Hukum
kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dan as-sunnah. Sebagai hukum
agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah, hukum kewarisan Islam
mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum
kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Dalam hal tertentu hukum kewarisan
Islam mempunyai corak tersendiri, berbeda dari hukum kewarisan yang lain.
Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum
kewarisan Islam. Adapun asas-asas hukum kewarisan Islam ialah:
1. Asas Ijbari.
Dalam hukum
Islam, peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya yang masih hidup berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah,
tanpa digantungkan kepada usaha dan kehendak pewaris maupun ahli warisnya. Cara
peralihan seperti ini disebut secara ijbari. Atas dasar ini, pewaris
tidak perlu merencanakan penggunaan dan pembagian harta peninggalannya setelah
ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya harta yang ia miliki secara
otomatis akan berpindah kepada ahli warisnya dengan peralihan yang sudah
ditentukan. Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory),
yaitu melakukan sesuatu di luar kehendaknya sendiri. Unsur paksaan (ijbari)
ini terlihat dari segi ahli waris yang berhak menerima harta warisan beserta
besarnya penerimaan yang diatur dalam ayat-ayat al-Qur'an yaitu surat an-Nisa'
ayat 11, 12 dan 176. Bentuk ijbari dari segi jumlah yang diterima, tercermin
dari kata mafrudan, bagian yang telah ditentukan. Istilah ijbari
direfleksikan sebagai hukum yang mutlak (compulsary law).
2. Asas Bilateral.
Membicarakan
asas ini berarti berbicara tentang ke mana arah peralihan harta itu di kalangan
para ahli waris. Asas bilateral untuk menyebut realitas sistem kewarisan tanpa
adanya clan -garis keturunan sepihak- sehingga dengan asas bilateral dalam
hukum
kewarisan Islam berarti seseorang
menerima warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, dari ibunya maupun
bapaknya, dan dari kerabat ibu maupun bapak. Demikian juga ibu atau ayah dapat
menerima warisan dari keturunannya yang perempuan atau laki-laki. Asas ini
dapat dilihat dalam surat an Nisa' ayat 7, 11, 12 dan 176. Ayat-ayat tersebut
mengandung pengertian bahwa antara orang tua dan anak, antara laki-laki dan
perempuan mempunyai status yang sama dalam kekeluargaan dan kewarisan (bandikan
dengan asas patrilineal dan matrilineal).
3. Asas Individual.
Asas ini
berarti bahwa harta warisan mesti dibagi-bagi di antara para ahli waris untuk
dimiliki secara perseorangan. Bahwa pemilikan harta warisan oleh ahli waris
bersifat individual, dan hak pemilikan bersifat otonom serta bagian yang
diterima langsung menjadi hak milik secara sempurna. Asas individual ini
terlihat jelas dari ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisa' yang mengatur bagian
masing-masing ahli waris. Setelah terbukanya kewarisan, harta warisan mesti
dibagi-bagi di antara para ahli waris sesuai dengan bagiannya (bandingkan
dengan asas kolektif dan mayorat).
4. Asas Keadilan Berimbang.
Asas ini
mengandung arti bahwa senantiasa ada keseimbangan antara hak dan kewajiban,
antara hak warisan yang diterima seseorang dengan kewajiban yang harus
dilaksanakannya, sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang
sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Dengan demikian baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berhak
tampil sebagai ahli waris dan bagian yang diterimanya berimbang dengan
perbedaan tanggung jawab. Oleh karena laki-laki tanggung jawabnya lebih besar
dari perempuan, maka hak yang diterimanya juga berbeda, laki-laki mendapat dua
kali lipat dari perempuan. Asas ini dapat ditarik dari surat an-Nisa' ayat 11
(bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan). Dalam surat
an-Nisa' ayat l2 ( bagian suami lebih besar dari isteri). Dalam surat an-Nisa'
ayat 176 (bagian saudara laki-laki lebih besar daripada saudari perempuan).
5. Asas Personalitas ke-Islaman
Asas ini
menentukan bahwa peralihan harta warisan hanya terjadi antara pewaris dan ahli
waris yang sama-sama beragama Islam. Oleh karena itu apabila salah satunya
tidak beragama Islam, maka tidak ada hak saling mewarisi. Asas ini ditarik dari
hadis nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim:
لايرث المسلم
الكافر ولا الكافر المسلم
6. Asas Kewarisan Akibat
Kematian.
Asas ini
menyatakan bahwa perpindahan harta warisan dari pewaris kepada ahli warisnya
terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Perpindahan harta dari pemilik sewaktu
masih hidup sekalipun kepada ahli warisnya, baik secara langsung atau
terlaksana setelah pewaris meninggal, menurut hukum Islam tidaklah disebut
pewarisan, tapi mungkin hibah atau jual beli atau lainnya. Asas kewarisan
akibat kematian dapat dikaji dari penggunaan kata warasa dalam surat an
Nisa' ayat 11, 12, 176. Pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta
berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Atas dasar ini
hukum kewarisan Islam hanya mengenal kewarisan akibat kematian semata (yang
dalam hukum BW disebut kewarisan ab intestato).
[Asas-asas ini lebih lanjut dapat dibaca dalam Amir
Syarifuddin, "Hukum Kewarisan Islam" , hlm. 16 dst.]
Loading...
0 Response to "Asas-asas Hukum Kewarisan Islam"
Post a Comment