A. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah Ta’ala semata.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang tiada nabi setelahnya, juga kepada seluruh
keluarga dan sahabatnya Radhiyallahu ‘Anhum. Amma ba’du :
Kami mengangkat tema ini karena kami menganggap
masjid itu mempunyai pengaruh yang sangat urgen bagi kehidupan masyarakat
terutama menyangkut pendidikan. Dengan makalah ini kami sangat berharap masjid
itu menjadi sentra kehidupan umat dalam menegakkan panji-panji islam ditengah
begitu gencarnya musuh-musuh islam membuat cara sedemikian rupa untuk
menjauhkan kita dari masjid, karena mereka tahu betul dari mesjidlah kekuatan
islam itu dibentuk dan dikokohkan.
Oleh karena itu kita perlu tahu apa saja
peranan masjid itu dalam membentuk akhlak masyarakat islam supaya bisa
terjauhkan dari pengaruh lingkungan yang buruk yang merusak kesehatan rohani
kita. Karena lingkungan itu mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk
karakter seseorang, seseorang bisa diketahui kepribadiannya hanya dengan
melihat lingkungan di mana ia tinggal. Begitu juga dengan umat islam, kuat
ataupun lemahnya bisa diketahui dengan melihat masjidnya, apakah masjid itu
dimakmurkan atau diterlantarkan, masih terdengarkah lantunan azan atau hanya
membisu.
B. Kedudukan
& Peranan Masjid Dalam Islam, serta Tugas Universalnya bagi Kemaslahatan
Dunia & Akhirat
Masjid merupakan rumah Allah, tempat dimana manusia
menyembah-Nya dan mengingat nama-Nya. Pengunjung di dalamnya adalah orang yang
memakmurkannya, dan merupakan sebaik-baik bidang tanah Allah di muka bumi ini,
sebagai menara petunjuk, serta corong agama. Ia adalah majelis dzikir,
mihrabnya ibadah, menaranya pengajaran ilmu dan pengetahuan pokok-pokok
syari’at. Bahkan ia merupakan lembaga pertama yang menjadi titik tolak
penyebaran ilmu dan pengetahuan di dalam Islam !!!
Mengenai keutamaan masjid dan keagungan
kedudukannya, maka terdapat banyak teks-teks agama (an-nushush) mengenai
hal tersebut, diantaranya adalah :
Firman Allah Ta’ala :
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ
اللَّهِ أَحَداً ﴿18﴾ سورة الجن
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah
kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di
samping (menyembah) Allah.” (QS.72:18).
Allah Subhanahu wa Ta’ala –sebagai
Pemilik segala sesuatu- menyandingkan masjid-masjid kepada-Nya. Penyandaran
masjid kepada-Nya merupakan pemuliaan dan mengagungan terhadapnya. Dan masjid
bukanlah kepunyaan siapapun, melainkan Allah semata. Sebagaimana halnya dengan
ibadah yang telah dibebankan oleh Allah Ta’ala kepada
hamba-hamba-Nya, maka tidaklah diperkenankan untuk dialihkan pelaksanaannya
selain kepada-Nya saja.
Dalil lainnya, hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ
اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ
عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ
وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.
“Tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu
rumah-rumah Allah (masjid). Mereka membaca al-Qur`an dan saling mempelajarinya
(bersama-sama) di antara mereka, melainkan (akan) turun ketenangan atas mereka,
mereka akan diliputi rahmat, dan para Malaikat (hadir) mengelilingi mereka,
serta Allah menyebutkan (nama-nama) mereka di hadapan (para Malaikat) yang
berada di sisi-Nya.”[1]
Diantara dalil lain yang menunjukkan kedudukan
masjid di sisi Allah Ta’ala, bahwa yang memakmurkannya baik
secara material dan imaterial, hanyalah makhluk Allah Ta’ala pilihan,
yaitu dari kalangan para Nabi dan Rasul, serta para pengikut-pengikut mereka
dari orang-orang yang beriman, Allah Ta’ala berfirman :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ
الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ ﴿127﴾ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ
وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ
عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿128﴾ سورة البقرة
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdo`a): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah)
di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah
kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’.”
(QS. 2:127-128).
