BIODAT BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH
Syekh Muhamad Abduh bernama lengkap
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa
Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari
keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.
Muhammad Abduh
hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Namun demikian,
ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua
saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh
yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini
bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai
oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak
sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggu sejak
kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang
sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad
Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk
mempelajari tajwid Al-Qur'an. Setelah dua tahun berjalan di sana, pada
tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti
saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia
dikawinkan.
Walaupun sudah
kawin, ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad
Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral
Khit − tempat di mana banyak paman dari pihak ayahnya yang bertempat
tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah
seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur'an dan menganut
paham tasawuf asy-Syadziliah. Pada periode ini, Muhammad Abduh sangat
dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh sang paman. Ia
berhasil merubah pandangan pemuda ini dari seorang yang membenci ilmu
pengetahuan menjadi menggemarinya.
Beliau sempat
kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, kemudian menuju ke Kairo untuk belajar di
al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866. Di perguruan ini ia sempat
berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, di antaranya: Pertama, Syaikh Hasan ath-Thawi yang
mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan
Aristoteles, dan lain sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan
di al-Azhar pada waktu itu; Kedua,
Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan perhatian dalam
bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui
kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.
Ketika Jamaluddin
al-Afghani tiba di Mesir, tahun 1871, kehadirannya disambut oleh Muhammad
Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan
olehnya. Hubungan ini mengalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari
tasawuf dalam arti yang sempit, sebagai bentuk tata cara berpakaian dan zikir,
kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk melakukan perbaikan
keadaan masyarakat, membimbing mereka untuk maju, dan membela ajaran-ajaran
Islam.
Setelah dua tahun
sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang
sangat berarti pada kepribadian Abduh dan mulailah ia menulis kitab-kitab
karangannya seperti Risalah al-'Aridat (1837),
disusul kemudian dengan Hasyiah Syarah al-Jalal
ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini,
Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam
tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi), dan tasawwuf, serta
mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Di samping itu,
Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram, Kairo. Melalui media ini
gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar yang sebagian
di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari Syaikh Muhammad
al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki jabatan "Syaikh
al-Azhar", Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat
tertinggi di al-Azhar, dalam usia 28 tahun (1877 M).
Setelah lulus dari
tingkat Alamiyah (sekarang Lc.), ia mengabdikan diri pada al-Azhar dengan
mengajar Manthiq (Logika) dan Ilmu Kalam (Teologi), sedangkan di
rumahnya ia mengajar pula kitab Tahdzib
al-Akhlaq karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Kerajaan-kerajaan
Eropa.
Pada tahun 1878, ia diangkat sebagai Pengajar Sejarah pada sekolah
Dar al-'Ulum (yang kemudian menjadi fakultas) dan ilmu-ilmu bahasa Arab pada
Madrasah Al-Idarah Wal Alsun (Sekolah
Administrasi dan Bahasa-bahasa).
Pada tahun 1879,
Muhammad Abduh diberhentikan dari dua sekolah yang disebut terakhir dan
diasingkan ke tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir), berbarengan dengan
terjadinya pengusiran terhadap Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah Mesir atas
hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir. Akan tetapi,
dengan terjadinya perubahan Kabinet pada 1880, beliau dibebaskan kembali dan
diserahi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah, Al-Waqa'i al-Mishriyah. Surat kabar ini, oleh Muhammad Abduh
dan kawan-kawan bekas murid Al-Afghani, dijadikan media untuk mengkritik pemerintah
dan aparat-aparatnya yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang.
Setelah Revolusi
Urabi tahun 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Muhammad Abduh yang ketika
itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa'i,
dituduh terlibat dalam revolusi tersebut, sehingga pemerintah Mesir
memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya
memilih tempat pengasingan, dan ia memilih Suriah.
Di Negara ini
Muhammad Abduh menetap selama setahun. Kemudian ia menyusul gurunya,
Jamaluddin Al-Afghani, yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka
berdua menerbitkan surat kabar Al-'Urwah
al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam dan menentang penjajahan
Barat, khususnya Inggris.
Tahun 1884 Muhammad
Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh
negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1885 Muhammad Abduh
meninggalkan Paris menuju ke Beirut (Libanon) dan mengajar di sana sambil
mengarang beberapa kitab, antara lain:
1. Risalah at-Tauhid (dalam bidang
teologi);
2. Syarah Nahjul Balaghah (Komentar
menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib);
3. Menerjemahkan
karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak
mempercayai wujud Tuhan); dan
4. Syarah Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani (kitab
yang menyangkut bahasa dan sastra Arab).
