘at al-Hadîts al-Syarîf yang memuat Sembilan Kitab Hadis
(al-kutub al-tis‘ah)--, pilih penomoran (tarqîmât) ke-2, yakni:
penomoran al-‘Asqlâni dalam Fath al-Bâri untuk Shahîh
al-Bukhâri, Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi untuk Shahîh
Muslim dan Sunan Ibn Majah, Ahmad Muhammad Syâkir
untuk Sunan al-Tirmidzi, Abu Ghuddah untuk Sunan al-Nasâ’i, Muhy
al-Dîn untuk Sunan Abi Dâwud, Ihyâ’ al-Turâts untuk Musnad
al-Imâm Ahmad, ‘Ilmi untuk Sunan al-Dârimi, dan penomoran
Mâlik sendiri untuk al-Muwaththa’-nya.
Jika tidak menemukan hadis tersebut di
sembilan kitab di atas, maka cari pada CD. Program Al-Maktabah al-Alfiyah li
al-Sunnah al-Nabawiyyah dan CD. Al-Maktabah al-Syâmilah versi 2,11. Kedua CD ini
memuat ratusan kitab hadis, seperti: Sunan al-Bayhaqi al-Kubrâ, Sunan al-Dâraquthni, Mustadrak al-Hâkim, tiga Kitab al-Mu‘jam li al-Thabrâni, termasuk Kitab-kitab Takhrîj seperti Talkhîsh al-Habîr
li Ibn Hajr, Nashb al-Râyah li al-Zayla‘iy, al-Maqâshid al-Hasanah
li al-Sakhâwi, kitab-kitab hadis yang di-takhrîj oleh Nâshir al-Dîn
al-Albâni, Syu‘ayb al-Arna’ûth, dan lain-lain.
2. Analisis data kualitatif
Data yang sudah dikumpulkan
kemudian dianalisis secara kritis dengan menggunakan pendekatan kritik hadis,
yaitu:
a. Pendekatan kritik sanad hadis yang mengacu pada kaidah atau
standar uji keshahihan sanad hadis. Kaidah keshahihan ini merupakan derivasi
dari definisi hadis shahih sebagai berikut:
الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ الْمُسْنَدُ الَّذِي يَتَّصِلُ اِسْنَادُهُ
بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ،
وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًّا وَلاَ مُعَلَّلاً [2]
Hadis shahih adalah musnad yang
bersambung sanadnya melalui penukilan orang (baca: periwayat) yang adil dan dlabith dari periwayat yang
adil dan dlabith pula hingga akhir (sanad)nya, tidak syâdz dan tidak bercacat.
Atau definisi hadis shahih secara singkat yakni:
مَا رَوَاهُ
عَدْلٌ تَامُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ
السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍ [3]
Hadis yang diriwayatkan oleh
periwayat yang adil, sempurna kedlabithannya (kuat hapalannya), bersambung
sanadnya, tidak bercacat dan tidak syâdz.
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa syarat atau kriteria hadis
shahih adalah sebagai berikut:
1. Diriwayatkan oleh para periwayat yang ‘adl. ‘Adl dalam
pengertian ilmu hadis tidak sekedar
ditinjau dari aspek akhlak atau kepribadian yang baik, seperti: jujur, adil,
ahli ibadah, wara‘ (berhati-hati) dan tidak fasiq, tetapi juga meliputi
aspek yang sangat mendasar, seperti: beragama Islam (muslim), dewasa (bâligh)
dan berakal (âqil).
2. Para periwayat tersebut harus sempurna ke-dlabith-annya
yakni memiliki daya hapalan yang baik. Dlabth yang sempurna berarti
dia hapal hadisnya dengan baik dalam arti bisa menyampaikan hadis yang
diterimanya kapanpun dia menghendakinya, atau minimal sampai dia menyampaikan
hadis itu kepada periwayat yang lain. Syarat hapal dengan baik pada riwayatnya
ini sebenarnya sudah memenuhi standar kedlabithan, tetapi lebih baik lagi bila
ia paham dengan apa yang diriwayatkannya, meskipun ini bukan syarat mutlak.
