Pendahuluan
Ilmu-ilmu keislaman sejak awal
penyebaran agama ini mengalami dinamika yang progresif.diantara indikator
dinamika ilmu-ilmu Islam dalam konteks kekinian adalah berkembangnya berbagai
disiplin ilmu, seperti ilmu tafsir, hadits, tasawuf, kalam, dan ilmu ilmu
lainnya yang sudah dikembangkan oleh para ilmuwan muslim dari sejak dulu sampai
sekarang.
Fiqih atau hukum Islam merupakan
salah satu bidang study Islam yang paling dikenal dalam masyarakat.[1]
Hal ini terkait karena obyek ilmu fiqih berkaitan langsung dengan masyarakat.
Selain itu, fiqih sebagai disiplin keilmuan, ilmu fiqih akan senantiasa terus
berkembang sesaui dengan perkembangan zaman.[2]
Epistimologi barasal dari kata episteme
yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti ilmu,[3]sering
diartikan sebagai teori pengetahuan yang meneliti asal, struktur,metode-metode
dan kebenaran ilmu pengetahuan. Ada beberapa isu utama dalam bidang epistimologoi
ini, yaitu pertama, apa yang dimaksud dengan fiqih?, kedua, apa sumber
pengetahuan ini?, ketiga, dari mana asal usul pengetahuan ini?, keempat, apakah
pengetahuan yang di peroleh benar?
Makalah ini bermaksud membahas
terhadap salah satu keilmuan Islam yaitu ilmu fiqih dilihat dari sudut pandang epistimologinya.
Yakni tentang strukrtur dan cara kerja ilmu fiqih ini. Di samping itu, makalah
ini juga untuk memenuhi tugas mid semester pada mata kuliyah filsafat ilmu.
Pembahasan
1.
Pengertian
Ilmu Fiqih
Fiqih berasal dari kata al Fiqh yang menurut bahasa adalah:
al Ilmu ma’a al Fahm[4](mengetahui
sesuatu dan memahaminya). Sedangkan Fiqih menurut istilah adalah Kumpulan
hukum-hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan mukallaf, yang di keluarkan
dari dalilnya yang terperinci.[5]
Dari pemaknaan Fiqih secara terminology di atas terlihat jelas bahwa obyek ilmu
ini berupa perbuatan lahir manusia .
Di dalam al Qur’an banyak ayat yang berkaitan
dengan kata fiqih, di antaranya yaitu
yang terdapat dalam surat at Taubah:122
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.(QS.
At Taubah:122)
Di dalam hadits Nabi juga di sebutkan:
من يريد الله به خيرا يفقهه في الدين
“ Barang siapa yang
di kehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya niscaya di berikan kepadanya pemahaman yang mendalam
dalam pengetahuan agama”(HR. at Thabrani)
2 . Pertanyaan yang ke dua yaitu apa
sumber pengetahuan dari ilmu fiqih?
Kalau melihat dari penjelasan arti fiqih di
atas, sudah jelas bahwa fiqih merupakan usaha untuk mencari pengetahuan dari
dalil teologis yang bersifat ilahiyah,
maka dapat di ambil sebuah pemahaman bahwa sumber pengethuan dari ilmu fiqih adalah dalil ilahiyah(wahyu)
dan akal. Dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman
wahyu bertindak sebagai sumber pengetahuan .
Pengetahuan
manusia yang di peroleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik , karena
seorang yang menerima pengetahuan melalui wahyu merupakan orang yang memiliki
otoritas keagamaan yang tinggi yang sering di sebut dengan Nabi. Posisi wahyu
dalam agama islam sangatlah sentral, dilihat dari sudut pandang historis maupun
normative, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, dan membimbing
manusia dalam berinteraksi dengan Tuhannya.
Dari
sini dapat di pahami bahwa struktur ilmu fiqih adalah pertama sumber hukum(masadir al ahkam) yaitu
wahyu yang meliputi al Qur’an dan as Sunnah, dan yang kedua dalil hukum (adillah
al ahkam) yang merupaka beberapa metode para ahli hukum dalam menggalihukum
islam yang disebut dengan istinbat dan istidlal.