Dan firman Allah Ta’ala tentang
orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid-Nya :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ
بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ
يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ ﴿18﴾
سورة التوبة
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah
ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain
kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 9:18).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan
kepada siapa saja yang membangun masjid di muka bumi ini yang dilandasi dengan
niat karena Allah Ta’ala semata, maka Allah Ta’ala akan
membangunkan rumah baginya di surga. Sebagaimana dalam hadits ‘Utsman bin
‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda :
مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ
كَهَيْئَتِهِ فِي الْجَنَّةِ.
‘Barangsiapa
yang membangun masjid karena Allah, (niscaya) Allah akan membangunkan baginya
yang semacamnya di dalam surga’.”[2]
Jika masjid dikehendaki memainkan
peranan-peranannya, maka dimungkinkan untuk menjalin kerjasama dengan
lembaga-lembaga lain, yang pada akhirnya akan mewarnai kehidupan masyarakatnya,
dengan celupan islami yang pernah mewarnai komunitas masyarakat pertama di
zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan generasi awal
dari kalangan para sahabat dan tabi’in Radhiyallahu ‘Anhum dan
zaman-zaman kecemerlangan Islam.
Sudah selayaknya lembaga-lembaga ini saling
bekerjasama dengan masjid di bidang penyuluhan dan pembudayaan. Dan
lembaga-lembaga ini bekerja secara menyeluruh dan terprogram rapi, sehingga
menghasilkan produk muslim yang soleh. Sesungguhnya peran masjid dalam
realitasnya, merupakan bagian integratif bersama peran-peran lembaga-lembaga
lainnya di dalam masyarakat. Dari masjidlah, lembaga-lembaga ini menjalankan
kegiatan-kegiatannya yang mengurai berbagai belitan, serta berpartisipasi dalam
merajut kehidupan masyarakat.
Sesungguhnya masjid masih tetap menjalankan
peranannya yang agung ini selama berabad-abad, dan berlangsung hingga saat ini
dimana umat Islam yang secara internal berada pada tingkatan “buih lemah yang
mengapung”. Sementara secara ekstrenal, kekuatan jahat, kezaliman secara
terang-terangan memaklumatkan permusuhan dan peperangan atas umat Islam.
Peranan masjid menjadi melemah dan terkulai, mata airnya mengering, terjadi di
hampir kebanyakan negeri-negeri Islam !!! Demikian itu disebabkan kelengahan,
kedustaan dan niat-niat buruk sebagian mereka kepada yang lainnya.
Ditengah-tengah kondisi yang terpuruk ini, dan
ditengah-tengah kelompok-kelompok yang bertujuan untuk mencukur masjid dari
misi dan tugasnya di dalam masyarakat. Ruh Islam tidak pernah pudar, bahkan ia
terus mengalir di setiap pembuluh darah dunia Islam dengan aliran yang alami
dan tenang. Lalu mendorongnya kepada Islam, dengan dorongan yang
berkesinambungan. Lalu hasil dari ini semua, terbangunnya kesadaran dan
terjadinya kebangkitan yang penuh keberkahan. Masjid mulai mempersiapkan
dirinya untuk menjalankan perannya sebagai pemandu masyarakat muslim dalam
pengarahan, pendidikan dan pembinaan. Sebagai sel-sel hidup yang mengalir
dengan gerakan dan pelayanan, untuk melaksanakan perannya dan menjalankan
kewajibannya bersama dengan lembaga-lembaga lainnya, seperti di rumah, sekolah,
barak-barak militer, dan taman-taman bermain ... dsb, (dengan) bahu membahu
bersama-sama di medan penyadaran dan penyuluhan.
C. Masjid
merupakan Media Implementasi Amal dalam rangka mengajak kepada Iman
& Amal Soleh, Pendidikan, Pembudayaan, Pembinaan dan Penyuluhan [3]
Masjid
adalah institusi pertama yang menjadi titik tolak penyebaran ilmu dan
pengetahuan dalam Islam, dan dia membawa kekhususan yang asasi dinisbatkan
kepada masyarakat muslim. Ia merupakan sumber tolakan pertama untuk dakwah
Islam, dan juga sebagai sumber mata air petunjuk Rabbani. Maka pada langitnya,
menjulang tinggi dakwah kepada iman dan amal shalih. Melalui mimbarnya, diajarkan
iman dan amal shalih. Di hamparan buminya yang suci, ditunaikan amal shalih.