3. Bersambung sanadnya (muttashil al-sanad) dari awal sampai
akhir yakni marfû‘ sampai Nabi
saw. Dengan demikian, hadis yang munqathi‘, maqthû‘, mursal, mu‘dlal, dan
sejenisnya, tidak masuk dalam kriteria hadis muttashil dan marfû‘.
4. Tidak punya cacat (‘illat) yang menggugurkan, baik yang
tampak ataupun tersembunyi yang mungkin terjadi pada sanad maupun matan hadis.
5. Tidak syâdz yakni tidak bertentangan dengan hadis yang
lebih shahih yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih tsiqah (terpercaya
karena keadilan dan kedlabitannya).[4]
Jika sebuah hadis memenuhi 5 (lima) kriteria hadis di atas secara
sempurna maka disebut sebagai hadîts shahîh (li dzâtihi). Tetapi
jika tidak maka kemungkinannya adalah hadis hasan atau hadis dla‘îf
(lemah). Hadis hasan, yaitu: hadis yang memenuhi kualifikasi
hadis sahih kecuali dalam masalah kedlabithan periwayatnya, yaitu:
kurang begitu kuat hapalannya. Hadis hasan ini masih termasuk
dalam hadis maqbûl (dapat diterima sebagai hujjah). Jika hadis hasan
ini ada dukungan dari jalur hadis lain yang lebih kuat atau minimal
sederajat, maka hadis hasan ini meningkat derajatnya menjadi shahîh
li ghayrihi (sahih karena lainnya). Sedangkan hadis dla‘îf, yaitu:
semua hadis yg tidak terkumpul syarat-syarat hadis sahih maupun hasan.
Untuk mengetahui kualitas sebuah hadis diperlukan kitab rijâl al-hadîts
(para tokoh hadis) yang menginformatkan otobiografi para periwayat hadis
(târîkh al-ruwâh) lengkap dengan komentar para tokoh kritikus hadis
terhadap mereka, seperti: Kitâb al-Jarh wa al-Ta‘dîl oleh ‘Abd
al-Rahmân bin Abi Hatim al-Razi (wafat 327 H), Mîzân
al-I‘tidâl oleh al-Dzahabi (w. 748 H), Tahdzîb al-Tahdzîb dan Taqrîb
al-Tahdzîb-nya Ibn Hajar al-’Asqalâni (w. 852 H).
Jika peneliti mendapatkan lafal hadis yang “agak aneh” dengan jalur
periwayat yang ghayr ma‘rûf (tidak dikenal) maka peneliti akan berusaha
meneliti kemungkinan adanya ‘illat pada beberapa kitab ‘Ilal al-Hadîts,
seperti: ‘Ilal al-Hadîts karya Ibn Abi Hâtim, dan al-‘Ilal
fi al-Hadîts: Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi oleh Hammâm ‘Abd al-Rahmân
Sa‘îd.
Kitab-kitab inipun belum cukup karena begitu banyak kritikus hadis dan
begitu beraneka ragamnya komentar dan penilaian mereka mengenai seorang
periwayat hadis yang kadang bahkan bertentangan satu sama lain. Untuk itu perlu
adanya syarat minimal yang harus dimiliki oleh kritikus hadis (al-jârih
wa al-mu‘addil) dan standar yang jelas dalam menilai al-jarh wa
al-ta‘dîl (kecacatan dan keadilan) seorang periwayat dalam meriwayatkan
sebuah hadis.
Syarat kritikus hadis sebenarnya sama persis dengan syarat ke-tsiqah-an
atau kredibilitas seorang periwayat hadis. Untuk menjaga obyektifitas dan
kejujuran, para kritikus disyaratkan harus memiliki integritas akhlaq yang baik
(‘âdil) sehingga ia tidak boleh
terlalu fanatik (ta‘ashshub) terhadap golongan atau mazhabnya dan
memiliki sikap permusuhan dengan periwayat yang dinilainya. Sikap seperti ini
dapat merusak kredibilitas dan citra seorang kritikus hadis.