Cara kerja
memahami nash
Dalam
memahami fiqih seorang mujtahid akan memahami nas al Qur’an dan as Sunnah ,
kemudian kalau tidak ada dalam keduanya mereka akan berijtihad dengan
menggunakan berbagai metode yang beragam seperti, qiyas, ijma’, dan lain
sebagainya guna mendapatkan sebuah kepastian hukum dari persoalan yang di temui
sehingga pada akhirnya akan menghasilkan fiqih.
Dalam
menggunkan berbagai metode tersebut antara mujtahid yang satu berbeda dengan
mujtahid yang lain, mereka juga berbeda pendapatnya dalam rangka menjawab
pertanyaan. Bagaimana kita bisa mengetahuinya? Al Syatibi(W.790 H)
mengelompokkan empat macam bentuk pola
pikir dalam memahami maksud nas, yaitu:
a) Pola pikir
dzahiriyah(neo-skripturalis)[6]
Madzhab
ini di pelopori oleh Dawud bin Ali Khalaf al Ashabani al Zahir. Ia lahir di
kufah tahun 202 H dan wafat di Baghdad tahun 270 H. Menurut pola pikir kaum
tekstualis maksud syara’ hanya bisa di fahami secara redaksi nas, dimana mereka
memahami agama tidak dalam kerangka maqasid,mereka menolak ta’lili. Untuk itu
mereka tidak menggunakan bantuan pemahaman di luar nas dalam menetapkan hukum.
Menurut golongan ini fiqih hanya cukup di dapat dari al Qur’an dan as Sunnah
saja.sehingga kalau tidak ada hukum dari keduanya, maka masalah waqi’iyah
akan di mauqufkan. Karena pemahaman yang muncul adalah seandainya al
Qur’an dan as Sunnah tidak menyebutkan hukum sesuatu , maka hukumnya adalah
boleh.
b) Pola pikir bathiniyah(neo-liberalis)
Pola
pikir madzab ini mengikuti pola pikir imamnya. Kata imamnyalah sebuah
kebenaran. Golongan ini di namai bathiniyah karena mempunyai pendirian setiap yang lahir ada
bathinnya, dan setiap yang turun dalam arti wahyu ada ta’wilnya. Jadi pola pikir
ini sangat liberal dan tidak menggunakan kaidah sebagaimana yang terdapat dalam
kajian ilmu ushul fiqih. Mereka lebih mengedepankan peran akal dan mengecilkan
pola nas, serta menolak nas dengan logika maslahat.
c) Pola pikir kontekstual
Kelompok
ini lebih memprioritaskan makna lafadz dari pada lafadz itu sendiri. Doktrin
yang mereka ajukan dalam memahami nas adalah mencari makna di balik lafadz
selagi yang di peroleh tidak bertentangan dengan nas tersebut. Kecuali pada
teks-teks yang bersifat mutlak atau utuh. Jika ada pertentangan teks nas dengan
makna teks atas dasar nazariyat,
kelompok kontekstualisme akan mengutamakan makna hasil penalaran dengan alasan
demi tegaknya kemashlahatan.
d) Gabungan antara tekstualis dan
kontekstualis
Al
syatibi menyatakan bahwa golongan pola pikir ini sangat matang dalam keilmuwan,
mereka dapat menggabungkan makna tersurat dan tersirat dari makna teks. Dari
sini sudah kelihatan tipologi berfikir tersebut dapat difahami bahwa pola piker tekstual (zahiriyah) dengan
menekankan teks tanpa mau berpaling dari rasionalitas dengan perangkat akalnya.
Disamping zahiriyah adalah bathiniyah yang menggunakan perasaan untuk
memperoleh ilmu. Polan pikir kontekstual lebih cenderung kepada reasoning
sehingga ilmu menurut mereka lebih difahami dari makna yang tersirat(implisit)dari
pada yang tersurat .
Hasil
penalaran Ilmu Fiqih
Al
Qur’an dan as Sunnah sebagai sumber ilmu
fikih, dengan bantuan ulumul Qur’an dan ulumul Hadits mencakup tiga macam
hukum. Pertama, hukum yang menyangkut keyakinan orang dewasa(mukallaf) kedua,
hukum-hukum etika yaitu keharusan seseorang berbuat kebaikan dan meninggalkan
keburukan, ketiga. Hukum-hukum praktis (amaliyah) yang mengatur perbuatan maupun
ucapan seseorang. Hukum-hukum praktis meliputi dua cabang besar yaitu fiqh
ibadah, yakni hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dan fiqih
mu’amalah yaitu hukum yang mengatur manusia dengan individu lainnya.