Dan ia menjadi pusat dimana prinsip jihad yang agung bergerak mengelilinginya.
Juga sebagai poros dimana segala pemikiran dan perasaan menyelubung di
seputarnya. Tempat pengemblengan yang memunculkan kebangkitan dan orang-orang
komit yang membawa penyulut-penyulut cahaya dan hidayah, mereka menjelajahi
penjuru dunia membawa sifat, aroma dan kesucian masjid.
Sesungguhnya masjid sepanjang sejarah kaum muslimin berkedudukan sebagai
institusi pendidikan untuk anak kecil dan orang dewasa. Dan tempat pertama yang
merealisasikan target-target kerja nyata yang bertujuan untuk mendidik manusia
secara umum, khususnya bagi anak-anak dan para pemuda. Tokoh-tokoh perintis yang
membawa panji dan meneriakan panggilan kepada yang bersungguh-bersungguh,
mereka adalah singa-singa masjid dan para pemakmur rumah-rumah Allah Ta’ala,
dimana para ‘ulama (pakar ilmu agama), fuqaha’ (pakar
hukum islam), bulaqha’ (pakar bahasa arab), nubala` (para
cendikiawan) merupakan sebaik-baik lulusannya.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,
“Masjid merupakan tempat berkumpulnya umat dan para pemimpinnya. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam membangun masjidnya (masjid Quba) yang penuh keberkahan
itu di atas dasar takwa. Di dalamnya terdapat aktifitas shalat, membaca
al-Qur`an, dzikir, majelis taklim, ceramah. Demikian pula aktifitas bidang
politik, akad sumpah, panji pasukan, instruksi pemimpin, dan merupakan corong
publikasi bagi para pengambil kebijakan. Di sanalah kaum muslimin berkumpul
tiap kali ada perkara yang menghimpun mereka mengenai urusan-urusan agama dan
dunia mereka.”
Setuju, bahwa kedudukan masjid dalam masyarakat
Islam menjadi sumber pengarahan ruhani dan materi. Sebagai halaman untuk
ibadah, madrasah ilmu dan balai etika. Ia juga mencairkan dan membebaskan
jiwa-jiwa dari ikatan-ikatan duniawi, nafsu pendapatan dan jabatan,
rintangan-rintangan arogansi dan egoisme, mabuk syahwat dan nafsu. Kemudian
jiwa-jiwa tersebut bertemu dalam halaman penghambaan yang sesungguhnya kepada
Allah Azza wa Jalla.
D. Peranan
Ceramah dalam Pendidikan, Pengkaderan, Pembudayaan, dan Penyuluhan [4]
Khutbah (ceramah) masih menjadi sarana-sarana
efektif yang paling banyak digunakan dalam penyebaran dakwah Islam. Dimana
sesungguhnya ia memposisikan dirinya dalam Islam sebagai sentra istimewa dalam
hal penyebaran dan penyampaian dakwah kepada manusia, sejak awal risalah
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di mulai. Rahasianya
bahwa khutbah secara umum dan hingga saat ini merupakan sarana yang
paling efektif dalam penyebaran dakwah, sosialisasi pemikiran dan
penjelasan-penjelasannya untuk bisa sampai kepada sebanyak-banyaknya kalayak
dari berbagai lapisan dan tingkatan. Sementara itu juga, ceramah (khutbah)
merupakan sarana yang paling cepat memberikan pemahaman secara umum dan sangat
mempengaruhi masyarakat luas, dan ia memiliki efek langsung dan kecepatan dalam
menyampaikan suatu pemikiran secara umum.
Karenanya, sudah seyogyanya bahwa khutbah jum’at
bertujuan untuk mencapai beberapa sasaran di bawah ini :
- Menasehati
dan mengingatkan akan Allah Ta’ala dan hari akhir dengan
pengertian-pengertian yang dapat menghidupkan hati, dan mengajak kepada
kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran.
