PRINSIP DASAR FIQIH ISLAM

 Prinsip-prinsip dasar fiqih Islam (al-qawaid al-fiqhiyah) sebenarnya sangat banyak sekali, karena masing-masing ulama madzhab memiliki prinsip hukum sendiri-sendiri sebagai metode meneliti dan menganalisis suatu kasus hukum. Selanjutnya dengan prinsip-prinsip yang merupakan hasil istimbat yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah itu, mereka menetapkan status hukum bagi persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Karena keberagaman prinsip yang digunakan para ulama yang satu dengan yang lainnya saling berbeda, maka status hukum yang dihasilkannya pun tidak jarang berbeda.

 Di antara prinsip-prinsip fiqih tersebut, ada lima prinsip yang diakui oleh semua ulama, yaitu:
Ø      الأمور   بمقاصدها
“segala perkara (perbuatan) itu tergantung niatnya.”

Prinsip pertama ini merupakan prinsip yang paling penting dan mendasar, sehingga mereka semua selalu menempatkannya pada urutan pertama. Bahkan dalam kitab-kitab hadits, hal-hal yang berkaitan dengan niat selalu ditempatkan pada awal bab. Hal ini karena niat ikhlas kepada Allah dalam semua perbuatan—baik dalam lingkup ibadah maupun muamalah—merupakan ruh yang dijadikan standart penilaian Allah SWT.

Prinsip ini bersumber dari beberapa ayat al-Qur’an dan sabda Rasulullah SAW, di antaranya adalah: 

ومن  يخرج  من بيته  مهاجرا إلي الله ورسوله  ثم يدركه  الموت فقد وقع  أجره علي الله وكان  الله  غفورا رحيما

“Dan barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan niat berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya semata, lalu ia dijemput kematian (sebelum terlaksana), maka pahalanya sudah ada di sisi Allah. dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. Al-Nisa`: 100)

وما أمروا إلا ليعبدوا  الله مخلصين  له الدين

‘”Dan mereka tidak diperintah kecuali agar beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan tunduk kepada-Nya”. (QS. Al-Bayyinah: 5)

ومن يفعل  ذلك ابتغاء  مرضاة  الله  فسوف نؤته  أجرا  عظيما

“Dan barang siapa mengerjakan itu (dengan niat) mencari ridha Allah, maka kelak akan Kami berikan pahala yang besar”. (QS. Al-Nisa`: 114).
إنما الأعمال  بالنيات  وإنما لكل امرئ  ما نوى ………
“Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan seperti yang di niatkannya. Barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya benar-benar untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa berhijrah untuk mengejar dunia semata atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya memperoleh apa yang di inginkannya”.

Sebenarnya masih banyak ayat al-Qur’an dan hadist yang menyebutkan tentang pentingnya niat dalam semua perbuatan. Namun dasar-dasar di atas dipandang cukup sebagai sumber terbentuknya prinsip dasar Islam pertama yang diletakkan para ahli fiqih.

Prinsip ini mengajarkan bahwa segala perbuatan,  baik dalam bidang ibadah mahdlah (hubungan seorang hamba dengan Tuhannya) atau bidang muamalah (hubungan sesama manusia dan alam) harus selalu di landasi oleh niat hanya mencari ridha Allah, tidak tercampur sedikitpun oleh riya’, sum’ah dan hal-hal yang dapat merusak pahala perbuatan tersebut.

Ø      الضرر  يزال
“segala kerusakan harus dihilangkan”
Prinsip ini merupakan prinsip yang paling dasar dalam fiqih Islam, yaitu menghilangkan kerusakan dan kemudaratan. Hal ini karena Islam diturunkan oleh Allah memiliki maksud fundamental yaitu menyebarkan maslahah (kebaikan) dan menghilangkan mafsadah (kerusakan). Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam bertitik tolak dari prinsip ini, sehingga Islam menjadi rahmatan li al-‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Sumber yang melahirkan prinsip ini di antaranya adalah:

وإذا طلقتم النساء  فبلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو سرحوهن بمعروف ولاتمسكوهن ضرارا لتعتدوا

“Dan apabila kamu menceraikan istri-istrimu lalu mereka sudah sampai kepada masa iddah-nya, maka pertahankanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik pula. Dan janganlah kamu mempertahankan mereka karena ingin memberikan kemudaratan (menyiksa) hingga kamu melampaui batas….”. (QS. Al-Baqarah: 231)

لا تضار  والدة بولدها ولا مولود  بولده

“Janganlah seorang ibu tertimpa bahaya karena anaknya, dan tidak boleh juga seorang anak terkena bahaya karena bapaknya…..”. (QS. Al-Baqarah: 233).

لا ضرر ولا ضرار

“Tidak boleh memberikan mudharat (bahaya) kepada diri sendiri dan tidak boleh juga kepada orang lain”.

Ø        المشقة  تجلب  التيسير
“Segala kesulitan akan membawa kemudahan”.

Banyak sekali ayat al-Qur’an maupun hadist Nabi yang mengisyaratkan adanya kemudahan dalam menjalankan ajaran Islam, ketika manusia tidak mampu menjalankan ajaran sebagaimana perintah Allah. Selain itu juga banyak ayat yang menyatakan bahwa setiap ada kesulitan di situ ada kemudahan. Allah tidak menghendaki kesulitan bagi manusia, tetapi Allah menghendaki kemudahan.