Hukum
yang mengatur manusia sebagai individu dengan individu lainnya dalam komunitas
melahirkan hukum pidana( al ahkam al jina’i) tujuan hukum ini adalah
menjamin kelangsungan hidup manusia ,harta, kehormatan. Hukum yang mengatur
hubungan Negara Islam dengan Negara lain, hubungan antara nonmuslim dinegara Islam
dan sebaliknya, melahirkan hukum internasional (al-ahkam ad-duawaliyah).
Tujuan hukum ini adalah menjelaskan batasan hubungan antara Negara Islam dan
Negara lain. Hukum yang mengatur hubungan yang berkenaan dengan fakir miskin
dalam harta orang kaya dan mengatur sumber pendapatan dan pengeluaran Negara
melahirkan hukum ekonomi dan keuangan( al-ahkam iktishadiyah wal maliyah).Tujuan hukum ini adalah mengatur hubungan
orang kaya dengan fakir miskin dan hubungan antara warga satu Negara dengan
warga satu Negara lain.
Kesimpulan
Struktur
ilmu fiqih pertama adalah sumber hukum dalam masadir al-ahkam yaitu al-Qur’an
dan as Sunnah, kedua adalah ijtihad yang dilakukan oleh para ahli hukum dalam
menagkap atau memahami beberapa dalil hukum (adilah al-ahkam) yang terdiri dari
ijma , qiyas, maslahah, istihsan, istihshab, dan urf
Cara
kerja ilmu fiqih adalah menggali fiqih atau hukum dari sumbernya yaitu al Qur’an dan as Sunnah,
kemudian kalau tidak ada akan dilakukan dengan ijtihad menggunakan dalil. Hanya
saja para ahli ushul berbeda beda dalam pemahaman, baik yang menggunakan
pendekatan tekstualis, atau bathiniyah, atau kontekstualis, sehingga pada
akhirnya sama-sama menghasilkan hukum.
Hasil
penalaran ilmu fiqih dapat menghasilkan berbagai macam aturan yang dapat
mengatur semua lini kehidupan seorang muslim, baik yang berhubungan langsung
kepada Tuhannya ataupun anrtar sesama manusia.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Asjmuni,Qawa’id
Fiqhiyyah,(Yogyakarta:suara Muhammadiyah,2011) cetakan ke 3
Nata abuddin , Metodologi studi Islam,(Jakarta:
Rajawali Pers,2010) cetakan ke 17
Ash Shobuni Abdurrahman, ba bakr kholifah,
al Madkhol al Fiqhi wa Tarikh al Tasyri’al Islami,(al
Azhar: Maktabah wahbah, 1985)
Djazuli,A,Ilmu fiqih, penggalian,
perkembangan, dan penerapan hukum Islam,(Jakarta: kencana prenada media group,2006) cetakan ke 6
Abu
al ainain Badran, Ushul al fiqh al islami,(Iskandariyah:muassasah al
jami’ah,1984)
Al syatibi abi ishak Ibrahim al
lahmi, Al muwafaqat fi ushul al syari’at,( Beirut: dar al makrifat,1997)
Adib Mohammad , Filsafat Ilmu,(Yogyakarta.:pustaka
pelajar,2011) cetakan ke 2
[1] Abuddin Nata, Metodologi studi
Islam,(Jakarta:Rajawali pers,2010) cetakan ke 17, h.295
[2] A. Djazuli, Ilmu fiqh,
penggalian,perkembangan,dan penerpan hukum islam,(Jakarta:kencana,2006)
cetakan ke 6, h.5
[3] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu,(Yogyakarta.:pustaka
pelajar,2011) cetakan ke 2,h. 74
[4] Badran abu al ainain, Ushul al
fiqh al islami,(Iskandariyah:muassasah al jami’ah,1984) h.23
[5] Asjmuni Abdurrahman, Qawa’id
Fiqhiyyah,(Yogyajarta:suara Muhammadiyah,2011) cetakan ke 3,h.2
[6] Abdurrahman ash shabuni, al
madkhol al fiqhi wa tarikh al tasyri’ al islami(al azhar: dar at taufiq an
namudijiyah) h.289
Diajukan Untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Filsafat Ilmu di PUTM (Ahmad Syarif)
Loading...
0 Response to "Makalah Filsafat: Epistemologi Hukum Islam"
Post a Comment