- Pendalaman
pemahaman dan pengajaran kepada kaum muslimin mengenai hakikat-hakikat
agama mereka yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, sambil memproteksi kesalamatan aqidah kaum muslimin
dari segala khurafat, keselamatan ibadah mereka dari segala bid’ah, dan
keselamatan akhlaq dan adab mereka dari segala penyelewengan dan
penyimpangan.
- Mengoreksi
segala pemahaman yang salah mengenai Islam, dan mecounter segala
subhat dan kebatilan yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan
untuk mengacaukan pola pikir kaum muslimin, dengan cara yang elegan, bijak
dan jauh dari caci makian dan celaan, serta menghadapi pemikiran-pemikiran
yang destruktif dengan memaparkan Islam yang original.
- Mengaitkan
khutbah dengan kehidupan dan realitas yang dialami banyak orang, serta
memberikan terapi dari berbagai penyakit sosial, dan menghadirkan solusi
dari segala problematika berdasarkan syariat islamiyah yang elok.
- Memberikan
perhatian terhadap momentum-momentum islami, seperti ramadhan, haji.
Demikian pula dengan berbagai musibah, dan lain sebagainya yang
menyebabkan audiensi menjadi antusias kepada pengetahuan yang dapat
mencerahkan jalan urusan bagi mereka.
- Memperkokoh
pengertian ukhuwah al-islam (persaudaraan Islam) dan
persatuan umat. Memerangi pertikaian dan fanatisme golongan dan aliran,
dan perkara-perkara lainnya yang dapat memecah belah persatuan umat, dan
fokus terhadap segala yang dapat mengeratkan seorang muslim, secara
pikiran dan emosional terhadap saudara-saudaranya sesama kaum muslimin.
- Menghidupkan
ruh jihad dalam diri umat Islam dan mengobarkan gelora semangat jihad,
untuk menjaga kehormatan Islam, kesucian dan bumi Islam.
- Sudah
sepatutnya bahwa khutbah jum’at harus steril dari kepentingan yang
bersifat pribadi, atau untuk dijadikan sebagai alat penyebaran propaganda.
Khutbah yang disampaikan harus berdasarkan keikhlasan karena Allah Ta’ala dan
kepentingan agama Allah, menyampaikan ajakan kepada-Nya dan untuk
meninggikan kalimat-Nya. Allah berfirman :
وَأَنَّ
الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً ﴿18﴾
سورة الجن
“Dan
sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu
menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”
(QS.72:18).
Karenanya menjadi keharusan bagi para ulama dan
da’i yang kompeten agar meletakkan contoh-contoh yang baik untuk tajuk-tajuk
islami yang beraneka ragam, sehingga menjadi bahan materi bagi para khatib
supaya mereka terbantukan dalam mempersiapkan materi-materi khutbah mereka.
Sebagaimana materi khutbah juga harus berdasarkan literatur-literatur
yang dikenal, islami, terpercaya,maqbulah, dan jauh dari hadits-hadits yang
lemah (dha’if), palsu (maudhu’), kisah-kisah isra`iliyat yang
manipulatif, hikayat-hikayat dusta dan gaya bahasa yang dibenci, dan setiap
yang tidak dapat diakui oleh prosedur penyaduran yang shahih atau akal sehat.
E. Pengaruh
Keimanan dan Pendidikan dari Peran Masjid
1. Saling Mengenal dan Persaudaraan Islami
Sesungguhnya at-ta’aruf (saling mengenal) merupakan bagian
dari prinsip-prinsip adab islami. Bahkan ia termasuk kebutuhan mendesak dalam
berinteraksi di tengah-tengah manusia. Seorang tetangga membutuhkan
tetangganya, dan tidak mungkin salah seorang dari mereka dapat bergaul dengan
yang lainnya, kecuali jika keduanya saling berkenalan terlebih dahulu. Setiap
orang pasti membutuhkan orang lain. Maka bagaimana orang lain dapat bergaul
dengannya tanpa di dahului dengan ta’aruf (aktifitas saling
berkenalan) terlebih dahulu di antara keduanya? Allah berfirman Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ ﴿13﴾ سورة الحجرات
“Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.49:13).