Di samping syarat-syarat ke-tsiqah-an lainnya, yang perlu
ditekankan di sini adalah dari segi pengetahuan, ia harus mengetahui persis (âlim
atau ârif) tentang siapa yang dinilainya sehingga kritikus hadis
dituntut untuk menjelaskan letak kecacatan periwayat yang dinilainya. Meskipun
tidak menutup kemungkinan bahwa kritikus yang jauh masanya dengan periwayat
yang dikritiknya dapat merinci cacat periwayat yang dikritiknya, namun kritik
yang datang dari orang “dekat” (yakni yang hidup semasa) tentu dianggap lebih
tahu secara rinci tentang cacat periwayat yang dikritiknya dari pada kritikus
yang jauh masa. Dari sini kemudian muncul kaidah al-jarh: لاَ يُقْبَلُ
الْجَرْحُ
إِلاَّ
مُفَسَّرًا : Kritik
kecacatan tidak bisa diterima kecuali dijelaskan secara rinci.[5]
Penilaian kecacatan tanpa dijelaskan bukti kecacatannya –apalagi terhadap
periwayat yang sudah dikenal keadilannya-- tidak bisa diterima kritikannya
karena tidak memenuhi syarat mufassar (syarat rinci). Ibn ‘Abd al-Barr
(w. 463 H) –seperti yang dikutip oleh Tâj al-Dîn al-Subki-- menegaskan:
إِنَّ مَنْ ثَبَتَتْ عَدَالَتُهُ
وَمَعْرِفَتُهُ لاَ يُقْبَلُ قَوْلُ جَارِحِهِ إِلاَّ بِبُرْهَانٍ [6]
Sesungguhnya periwayat yang
telah pasti keadilannya dan dikenal keadilannya, tidak diterima kritikan
terhadapnya kecuali disertai dengan bukti.
Dengan demikian bila terjadi pertentangan antara penilaian cacat dengan
penilaian adil seorang periwayat maka peneliti memilih kaidah:
الْجَرْحُ الْمُفَسَّرُ مُقَدَّمٌ عَلَى
التَّعْدِيْلِ [7]
Kritik kecacatan yang dijelaskan secara rinci
didahulukan atas penilaian keadilan.
Akan tetapi bila terjadi kasus di
mana pen-jarh-an tidak disertai dengan bukti yang meyakinkan,
apalagi tidak ada satupun kritikus yang kredibel yang keberatan dengan pen-jarh-an
tersebut, maka peneliti akan bersikap hati-hati dengan mendahulukan ta‘dîl dari
pada jarh.
Sementara itu, penjelasan rinci terhadap keterpujian seorang
periwayat tidak dianggap penting. Hal ini karena arti ‘adil --menurut
Ibn Hibbân (w. 354 H)-- adalah orang yang tidak dikenal cacatnya. Selama
tidak ada yang mencacatnya maka dia tergolong orang yang ‘adil, kecuali
tentunya bila ada penjelasan rinci mengenai kecacatannya.[8]
Jika jumlah hadis yang diteliti cukup banyak, maka tanpa mengurangi
kualitas penelitian ini, maka tidak perlu mengungkap dan mengkritisi semua
periwayat hadisnya tetapi cukup mengkritisi para periwayat yang “kontroversial”
atau yang diperselisihkan ke-tsiqah-annya saja. Dengan demikian,
penilaian terhadap para sahabat yang sudah disepakati ke‘adilannya[9]
dan para periwayat lain yang sudah dikenal ketsiqahannya –seperti hadis
yang disepakati oleh al-Bukhâri dan Muslim (muttafaq ‘alayh)--, tidak perlu
dibahas secara panjang-lebar. Selanjutnya, jika dari segi sanad sudah jelas
kedaifannya maka tinggal memberikan penjelasan (syarah) ataupun catatan
singkat mengenai matannya.
