Bangsa Arab
sebagai masyarakat yang pertama kalinya menerima ajaran Islam, bukanlah bangsa
yang tidak mempunyai tata aturan sama sekali. Dalam beberapa hal mereka
mempunyai aturan berupa tradisi yang mereka warisi seara turun temurun dari
nenek moyangnya. Tradisi mereka, di samping ada yang baik sesuai dengan logika
yang sehat, banyak juga yang tidak dapat diterima oleh akal yang sehat dan
fitrah yang murni, termasuk dalam masalah pewarisan. Kondisi kewarisan pada
masyarakat Arab jahiliyah antara lain dapat dilihat dari sebab-sebab seseorang
mendapat warisan dari yang lainnya.
A. Sebab-sebab mewarisi pada
masyarakat jahiliyah
Adapun
sebab-sebab seseorang mendapat warisan dari yang lain, pada bangsa Arab di
jaman jahiliyah adalah dikarenakan satu dari tiga hal, yaitu:
1. النسب
والقرابة karena
mempunyai hubungan nasab/kekerabatan dengan pewaris,
2. الحلف
والمعاقدة karena ada ikatan sumpah setia dengan pewaris,
3. التبنى
karena sebagai anak angkat (baca:
Hasanain M. Makhluf, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyah, hlm. 4-6;
Abd. Rahim al-Kisyka, al-Miras al-Muqaran, hlm. 12-14).
Namun dalam
semua sebab di atas dibatasi bahwa mereka yang berhak mendapat warisan hanyalah
"laki-laki yang sudah dewasa". Adapun wanita, sekalipun sudah dewasa
dan laki-laki yang belum dewasa, tidak berhak mendapat warisan. Penjelasan
ringkas dari ketiga sebab tersebut sebagai berikut:
1. Pewarisan
karena ada hubungan nasab dengan pewaris.
Sekalipun
mereka mewarisi karena ada hubungan nasab, hubungan kekerabatan, atau hubungan
darah, antara ahli waris dengan pewaris, akan tetapi seperti dikemukakan di
atas ahli waris yang bisa menerima warisan karena hubungan darah ini terbatas
hanya orang laki-laki yang sudah dewasa saja. Hal demikian dikarenakan dalam
pandangan orang Arab jahiliyah orang yang berhak mendapat warisan itu hanyalah
orang yang sudah mampu naik kuda dan memanggul senjata untuk membela kehormatan
keluarga dan clan/qabilah dari serangan orang lain, dan orang yang mampu
mendapatkan harta rampasan perang dengan menyerobot harta-harta rnusuh. Hal
demikian tidak mungkin dilakukan oleh perempuan karena fisiknya lemah, begitu
pula anak-anak, sehingga karenanya mereka tidak layak mendapat warisan.
Bangsa Arab
jahiliyah adalah bangsa yang hidupnya berclan-clan dan tergolong bangsa yang
nomad, hidup tidak menetap, gemar mengembara dan berperang. Di samping usahanya
yang lain, kehidupan mereka pun sedikit banyaknya tergantung daripada hasil
jarahan dan rampasan perang dari clan-clan yang mereka kalahkan. Dengan
demikian ada ketergantungan yang tinggi kepada orang yang bisa berperang untuk
mempertahankan hidup dari serangan orang lain atau untuk mengalahkan kelompok
lain dan menjarah harta rampasan perang. Ketergantungan yang tinggi kepada
orang yang bisa berperang berarti ketergantungan kepada laki-laki yang sudah
dewasa, sekaligus menghilangkan peran dari perempuan dan orang-orang yang belum
dewasa. Menurut mereka logis kalau warisan hanya diberikan kepada laki-laki
yang sudah dewasa saja dan logis pula kalau perempuan serta laki-laki yang
belum dewasa tidak berhak mendapatkannya.
Pada masa jahiliyah, selain wanita tidak boleh mendapatkan warisan,
sebagian besar mereka bahkan beranggapan wanita (janda) sendiri merupakan
barang warisan (Ibnu Kasir, I: 465). Beberapa riwayat yang dinukil oleh Ibnu
Kasir dalam menerangkan asbab an-nuzul ayat 19 surat an-Nisa' merupakan
bukti bahwa wanita janda itu dapat diwarisi. Salah satu riwayat
menyebutkan bahwa jika ada seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan isteri
(janda), maka janda tersebut dapat diwarisi oleh anaknya atau kerabatnya. Jika wanita
itu cantik akan dikawininya, tetapi apabila tidak disenanginya, maka wanita itu
ditahannya dan tidak boleh kawin dengan orang lain sampai dia meninggal dunia
atau mengembalikan mahar yang dulu ia terima. Pada masa Islam, tradisi ini
kemudian dibatalkan dengan turunnya surat an-Nisa' ayat 19:
يايّها
الذين امنوا لايحلّ لكم أن ترثوا النّساء كرها ولا تعدلوهنّ لتذهبوا ببعض مآاتيتموهنّ
إلاّ أن يأتين بفاحشة مبيّنة (النساء: 19 )
Dalam pada itu
kebiasaan tidak memberi warisan kepada wanita, juga dapat diketahui dari
riwayat-riwayat yang merupakan asbab an-nuzul ayat-ayat mawaris.