Di Beirut,
aktivitas Muhammad Abduh tidak terbatas pada mengarang dan mengajar saja,
tetapi bersama beberapa tokoh agama lain mendirikan sebuah organisasi yang
bertujuan menggalang kerukunan antar umat beragama. Organisasi ini telah
membuahkan hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel yang
mengangkat ajaran Islam secara objektif pada media massa di Inggris, padahal
ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media Barat. Namun,
organisasi ini dan aktivitas anggota-anggotanya dinilai oleh penguasa Turki di
Beirut mempunyai tujuan-tujuan politik, sehingga penguasa tersebut mengusulkan
kepada pemerintah Mesir untuk mencabut hukuman pengasingan Muhammad Abduh dan
diminta segera kembali ke Mesir.
Pada 1888, Muhammad
Abduh kembali ke tanah airnya dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai
hakim di Pengadilan Daerah Banha. Walaupun ketika itu Muhammad Abduh
sangat berminat untuk mengajar, namun pemerintah Mesir agaknya sengaja
merintangi, agar pikiran-pikirannya yang mungkin bertentangan dengan
kebijaksanaan pemerintah ketika itu tidak dapat diteruskan kepada putera-puteri
Mesir.
Terakhir, ia
ditugaskan di Pengadilan Abidin, Kairo. Kemudian, pada 1899 ia diangkat menjadi
Mufti Kerajaan Mesir dan pada tahun yang sama Muhammad Abduh juga menjabat
sebagai anggota Majelis Syura Kerajaan Mesir, seksi perundang-undangan.
Pada tahun 1905,
Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Ide ini mendapat
respon yang begitu antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan
disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut. Namun sayang,
universitas yang dicita-citakan ini baru berdiri setelah Muhammad Abduh
berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang kemudian menjadi
"Universitas Kairo".
Pada tanggal
11 Juli 1905, saat masa puncak aktivitasnya membina umat, Muhammad Abduh
meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat
Islam, tetapi ikut pula berduka di antaranya sekian banyak tokoh non-Muslim.
Selain yang telah
disebutkan di atas, selama hidupnya beliau juga melahirkan beberapa karya
lain, yaitu:
1. Tafsir al-Qur’an al-Hakim (belum
sempurna, kemudian dirampungkan oleh Rasyid Ridha);
2. Khasyiah ‘Ala Syarh ad-Diwani li al-‘Aqaid
adh-‘Adhudhiyat;
3. Al-Islam wa an-Nashraniyat ma’a al-‘Ilm wa
al-Madaniyat.
Syekh Muhammad
Abduh menggerakkan dan mempelopori kebangkitan intelektual pada paruh kedua
abad ke–9. Kebangkitan dan reformasi dipusatkan pada gerakan kebangkitan,
kesadaran, dan pemahaman Islam secara komprehensif, serta penyembuhan agama
dari berbagai problem yang muncul di tengah-tengah masyarakat modern.
Ada dua fokus utama
pemikiran tokoh pembaharu Mesir ini; Pertama,
membebaskan umat dari taqlid dengan berupaya memahami agama langsung dari
sumbernya – al-Qur’an dan Sunnah – sebagaimana dipahami oleh ulama salaf
sebelum berselisih (generasi Sahabat dan Tabi’in). Kedua, memperbaiki gaya bahasa Arab yang sangat bertele-tele, yang
dipenuhi oleh kaidah-kaidah kebahasaan yang sulit dimengerti. Kedua fokus
tersebut ditemukan dengan sangat jelas dalam karya-karya Abduh di bidang
tafsir.
(Keterangan ini
merujuk pada kitab Al-Mufassirun
Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi; kitab Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh
karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha; kitab ‘Ulum
al-Qur’an karya Ahmad Von Denffer; tulisan Syekh Muhammad Abduh & Karya Tafsirnya (Pengantar “Tafsir Juz
‘Amma Muhamad ‘Abduh”) karya M. Quraish Shihab, terj. Muhammad Bagir).