Dan masjid dapat menjamin menghadirkan penjajakan pengenalan persaudaraan dan
keimanan yang tiada terlupakan. Hal tersebut karena orang-orang yang shalat di
masjid biasanya berada dalam satu komplek perumahan yang sama, dan kebanyakan
mereka tidak bertemu di masjid, kecuali saat menunaikan shalat fardhu. Dan jika
majelis taklim di masjid menjadi faktor yang merekatkan mereka di adakan, maka sesungguhnya
pertemuan di antara mereka itu, terbilang lebih banyak lagi intensitasnya.
Belum lagi pada moment shalat dua hari raya, dan shalat jum’at serta lain
sebagainya. Sesungguhnya penduduk warga yang berdomisili di kompleks perumahan
yang sama itu, mereka dalam jangka waktu yang singkat, sudah dapat saling
mengenal disebabkan intensitas tatap muka dan jabatan tangan sebagian mereka
dengan sebagian yang lainnya, serta pertemuan mereka pada majelis-mejelis ilmu
bersama dengan ulama-ulama mereka, dan demikianlah keadaannya.
Namun ta’aruf di
antara kaum muslimin, bukanlah sekedar mengetahui nama personal, nama ayah,
gelar, dan profesinya semata. Sesungguhnya yang dikehendaki adalah lebih
daripada itu, yaitu menguatkan unsur-unsur ukhuwah imaniyah (persaudaran
keimanan) yang memuat seluruh aktifitas yang dapat menguatkannya, seperti rasa
cinta, saling berkunjung, saling berhubungan, menjengut yang sakit, menghadiri
undangan, membantu orang yang lemah dan membutuhkan, menyebarkan salam, muka
yang berseri dan perkataan yang baik, rendah hati, menerima kebenaran, pemaaf,
dermawan, menolak keburukan dengan yang lebih baik, mengutamakan orang lain,
berbaik sangka, menolong orang yang terzhalimi, menutupi aib saudaranya yang
muslim, mendidik orang yang bodoh, berbuat baik kepada tetangga, menghormati
tamu, menunuaikan hak-hak kepada yang berhak, memberikan nasehat kepada setiap
muslim, dan kesemuanya ini titik tolaknya adalah baitullah (masjid).
Juga
dengan menjauhkan diri dari setiap hal yang melemahkan ikatan persaudaraan
keimanan (ukhuwah imaniyah), dari sikap kesewenang-wenangan, hasad,
menyepelekan, mengejek, ghibah, adu domba, memboikot, memutuskan silaturahmi,
dan sikap-sikap yang dapat menimbulkan keraguan dan kerisauan terhadap
saudaranya yang muslim. Bersaing yang tidak sehat di beberapa urusan duniawi
yang disyariatkan, seperti membeli barang yang telah dibeli, berpidato saat ada
ceramah, berbohong dan berdusta.
Sungguh
pemaknaan-pemaknaan yang agung ini dari ukhuwah imaniyah dan
mengambil segala unsur yang dapat memperkuatnya, serta menjauhkan segala faktor
yang dapat melemahkannya, kesemuanya eksis dalam gambaran yang paling tertinggi
saat kita melihat masjid dengan eksistensinya yang paling tinggi dalam bentuk
peranannya di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
di zaman para kepemimpinan khulafa’ur rasyidin. Dimana Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam kala itu mengikat tali persaudaraan pertama, yaitu
mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar yang dinaungi oleh masjid mereka
yang mulia. Persaudaraan mereka diikat dengan dua kalimat persaksian (syahadatain),
mereka dipersatukan di bawah panji jihad di jalan Allah, sampai-samapai salah
seorang dari anshar bertekad untuk menurunkan sebagian harta yang dimilikinya
dan salah seorang istrinya yang ditalak untuk diserahkan kepada saudaranya dari
kalangan muhajirin. Sehingga tiadalah dari kalangan Muhajirin melainkan
mengatakan kepada orang-orang Anshar :
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ
“Semoga Allah menganugerahi keberkahan atasmu, keluargamu dan hartamu.” HR.
Al-Bukhari.