Adapun mengenai hadis yang daif sanadnya tetapi tampak shahih matannya,
selama kedaifannya masih bisa ditolerir, artinya: bukan pendusta, tidak
tertuduh dusta, bukan ahli bid‘ah, bukan periwayat yang mubham (tidak
dikenal), bukan periwayat yang hadis-hadisnya munkar (menyalahi
periwayat yang lebih kuat) karena hapalannya tidak bisa dipertanggungjawabkan,
maka upayakan mencari jalur periwayat lain yang mungkin bisa menaikkan
derajatnya. Namun, jika kedaifannya keterlaluan dan sama sekali tidak ditemukan
jalur periwayat lain yang maqbûl[10]
maka hadis ini tetap berstatus sebagai hadis dla‘îf bahkan dla‘îf jiddan (lemah sekali).
Hal ini karena hadis yang kedaifannya keterlaluan meskipun jumlahnya banyak,
tidak bisa meningkat derajatnya menjadi hadis hasan li ghayrih (hasan
karena lainnya).[11]
b. Pendekatan kritik matan hadis yang mengacu pada kaidah
keshahihan matan hadis. Ini dilakukan khususnya bila ditemukan pertentangan
riwayat dengan riwayat para periwayat yang lebih tsiqah atau
bertentangan dengan kaidah keshahihan matan hadis secara umum.
Dalam menyelesaikan pertentangan matan hadis yang sanadnya sama-sama
shahih, maka sebagai langkah pertama yang umumnya ditempu oleh para
ulama adalah pengkompromian (al-jam‘u wa al-tawfîq). Jika tidak bisa
dengan pengkompromian maka langkah kedua
yakni melakukan al-tarjîh (mencari dalil yang paling
kuat di antara dalil yang sama-sama maqbûl). Jika dengan metode tarjîh
pun tetap tidak selesai maka sebagai langkah terakhir yakni dengan metode al-nâsikh
wa al-mansûkh yaitu dalil yang datang belakangan menghapus hukum dalil yang
datang lebih dahulu[12].
Namun jika tidak ditemukan lagi adanya pertentangan, maka baru memberikan penjelasan
atau pemahaman terhadap hadis (fiqh al-hadîts) yang
diteliti sambil merujuk pendapat para ulama besar sesuai dengan bidang
keilmuannya, seperti para fuqahâ’ (ulama fiqh), ulama kalam dan lain-lain.
Jika yang dibahas hadis dengan tema fiqh, maka bisa merujuk pada kitab-kitab
fiqh, seperti: Fiqh al-Sunnah oleh al-Sayyid Sâbiq, atau kitab al-Fiqh
al-Islâmi wa Adillatuhu oleh Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh ‘ala Madzâhib
al-Arba‘ah, Subul al-Salâm oleh al-Shan‘âni, dan lain-lain,
3. Penarikan kesimpulan
Hasil temuan dari penelitian terhadap suatu hadis
disimpulkan pada akhir pembahasan setiap sub bahasan, tentang derajat hadisnya
(misal: shahîh, hasan & dla‘îf) atau status
kehujjahannya, apakah maqbûl (diterima sebagai hujjah) ataukah mardûd
(ditolak sebagai hujjah). Setelah itu, pada bagian akhir dari penelitian, berikan
kesimpulan-kesimpulan berupa poin-poin penting yang merupakan jawaban dari
masalah yang diteliti.
* Anggota MTDK PP.
Muhammadiyah, Dosen FAI UMY, dan Ketua Lembaga Pengkajian & Pengamalan
Islam (LPPI) UMY.