Pemikiran Muhammad Abduh
Muhammad bin Abduh
bin Hasan dilahirkan di desa Mahallat Nashr, Al-Buhairoh, Mesir pada tahun 1849
M. Dia murid kesayangan Jamaluddin Al-Afghani. Dia wafat pada tahun 1905.
A. Aqal dan Wahyu
1. Membebaskan aqal fikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang
menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haqnya salaful ummah,
yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Hadits. [Wajarlah
jika para pengikutnya beranggapan bahwa setiap orang boleh berijtihad, admin]
2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam
percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan di
media massa. [Hal ini juga merupakan salah satu point yang ditekankan Hasan
Al-Banna yang merupakan salah satu pengagum Muhammad Abduh dan Al-Manarnya,
admin.]
Dua persoalan pokok
itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat Islam pada masanya. Sebagaimana
dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam saat itu dapat digambarkan
sebagai, “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad,
mengabaikan peranan aqal dalam memahami syari’at Allah atau mengistimbatkan
hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para
pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan aqal (jumud), serta yang
berdasarkan khurafat-khurafat.” [Sayyid Qutub, Khasha'ish At-Tashawwur
Al-Islam, hal. 19]
Lihatlah bagaimana
Sayyid Qutub menilai para ulama shalih. Lihatlah bagaimana dia mengedepankan
aqal dan mengajak ummat pada umumnya untuk berijtihad. Padahal tidak semua
orang punya kapasitas sebagai mujtahid. Bahkan tidak semua ulama dan santri
mencapai derajat mujtahid. Pemikiran keliru yang mengajak ummat untuk
berijtihad atas nama kebebasan berfikir ini telah diterima sebagian pemuda yang
umumnya lemah aqal. Dan tentu saja pemikiran menyimpang seperti ini sangatlah
berbahaya dan menyesatkan.
Atas dasar kedua
fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar
kepada aqal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun
Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi
kepada aqal daripada Mu’tazilah. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional, UI Press, 1978, hlm. 57]
Menurut Muhammad Abduh, aqal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
1. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2. Keberadaan hidup di akhirat.
3. Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat
baik, sedangkan kesengsaraannya
bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
4. Kewajiban manusia mengenal Tuhan.
5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiaan di akhirat.
6. Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Dengan
memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan aqal di atas, dapat
diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong
(al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi aqal
manusia. Wahyu, katanya, menolong aqal untuk mengetahui sifat dan keadaan
kehidupan alam akhirat; mengatur kehidupan masyarakat atas dasar
prinsip-prinsip umum yang dibawanya; menyempurnakan pengetahuan aqal tentang
Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan mengetahui cara beribadah serta bersyukur kepada
Tuhan. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978,
hlm. 58-61]
Dengan demikian,
wahyu bagi Muhammad Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan
dan menyempurnakan pengetahuan aqal dan informasi. Lebih jauh, Muhammad Abduh
memandang bahwa menggunakan aqal merupakan salah satu dasar Islam. Iman
seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada aqal. Islam, katanya,
adalah agama yang pertama kali ‘mempersaudarakan’ antara aqal dan agama.
Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan aqal. Kemudian
dia beranggapan bahwa wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan
aqal. Kalau ternyata antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat
penyimpangan dalam tataran interpretasi, sehingga diperlukan interpretasi lain
yang mendorong pada penyesuaian.
B. Kebebasan Manusia
Dalam paham Ahlus
Sunnah, manusia bebas untuk memilih, namun Allah yang menciptakan/mewujudkan
perbuatan manusia. Ada pun dalam paham Mu’tazilah dan Qodariyah, manusia bebas
untuk memilih dan manusia pula yang mewujudkan perbuatannya. Lalu bagaimana
dengan Muhammad Abduh? Apakah ia cenderung kepada Ahlus Sunnah, atau justeru
cenderung kepada Mu’tazilah?
Bagi Muhamamd
abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan
memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau
sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi
makhluq lain. Manusia dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan
yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan
selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
[Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 65]
Sungguh mirip paham mu’tazilah.
Karena yaqin akan
kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat
muthlaq. Tuhan telah membatasi kehendak muthlaq-Nya dengan memberi kebebasan
dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Kehendak muthlaq Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah
secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah yang telah
ditetapkan-Nya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri
telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk
mengatur alam ini. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI
Press, 1978, hlm. 75 dan 77]
Muhammad Abduh
sefaham dengan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat
apa yang terbaik bagi manusia. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional, UI Press, 1978, hlm. 80]
Oleh: Fery Efendi disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kemuhammadiyahan Di PUTM
Loading...
1 Response to "BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH"
mas, buku biografi dan terjemahan kitab muhammad abduh carinya dimana ya? makasih banyak :D
Post a Comment