Demikian keadaan ahlul masjid (para pemakmur masjid). Maka dimana tingkat pengenalan kaum muslimin saat ini? Realitanya,
ada seorang tetangga yang tinggal berdampingan dengan tetangganya yang lain,
atau di depannya. Keduanya keluar pada waktu yang bersamaan untuk keperluan
aktifitas keduanya, dan keduanya pulang ke rumahnya masing-masing pada waktu
yang bersamaan pula, terkadang mereka bertemu di lift yang
sama, keduanya turun dan naik. Terkadang seorang dari keduanya tidak memberikan
salam kepada yang lainnya. Terkadang salah seorang dari mereka memberikan
salam, namun yang lainnya tidak menjawabnya. Terkadang dijawab, namun ia
membelakanginya, tidak melihat senyum saudaranya. Terkadang ada yang meninggal
dunia hingga sudah dikafani, sementara ia tidak mengetahuinya. Terkadang ada
yang keduanya berada dalam satu institusi yang sama, namun salah seorang dari
keduanya tidak mengenal yang lainnya. Maka dimana ta’aruf al-masjid (nilai
perkenalan masjid)mu, wahai Umat Islam ??!!
2. Mendalami Pengetahuan Agama dan Mengadili
kasus-kasus pertikaian [5]
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam sedang duduk di dalam sebuah masjid dan para sahabatnya Radhiyallahu
‘Anhum bertanya kepadanya, kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Fatwa-fatwa dan
keputusan-keputusan hukum beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di
dalam masjid sudah umum diketahui dan masyhur. Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahihnya secara mu’allaq (Bab. Orang yang
menetapkan dan memutuskan hukum di masjid)[6], kemudian
berkata : “Umar menetapkan keputusan hukum saat di Mimbar Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.” Demikian pula dengan Syuraih, asy-Sya’bi dan Yahya bin
Ya’mar yang menetapkan keputusan hukum di dalam masjid. Juga Marwan menetapkan
hukum atas Zaid bin Tsabit di Yaman saat di atas mimbar. Pernah al-Hasan dan
Zurarah bin Aufa yang keduanya menetapkan keputusan hukum saat di Rahbah, di
luar masjid.
Kemudian
kembali ia berkata, “Bab Orang yang memtuskan hukum di dalam masjid.” Dan
menyampaikan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata :
أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي
الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ
عَنْهُ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعًا قَالَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا
قَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ
“Seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
sementara beliau sedang berada di dalam masjid. Maka ia memanggilnya lalu
bertanya, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sesungguhnya
aku telah melakukan zina’, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpaling
darinya. Maka ketika ada yang memberikan saksi atas diri orang tersebut
sebanyak 4 (empat) orang saksi, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
‘Apakah anda menderita sakit jiwa?!.’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak.’ Beliau
menginstruksikan, ‘Bawalah ia, lalu rajamlah dia’.”[7]
Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum setelah masa kenabian,
diantaranya para khulafa’ur rasyidin berfatwa dan memutuskan hukum di
masjid-masjid, dengan demikian bahwa masjid merupakan balai fatwa dan mahkamah
pengadilan.
Demikian
juga sebagai tempat untuk mendamaikan orang yang sedang bertikai. Ka’ab bin
Malik Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan :
أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي
الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا
حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ فَنَادَى يَا كَعْبُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ ضَعْ مِنْ دَيْنِكَ هَذَا وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَيْ الشَّطْرَ قَالَ
لَقَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُمْ فَاقْضِهِ
“Bahwa ia memperkarakan hutang Ibnu Abi Hadrad di Masjid, lalu suara
keduanya meninggi hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengarnya,
sementara beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat itu sedang
di rumahnya. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar
ke arah keduanya, sampai-sampai beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka
tirai kamarnya, kemudian berkata, ‘Hai Ka’ab.’ Ka’ab menjawab, “Aku mendengar
panggilanmu, ya Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Taruhlah ini pada hutangmu’,
sambil menunjuk ke arahnya, yaitu (bantuan) separuhnya. Ka’ab berkata, ‘Sudah
kulaksanakan, wahai Rasulullah.’ Belaiau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
‘Berdirilah, lalu putuskanlah.”[8]
3. Menggagalkan Perbuatan Keji Dan Akibat Buruknya
Bagi Masyarakat Muslim [9]
Ketika
masjid memiliki tempat di hati masyarakat muslim, dimana orang-orang Islam
sudah tidak lagi menunda-nunda kehadirannya untuk melaksanakan shalat
berjama’ah, mulailah terkristalisasi keimanan di dalam hati-hati mereka,
sehingga mereka cinta kepada keimanan, dan mencintai Allah dan Rasul-Nya,
berbuat amal shalih. Mereka membenci kekufuran dan kefasikan, serta
kemaksiatan. Shalat mereka mampu mencegah diri-diri mereka dari perbuatan keji
dan mungkar serta kesewenang-wenangan. Mereka tidak melakukan kecuali yang
disenangi Allah, mereka berhenti pada batasan-Nya dan mendukung kebenaran yang
sejatinya.