  Macam-macam kesulitan yang bisa memberikan kemudahan antara lain adalah:
a.       Sakit. Karena sakit orang boleh bertayamum sebagai ganti wudhu dan mandi. Karena sakit orang boleh tidak berpuasa bulan ramadhan, tetapi wajib mengganti pada waktu yang lain, atau mengganti dengan membayar fidyah atau tidak mengganti sama sekali karena ketiadaan kemampuan untuk mengerjakan ketentuan yang diajarkan. Karena sakit orang boleh salat fardhu dengan duduk atau berbaring.
b.      Bepergian. Karena bepergian seorang muslim boleh shalat qashor. Karena bepergian orang boleh tidak berpuasa bulan ramadhan, dan mengganti pada hari yang lain. dan orang juga boleh tidak shalat jum’at ketika bepergian.
c.       Keadaan terpaksa. Karena keadaan terpaksa seorang boleh makan bangkai atau daging babi, karena bila tidak memakannya ia akan mati. Jika keadaan memaksa seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya untuk kepentingan operasi, atau ia dibolehkan melakukan aborsi karena nyawa ibunya akan terancam bila tidak digugurkan kandungannya. Seorang juga boleh mengucapkan kalimat kekafiran (menyebabkan mereka jadi kafir) bila keadaan terpaksa, yaitu bila ia tidak melakukannya maka ia akan dibunuh.
d.      Lupa. Keadaan lupa, menurut hadist Nabi, bisa menggugurkan tanggung jawab. Orang yang berpuasa, tiba-tiba ia makan pada siang hari dengan benar-benar karena lupa, maka itu tidak membatalkan puasanya. Namun lupa di sini dapat diterapkan pada sesuatu yang berkaitan dengan hak Allah. sedangkan lupa yang berkaitan dengan hak manusia tetap dituntut untuk menunaikannya. Orang tidak boleh merusak barang orang lain dengan alasan lupa dan ia bisa dituntut untuk menggantinya.
e.       Kesukaran dan balak yang merata. Shalat dipandang syah dilakukan di tempat yang penuh kotoran karena sukar mencari alternatif atau adanya bencana. Wanita haid dilarang shalat dan tidak menggantikannya pada waktu yang lain, karena hal itu sukar dilakukan.
f.       Kurang sempurna. Kewajiban dibebaskan dari anak yang belum baligh karena belum sempurna akalnya. Orang gila dibebaskan dari shalat dan puasa karena kurang sempurna akalnya.

Ø        اليقين لا  يزال  بالشك
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan”.

Prinsip ini diangkat dari hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Rasulullah bersabda:

“Jika salah seorang dari kamu merasakan sesuatu di perutnya, kemudian meragukan apakah keluar angin dari perutnya ataukah tidak, ia jangan kaluar dari masjid hingga mendengar suara atau mencium bau”

Juga hadist lain yang diriwayatkan oleh Muslim juga bahwa Rasulullah bersabda:

“Jika salah seorang dari kamu ragu-ragu di dalam shalatnya sehingga tidak tahu berapa rekaat yang telah dilakukan, apakah baru tiga ataukah empat rekaat, buanglah keraguan dan tetapkanlah (bilangan rekaat) atas yang diyakininya”.

Dalam hadist kedua, yang diragukan adalah rekaat keempat dan yang diyakininya adalah rekaat ketiga. Dengan demikian, jika terjadi keraguan, maka yang ditetapkan adalah bahwa dia baru mengerjakan tiga rakaat. Dalam kasus lain, dapat disebutkan misalnya, jika seseorang ragu-ragu apakah telah berwudhu atau belum, harus ditetapkan belum berwudhu. Jika ragu apakah wudhunya telah batal atau belum, harus ditetapkan belum batal. Jika orang ragu-ragu telah membayar hutang puasa atau belum, harus ditetapkan belum membayar. Dan jika ragu-ragu apakah dia berhutang puasa atau tidak, harus ditetapkan tidak berhutang.

Ø      العادة  محكمة
“Adat-istiadat (kebiasaan) bisa dijadikan (pertimbangan) hukum”.

Prinsip dasar di atas didasarkan kepada beberapa nash al-Qur’an yang mengajarkan ukuran kepantasan dalam berbagai macam aturan hukum. Misalnya surat al-Baqarah: 233 yang menyatakan:

وعلي المولود  له رزقهن  وكسوتهن  بالمعروف

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf (kata dasarnya al-urf yang berarti kebiasaan)”. (QS. Al-Baqarah: 233).

  Cara yang ma’ruf adalah cara yang pantas menurut adat kebiasaan setempat yang berlaku. Juga ayat 241 dari surat yang sama, Allah menyatakan:

وللمطلقات  متاع  بالمعروف  حقا علي  المتقين

“Kepada wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah (pemberian) menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban atas orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 241).

Kata ma’ruf yang dimaksud sama artinya dengan kata ma’ruf ayat sebelumnya.

Adat istiadat dapat dikokohkan jika memenuhi syarat-syarat utama sebagai berikut:
a.       Dapat diterima dengan kemantapan jiwa oleh masyarakat, didukung oleh pertimbangan akal yang sehat dan sejalan dengan tuntutan watak pembawaan manusia.
b.      Benar-benar merata menjadi kemantapan umum dalam masyarakat dan dijalankan terus-menerus secara kontinyu.
c.       Tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau sunnah Rasul yang sahih.
d.       
 Mengokohkan adat istiadat berarti memungkinkan berlakunya hukum adat bagi kaum muslimin selagi tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau sunnah Nabi. Mengokohkan adat berarti pula bahwa hukum adat istiadat dapat dibenarkan berlaku terus sepanjang tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau sunnah Rasul-Nya.

Loading...

0 Response to "PRINSIP DASAR FIQIH ISLAM"

Post a Comment