Meskipun riwayat-riwayat itu agak berbeda dalam penyebutan orangnya, tetapi
hampir seluruh riwayat itu berkaitan dengan tidak diberikannya hak warisan
kepada perempuan.
Salah satu riwayat tersebut bersumber dari sahabat Jabir,
menerangkan pengaduan janda dari Sa'ad bin Rabi' sebagai berikut (
Asy-Syaukani, Nail al Autar, VI: 171):
عن جابر
قال جاءت امرأة سعد بن الربيع الى رسول الله صلعم بابنتيها من سعد فقالت يا رسول الله
هاتان ابنتا سعد بن الربيع قتل ابوهما معك فى احد شهيدا, وإنّ عمها أخذ مالهما فلم
يدع لهما مالا, ولا يُنْكحان إلاّ بمال, فقال يقضى الله فى ذلك, فنزلت آية الميراث,
فأرسل رسول الله صلعم الى عمهما فقال: أعط ابنتى سعد الثلثين وأمهما الثمن وما بقى
فهو لك (رواه الخمسة إلا النسائى)
Tindakan
saudara laki-lakinya Sa'ad bin Rabi' yang mengambil seluruh harta peninggalan
Sa'ad bin Rabi' dan tidak menyisakan sedikitpun untuk isteri dan anak
perempuannya Sa'ad bin Rabi' adalah sebagai gambaran bahwa waktu itu perempuan
tidak berhak mendapat warisan.
Diriwayatkan
pula bahwa setelah diturunkannya ayat mawaris yang mengatur bagian ahli waris
wanita, masih ada orang yang antipati, karena apa yang ditetapkan Allah
bertentangan dengan kebiasaan mereka. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang
bersumber dari Ibn Abbas r.a. bahwa di antara orang-orang yang antipati itu ada
yang menghadap Rasulullah dan bertanya: Wahai Rasul apakah kita akan memberikan
warisan kepada anak kecil yang tidak menghasilkan apa-apa?, apakah kita akan
memberikan seperdua bagian kepada anak perempuan dari harta yang ditinggalkan
ayahnya, padahal ia tidak bisa menunggang kuda dan berjuang di medan tempur?
2. Pewarisan
karena ada ikatan sumpah setia
Di kalangan
orang Arab jahiliyah, seseorang mendapat warisan selain karena mempunyai
hubungan darah dengan pewaris juga karena adanya janji setia. Sudah menjadi
tradisi di kalangan mereka, dua orang mengadakan sumpah setia untuk saling
tolong menolong, untuk sehidup semati. Apabila seseorang senang kepada yang
lainnya, maka dia berkata kepada yang disenanginya :
دمى دمك
وهدمى هدمك وترثنى وارثك وتطلب بى واطلب بك
"Darahku darahmu juga, tertumpahnya darahku berarti
tertumpahnya darahmu, engkau mewarisi dari aku dan aku pun mewarisi dari kamu,
engkau menuntut bela karena aku dan aku menuntut bela karena engkau".
Temannya kemudian menjawab
seperti itu juga (Abd Rahim al-Kisyka, al-Miras al-Muqaran, hlm. 13)
Atau dengan ucapan lain yang
mereka ucapkan setelah mereka saling rneletakan tangan, seperti:
عاقدنى
وعاهدنى على النصرة والمعاينة
"Bersumpah setialah dan berjanjilah padaku untuk saling
tolong menolong dan bantu membantu".
lalu pihak yang satunya
menyetujuinya (Fatchur Rachman, Ilmu Waris, 1994: 14)
Apabila yang
bersumpah setia itu (laki-laki yang sudah dewasa) ada yang meninggal maka
temannya yang hidup berhak mendapat warisan sebesar seperenam, dan sisanya
dibagi di antara ahli warisnya yang lain (Hasbi, Fiqhul Mawaris, hlm.
15).
3. Pewarisan
karena pengangkatan anak
Mengadopsi anak
merupakan tradisi yang merata pada orang Arab jahiliyah. Dalam tradisi mereka,
anak yang diadopsi kemudian nasabnya dirubah, tidak lagi dinasabkan kepada
orang tua kandungnya tetapi dinasabkan kepada orang tua angkatnya, sehingga
status anak angkat sama dengan anak kandung. Muhammad sendiri sebelum menjadi
rasul, telah mengadopsi anak yang bernama Zaid bin Harisah, setelah diadopsi lalu
dipanggil dengan Zaid bin Muhammad. Apabila orang tua angkatnya meninggal
dunia, anak angkat berhak mendapat warisan sebagaimana anak kandungnya dengan
ketentuan anak angkat terebut harus
laki-laki dan sudah dewasa.
Bersambung ke B. Sebab-sebab Mewarisi pada Fase Hijrah... klik disini
Bersambung ke B. Sebab-sebab Mewarisi pada Fase Hijrah... klik disini
Loading...
0 Response to "TAHAP-TAHAP PENSYARI'ATAN HUKUM KEWARISAN ISLAM"
Post a Comment