Allah
berfirman :
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ
الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿45﴾ سورة
العنكبوت
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 29:45).
Diantara sifat orang-orang beriman, adalah menegakkan shalat, memerintahkan
yang makruf dan mencegah yang mungkar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ ﴿71﴾ سورة التوبة
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat.” (QS. 9:71).
Diantara sifat orang-orang mukmin yang mengeakkan shalat, bahwa mereka
tidak menginginkan menjalarnya perbuatan keji (al-fahisyah) dan
menyebarnya kemungkaran. Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا
لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ
لاَ تَعْلَمُونَ ﴿19﴾ سورة النور
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat
keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang
pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak
mengetahui.” (QS.24:19).
Imam al-Qurthubi –semoga dirahmati Allah Ta’ala- mengomentari
firman Allah Ta’ala :
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ ﴿45﴾
سورة العنكبوت
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar.” (QS.29:45).
Dimaksudkan bahwa shalat fardhu yang lima waktu merupakan penggugur
dosa-dosa yang terjadi di sela-sela waktu tersebut. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam :
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ
يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لاَ يَبْقَى
مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو
اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا
“Apa pendapat kalian kalau ada sebuah sungai (mengalir) melalui pintu salah
seorang kalian, dimana ia mandi dari air tersebut setiap hari sebanyak 5 (lima)
kali. Apakah (masih) ada sesuatu yang tersisa dari kotoran (tubuh)nya?” Mereka
(para sahabat) menjawab, “Tidak ada sedikitpun yang tersisa dari kotorannya.”
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maka
demikianlah permisalan shalat fardhu lima waktu, Allah menghapus segala
kesalahan-kesalahan dengan shalat fardhu yang lima itu.”[10]
Selanjutnya mengabarkan bahwa shalat dapat mencegah pelakunya dan
pelaksananya dari perbuatan keji dan mungkar. Dari bacaan al-Qur`an yang dibaca
di dalamnya mengandung nasehat, sedang shalat menjadikan fisik orang yang shalat
menjadi beraktifitas. Saat pelaku shalat masuk ke dalam mihrabnya, lalu hatinya
khusyu’ dan merendahkan diri kepada Rabbnya, dan ia sadar bahwa ia sedang
berdiri di hadapan-Nya, dan bahwa Dia Maha Mengetahui dan Melihatnya, dengan
itu jiwanya dibaikan dan ditundukkan, serta masuk ke dalam pengawasan Allah Ta’ala, rasa
takutnya terhadap-Nya tampak pada raganya, dan hampir-hampir ia tidak pernah
merasakan lelah dari aktifitas shalatnya tersebut, hingga datang naungan shalat
lainnya yang denganya ia kembali memasuki sebaik-baiknya keadaan (afdhal
halatin), yaitu berdiri menghadap Rabbnya.
E.PENUTUP
Ketika kita sudah mengetahui betapa pentingnya peranan mesjid itu, maka sungguh
memalukan jika masjid itu kita anggurkan dan kita abaikan begitu saja karena
itu sama saja kalau kita melemahkan kedudukan islam. Ketika menghadiri
pengajian ''Refleksi Akhir Tahun'' di Masjid Gede yang dibawakan oleh Pak Amin
Rais beliau mengatakan: ''Saya optimis kalau umat islam sekarang ini sedang
menanjak artinya sudah mulai bangkit''. Alasannya adalah Negara islam seperti
Turki perekonomiannya sangat baik jika dibandingkan dengan Negara Eropa yang
malah sekarang ini mengalami krisis ekonomi, munculnya sikap fhobia terhadap
islam, yang berdampak pada pelarangan memakai jilbab, cadar, dan pembangunan
masjid serta menaranya. Menurut beliau itu disebabkan karena mereka sudah mulai
sadar umat islam akan bangkit dan berjaya kembali, Kekhawatiran itu muncul
karena tanda-tanda kebangkitan itu sudah mulai nampak.