[1] Mahmûd Thahhân, Ushûl al-Takhrîj
wa Dirâsât al-Asânîd, (Qâhirah: Dâr Kutub al-Salâfiyah, 1982), hlm
10; Ahmad bin Muhammad al-Shiddîq al-Ghimâri, Hushûl
al-Tafrîj bi Ushûl al-Takhrîj, (Riyâdl: Maktabah Thabariyah), hlm 13
[2] Ibn al-Shalâh, 1972, ‘Ulûm al-Hadîts,
(Madînah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah), hlm 10
[3] Ibn Hajar al-’Asqalâni, 1352, Nuhbat
al-Fikar, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah) hlm 51
[4] Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, 1409/1989, Ushûl al-Hadîts., (Bayrût: Dâr al-Fikr), hlm. 305; Sebagian ulama mengembangkan
cakupan definisi syâdz yaitu matan hadis tersebut tidak bertentangan
dengan ayat Al-Qur’an, akal sehat, kepastian sejarah dan ilmu pengetahuan.
Lihat Syuhudi Ismail, 1988, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm
111-135; Musthafâ al-Sibâ’i, 1966, al-Sunnah
wa Makânatuha fi al-Tasyrî‘ al-Islâmi, (Ttp: Dâr al-Qawmiyyah), hlm 206-207
[5] Tâj al-Dîn al-Subki, Qâidah fi al-Jarh
wa al-Ta‘dîl, muhaqqiq: Abu Ghuddah, 1398/1978, (Qâhirah: Dâr
al-Wâ‘iy), hlm. 22; ‘Abd al-‘Adzîm bin ‘Abd al-Qawiyy al-Mundziri, 1406, Risâlah
fî al-Jarh wa al-Ta‘dîl, (Kuwayt: Maktabah Dâr al-Aqshâ), juz 1, hlm
40.
[6] Tâj al-Dîn al-Subki, Idem, hlm. 22; Lihat
juga Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-’Asqalâni, Fath
al-Bâri, muhaqqiq: Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, 1379,
(Bayrût: Dâr al-Ma‘rifah), juz 1, hlm
189.
[7] M. Syuhudi Ismail, 1992, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang),
hlm 78
[8] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar
al-’Asqalâni, Lisân al-Mîzân, (Bayrût: Mu’assasat al-A‘lami li
al-Mathbû‘ât, 1986/1406), juz 1, hlm 14.
[9] Kaidah yang dipakai untuk kualitas para sahabat
adalah كل الصحابة عدول . Lebih lengkap baca ‘Adâlat
al-Shahâbah dalam kitab Ushûl al-Hadîts oleh Muhammad
‘Ajjâj al-Khathîb hlm 392-400; Al-Khathîb al-Baghdâdi, 1352, al-Kifâyah
fî ‘Ilm al-Riwâyah, (Ttp: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi), hlm 46-49;
Al-Suyûthi, 1379, Tadrîb al-Râwi, (Qâhirah: Maktabah al-Qâhirah), hlm.
400; Al-Sakhâwi, Fath al-Mughîts, jld iv, hlm 34.
[10] Termasuk hadis dla‘îf yang tidak bisa
saling mendukung peningkatan kualitasnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh
sekelompok periwayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kualitas pribadi dan
hapalannya dalam satu generasi di mana tidak ditemukan periwayat lain yang maqbûl
di masa mereka. Hadis dengan periwayat seperti ini tidak bisa saling
menguatkan satu sama lain, dianggap “terputus” dari jalur periwayat yang sahih
dan tetap berstatus sebagai hadis dla‘îf.
[11] Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts,
hlm 349-350
[12] ‘Abd al-Wahhâb Khallâf, 1388/1968, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Qâhirah: Maktabat al-Da‘wat al-Islâmiyah) hlm 229. Ulama
Syafi`iyyah dan Malikiyyah menambahkan langkah ke empat yakni al-tawaqquf (mendiamkannya
untuk sementara waktu). Namun jika masalah yang bahas mendesak untuk dipecahkan
maka sebaiknya tidak di-tawaqquf-kan.
Oleh Syakir Jamaluddin,
MA.
Loading...
0 Response to "BAGAIMANA MENELITI HADIS"
Post a Comment