Oleh karena itu setelah setelah membaca makalah ini kami berharap sikap
optimisme itu juga muncul, tapi optimisme saja belum cukup tanpa dibarengi
tindakan yang riil dan nyata khususnya dalam memakmurkan masjid supaya
apa yang kita cita-citakan yakni kejayaan islam bisa
terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-qur'an terjemahan
Depag
2. www.islamhouse.com,
3. http://mufiidah.net
4. www.scribd.com
5. www.islam-center.net
6. Taisirul Allam,, bab
adzan dan iqomah
[1] HR. Muslim
(Zikir, doa, taubat dan istighfar, no.2699) dan bagian dari hadits No.2700. HR.
Tirmidzi (al-Qira’at, no.2945). HR. Abu Daud (Shalat, no.1455), HR. Ibnu
Majah (Al-Muqaddimah, no.225). HR. Ahmad (II/252).
[2] HR. Bukhari
(Shalat, no.439) & I/453. HR. Muslim (Masjid-masjid dan tempat-tempat
shalat, no.533), HR. Tirmidzi (Shalat, no.318), HR. Ibnu Majah (Masjid-masjid
dan Jama’ah-jama’ah, No.736), HR. Ahmad, I/61, HR. Ad-Darimi (Shalat, no.1392).
[3] Lihatlah: Al-Masjid wa
Dauruhu at-Ta’limi ‘Ibar al-‘Ushur min Khilal al-Halaqat al-‘Ilmiyah (hal.15-21)
dengan sedikit gubahan; Manahij
at-Ta’lim fi al-Masajid wa Uslub at-Tadris fiha (hal.6,7); Ad-Daur at-Tarbawi lil Masjid (hal. 146-147); Daur
al-Masjid fi at-Tarbiyah (hal.78); Min
Qadhaya al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir (hal. 241); (HR. Muslim, no.1017)
[4] Lihat, Kumpulan Dokumen
Konferensi-konferensi dan Kementerian Wakaf serta Urusan Islam (Taushiyat,
muqtarihat, ad-da’wah al-islamiyah (Rekomendasi, Gagasan, Dakwah
Islamiyah)), hal. 272-273.
[5] Manahij at-Ta’lim fi
al-Masajid wa Uslub at-Tadris fiha (hal.10)
[6] Shahih al-Bukhari,
XIII/156, beserta ulasannya di Fathul Qadir.
[7] HR. Bukhari
(Hukum-hukum, no.6747)&Shahih al-Bukhari (no.7167); HR. Muslim
(Hudud, no.1691); HR. At-Tirmidzi (Hudud, no.1428); HR. An-Nasa’i (Jenazah,
no.1956); HR. Abu Daud (Hudud, no.4428); HR. Ahmad, II/453.
[8] HR. Bukhari
(Shalat, no.445) & dalam Shahih al-Bukhari (no.457); HR.
Muslim (Irigasi, no.1558); HR. An-Nasa’i (Etika Hakim, no.5408); HR. Abu Daud
(Hukum Peradilan, no.3595); HR. Ibnu Majah (Hukum-hukum, no.3595); HR.
Ad-Darimi (Jual Beli, 2587).
[9] Daur al-Masjid fi
at-Tarbiyah wa al-A’dad (hal.117-119)
[10] HR. Bukhari
(Waktu-waktu Shalat, no.505); HR. Muslim (Masjid-masjid dan tempat-tempat
shalat, no.667), HR. At-Tirmidzi (Permisalan-permisalan, no.2868) &
(no.2516), HR. An-Nasa’i (Shalat, No.462), HR. Ahmad, II/379, HR. Ad-Darimi
(Shalat, no.1183).
oleh juwaini
mannan diajukan sebagai tugas mata kuliah akhlak di PUTM
Loading...
0 Response to "Kedudukan dan Peranan Mesjid dalam Islam"
Post a Comment